Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) menjadi salah satu upaya mengurangi aktivitas menggunakan air tanah secara berlebihan di DKI Jakarta. Sejumlah aturan pun dibuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk meminimalisasi penurunan muka tanah.
Dalam
kurun waktu 16 tahun, perlahan tetapi pasti, kawasan pesisir Jakarta terus
mengalami penurunan laju muka tanah (land subsidence). Peristiwa ini dinilai
menjadi faktor utama yang akan mengancam kestabilan wilayah daratan DKI Jakarta
yang berlokasi di dekat perairan laut Teluk Jakarta. Ancaman lain juga muncul
dari perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut (sea level
rise). Selain faktor perubahan iklim, fenomena terjadinya penurunan permukaan
tanah juga disebabkan oleh kompaksi batuan yang tidak padat karena ada endapan
aluvial dan batuan lempung, pengambilan air tanah berlebih, pembebanan dari
aktivitas bangunan, dan aktivitas tektonik.
Dari
faktor-faktor yang disebutkan di atas, pengambilan air tanah secara berlebihan
mendominasi potensi menurunnya muka tanah. Penyedotan atau pengambilan air
tanah oleh penduduk DKI Jakarta juga meningkat drastis seiring dengan jumlah
penduduk yang makin bertambah dengan kebutuhan air yang terus meningkat.
Ditambah lagi untuk keperluan industri, sumur-sumur bor yang
dibenamkan telah mempercepat pengambilan air tanah.
Tiap
tahunnya, DKI Jakarta mengalami penurunan tanah 5-10 cm. Di kawasan tepi pantai
utara DKI Jakarta, penurunan tanah terjadi hingga 24 cm per tahun. Saat ini,
sekitar 40% luas tanah berada di bawah permukaan laut. Bila penurunan muka
tanah berlangsung cepat tanpa ada upaya pengendalian, makin meningkat pula
potensi terendamnya beberapa titik di pesisir DKI Jakarta dalam waktu beberapa
puluh tahun ke depan.
Air Pipa Jadi Solusi Land Subsidence
Sebagai
upaya mengurangi aktivitas penggunaan air tanah, kini warga DKI Jakarta
dianjurkan untuk beralih menggunakan air pipa yang disediakan oleh pemerintah
pusat dan pemprov. Merespons penurunan muka tanah DKI Jakarta yang menjadi isu
nasional sekaligus memenuhi target melayani 100% warganya dengan air perpipaan
pada 2030, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berkomitmen
membangun tiga SPAM regional melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan
usaha (KPBU).
Kolaborasi
ini dilakukan oleh Kementerian PUPR bersama Kementerian Dalam Negeri dan
Pemprov DKI Jakarta melalui penandatanganan Nota Kesepakatan (MoU) “Sinergi dan
Dukungan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.” Saat ini, kondisi cakupan layanan air minum perpipaan DKI
Jakarta baru mampu memenuhi cakupan layanan air seluas 64% dan menyuplai 20.725
liter/detik untuk 908.324 sambungan pelanggan. Akibatnya, masyarakat yang tidak
memiliki akses air minum perpipaan cenderung menggunakan air tanah secara
terusmenerus, sehingga menjadi penyebab penurunan muka tanah secara cepat.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, untuk menjawab kebutuhan air warga
DKI Jakarta, Kementerian PUPR akan membangun 3 SPAM regional. Pembangunan SPAM
tersebut, yaitu Jatiluhur I berkapasitas 4.000 liter/detik yang akan menambah
13% layanan, Karian-Serpong berkapasitas 3.200 liter/detik akan menambah
10% layanan, serta Juanda II berkapasitas 2.054 liter/detik akan menambah 7%
layanan.
“Mudah-mudahan
pada 2030 semua penduduk di DKI Jakarta bisa kita layani dengan air minum
perpipaan, sehingga harapan kita semua untuk bisa mengendalikan
pemanfaatan air tanah bisa kita laksanakan,” kata Basuki
Sanksi Gedung Bertingkat Sedot Air Tanah
Penggunaan
air tanah secara besar-besaran masih dilakukan di gedung-gedung tinggi DKI
Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan bahwa hingga
saat ini gedung bertingkat yang “nakal” seperti kantor, industri, mal, hotel,
hingga apartemen masih ada yang menggunakan air tanah. Padahal, pihak pengelola
dan pemilik gedung sudah diminta memanfaatkan air PAM. “Kami berikan sanksi
bagi mereka yang menggunakan air bersih dari pompa atau jet pump dari air
tanah. Sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara, atau
penyegelan penyumbatan. Termasuk juga sanksi denda sanksi pidana ada, ya.
Sanksi denda ini Rp50 juta ada sanksinya semua,” ucap Riza.
Pemberian
sanksi tersebut mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 1998
tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
masih berlaku untuk penggunaan air tanah. Riza juga menyampaikan, pihaknya saat
ini terus mengejar target agar kebutuhan air seluruh warga DKI Jakarta dapat
terlayani melalui jaringan perpipaan. Saat ini, jaringan perpipaan di DKI
Jakarta baru mencapai sekitar 65%. Ia pun meminta agar warga DKI Jakarta dapat
menghemat penggunaan air bersih dari PAM.
Riza
meyakini, jika jaringan perpipaan sudah tersalurkan, penggunaan air tanah di
DKI Jakarta akan berkurang. Di samping itu, ia meminta warga termasuk para
pengusaha hotel dan apartemen untuk menghemat
penggunaan air. “Jadi, makin banyak PAM menyalurkan air bersih, maka penyedotan
air melalui pompa akan berkurang,” ujarnya.
Aturan Baru Pemprov DKI Jakarta
Pemenuhan
kebutuhan air bersih melalui mekanisme perpipaan menjadi salah satu upaya
mengatasi terjadinya penurunan permukaan tanah. Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan mengatakan, salah satu dampak besar dari layanan air bersih perpipaan
yang terjangkau dan merata bagi seluruh warga DKI Jakarta, yakni dapat
mengurangi aktivitas pengambilan air tanah.
Anies
menjelaskan, saat ini Pemprov DKI Jakarta melalui Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) PDAM Jaya akan memperluas penyediaan air bersih melalui sistem
perpipaan. “Pasokan air bersih terjangkau ini berdampak besar bagi keselamatan
kota. Kita terus melakukan percepatan pipanisasi di seluruh wilayah Jakarta,”
ucapnya. Untuk mendisiplinkan penggunaan air pipa dan melarang penggunaan air
tanah, Anies menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 93 Tahun 2021
tentang Zona Bebas Air Tanah. Pasal 8 peraturan tersebut berbunyi: “Setiap
pemilik/pengelola bangunan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilarang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah mulai tanggal 1
Agustus 2023, kecuali untuk kegiatan dewatering.”
Namun,
tidak semua pemilik bangunan di DKI Jakarta dilarang memanfaatkan air tanah.
Dalam Pasal 2 disebutkan, pelarangan hanya dilakukan pada bangunan di zona
bebas air tanah. Merujuk pada Pergub, zona itu ditetapkan berdasarkan
pertimbangan kemampuan kondisi akuifer atau peta zonasi konservasi air tanah
dan dukungan jaringan air bersih perpipaan. Adapun
kriteria bangunan gedung yang dilakukan pengendalian air tanah di zona bebas
air tanah itu, meliputi bangunan dengan luas lantai 5.000 meter persegi atau
lebih, atau bangunan dengan delapan lantai atau lebih.
Setelah
berlakunya larangan pengambilan air tanah. Setiap pemilik atau pengelola gedung
wajib menginstalasi alat pencatat pengambilan/pemakaian air otomatis tambahan
dan peralatan pendukung pada saluran air masuk (inlet) dari masing-masing
sumber. Pengelola juga wajib menginstalasi pencatat air otomatis tambahan pada
saluran air keluar (outlet). Kemudian, wajib menggunakan sumber alternatif
pengganti air tanah.
Pergub
itu juga mewajibkan pengelola melakukan penampungan air bersih yang berasal
dari sumber alternatif pengganti air tanah, dengan kapasitas penampungan paling
sedikit dua hari kebutuhan air bersih untuk mengantisipasi situasi darurat.
Bagi pemilik atau pengelola bangunan yang tidak melaksanakan aturan tersebut,
akan diberikan sanksi administratif. Sanksi administratif dilakukan secara
berjenjang berupa teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, pembekuan,
dan pencabutan izin.
Sumber: KIPRAH Vol. 114 th XXI | Maret 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar