Sabtu, 07 Januari 2023

Upaya Mencegah Daratan Jakarta agar Tidak Tenggelam

Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) menjadi salah satu upaya mengurangi aktivitas menggunakan air tanah secara berlebihan di DKI Jakarta. Sejumlah aturan pun dibuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk meminimalisasi penurunan muka tanah.

 

Dalam kurun waktu 16 tahun, perlahan tetapi pasti, kawasan pesisir Jakarta terus mengalami penurunan laju muka tanah (land subsidence). Peristiwa ini dinilai menjadi faktor utama yang akan mengancam kestabilan wilayah daratan DKI Jakarta yang berlokasi di dekat perairan laut Teluk Jakarta. Ancaman lain juga muncul dari perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut (sea level rise). Selain faktor perubahan iklim, fenomena terjadinya penurunan permukaan tanah juga disebabkan oleh kompaksi batuan yang tidak padat karena ada endapan aluvial dan batuan lempung, pengambilan air tanah berlebih, pembebanan dari aktivitas bangunan, dan aktivitas tektonik.

Dari faktor-faktor yang disebutkan di atas, pengambilan air tanah secara berlebihan mendominasi potensi menurunnya muka tanah. Penyedotan atau pengambilan air tanah oleh penduduk DKI Jakarta juga meningkat drastis seiring dengan jumlah penduduk yang makin bertambah dengan kebutuhan air yang terus meningkat. Ditambah lagi untuk keperluan industri, sumur-sumur bor yang dibenamkan telah mempercepat pengambilan air tanah.

Tiap tahunnya, DKI Jakarta mengalami penurunan tanah 5-10 cm. Di kawasan tepi pantai utara DKI Jakarta, penurunan tanah terjadi hingga 24 cm per tahun. Saat ini, sekitar 40% luas tanah berada di bawah permukaan laut. Bila penurunan muka tanah berlangsung cepat tanpa ada upaya pengendalian, makin meningkat pula potensi terendamnya beberapa titik di pesisir DKI Jakarta dalam waktu beberapa puluh tahun ke depan.

Air Pipa Jadi Solusi Land Subsidence

Sebagai upaya mengurangi aktivitas penggunaan air tanah, kini warga DKI Jakarta dianjurkan untuk beralih menggunakan air pipa yang disediakan oleh pemerintah pusat dan pemprov. Merespons penurunan muka tanah DKI Jakarta yang menjadi isu nasional sekaligus memenuhi target melayani 100% warganya dengan air perpipaan pada 2030, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berkomitmen membangun tiga SPAM regional melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). 

Kolaborasi ini dilakukan oleh Kementerian PUPR bersama Kementerian Dalam Negeri dan Pemprov DKI Jakarta melalui penandatanganan Nota Kesepakatan (MoU) “Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.” Saat ini, kondisi cakupan layanan air minum perpipaan DKI Jakarta baru mampu memenuhi cakupan layanan air seluas 64% dan menyuplai 20.725 liter/detik untuk 908.324 sambungan pelanggan. Akibatnya, masyarakat yang tidak memiliki akses air minum perpipaan cenderung menggunakan air tanah secara terusmenerus, sehingga menjadi penyebab penurunan muka tanah secara cepat. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, untuk menjawab kebutuhan air warga DKI Jakarta, Kementerian PUPR akan membangun 3 SPAM regional. Pembangunan SPAM tersebut, yaitu Jatiluhur I berkapasitas 4.000 liter/detik yang akan menambah 13% layanan, Karian-Serpong berkapasitas 3.200 liter/detik akan menambah 10% layanan, serta Juanda II berkapasitas 2.054 liter/detik akan menambah 7% layanan.

“Mudah-mudahan pada 2030 semua penduduk di DKI Jakarta bisa kita layani dengan air minum perpipaan, sehingga harapan kita semua untuk bisa mengendalikan pemanfaatan air tanah bisa kita laksanakan,” kata Basuki

Sanksi Gedung Bertingkat Sedot Air Tanah

Penggunaan air tanah secara besar-besaran masih dilakukan di gedung-gedung tinggi DKI Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan bahwa hingga saat ini gedung bertingkat yang “nakal” seperti kantor, industri, mal, hotel, hingga apartemen masih ada yang menggunakan air tanah. Padahal, pihak pengelola dan pemilik gedung sudah diminta memanfaatkan air PAM. “Kami berikan sanksi bagi mereka yang menggunakan air bersih dari pompa atau jet pump dari air tanah. Sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara, atau penyegelan penyumbatan. Termasuk juga sanksi denda sanksi pidana ada, ya. Sanksi denda ini Rp50 juta ada sanksinya semua,” ucap Riza.

Pemberian sanksi tersebut mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih berlaku untuk penggunaan air tanah. Riza juga menyampaikan, pihaknya saat ini terus mengejar target agar kebutuhan air seluruh warga DKI Jakarta dapat terlayani melalui jaringan perpipaan. Saat ini, jaringan perpipaan di DKI Jakarta baru mencapai sekitar 65%. Ia pun meminta agar warga DKI Jakarta dapat menghemat penggunaan air bersih dari PAM.

Riza meyakini, jika jaringan perpipaan sudah tersalurkan, penggunaan air tanah di DKI Jakarta akan berkurang. Di samping itu, ia meminta warga termasuk para pengusaha hotel dan apartemen untuk menghemat penggunaan air. “Jadi, makin banyak PAM menyalurkan air bersih, maka penyedotan air melalui pompa akan berkurang,” ujarnya.

Aturan Baru Pemprov DKI Jakarta

Pemenuhan kebutuhan air bersih melalui mekanisme perpipaan menjadi salah satu upaya mengatasi terjadinya penurunan permukaan tanah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, salah satu dampak besar dari layanan air bersih perpipaan yang terjangkau dan merata bagi seluruh warga DKI Jakarta, yakni dapat mengurangi aktivitas pengambilan air tanah.

Anies menjelaskan, saat ini Pemprov DKI Jakarta melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PDAM Jaya akan memperluas penyediaan air bersih melalui sistem perpipaan. “Pasokan air bersih terjangkau ini berdampak besar bagi keselamatan kota. Kita terus melakukan percepatan pipanisasi di seluruh wilayah Jakarta,” ucapnya. Untuk mendisiplinkan penggunaan air pipa dan melarang penggunaan air tanah, Anies menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Pasal 8 peraturan tersebut berbunyi: “Setiap pemilik/pengelola bangunan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah mulai tanggal 1 Agustus 2023, kecuali untuk kegiatan dewatering.”

Namun, tidak semua pemilik bangunan di DKI Jakarta dilarang memanfaatkan air tanah. Dalam Pasal 2 disebutkan, pelarangan hanya dilakukan pada bangunan di zona bebas air tanah. Merujuk pada Pergub, zona itu ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemampuan kondisi akuifer atau peta zonasi konservasi air tanah dan dukungan jaringan air bersih perpipaan. Adapun kriteria bangunan gedung yang dilakukan pengendalian air tanah di zona bebas air tanah itu, meliputi bangunan dengan luas lantai 5.000 meter persegi atau lebih, atau bangunan dengan delapan lantai atau lebih.

Setelah berlakunya larangan pengambilan air tanah. Setiap pemilik atau pengelola gedung wajib menginstalasi alat pencatat pengambilan/pemakaian air otomatis tambahan dan peralatan pendukung pada saluran air masuk (inlet) dari masing-masing sumber. Pengelola juga wajib menginstalasi pencatat air otomatis tambahan pada saluran air keluar (outlet). Kemudian, wajib menggunakan sumber alternatif pengganti air tanah.

Pergub itu juga mewajibkan pengelola melakukan penampungan air bersih yang berasal dari sumber alternatif pengganti air tanah, dengan kapasitas penampungan paling sedikit dua hari kebutuhan air bersih untuk mengantisipasi situasi darurat. Bagi pemilik atau pengelola bangunan yang tidak melaksanakan aturan tersebut, akan diberikan sanksi administratif. Sanksi administratif dilakukan secara berjenjang berupa teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, pembekuan, dan pencabutan izin.



Sumber: KIPRAH Vol. 114 th XXI | Maret 2022

Tidak ada komentar: