Senin, 16 Januari 2023

Konsep Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Berbasis Kepulauan (Wilayah Kepulauan Riau)

Pembangunan berkelanjutan sejak Brundtland Commission menyampaikan gagasan dengan rumusan dengan definisi sebuah istilah pembangunan berkelanjutan. Adapun Prinsip yang mendasari pembangunan berkelanjutan yaitu “Memenuhi kebutuhan saat ini dengan tidak tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Grafika, 2015). Berkaitan dengan definisi di atas bahwa pembangunan wilayah tidak bisa dilakukan secara parsial sehingga perlu disusun secara sistematis, sinergis kolaboratif dan partisipatif yang dilakukan secara berkesinambungan agar pembangunan yang dilaksanakan dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Maka dari itu, perlu adanya upaya sinkronisasi program pembangunan antar pemerintah, lembaga dan juga swasta. Penting diperhatikan di dalam menyusun program pembangunan berkelanjutan adalah menciptakan peningkatan investasi dan mewujudkan kesetaraan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai itu semua, perlu memperhatikan pembangunan yang berbasis gender dan mendukung kebutuhan disabilitas, hal ini bertujuan untuk terciptanya kesamaan hak dan peran serta di setiap kalangan untuk berperan aktif di dalam memperoleh kesempatan usaha dan dunia kerja serta saling membahu di dalam menciptakan lapangan kerja.



Pendapat dari beberapa penulis diantaranya John Naisbitt, Patricia Aburdene dan Anthony Giddens, (2000), termasuk Ted Gaebler dan David Osborn, memperhatikan tentang pergeseran peran pemerintah dalam pembangunan dan didominasi oleh investasi swasta atau dengan menggunakan konsep Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBDU) seperti era globalisasi saat ini (Rosada). Model pembangunan kolaboratif antara swasta dan pemerintah saat ini sangat membantu mempercepat pembangunan infrastruktur dan juga membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam persaingan global sebagaimana telah diamanatkan di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Dapat dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu proses dalam memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup masa kini dan untuk yang akan datang, harus dilakukan secara terencana, terukur, sistematis, dan ramah terhadap generasi berikutnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyesuaian program pembangunan yang terintegrasi dan sinergis sehingga mewujudkan harmonisasi program pembangunan. Berdasarkan kondisi demikian maka pemikiran komprehensif dibutuhkan untuk menganalisa kebutuhan program pembangunan wilayah berbasis kepulauan. Pembangunan berbasis kepulauan ini akan bersinggungan dengan aspek sosial kultural dan gaya hidup masyarakat. Kebiasaan hidup tentu sulit untuk diubah karena mengandung nilai budaya masyarakat, namun yang penting diperhatikan proses transformasi dari pola hidup tradisional ke arah teknologi modern dan menuju arah pola sosial yang setara dengan negara maju, dalam arti bahwa pembangunan menurut Mustopadidjaja (1995: 473). Artinya, pembangunan harus stabil dan minim disparitas baik dari pembangunan wilayah maupun kesamaan hak di setiap kesempatan berkarya (Rosada).

Dalam mewujudkan pembangunan di wilayah yang berbasis kepulauan ada beberapa aspek untuk peningkatan dan pemerataan pembangunan secara berkesinambungan di Wilayah Kepulauan yaitu sebagai berikut:

1.     Tata Ruang

Sebagaimana amanat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyusunan rencana tata ruang agar dapat memastikan peruntukan fungsi ruang dan pemanfaatannya diatur dengan baik dan mewujudkan ruang yang aman, nyaman dan sustainable yang dapat dilaksanakan dengan teratur dan akhirnya berdampak kepada kemajuan wilayah. Karena pentingnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berbasis kepulauan maka upaya integrasi produk RTR sangat diperlukan baik RTRW Provinsi Kepulauan Riau dan Dokumen Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan PulauPulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Riau. Sebagaimana amanat di dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Perundangan lainnya. Dengan demikian, akan dapat menjaga keberlangsungan pembangunan dan menjaga keseimbangan fungsi ruang dan kelestarian alam sehingga memberikan kenyamanan dan rasa aman dan mewujudkan kesejahteraan.

2.     Sosial Budaya dan Ekonomi

Sebelum masuk ke dalam kondisi sosial budaya di Kepulauan Riau maka perlu menggali Sejarah Kepulauan Riau. Nama Riau sendiri berasal dari nama Riau dimana kata tersebut dapat diduga dari kata "riuh" yang bermakna “ramai”. Dimaknai ramai mungkin karena ini merupakan pusat perdagangan di bagian Kepulauan Riau berada dekat dengan negara tetangga. Lebih lanjut lagi nama tersebut berkembang menjadi Nama Riuh pada masa Kesultanan Lingga dengan ejaan Bahasa Belanda yaitu "Riouw”.

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, maka wilayah Riau (Kepulauan Riau) disatukan bersamaan dengan wilayah Kesultanan Siak di daratan Sumatera yang saat ini telah dimekarkan menjadi Provinsi Kepulauan Riau. (Lovina, 2022).

Gugusan pulau-pulau dan kawasan pesisir di wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang letaknya tersebar dan dengan jarak yang cukup jauh, dan umumnya penduduknya tinggal di wilayah pesisir dengan berbagai suku seperti Melayu, Bugis, Minangkabau, dan masyarakat transmigrasi dari pulau Jawa serta etnis Tionghoa. Dengan demikian, dapat dikatakan di wilayah Kepulauan Riau telah tumbuh masyarakat multietnis dan multikultural dan dalam menjalani hidup saling berdampingan. Berkaitan dengan masyarakat pesisir juga dikenal dengan orang laut atau banyak orang menyebut suku laut yaitu sekelompok masyarakat memiliki budaya bahari asli. Saat ini, orang suku laut telah banyak yang hidup menetap. Adrian B Lapian (1986 dan 2009), mengatakan bahwa orang suku laut adalah suku pada suatu bangsa tinggal di atas perahu dan hidup wilayah di Perairan Provinsi Kepulauan Riau sekitarnya, dan juga beberapa pantai Johor Selatan. Kebanyak mereka tinggal di Pulau Mantang, Mapor Pulau Bintan, Orang Tambus di Galang) Pulau Batam (Arman, https:// kebudayaan.kemdikbud. go.id/bpnbkepri/orang-lautkepulauan-riau/, 2016).

Sebagaimana diketahui bahwa Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu gerbang ekonomi dimana berdekatan dengan negara tetangga dan berada pada jalur pelayaran internasional sehingga berperan di dalam perekonomian global yaitu perekonomian di Kepulauan Riau. Adapun potensi yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau adalah industri, pariwisata, pertanian, pertambangan, transportasi, perdagangan serta kelautan dan perikanan karena memiliki luas 96% dari luas daratan selain itu juga ada potensi lainnya yang dapat dikembangkan sebagai pendukung kebutuhan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau. Yang perlu dilakukan adalah menjaga kelestarian dan meningkatkan peran budaya dan dengan pendekatan ekonomi yang berbasis kearifan lokal (local wisdom).

3.     Konektivitas

Kemajuan sebuah wilayah selain dipengaruhi oleh kekayaan alam dan sumberdaya manusia dan tidak kalah penting adalah mewujudkan konektivitas antar pulau atau daerah dalam lingkup Kepulauan Riau dengan wilayah lainnya dengan menghadirkan sistem sarana dan prasarana transportasi. Konektivitas antar wilayah memberikan akses bagi masyarakat untuk beraktivitas dari satu tempat ke tempat yang lainya. Pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi beberapa aspek antara lain aspek infrastruktur dan moda transportasi, oleh karena itu penyediaan sarana transportasi publik dapat disesuaikan dengan karakter wilayah, seperti halnya Kepulauan Riau karena wilayahnya memiliki ribuan pulau dan 96 % lautan dari luas daratan, maka sangat dibutuhkan transportasi multi moda diantaranya angkutan udara, laut dan darat.

Dengan tersebarnya pulau-pulau, maka yang dapat mempercepat dan memperpendek rentang waktu dan jarak adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Saat ini, Provinsi Kepulauan Riau telah memiliki bandar udara di hampir tiap kabupaten dan kota dan berikut dengan rencana pengembangannya agar Kepulauan Riau mudah diakses dan mempercepat pembangunan perekonomian wilayahnya (Lovina, 2022).

Adapun Bandar Udara yang secara eksisting dan dapat mengakses di Kepulauan Riau maupun ke wilayah lainnya antara lain: 1. Bandara Pengumpul terletak di Hang Nadim Kota Batam, RH Fisabilillah Kota Tanjungpinang, Ranai Kabupaten Natuna, RH Abdullah Kabupaten Karimun, Tambelan Kabupaten Bintan, 2 Bandara Pengumpan terletak di Dabo, Kabupaten Lingga, Letung, Kab.Kepulauan Anambas, Letung, Kab. Kepulauan Anambas, Matak, Kab.Kepulauan Anambas, dan rencana penyediaan Bandara untuk masa yang akan datang yaitu 1. Bandara Khusus di Pulau Abang, Kota Batam, Kepala Jeri, Kota Batam, 2 Bandara Pengumpan di Pulau Laut, Serasan, Subi Besar di Kabupaten Natuna sedangkan 3. Bandara Pengumpul di Midai, Kabupaten Natuna, Busung, Kabupaten Bintan, Daik, Kabupaten Lingga. Selain sarana dan prasarana transportasi darat seperti Penyediaan jalan umum, jalan Tol, dan jalur kereta api Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau juga merencanakan sarana transportasi laut di tiap kabupaten/kota dan berikut wilayah kepulauan. Agar lebih tertatanya Kawasan transportasi maka diperlukan perencanaan pelabuhan laut dengan mengatur pelabuhan dengan jarak 5 Mill laut pada garis pantai (mengintegrasikan pelabuhan laut yang berdekatan) dengan konsep green transportation.

4.     Lingkungan Hidup

Pertumbuhan penduduk yang menyebabkan kebutuhan manusia selalu bertambah, maka dibutuhkan penataan wilayah yang dapat menampung itu semua. Melalui perencanaan tata ruang, maka keseimbangan pemanfaatan ruang dan menjaga lingkungan secara berkelanjutan dapat dijaga. Di dalam perencanaan ruang, maka upaya pemanfaatan ruang sebagai syarat mewujudkan fungsi ruang maka diperlukan mewujudkan keharmonisan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik fungsi kegiatan perekonomian dengan ekologi. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah perencanaan jangka Panjang dengan menyinkronkan program pembangunan dan tetap memperhatikan lingkungan (Utomo, Analisis Pemanfaatan Ruang yang Berwawasan Lingkungan di Kawasan Pesisir Kota Tegal, 2011).

Akibat adanya pertambahan penduduk yang menjadi dampak adalah kebutuhannya sandang, papan dan pangan. Salah satu dari indikator yang dihitung adalah kebutuhan papan. Dapat diasumsikan dengan jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Riau tahun 2020 sebanyak 2,064,564 jiwa.

Kemudian jika 1 kepala keluarga membutuhkan lahan sebanyak 72m2 dengan penghuni 1 rumah berjumlah 5 orang maka luas lahan yang dibutuhkan sebanyak 29,729,721.60 m2 . Jika pada wilayah tersebut dengan intensitas bangunan dengan KLB sebesar 60% maka akan terjadi potensi tutupan diperkirakan seluas 11,891,888.64.m2 Kemudian ditambah dengan kebutuhan lahan untuk kegiatan sosial, budaya dan ekonomi lainya. Jika diasumsikan menggunakan lahan seluas 11,891,888.64m2 maka waktu terjadinya hujan turun akan terjadi pengalihan limpahan air ke drainase dan akan bermuara pada Kawasan cekungan atau sungai. Dengan demikian, minimnya run off air dan daya simpan air di bumi akan berkurang. Selain itu debit air drainase atau sungai atau cekungan akan bertambah pada saat adanya cuaca ekstrim (Climate Change) akan terjadi limpahan air hujan atau adanya pontesi banjir. Selain banjir, gerusan air akibat dampak pembangunan maka akan berdampak kepada kualitas air yang mengalir ke sungai misalnya sehingga kualitas air sungai akan menurun oleh sebab itu perlu adanya antisipasi untuk menjaga lingkungan yang bersih aman dan nyaman bagi warga.

Untuk keberlangsungan ekosistem hal yang perlu dilakukan adalah perencanaan untuk memanfaatkan air yang terbuang untuk dapat dimanfaatkan kembali. Hal ini dapat dilakukan dengan mengolah terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan kembali yaitu dengan menggunakan metode water treatment plan. Kemudian mengelola limbah dan sampah secara terpadu dengan teknologi tepat guna hasilnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pupuk, energi listrik, dan lain sebagainya, yang bernilai wisata, kesehatan lingkungan dan bernilai ekonomis. Namun juga didukung dalam pengembangan Green Energy dalam bentuk energi baru terbarukan seperti pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan berbagai model pengembangan. Khusus untuk kawasan tepian air, laut, danau atau sungai maka dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan langkah yang diperlukan adalah menata kawasan tepian air yang tertata sesuai jenis dan fungsinya.

Khusus untuk kawasan tepian air, laut, danau atau sungai maka dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan langkah yang diperlukan adalah menata kawasan tepian air. Sesuai dengan jenisnya yakni menjadikan kawasan perairan sebagai halaman atau teras rumah tinggal, kawasan yang sehat bersih dan asri dan menjaga ekosistem lingkungan sehingga memberikan harapan hidup sehat dan keberlangsungan kehidupan dengan tetap mewujudkan lingkungan yang terjaga. Selain itu, juga diperlukan pemanfaatan energi baru terbarukan untuk mengatasi keterbatasan bahan fosil sebagai bahan bakar kendaraan bermotor atau untuk kebutuhan listrik dan juga untuk menjaga kualitas udara agar tidak terjadi pencemaran udara (green energy) mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.

 

Sumber : Oleh Ronaldy Lovina, S.T , Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi VI | November - Desember 2022

Minggu, 15 Januari 2023

Instrumen-Instrumen Hukum Bidang Penataan Ruang Sebagai Perangkat Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai bagian integral dari proses pemanfaatan ruang, adalah unsur vital yang berfungsi untuk menjaga arah pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan arah perencanaan. Dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, diperlukan instrumeninstrumen/perangkat yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan mekanisme pengontrolan, khususnya yang terkait dengan hukum. Di antara perangkat tersebut terdapat dua hal yang berkaitan dengan hukum yaitu perizinan dan sanksi. Perizinan dan sanksi, terkait erat dengan mekanisme penertiban pemanfaatan ruang, sebagai mekanisme pamungkas terhadap tindakan pelanggaran terhadap rencana tata ruang. Pengenaan sanksi terhadap pelanggar rencana tata ruang, adalah tindakan yang di mana instrumen hukum bidang tata ruang memiliki peran kunci digunakan untuk melakukan dan untuk menerapkan tindakan hukum terhadap pelanggar tata ruang.

Prinsip negara hukum seperti yang ditegaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan maka semua penyelenggara negara harus mendasarkan tindakannya kepada hukum. Termasuk dalam mencapai tujuan negara seperti yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tersebut. Dalam konteks tulisan ini, termasuk diantaranya adalah penegakan hukum terhadap pelanggar aturan hukum tentang pemanfaatan ruang.

Prinsip kebijakan otonomi daerah merujuk kepada Peraturan perundangundangan, yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan dibagi antara urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; lebih lanjut Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota; kemudian Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.

Adapun dijelaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, bahwa urusan pemerintahan konkuren dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa (2) urusan pemerintahan wajib sebagaimana terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyebutkan bahwa urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah termasuk pekerjaan umum dan penataan ruang. Proses penegakan hukum atas pelanggaran penataan ruang merupakan salah satu unsur krusial dan fundamental dalam mengawal implementasi rencana tata ruang. Mengapa? Karena untuk mewujudkan implementasi tata ruang yang baik harus diimbangi pula dengan sistem pengendalian yang sama baiknya dengan perencanaan, untuk menghindari melencengnya proses pembangunan ruang yang tidak sesuai dengan arah sebagaimana digariskan dalam peraturan-peraturan, hal mana dalam rezim penataan ruang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, beserta turunannya.

Dalam sistem penyelenggaraan penataan ruang seperti tertuang di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan penataan ruang terdapat mekanisme pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Seiring dengan semakin banyaknya produk-produk tata ruang yang telah diperdakan di daerah, dalam mekanisme pelaksanaan, terdapat didalamnya pengendalian pemanfaatan ruang yang dibutuhkan dalam mengawal implementasi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang saat ini menjadi hal yang wajib untuk mengawal implementasi rencana tata ruang. Adapun fungsi dari pengendalian itu sendiri ada dua hal pokok, pertama adalah fungsi kuratif, yakni untuk memperbaiki suatu keadaan ruang yang kurang baik dan berada dalam kondisi eksisting (telah ada); kedua adalah fungsi preventif, yakni untuk mencegah adanya proses pembangunan yang tidak sesuai peraturan yang berlaku. Keduanya pada pokoknya bertujuan sama, untuk mengarahkan proses pembangunan ruang sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.

Sesuai dengan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, instrumen pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif, serta sanksi. Peraturan zonasi, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai bentuk pengaturan untuk mengarahkan proses pembangunan ruang sesuai dengan blok-blok yang telah ditentukan.



Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Sanksi, secara singkat dapat dijelaskan sebagai tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang.

Penegakan hukum dalam indikasi pelanggaran tata ruang dilakukan dengan menganut asas ultimum remedium, dimana hal ini salah satunya terkait erat dengan ketentuanketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Artinya, apabila masih ada upaya penegakan lain yang bisa dilakukan, maka upaya itulah yang terlebih dulu dikedepankan.

Instrumen Hukum Dalam Proses Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan pengertian pengendalian adalah suatu upaya tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan tata tertib tata ruang. Menurut Muhajir (2017:189), pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari kegiatan penataan ruang yang dipersiapkan sejak awal proses perencanaan tata ruang. Konsep pengendalian dimulai sebelum rencana tata ruang diimplementasikan dengan memasukkan indikator pencapaian hasil, sebagai dasar-dasar kriteria yang diperlukan, pada saat rencana dilaksanakan dan sesudah implementasi.

Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Sumber: data primer yang diolah.



Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 61 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib:

l  Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

l  Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;

l  Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan

l  Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

 

Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Pengertian Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan penertiban terhadap implementasi rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan atau adanya rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Pengertian lain dari pengendalian pemanfaatan ruang yaitu: merupakan usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang termasuk tata tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya yang berada pada kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan perdesaan, dan kawasan perkotaan yang direncanakan dapat terwujud. Ibrahim (1998:27) mengemukakan bahwa dengan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, maka dapat diidentifikasi sekaligus dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang.

a.     Pengawasan

Suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan.

b.     Penertiban

Penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana dapat terwujud. Tindakan penertiban dilakukan melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

 

Konsepsi Penegakan Hukum Bidang Penataan Ruang

Penegakan hukum merupakan suatu bentuk konkret penerapan hukum dalam masyarakat yang mempengaruhi perasaan hukum, kepuasan hukum dan kebutuhan atau keadilan hukum masyarakat. (Manan, 2009:52) Dalam pandangan umum, penegakan hukum identik dengan proses yang terjadi pada lembagalembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Menurut Lawrence Meir Friedman, sistem hukum terdiri dari tiga unsur yang saling mempengaruhi yaitu:

1.     Struktur Hukum (Legal Structure) adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur mencakup dua hal yaitu kelembagaan hukum dan aparatur hukum

2.     Substansi Hukum (Legal Substance) mencakup peraturan yang tidak hanya pada perundang undangan positif saja, akan tetapi termasuk norma dan pola tingkah laku yang hidup dalam masyarakat. Penekanannya terletak pada hukum yang hidup, bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum.

3.     Budaya Hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

 


Perangkat dan Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Perangkat hukum pengendalian pemanfaatan ruang pada dasarnya untuk mencegah perubahan pemanfaatan ruang. Pada dasarnya, apabila pemanfaatan ruang dilakukan dengan pertimbangan arahan sesuai aturan yang berlaku, maka akan mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum dan perkembangan kota, pun dengan prosedur pengendaliannya akan menjadi sangat sederhana. Untuk mewujudkannya, setiap permohonan yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang harus ditolak kecuali ada ketetapan peraturan daerah tersebut mencantumkan dispensasi/keringanan yang diperbolehkan, sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan dijabarkan dengan lebih rinci dalam Pasal 148-Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, mekanisme pengendalian penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya terdiri dari empat jenis: peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi:

l  Peraturan Zonasi, merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/ zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang;

l  Perizinan, merupakan upaya untuk memperbolehkan atau tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu wilayah sesuai dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin.

l  Pemberian Insentif dan Disinsentif, merupakan upaya untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan terhadap kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan upaya menghambat terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata ruang;

l  Pengenaan Sanksi, merupakan upaya untuk memberikan tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.

Pengendalian ruang, pada pokoknya adalah salah satu bentuk dari tiga pokok pelaksanaan penataan ruang yakni planning, actuating, dan controlling Pengendalian ruang adalah pengejawantahan dari fungsi controlling, yaitu untuk mewujudkan tatanan ruang yang produktif dan berkelanjutan, dengan mengedepankan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial secara seimbang:

1. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), disamping sebagai “guidance of future actions”, RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability);

2. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri memerlukan pengawasan untuk menjaga arah dari perencanaan tata ruang;

3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang, yang dalam salah satu bentuk spesifiknya berupa penertiban ruang, yang dalam bentuk spesifiknya berupa penertiban ruang, mengambil bentuk penerapan punishment terhadap implementasi penggunaan ruang yang menyimpang dari rencana tata ruang. dalam prosesnya dilakukan melalui check dan recheck terhadap perizinan dan tindakan berdasarkan hukum dengan tujuan menjaga arah penataan ruang tetap sesuai dengan arahan rencana tata ruang.

Adanya kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan ruang secara kontinyu benarbenar diperlukan, untuk menghasilkan produk audit ruang yang diperlukan sebagai bahan masukan/rekomendasi untuk mewujudkan kesesuaian pemanfaatan ruang aktual terhadap rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan.

Sebagai rekomendasi, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Jika tingkat kesesuaian antara perencanaan dengan implementasi penataan ruang tinggi, maka kegiatan selanjutnya adalah memantapkan programprogram pemanfaatan ruang;

b. Jika tingkat kesesuaian antara perencanaan dengan implementasi penataan ruang sedang, perlu kebijakan atau strategi baru untuk memperkuat terwujudnya kesesuaian; dan/atau pemantapan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang.

 

SUMBER : Oleh :Mochamad Moro Asih, S.H., C.I.H, Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi V |September - Oktober 2022

Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan di Tingkat Pusat dan Daerah

Sinkronisasi proses perencanaan dan penganggaran adalah suatu proses memadukan dan memperkuat penyusunan rencana dan anggaran pembangunan serta pengendalian pencapaian sasaran pembangunan (Pasal 1 PP 17/2017), dimana Pembangunan Daerah merupakan merupakan perwujudan dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional (Pasal 258 UU 23/2014). Saat ini, proses perencanaan dan penggaran dilakukan oleh dua institusi dengan tugas dan fungsi serta wewenang masing-masing, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas dan Kementerian Keuangan. Dasar hukum yang melandasi adalah UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagai pengganti GBHN. Meskipun tetap dilaksanakan oleh dua kementerian, keduanya berjalan bersamaan dalam hal perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional (Rahayu, 2018).

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional menjadi momentum perubahan kebijakan dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. PP ini menjadi penghubung antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Melalui PP ini, diharapkan akan terjadi perubahan paradigma dalam perencanaan dan penganggaran yang akan mendorong terjadinya inovasi, sinergi, dan integrasi pembangunan, baik untuk kepentingan suatu sektor, multisektor, maupun hubungan vertikal antara pusat dan daerah sehingga akan tercipta efektivitas dan efisiensi (Sukiman, 2018). Secara substansi, PP Nomor 17 Tahun 2017 mengatur tentang pengawasan program/ kegiatan/proyek yang menjadi Prioritas Nasional. Namun, secara filosofi, PP ini dapat dikembangkan dan ditularkan ke semua hal yang terkait dengan koridor sinkronisasi perencanaan dan penganggaran, baik yang sifatnya untuk kepentingan internal (dalam sektor), horizontal (antar sektor dan multi sektor), maupun vertikal (pusat dan daerah), (Sukiman, 2018). Implementasi PP 17/2017 terbukti mendorong sinkronisasi data perencanaan dan anggaran menjadi lebih efektif, karena setiap pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah memperoleh data dari satu sumber yang sama, sehingga proses perencanaan dan penganggaran menjadi lebih terintegrasi, terkoordinasi dan transparan serta membuat realisasi belanja menjadi efisien (FITRA, 2021).

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan dapat menciptakan harmonisasi antar kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan Kementerian Dalam Negeri sebagai fasilitator memiliki peranan sangat penting dalam keserasian perencanaan penganggaran pusat dan daerah (Kementerian PPN/ Bappenas, 2013).

Menindaklanjuti PP 17/2017 untuk tingkat daerah, telah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan implementatif pelaksanaan sinkronisasi perencanaan pembangunan dan penganggaran pembangunan daerah dalam rangka optimalisasi yang berkualitas, efektif dan efisien. SIPD adalah pengelolaan informasi pembangunan daerah. Informasi keuangan daerah, dan informasi Pemerintahan Daerah lainnya yang saling terhubung untuk dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pembangunan daerah (Pasal 1 Permendagri 70/2019). SIPD dibangun dan dikembangkan untuk menghasilkan layanan informasi Pemerintahan Daerah yang saling terhubung dan terintegrasi dengan berbasis elektronik.

Titik sinkronisasi antara rencana dan anggaran daerah terdapat pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS). RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, serta rencana kerja dan pendanaan untuk jangka waktu satu tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dan Program Strategis Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Pasal 263 UU 23/2014). RKPD menjadi pedoman kepala daerah dalam menyusun KUA dan PPAS (Pasal 265 UU 23/2014). KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode satu tahun, sedangkan PPAS adalah program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada Perangkat Daerah untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah (pasal 1 UU 23/2014).

Dalam hal penyelenggaraan fungsi sesuai Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2021 tentang Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah bertanggung jawab atas pembinaan penyusunan RKPD, sedangkan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah bertanggung jawab atas penyusunan KUA dan PPAS. Secara bisnis proses artinya output dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah menjadi input bagi Ditjen Bina Keuangan Daerah (Ditjen Bangda, 2022).



Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) berfungsi sebagai sebuah jejaring dalam pengumpulan data secara terpadu, real time dan online di pusat dan daerah dengan menggunakan teknologi informasi, sebagai dukungan dalam perencanaan program dan kegiatan serta evaluasi pembangunan daerah secara rasional, efektif dan efisien. Tentunya Sistem Informasi tersebut dapat juga digunakan untuk mendukung integrasi pemanfaatan data terkait dengan perkembangan pembangunan pada masing-masing instansi pemerintah. Selain itu, fungsi SIPD sebagai media akuntabilitas publik yang memungkinkan masyarakat mengevaluasi kinerja pemerintah, mengevaluasi program-program pembangunan, dan sekaligus mengevaluasi capaiancapaian pembangunan. Penerapan SIPD bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses perencanaan di daerah khususnya berkaitan dengan input usulan program dan kegiatan yang akan diakomodir dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Oleh karena itu, SIPD merupakan sarana dalam mendukung keberhasilan perencanaan pembangunan daerah dengan berdasarkan data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. (Dione & Faradina, 2020).

Dalam perkembangannya, kondisi SIPD saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang harus diselesaikan, seperti (1) Proses masih belum dikembangkan sepenuhnya sesuai dengan aturan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017; (2) Proses yang ada dapat memberikan mispersepsi bagi daerah karena perbedaan antara aturan dengan sistem; (3) Bagian perencanaan yang ada saat ini lebih sesuai digunakan sebagai perencanaan anggaran, bukan sebagai perencanaan pembangunan, serta kendala teknis lainnya yang berhubungan dengan pengembangan sistem dan koordinasi (Ditjen Bangda, 2022). Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai usulan pengembangan SIPD, antara lain:

1. Perlu memperhatikan dinamika kebijakan seperti RPD 2023-2026, RPD 2024-2026, Pemutakhiran Nomenklatur serta memperhatikan penerbitan Data Dasar Urusan Pemerintahan Daerah dan Data Sektoral (walidata) yang sedang disusun

2. Perlu memastikan standar pembangunan (microservices), penyiapan infrastruktur, jaringan dan keamanan, serta keterhubungan dengan sistem lain

3. Bagian perencanaan yang telah ada saat ini digeser dan dimanfaatkan menjadi perencanaan anggaran (RKA)

4. Dengan memperhatikan proses penyusunan dokrenda oleh daerah, maka efektif penginputan perencanaan akan mulai digunakan tahun 2023 untuk penyusunan dokrenda tahun 2024.

Berkembangnya sistem informasi dapat menjadi katalisator yang mempercepat proses sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran pembangunan (Yulianti, 2020). Perencanaan dan Penganggaran perlu terintegrasi dengan baik agar Pemerintah Daerah dapat melaksanakan komitmen yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Selain itu, integrasi perencanaan dan penganggaran juga menjadi salah satu alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (UPT LKPD Provinsi Jawa Timur, 2015).

 

SUMBER : Oleh Dwi Avinia Sundoro, S.T dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi V |September - Oktober 2022

Hunian Milenial dengan Kemudahan Transportasi

Hunian vertikal berbasis transportasi atau Transit Oriented Development (TOD) memudahkan masyarakat melakukan mobilitas dalam beraktifitas.



RUMAH atau hunian menjadi kebutuhan penting, terutama di kota besar. Terbatasnya lahan membuat ketersedian rumah tapak kian menyusut. Menjawab kebutuhan itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono membuat kebijakan dan mendorong dunia usaha mengembangkan hunian vertikal berbasis transportasi atau Transit Oriented Development (TOD).

Salah satu keuntungan tinggal di TOD selain mendapatkan hunian yang layak, masyarakat juga akan lebih mudah bepergian dengan menggunakan sarana transportasi seperti kereta api komuter. “Saya selalu promosikan ke temanteman bahwa jika anda membeli TOD, selain membeli rumah juga dapat kereta api.” kata Menteri Basuki.

Menurutnya, dengan memilih tinggal di TOD, maka masyarakat secara tidak langsung bisa menghemat pengeluaran untuk biaya transportasi. Apalagi ada jaminan ketepatan jadwal sarana transportasi seperti kereta api atau Kereta Rel Listrik (KRL)/Commuter line. Apalagi sekarang pelayanan PT KAI semakin baik kepada masyarakat. “Salah satu keuntungan tinggal di TOD masyarakat bisa diantar jemput kereta api. Masyarakat lebih mudah melakukan mobilisasi karena terintegrasinya hunian dengan transportasi massa.” imbuh Menteri Basuki.



Untuk meningkatkan ketersediaannya hunian TOD, Menteri PUPR juga meminta agar sinergi antar kementerian, seperti Kementerian PUPR dengan Kementerian BUMN bisa lebih ditingkatkan lagi. Apalagi masih banyak aset-aset PT KAI yang juga bisa dimanfaatkan sebagai TOD sehingga secara tidak langsung bisa mendukung Program Sejuta Rumah, dan program-program pemerintah untuk menyediakan hunian layak bagi masyarakat.

Selain itu, Menteri PUPR juga meminta Perum Perumnas dan para pihak terkait bisa kembali ke rencana/ garis besar perjuangan (khittah) agar bisa lebih berperan untuk menyediakan hunian layak bagi masyarakat.

Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan, salah satu hasil sinergi Kementerian PUPR dengan Kementerian BUMN dalam pembangunan hunian berkonsep TOD adalah Rusun Semesta Mahata Serpong. Merupakan salah satu hasil sinergi antar BUMN yaitu Perum Perumnas, PT KAI dan PT Adhi Karya.

Pembangunan Rusun TOD merupakan sinergi transportasi umum dan pemenuhan kebutuhan perumahan, yang juga merupakan salah satu langkah Perum Perumnas memperbaiki bisnis modelnya melalui sinergitas dengan BUMN lainnya. Di masa depan Perumnas juga didorong untuk melaksanakan kerja sama dengan swasta.

“Di masa pandemi COVID-19 suka tidak suka pemerintah, harus mengantisipasi kebutuhan masyarakat seperti penyediaan hunian TOD ini yang juga cocok untuk generasi milenial. Tinggal di TOD tidak hanya mengurangi beban lalu lintas berupa kemacetan lalu lintas namun juga mengurangi emisi gas buang kendaraan sehingga lingkungan (kualitas udara) bisa terjaga. Fasilitas umum di TOD juga memadai seperti taman bermain, sarana olahraga, ruang komersial sehingga penghuninya lebih nyaman tinggal di sini,” terang Menteri BUMN Erick Thohir.

Kemudian, Direktur Utama Perum Perumnas, Budi Saddewa Soediro mengatakan, Rusun TOD Rawa Buntu merupakan proyek sinergi BUMN, dengan penyediaan lahan dari PT KAI dan pembangunannya oleh Perumnas bersama kontraktor PT Adhi Karya.

Pembangunan Rusun TOD di Stasiun Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan dilakukan oleh Perum Perumnas di atas lahan seluas 24.626 m2 sebanyak 6 tower dengan total hunian sebanyak 3.632 unit. Pada tahap pertama dibangun sebanyak 3 tower terdiri dari 1.816 unit terbagi menjadi 330 hunian subsidi dan 1.486 hunian non subsidi.

Hunian Milenial

Bagi Kementerian PUPR pembangunan perumahan dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) menjadi salah satu agenda khusus untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal generasi milenial. Wakil Menteri PUPR John Wempi Wetipo mengatakan, tuntutan akan kebutuhan rumah yang layak sangat tinggi untuk para milenial. “Kami telah menerapkan beberapa upaya antara lain pembangunan perumahan di lokasi strategis berkonsep TOD,” ujarnya. Menurutnya, konsep TOD yang berada di lokasi strategis, cocok dengan karakteristik generasi milenial yang ingin serba cepat dan mudah dalam mengakses transportasi.

“Berdasarkan pengamatan, milenial juga memiliki kecenderungan menempati tempat tinggal dengan cara menyewa,” katanya. Sejalan dengan itu, ia menambahkan, pihaknya telah membuat desain (design) rumah susun sesuai dengan karakteristik generasi milenial. Terdapat tiga kelompok milenial, yakni milenial awal, berkembang, dan maju.

“Milenial awal yakni usia 20-25 tahun dengan desain rumah susun tipe 24. Milenial berkembang, usia 25-35 tahun dengan desain rumah susun dan tapak tipe 36. Dan milenial maju 35 tahun dengan tipe 45,” paparnya.

John Wempi Wetipo juga menyampaikan, bahwa pihaknya bersama dengan lembaga lain serta pengembang membuat skema pembayaran yang memudahkan generasi milenial memiliki hunian. “Perlu saya ingatkan bahwa rumah adalah tempat tinggal yang aman dan tempat pembinaan keluarga, di samping itu juga merupakan aset bagi pemiliknya. Oleh karena itu rumah bagi milenial merupakan investasi di masa yang akan datang.” pungkasnya.

 

Sumber: KIPRAH Vol 111 th XX | Oktober 2021

Rabu, 11 Januari 2023

Penataan Destinasi Pariwisata Super Prioritas dengan Segala Bentuk Keunikannya

Kementerian PUPR mendukung program pengembangan pariwisata di DPSP BYP yang dilaksanakan Pemerintah Pusat secara terintegrasi melalui dokumen Integrated Tourism Masterplan Program (ITMP).



UNTUK mendukung geliat sektor pariwisata pasca Pandemi COVID-19, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mempercepat penyelesaian pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yakni Danau Toba, Borobudur, Lombok, Labuan Bajo, dan Manado–Bitung–Likupang.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan pembangunan infrastruktur pada setiap DPSP direncanakan secara terpadu baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, dan perbaikan hunian penduduk melalui sebuah rencana induk pembangunan infrastruktur.

“Untuk pariwisata, pertama yang harus diperbaiki infrastrukturnya, kemudian amenities dan event, baru promosi besar-besaran. Kalau hal itu tidak siap, wisatawan datang sekali dan tidak akan kembali lagi. Itu yang harus kita jaga betul. Prinsipnya adalah merubah wajah kawasan dilakukan dengan cepat, terpadu, dan memberikan dampak bagi ekonomi lokal dan nasional,” kata Menteri Basuki. Infrastruktur DPSP yang dibangun Kementerian PUPR mencakup konektivitas, Sumber Daya Air, permukiman, dan perumahan.



Untuk penataan DPSP Danau Toba “Sampai saat ini Kementerian PUPR telah banyak membantu dalam pembangunan infrastruktur di Kabupaten Samosir,” ungkap Bupati Samosir Vandiko T. Gultom. Ia menambahkan, namun masih ada kebutuhan pembangunan yang masih belum bisa diselesaikan Pemkab Samosir karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang relatif terbatas.

Vandiko mengungkapkan, kebutuhan tersebut yakni infrastruktur penyediaan air baku dan air bersih untuk Kabupaten Samosir. Kemudian, pembangunan jalan lingkar/By Pass Pangururan dan Tomok untuk mengantisipasi kemacetan jalan saat musim liburan, serta Penataan 40 Desa Wisata untuk semakin menarik minat wisatawan ke Kabupaten Samosir. Ia berharap, Kementerian PUPR melalui BPIW dapat membantu memprogramkan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan, agar sektor pariwisata di Kabupaten Samosir dapat berkembang dengan pesat.

Sementara itu, Kepala BPIW Kementerian PUPR Rachman Arief Dienaputra menyampaikan apresiasi kepada jajaran Pemkab Samosir yang terus berupaya mengembangkan sektor pariwisata di wilayahnya, dan perlunya prioritas usulan, mana yang paling penting. Ia mengatakan, kebutuhan infrastruktur penyediaan air baku dan air bersih di Kabupaten Samosir memerlukan kajian untuk mengetahui lebih konkrit. Menurutnya, bisa jadi Kabupaten Samosir betul membutuhkan, namun berapa banyak kebutuhan serta apakah sudah masuk kategori mendesak.

Arief juga menyatakan, terkait pembangunan jalan by pass untuk mengantisipasi kemacetan jalan terlihat belum terlalu prioritas, memperhatikan intensitas kendaraan yang ada berdasarkan kunjungan yang dilakukan Arief ke Samosir beberapa waktu lalu.

Untuk kawasan DPSP Borobudur dilakukan kunjungan dan tinjauan Tim Kementerian PUPR dipimpin langsung Kepala Central Project Management Unit (CPMU) Program Pembangunan Pariwisata Terintegrasi dan Berkelanjutan (P3TB) Kementerian PUPR, Ir. Achmad Gani Ghazaly Akman, M. Eng. SC yang juga merupakan Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Keterpaduan Pembangunan. Hadir juga mendampingi pada kunjungan tersebut Kepala Pusat Pengembangan Infrastruktur PUPR (Kapuswil) II BPIW, Kuswardono serta jajaran.

Achmad Gani menyampaikan, Kementerian PUPR mendukung program pengembangan pariwisata di DPSP BYP yang dilaksanakan Pemerintah Pusat secara terintegrasi melalui dokumen Integrated Tourism Masterplan Program (ITMP). Penyusunan ITMP melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang bertujuan melakukan pengembangan pariwisata super prioritas di Tanah Air.

Kunjungan dilakukan untuk meninjau progres pembangunan infrastruktur terutama keciptakaryaan yang mendukung peningkatan “Amenitas” wisata. Beberapa infrastruktur utama yang telah terbangun adalah Penataan 4 Gerbang Borobudur dan Penataan Concourse Borobudur. Selain itu, kunjungan ini bertujuan untuk melakukan pendalaman potensi perluasan ITMP BYP yang mengamanatkan bahwa sebagai UNESCO World Heritage Borobudur harus dibatasi jumlah kunjungannya dan disebarkan ke destinasi lainnya . “Misalnya penyebaran wisatawan KSPN Borobudur seharusnya dapat disebarkan ke Kawasan Dieng dan sekitarnya di Jawa Tengah,” terang Gani.

Sedangkan untuk DPSP wilayah Lombok dimana dengan telah diadakannya agenda MotoGP di Mandalika maka perlu digeliatkan banyak eventevent olahraga otomotif untuk dan perbaikan sarana pendukung mulai dari kedatangan turis, penginapan serta destinasi tujuan lainnya yang mengajak para stakeholder guna mendukung bangkitnya wisata di wilayah Lombok.

DPSP Labuan Bajo yang akhir juli ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo, dimana dilakukan penataan kawasan Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Labuan Bajo, “Dari penataan di Pulau Rinca, kemudian penataan di pelabuhan lama di Marina, kemudian juga infrastruktur jalan yang dilebarkan dan juga ada yang diperpanjang, kemudian juga memperpanjang runway, dan memperluas terminal airport Komodo,”

Yang terakhir dari DPSP adalah kawasan Manado – Bitung – Likupang dimana dilakukan penataan Kawasan Pantai Malalayang di Kota Manado. Penataan kawasan wisata tersebut bertujuan untuk mendukung pengembangan destinasi pariwisata dan berwawasan lingkungan, kemudian pembangunan Manado Outer Ring Road (MORR III) atau Jalan Lingkar Manado III (Ring Road Manado) Tahap I dan Tahap II. Diharapkan ruas jalan yang menghubungkan Kalasey-Winangun sepanjang 11,39 kilometer ini akan membagi arus lalu lintas menuju dan keluar Kota Manado, sehingga dapat mengurangi kemacetan di ruas jalan dalam kota serta pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Mamitarang di Kabupaten Minahasa Utara. Pembangunan TPA Regional Mamitarang bertujuan meningkatkan layanan sanitasi pada DPSP Manado – Bitung – Likupang. TPA Regional tersebut direncanakan mampu memproses limbah rumah tangga skala regional dari 4 kota/kabupaten di Sulut yakni, Kota Manado, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, dan Kota Bitung.

 

Sumber : KIPRAH Vol 116 th XXII | Oktober 2022

Senin, 09 Januari 2023

10 Kota Dunia dengan Konsep Sustainable City

Trend kota berkelanjutan di dunia terlihat dari penggunaan energi terbarukan hingga memiliki rute bersepeda, tempat pengisian kendaraan listrik, dan banyak ruang hijau untuk melawan perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca.



SITUS uswitch yang merupakan situs perbandingan harga untuk konsumen di dunia memilih kota-kota paling berkelanjutan dan ramah lingkungan. Uswitch melihat energi setiap kota, infrastruktur transportasi, keterjangkauan, polusi, kualitas udara, emisi CO2, dan persentase ruang hijau.

1.     Canberra, Australia

Ibu kota Australia sangat bergantung pada energi bertenaga surya dan ladang angin untuk energi kota mereka. Canberra tidak hanya menyediakan kehidupan yang berkelanjutan bagi penduduknya, tetapi juga memiliki program untuk memastikan bahwa 94% penduduknya memiliki akses internet untuk menjadikan Canberra sebagai kota yang terhubung

2.     Madrid, Spanyol

Kota ini telah menciptakan inisiatif berkelanjutan selama bertahun-tahun karena walikota telah mengumumkan bahwa hutan Madrid perlu dilindungi dengan cara apa pun, ini menyebabkan Madrid menjadi kota yang hijau. Penggunaan energi berkelanjutan untuk transportasi telah menarik perhatian banyak orang.

3.     Brisbane, Australia

Brisbane memiliki berbagai tanaman dan satwa liar asli yang sehat serta kawasan habitat yang terlindungi dan terhubung dengan baik, bebas dari spesies invasif. Dengan beberapa tujuan untuk tahun 2031 adalah 40% daratan Brisbane akan menjadi habitat alami dan rata-rata emisi karbon rumah tangga dari energi, limbah, dan transportasi akan setara dengan enam ton karbon dioksida per tahun.

4.     Dubai, Uni Emirate Arab

Dubai memiliki pembangunan perumahan yang disebut ‘Kota Berkelanjutan’. ‘Kota’ ini mendaur ulang air dan limbahnya serta menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsinya. Dubai bertujuan untuk mendapatkan 75% energinya dari sumber yang bersih dan terbarukan pada 2050.

5.     Copenhagen, Denmark

Di Copenhagen lebih banyak orang menikmati bersepeda daripada menggunakan kendaraan untuk berkeliling, dengan hanya 29% rumah tangga yang memiliki mobil membantu mereka mencapai tujuan menjadi kota netral CO2 pertama. Makan organik adalah bagian besar kota dengan seperempat dari total penjualan makanan di kota adalah produk organik.

6.     Frankfurt, Jerman

Tujuan utama Frankfurt adalah untuk mengurangi emisi CO2 mereka sebesar 50% pada 2030. Emisi CO2 mereka terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan industri beton mereka. Pada 2000 Frankfurt membuat komitmen untuk menjadi kota paling ramah lingkungan di dunia.

7.     Hamburg Jerman

Jalur sepeda, mobilitas berbasis listrik, pengelolaan sampah, pembangunan kembali lingkungan adalah beberapa praktik positif yang dilakukan Hamburg. Kota ini tengah menuju untuk menjadi ‘kota hijau’ Eropa karena ruang hijau, area rekreasi dan hutan mencapai 16,5% dari wilayah metropolitan.

8.     Praha, Republik Ceko

Praha menerapkan infrastruktur transportasi khusus, dukungan mobil dan sepeda listrik serta pembatasan emisi CO2 . Dewan Kota Praha menyetujui komitmen kota untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 45% pada tahun 2030 dan menghilangkannya sepenuhnya paling lambat pada tahun 2050.

9.     Abu Dhabi, Uni Emirat Arab

Kota ini bergantung pada energi matahari dan sumber energi terbarukan lainnya dan dirancang untuk menjadi pusat bagi perusahaan teknologi bersih. Abu Dhabi adalah rumah bagi kluster teknologi bersih yang berkembang pesat, zona bebas bisnis, dan lingkungan perumahan dengan restoran, toko, dan ruang hijau publik.

10. Zurich, Swiss

Kota ini berfokus pada efisiensi energi karena warga dan pendatang didorong untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Rumah baru dan bangunan umum harus mematuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang ketat. Industri dan bisnis mereka secara teratur dimintai pertanggungjawaban atas penggunaan energi atau tujuan pengurangan limbah.

 




Dalam melakukan pemeringkatan ini uswtich mempertimbangkan tingkat kejahatan, keterjangkauan properti, tingkat lalu lintas (termasuk waktu perjalanan, emisi CO2 dan inefisiensi sistem lalu lintas), tingkat polusi (udara, air dan jenis yang lebih kecil), penggunaan energi terbarukan. Semua angka dikumpulkan dari data Nomad dan Numbeo, per 19 April 2021.

 

Sumber: KIPRAH Vol 111 th XX | Oktober 2021