Jumat, 01 Desember 2023

Penyelarasan Dokumen Rencana Pembangunan Daerah, RPJP Daerah dan RPJM Daerah dengan RTRW

RENCANA Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan daerah jangka panjang yang disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RPJP Daerah memiliki periode 20 tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025 sama seperti periode RPJP Nasional. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa penyusunan RPJP Daerah dilaksanakan melalui Musrenbang Daerah paling lambat 1 tahun sebelum berakhirnya periode RPJP Nasional yang sedang berjalan.

Hal ini sejalan dengan agenda kerja penyusunan dokumen RPJP Daerah yang dilaksanakan paling lambat 1 tahun sebelum RPJP Daerah periode sebelumnya berakhir. Penyusunan RPJP Daerah disusun dengan tahapan penyusunan rancangan awal, pelaksanaan musrenbang, penyusunan rancangan akhir dan penetapan perda paling lama 6 bulan setelah RPJP Daerah periode sebelumnya berakhir sesuai Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan.

Lain halnya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan daerah dan keuangan daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Penyusunan RPJM Daerah disusun dengan berpedoman pada RPJP Daerah, RTRW dan RPJMN.

Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 yang akan dilaksanakan pada bulan November 2024 menjadi momentum untuk penyeragaman dalam penyusunan dokumen RPJM Daerah. Seluruh kepala daerah dimandatkan untuk menetapkan RPJM Daerah paling lambat 6 bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik. Kepala daerah yang akan mengikuti Pilkada Serentak Tahun 2024 sebanyak 545 Daerah yang terdiri dari:

1. Kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada tahun 2022 sebanyak 101 daerah yaitu 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.

2. Kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada tahun 2023 sebanyak 169 daerah yaitu 17 provinsi, 114 kabupaten, dan 38 kota.

3. Kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada tahun 2024 sebanyak 271 daerah yaitu 9 provinsi, 225 kabupaten, dan 37 kota.

4. Kepala daerah pada 4 Daerah Otonomi Baru di Papua yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya yang juga akan dipilih melalui pilkada serentak tahun 2024.

Untuk saat ini, daerah yang kepala daerahnya dijabat oleh penjabat kepala daerah, diinstruksikan melalui Inmendagri Nomor 70 Tahun 2021 tentang penyusunan Dokumen Perencanaaan Pembangunan Daerah bagi Daerah Dengan Masa Jabatan Kepala Daerah Berakhir Tahun 2022 agar menyusun Dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD) provinsi/ kabupaten/kota tahun 2023- 2026 sebagai pedoman untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah tahun 2023-2026 yang ditetapkan dalam bentuk perkada.

Seluruh daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota mulai menyusun rancangan awal RPJP Daerah pada tahun 2023 dan RPJM Daerah pada tahun 2024. Secara lebih detail kerangka waktu penyusunan dan penetapan dokumen RPJP Daerah dan RPJM Daerah digambarkan sebagai berikut:



Penyusunan Peraturan Daerah RPJP Daerah dan RPJM Daerah harus berpedoman pada Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 jo. Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017. Pada Pasal 160 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 dijelaskan bahwa penelaahan dokumen perencanaan mempedomani RTRW dalam penyusunan RPJP Daerah dan RPJM Daerah melalui penyelarasan antara sasaran, arah kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan Daerah dalam RPJP Daerah dan RPJM Daerah dengan tujuan, kebijakan, serta rencana struktur dan rencana pola ruang wilayah dalam RTRW.

Berdasarkan riset cepat Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri tahun 2022 bahwa dari sampel 28 RPJPD Provinsi terdapat 3 provinsi yang RPJPDnya tidak selaras dengan RTRW, 17 provinsi yang RPJPDnya kurang selaras dengan RTRW, dan sebanyak 8 provinsi yang RPJPDnya selaras dengan RTRW Provinsi. Sementara itu, dari sampel 29 RPJMD Provinsi, terdapat 5 provinsi yang tidak selaras, 12 provinsi yang kurang selaras, dan sebanyak 12 provinsi yang RPJMDnya selaras dengan RTRW Provinsi.

Dalam rangka upaya penyelarasan RPJP Daerah dan RPJM Daerah dengan RTRW telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.4.4/110/SJ tanggal 10 Januari 2023 tentang penyelarasan dokumen rencana pembangunan daerah dengan rencana tata ruang wilayah yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota seluruh Indonesia. Beberapa poin penting dalam surat edaran tersebut yaitu:



Adapun langkah – langkah dalam upaya penyelarasan Dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPJP Daerah dan RPJM Daerah) Dengan Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.4.4/110/SJ tanggal 10 Januari 2023 tentang penyelarasan dokumen rencana pembangunan daerah dengan rencana tata ruang wilayah yaitu:

1.     Langkah-langkah penyelarasan RPJPD dengan RTRW di provinsi/kabupaten/kota

• Langkah 1 : visi dan misi daerah dalam RPJPD selaras dengan tujuan penataan ruang dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

• Langkah 2 : arah kebijakan dalam RPJPD selaras dengan kebijakan dan strategi penataan ruang dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

• Langkah 3 : sasaran poko RPJPD selaras dengan indikasi program utama dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.



2.     Langkah-langkah Penyelarasan RPJM Daerah Dengan RTRW di Provinsi/Kabupaten/Kota

• Langkah 1 : visi dan misi kepala daerah dalam RPJMD selaras dengan tujuan penataan ruang dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

• Langkah 2 : tujuan dan sasaran dalam RPJMD selaras dengan arah kebijakan dan strategi dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

• Langkah 3 : program pembangunan daerah dalam RPJMD selaras dengan indikasi program utama RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.



Berkaitan dengan pentingnya tersedianya Rencana Tata Ruang Wilayah, perlu diwujudkan sesegera mungkin dalam Peraturan Daerah pada tahun 2024. Berdasarkan data Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri per Oktober 2023 status RTRW Provinsi sebagai berikut:



Penyelarasan RPJP Daerah dan RPJM Daerah dengan RTRW sangatlah penting dilakukan mengingat pelaksanaannya masih belum optimal dan RTRW belum sepenuhnya menjadi dasar acuan pembangunan sektor. Lebih lanjut, penyelarasan tersebut perlu segera dilaksanakan seiring dengan momentum pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 dapat menjadi awal pembenahan terhadap penyusunan RPJP Daerah dan RPJM Daerah. Dokumen RTRW harus betul-betul menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di daerah dalam rangka mewujudkan tujuan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yaitu untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, serta menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan demikian, program-program pembangunan di daerah yang dilaksanakan ke depan sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam Perda RTRW.

Referensi:

- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

- Undang-UNdang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

- Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Ranperda Tentang RPJP Daerah dan RPJM Daerah, serta Tata Cara Perubahan RPJP Daerah, RPJM Daerah dan RKPD.

- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.4.4/110/SJ Tahun 2023 tentang penyelarasan dokumen rencana pembangunan daerah dengan rencana tata ruang wilayah yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati Wali Kota seluruh Indonesia.

Sumber: Oleh Ir. Endang Tjatur Apriljanti , Friska Fathurrahmah, ST , dan Zeji Mandala, ST., M.Eng Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II | Agustus - Oktober 2023

Rabu, 08 November 2023

KEBIJAKAN PENATAGUNAAN TANAH DI KAWASAN LINDUNG

1. Umum

Bahwa sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, definisi kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, sedangkan definisi kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

tentang Penatagunaan Tanah dalam Penjelasan Bagian Umum angka romawi I, kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagai pedoman umum penatagunaan tanah di daerah. Kegiatan di bidang pertanahan merupakan satu kesatuan dalam siklus agraria, yang tidak dapat dipisahkan, meliputi pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah, penatagunaan tanah, pengaturan hak-hak atas tanah, serta pendaftaran tanah. Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan, dan terhadap tanah dalam kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali pada lokasi situs. Pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya di wilayah kawasan lindung masih terdapat perbedaan pendapat oleh para pelaksana pendaftaran tanah di daerah, apakah dapat diberikan suatu hak atas tanah atau tidak. Untuk memberikan kepastian hukum pelayanan pertanahan di daerah, khususnya di wilayah kawasan lindung maka diperlukan kebijakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai petunjuk penyelenggaraan kebijakan penatagunaan tanah berupa kegiatan pendaftaran tanah di kawasan lindung.



2. Isi

a. Dalam rangka memberikan kepastian hukum pelayanan pertanahan untuk kegiatan penyelenggaraan kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung, maka diperlukan petunjuk penyelenggaraan pendaftaran tanah di kawasan lindung.

b. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

c. Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya yang mencakup:

1) kawasan bergambut, kawasan resapan air;

2) kawasan perlindungan setempat yang mencakup sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan terbuka hijau termasuk di dalamnya hutan kota;

3) kawasan suaka alam yang mencakup kawasan cagar alam, suaka margasatwa;

4) kawasan pelestarian alam yang mencakup taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam;

5) kawasan atau bidang tanah cagar budaya;

6) kawasan rawan bencana alam yang mencakup antara lain kawasan rawan letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, serta gelombang pasang dan banjir; dan

7) kawasan lindung lainnya mencakup taman buru, cagar biosfir, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai berhutan bakau.

d. Objek pendaftaran tanah di kawasan lindung sebagaimana huruf c adalah yang berada di luar kawasan hutan.

e. Pendaftaran Tanah di kawasan lindung meliputi pendaftaran tanah pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

f. Pendaftaran tanah pertama kali di kawasan lindung meliputi:

1) Pemberian hak atas tanah di kawasan lindung yang berstatus tanah negara, berupa hak atas tanah yang berjangka waktu sesuai dengan subjek hak;

2) Pendaftaran hak atas tanah di kawasan lindung yang berstatus tanah bekas milik adat, berupa hak milik atau hak atas tanah lainnya sesuai dengan subjek hak.

g. Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

h. Pendaftaran tanah di kawasan lindung diberikan dengan batasan dan kewajiban berupa RRR (Right, Restriction, and Responsibility) yang dicatat pada buku tanah dan sertipikat, meliputi:

1) Pemegang hak dilarang mendirikan bangunan yang mengurangi fungsi konservasi tanggul, fungsi konservasi sempadan, atau fungsi konservasi lainnya;

2) Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami;

3) Pemegang hak dilarang merusak sumber daya alam dan kelestarian kemampuan lingkungan hidup;

4) Pemegang hak diwajibkan memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya dan mencegah kerusakannya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

5) Pemegang hak diwajibkan menjaga fungsi konservasi sempadan badan air atau fungsi konservasi lainnya;

6) Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah;

7) Ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang[1]undangan.

i. Hak Atas Tanah dapat dibatalkan apabila pemegang hak tidak memenuhi ketentuan dan/atau larangan berdasarkan RRR (Right, Restriction, and Responsibility) yang dicatat pada buku tanah dan sertipikat.

j. Pemberian hak atas tanah pada kawasan lindung sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang berlaku.

 

 

Sumber: SURAT EDARAN NOMOR 4/SE-100.PG.01.01/II/2022 / /2022 TENTANG KEBIJAKAN PENATAGUNAAN TANAH DI KAWASAN LINDUNG, Kementerian ATR/BPN.

PENYELESAIAN KETIDAKSESUAIAN LAHAN SAWAH YANG DILINDUNGI (LSD) DENGAN RENCANA TATA RUANG

LSD memiliki peran penting bagi ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, segala bentuk pembangunan yang akan menggunakan LSD diharuskan untuk tetap menjaga kelestarian Ekosistem LSD. Hal ini dimaksudkan agar ketahanan pangan nasional dapat tetap terjaga meskipun dilaksanakan pembangunan pada lokasi yang telah ditetapkan sebagai LSD tersebut. Selain sebagai pedoman atau acuan untuk melakukan verifikasi dalam rangka perubahan Peta LSD, panduan penyelesaian juga dapat dijadikan sebagai pedoman atau acuan bagi penerbitan KKPR, PTP, Izin, dan Hak Atas Tanah.



A.   Panduan Penyelesaian dalam rangka Penyempurnaan Data Peta Lahan Sawah yang Dilindungi

Panduan penyelesaian dalam rangka penyempurnaan data Peta LSD dimaksudkan untuk memperbaiki data pada Peta LSD yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1589/SKHK.02.01/XII/2021 tanggal 16 Desember 2021 tentang Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Panduan penyelesaian tersebut terdiri atas:

1. Jika dalam Peta LSD ditetapkan sebagai LSD namun kondisi di lapangan bukan berupa lahan sawah (antara lain: perbukitan, lahan tegalan, badan air, cagar budaya, lahan tanaman keras, dan tambak garam), maka dapat dikeluarkan dari LSD.

2. Jika LSD terdampak oleh perubahan batas daerah atau terdapat kesalahan delineasi batas daerah, maka tetap dipertahankan sebagai LSD dengan dilakukan perbaikan atau penyesuaian delineasi batas daerah sesuai dengan:

a. peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan daerah yang bersangkutan; dan

b. peta batas daerah yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri.

 

B.   Panduan Penyelesaian Lahan Sawah yang Dilindungi yang Sesuai dengan Kawasan/Zona Tanaman Pangan dalam Rencana Tata Ruang

Panduan penyelesaian LSD yang sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan LSD. Panduan penyelesaian tersebut terdiri atas:

1. Jika LSD sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR namun di atasnya terdapat bangunan dan/atau urukan yang dibuat setelah ditetapkannya LSD, maka:

a. tetap dipertahankan sebagai LSD; dan

b. pemilik bangunan dan/atau urukan dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

2. Jika LSD sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR namun kemudian di atasnya terbit KKPR, Izin, Konsesi, PTP, dan/atau Hak Atas Tanah nonpertanian setelah ditetapkannya LSD, maka tetap dipertahankan sebagai LSD.

3. Jika LSD sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR namun di atasnya telah terdapat bangunan dan/atau urukan yang tidak memiliki KKPR atau Izin sebelum ditetapkannya LSD, maka:

a. tetap dipertahankan sebagai LSD; dan

b. pemilik bangunan dan/atau urukan dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

4. Jika LSD sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR namun di atasnya terdapat Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN atau Jaringan Infrastruktur, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN atau Jaringan Infrastruktur tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD; dan

b. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

5. Jika LSD sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR namun di atasnya terdapat Hak Atas Tanah nonpertanian sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat Hak Atas Tanah nonpertanian tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD; dan

b. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

Kondisi sebagaimana disebutkan pada angka 1 dan angka 3 termasuk dalam kategori pelanggaran pemanfaatan ruang yang akan ditindaklanjuti dengan proses penertiban pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C.   Panduan Penyelesaian Lahan Sawah yang Dilindungi yang Tidak Sesuai dengan Kawasan/Zona Tanaman Pangan dalam Rencana Tata Ruang

Panduan penyelesaian LSD yang tidak sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR dimaksudkan untuk menyelesaikan keterlanjuran kondisi faktual di atas LSD. Panduan penyelesaian tersebut terdiri atas:

1. Jika LSD berada di sekitar Saluran Irigasi Premium dan/atau berada dalam jangkauan pelayanan Saluran Irigasi Premium, maka tetap dipertahankan sebagai LSD.

2. Jika LSD beririgasi teknis namun di atasnya telah terdapat bangunan dan/atau urukan sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat bangunan dan/atau urukan tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. tidak dilakukan perluasan bangunan dan/atau urukan pada lahan tersebut;

c. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan d. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

3. Jika LSD beririgasi teknis, luasnya ≤ 5.000 m2, dan keberadaannya terkurung bangunan pada 3 (tiga) sisi sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan c. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

4. Jika LSD beririgasi teknis namun di atasnya terdapat Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN atau Jaringan Infrastruktur, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN atau Jaringan Infrastruktur tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan c. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

5. Jika LSD beririgasi teknis namun di atasnya terdapat Kawasan Industri inisiatif Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Izinnya telah terbit sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat Kawasan Industri tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan c. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

6. Jika LSD beririgasi teknis namun di atasnya telah terbit KKPR, Izin, Konsesi, PTP, dan/atau Hak Atas Tanah nonpertanian sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang telah terbit KKPR, Izin, Konsesi, PTP, dan/atau Hak Atas Tanah nonpertanian tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan c. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

7. Jika LSD beririgasi teknis namun di atasnya telah terbit Hak Atas Tanah pertanian sebelum ditetapkannya LSD, maka tetap dipertahankan sebagai LSD.

8. Jika LSD beririgasi teknis namun lahannya telah dikuasai atau dimiliki secara sah oleh pelaku usaha sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang telah dikuasai atau dimiliki secara sah oleh pelaku usaha tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan c. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

9. Jika LSD beririgasi teknis namun di atasnya terdapat penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. dilakukan penerapan rekayasa teknis untuk menjaga fungsi Saluran Irigasi Teknis; dan

c. dikenakan kewajiban untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

10. Jika LSD tidak beririgasi teknis dan memiliki produktivitas ≥ 6 (enam) ton per hektar per panen namun di atasnya telah terdapat bangunan dan/atau urukan sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat bangunan dan/atau urukan tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. tidak dilakukan perluasan bangunan dan/atau urukan pada lahan tersebut; dan

c. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

11. Jika LSD tidak beririgasi teknis, luasnya ≤ 5.000 m2, dan terkurung bangunan pada 3 (tiga) sisi sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD.

12. Jika LSD tidak beririgasi teknis dan memiliki produktivitas ≥ 6 (enam) ton per hektar per panen namun di atasnya terdapat Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN atau Jaringan Infrastruktur, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN atau Jaringan Infrastruktur tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD; dan

b. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

13. Jika LSD tidak beririgasi teknis dan memiliki produktivitas ≥ 6 (enam) ton per hektar per panen namun di atasnya terdapat Kawasan Industri inisiatif Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Izinnya telah terbit sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat Kawasan Industri tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD; dan

b. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

14. Jika LSD tidak beririgasi teknis dan memiliki produktivitas ≥ 6 (enam) ton per hektar per panen namun di atasnya telah terbit KKPR, Izin, Konsesi, PTP, dan/atau Hak Atas Tanah nonpertanian sebelum ditetapkannya LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang telah terbit KKPR, Izin, Konsesi, PTP, dan/atau Hak Atas Tanah nonpertanian tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD; dan

b. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

15. Jika LSD tidak beririgasi teknis dan memiliki produktivitas ≥ 6 (enam) ton per hektar per panen namun di atasnya terdapat penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang terdapat penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD; dan

b. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

16. Jika LSD terdampak akibat kondisi alam (antara lain: intrusi air laut, abrasi, dan penurunan muka tanah) sehingga secara fungsional tidak dapat lagi dipertahankan sebagai LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD.

17. Jika LSD berada dalam rencana pengembangan wilayah yang diprioritaskan pembangunan atau perwujudannya dalam RTR, maka dapat dikeluarkan dari LSD dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilakukan delineasi terhadap lahan yang berada dalam rencana pengembangan wilayah yang diprioritaskan pembangunan atau perwujudannya dalam RTR tersebut dan mempertahankan lahan di luar delineasi sebagai LSD;

b. menetapkan rencana pengembangan wilayah dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun;

c. rencana pengembangan wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf b dilengkapi dengan surat pernyataan kesanggupan dari kepala daerah untuk mewujudkan rencana pengembangan wilayah, bukti komitmen investasi, nama investor, dan rencana pembangunan; dan

d. dikenakan kewajiban untuk menerapkan rekayasa teknis untuk menjaga kelestarian Ekosistem LSD.

18. Jika LSD berada dalam kawasan hutan, maka dapat dipertahankan sebagai LSD sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kehutanan.

Dalam hal LSD secara fungsional tidak dapat lagi dipertahankan sebagai LSD berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi dari Forum Penataan Ruang Daerah, maka dapat dikeluarkan dari LSD.

D.   Tata Cara Pelaksanaan Verifikasi dalam rangka Perubahan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi

Verifikasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (melalui perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang) dengan melibatkan Kantor Pertanahan, instansi terkait, dan Forum Penataan Ruang Daerah. Rincian tata cara pelaksanaan verifikasi dalam rangka perubahan Peta LSD dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Tata Cara Identifikasi

a. Identifikasi dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang.

b. Dalam pelaksanaan identifikasi, perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang dapat berkoordinasi dengan perangkat daerah/instansi terkait.

c. Dalam pelaksanaan identifikasi yang berkaitan dengan data pertanahan, perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan.

d. Identifikasi terdiri atas:

1) identifikasi KKPR, Izin, Konsesi, PTP, Penetapan Lokasi, dan/atau Hak Atas Tanah di atas LSD;

2) identifikasi alih fungsi LSD; dan

3) identifikasi kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR

e. Identifikasi bertujuan untuk mengetahui faktor yang dipertimbangkan sebagai pengurang atau penambah terhadap luasan LSD. f. Faktor pengurang luasan LSD, antara lain:

1) PTP yang diterbitkan sebelum ditetapkannya LSD;

2) Hak Atas Tanah nonpertanian yang diterbitkan sebelum ditetapkannya LSD;

3) KKPR yang diterbitkan sebelum ditetapkannya LSD;

4) Izin atau Konsesi yang diterbitkan sebelum ditetapkannya LSD;

5) bangunan dan/atau urukan yang telah ada sebelum ditetapkannya LSD;

6) luasan LSD ≤ 5.000 m2 dan keberadaannya terkurung bangunan pada 3 (tiga) sisi;

7) Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN;

8) pembangunan Jaringan Infrastruktur;

9) Kawasan Industri inisiatif Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Izinnya telah terbit sebelum ditetapkannya LSD;

10) penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam;

11) LSD secara fungsional tidak dapat lagi dipertahankan sebagai LSD berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi dari Forum Penataan Ruang Daerah;

12) rencana pengembangan wilayah yang diprioritaskan pembangunan atau perwujudannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; dan

13) kesalahan basis data Peta LSD.

g. Faktor penambah luasan LSD, antara lain:

1) lahan sawah dengan produktivitas ≥ 3 (tiga) ton per hektar per panen yang belum terdelineasi;

2) cetak sawah baru; dan

3) pembangunan jaringan/saluran irigasi baru.

h. Identifikasi dilakukan melalui:

1) pengumpulan data; dan

2) survei lapangan.

i. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan usulan perubahan Peta LSD, antara lain:

1) data Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT)/foto udara kabupaten/kota;

2) data spasial dan tekstual LSD kabupaten/kota;

3) data spasial dan tekstual RTR;

4) data spasial dan/atau tekstual kawasan hutan;

5) data spasial dan/atau tekstual KKPR, Izin, dan/atau Konsesi yang terbit di atas LSD;

6) data spasial dan/atau tekstual PTP yang terbit di atas LSD;

7) data spasial dan/atau tekstual Hak Atas Tanah yang terbit di atas LSD;

8) data spasial dan/atau tekstual Penetapan Lokasi PSN;

9) data spasial dan/atau tekstual Jaringan Infrastruktur;

10) data spasial dan/atau tekstual daerah irigasi;

11) data spasial dan/atau tekstual Saluran Irigasi Premium;

12) data spasial dan/atau tekstual Saluran Irigasi Teknis;

13) data spasial dan/atau tekstual produktivitas lahan sawah; dan

14) data pendukung lainnya yang diperlukan.

j. Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui kebenaran data yang telah dikumpulkan, kondisi fisik LSD aktual, dan pemanfaatan LSD aktual yang dapat dipertimbangkan sebagai faktor pengurang atau faktor penambah luasan LSD.

k. Survei lapangan dilaksanakan dengan melakukan pemantauan atau pemeriksaan lapangan (ground check survey). Dalam survei lapangan, dilakukan beberapa kegiatan, antara lain:

1) pengecekan lokasi dan luas LSD (baik yang sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR maupun yang tidak sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR);

2) pengecekan lokasi dan kondisi jaringan/saluran irigasi LSD;

3) pengecekan produktivitas LSD per hektar per panen;

4) pengecekan indeks pertanaman LSD;

5) pengecekan kondisi fisik LSD;

6) pengecekan lokasi PSN;

7) pengecekan lokasi Jaringan Infrastruktur;

8) pengecekan lokasi lahan sawah dengan produktivitas ≥ 3 (tiga) ton per hektar per panen yang belum terdelineasi (jika ada); dan/atau

9) pengecekan lokasi cetak sawah baru (jika ada).

2. Tata Cara Analisis Hasil Identifikasi

a. Analisis hasil identifikasi dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang.

b. Dalam pelaksanaan analisis hasil identifikasi, perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang dapat berkoordinasi dengan perangkat daerah/instansi terkait.

c. Dalam pelaksanaan analisis hasil identifikasi yang berkaitan dengan data pertanahan, perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan.

d. Analisis hasil identifikasi dilakukan dengan pengolahan data spasial dan tekstual berdasarkan hasil identifikasi.

e. Analisis hasil identifikasi dilakukan dengan:

1) Melakukan penapisan melalui proses tumpang susun (overlay) Peta LSD dengan peta RTR (baik yang dalam proses revisi teknis, persetujuan substansi, maupun yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah/peraturan kepala daerah) untuk menghasilkan:

a) LSD yang sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR; dan

b) LSD yang tidak sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR

2) Terhadap LSD yang tidak sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR, dilakukan analisis dan penapisan lebih lanjut terhadap:

a) pemenuhan kriteria LSD sebagai berikut:

(1) berada di sekitar Saluran Irigasi Premium dan/atau berada dalam jangkauan pelayanan Saluran Irigasi Premium;

(2) beririgasi teknis;

(3) memiliki produktivitas ≥ 6 (enam) ton per hektar per panen; dan

(4) indeks penanaman minimal 2 (dua);

b) faktor pengurang luasan LSD;

c) faktor penambah luasan LSD (jika ada); dan

d) dokumen pendukung.

3. Tata Cara Klarifikasi

a. Klarifikasi dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang dengan melibatkan Kantor Pertanahan, perangkat daerah/instansi terkait, dan Forum Penataan Ruang Daerah.

b. Klarifikasi dilakukan terhadap analisis hasil identifikasi.

c. Klarifikasi bertujuan untuk memperoleh data dan informasi terkini tentang LSD serta untuk menggali informasi dan masukan terkait LSD kepada pemangku kepentingan.

d. Klarifikasi dilaksanakan melalui Focus Group Discussion (FGD).

e. Klarifikasi menghasilkan kesepakatan berupa:

1) LSD yang akan dipertahankan;

2) LSD yang tidak akan dipertahankan; dan

3) LSD yang akan ditambahkan (jika ada).

f. Hasil klarifikasi dituangkan dalam bentuk berita acara.

 

 

Sumber: PETUNJUK TEKNIS PENYELESAIAN KETIDAKSESUAIAN LAHAN SAWAH YANG DILINDUNGI DENGAN RENCANA TATA RUANG, KESESUAIAN KEGIATAN PEMANFAATAN RUANG, IZIN, KONSESI, DAN/ATAU HAK ATAS TANAH Nomor : 5/Juknis-HK.02/VI/2022 Tanggal : 14 Juni 2022, KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Senin, 16 Oktober 2023

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA AKSI KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (RAK LLAJ)

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2077 dan Peraturan Presiden Nomor I Tahun 2022, maka perlu disusun dokumen RAK LLAJ di tingkat nasional dan daerah. Pada tingkat nasional disusun Dokumen RAK LLAJ Kementerian/Lembaga, sedangkan pada tingkat daerah disusun RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyusunan RAK LLAJ dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan di wilayahnya. Matriks RAK LLAJ Provinsi dapat menjadi acuan dalam penyusunan RAK LLAJ Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah kewenangannya masingmasing. Dalam penyusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota terdapat beberapa isu utama permasalahan di daerah, yakni koordinasi antar Pilar Keselamatan LLAJ, keserasian terhadap RUNK LLAJ dan RPJM Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota, komitmen daerah terhadap prioritas penyelenggaraan KLLAJ, peran bidang pendidikan terhadap keselamatan anak sekolah, konsep pendanaan dan kelembagaan. Pembagian kewenangan RAK LLAJ pada tingkat nasional dan daerah selaras dengan pembagian kewenangan yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

A.   PRINSIP

Penyusunan RAK LLAJ dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.     Program dan kegiatan berbasis sistem berkeselamatan dengan memahami batasan tubuh manusia terhadap benturan. Dalam mencapai sasaran dan target keberhasilan, program dan kegiatan dalam RAK LLAJ menggunakal strategi berbasis sistem berkeselamatan, yaitu yaitu penyelenggaraan LLAJ yang mengakomodasi kesalahan yang mungkin dilakukan oleh para pengguna jalan dan kerentanan tubuh manusia terhadap benturan, yang diarahkan untuk memastikan bahwa kecelakaan LLAJ tidak mengakibatkan korban meninggal dunia.

2.     Konsep Inklusif berbasis koordinasi 5 (lima) pilar. RAK LLAJ disusun menggunakan pendekatan 5 (lima) pilar KLLAJ yang meliputi: Sistem yang Berkeselamatan (Safer Sgstem), Jalan yang Berkeselamatan (Safer Roads), Kendaraan yang Berkeselamatan (Safer Vehicles), Pengguna Jalan yang Berkeselamatan (Safer People, dan Penanganan Korban Kecelakaan (Post Crash Responses).

3.     Program dan kegiatan berbasis keluaran yang terukur dan mampu mereduksi biaya sosial. Program dan kegiatan RAK LLAJ disusun menggunakan kerangka kerja keterkaitan antara keluaran (output\ dari kegiatan, hasil antara (intermediate outcomel dari program atau rencana aksi, serta hasil akhir (outcome) dari pi1ar. Hasil akhir dari RAK LLAJ adalah dapat menghasilkan keluaran yang terukur dan mampu mereduksi biaya sosial.

B. DOKUMEN YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEI'IYUSUNAN RAK LLAJ

B.1 RAK LLAJ Kementerian/Lembaga Penyusunan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga perlu mengacu pada beberapa dokumen terkait, antara lain:

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional;

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional; dan

3. RUNK LLAJ.

B.2 RAK LLAJ Provinsi Peny'usunan RAK LLAJ Provinsi perlu mengacu pada beberapa dokumen terkait, antara lain:

1. RUNKLLAJ;

2. RAK LLAJ Kementerian/Lembaga;

3. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi; dan

4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi. Apabila RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga belum ditetapkan maka Pemerintah Daerah Provinsi dapat menyusun dan menetapkan RAK LLAJ Provinsi tanpa harus menunggu penetapan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga.

B.3 RAK LLAJ Kabupaten/Kota Penyusunan RAK LLAJ Kabupaten/Kota perlu mengacu pada beberapa dokumen terkait, antara lain:

1. RUNK LLAJ;

2. RAK LLAJ Kementerian/Lembaga;

3. RAK LLAJ Provinsi;

4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota; dan

5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten/ Kota.

 

Apabila RAK LLAJ Provinsi belum ditetapkan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat menyusun dan menetapkan RAK LLAJ Kabupaten/Kota tanpa harus menunggu penetapan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga maupun RAK LLAJ Provinsi.

 

C. PENGORGANISASIAN RAK LLAJ

C.1 Pengorganisasian

Organisasi yang menyusun RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga terdiri atas Tim Koordinasi, sedangkan organisasi yang menyusun RAK LLAJ Provinsi/ Kabupaten/ Kota terdiri atas Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pilar dengan susunan sebagai berikut: 1. Organisasi Penyusun RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga Tim Koordinasi RAK LLAJ Kementerian/Lembaga terdiri atas:

l  Ketua : Eselon I Kementerian lLembaga terkait KLLAJ.

l  Sekretaris : Eselon II Kementerian/ Lembaga terkait KLLAJ '

l  Anggota : Eselon II Kementerian/Lembaga terkait KLLAJ dan dapat melibatkan pelaku usaha, swasta, serta akademisi.

2. Organisasi Penyusun RAK LLAJ Provinsi

Tim Koordinasi RAK LLAJ Provinsi terdiri atas:

Ketua : Sekretaris Daerah Provinsi. .

Sekretaris : Kepala Dinas/Badan yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

Anggota : Kepala OPD terkait Keselamatan LLAJ dan dapat melibatkan pelaku usaha, swasta, serta akademisi.

Kelompok Kerja Pilar KLLAJ Provinsi terdiri atas:

a.     Pokja Pilar 1 (satu) Sistem yang Berkeselamatan

Ketua : Kepala OPD bidang perencanaan pembangunan daerah provinsi

Anggota : OPD terkait Sistem yang Berkeselamatan

b.     Pokja Pilar 2 (dua) Jalan yang Berkeselamatan

Ketua : Kepala OPD bidang jalan daerah provinsi

Anggota : OPD terkait Jalan yang Berkeselamatan

c.     Pokja Pilar 3 (tiga) Kendaraan yang Berkeselamatan

Ketua : Kepala OPD bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan daerah provinsi

Anggota : OPD terkait Kendaraan yang Berkeselamatan

d.     Pokja Pilar 4 (empat) Pengguna Jalan yang Berkeselamatan

Ketua : Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah

Anggota : OPD terkait Pengguna Jalan yang Berkeselamatan

e.     Pokja Pilar 5 (lima) Penanganan Korban Kecelakaan

Ketua : Kepala OPD bidang kesehatan daerah provinsi

Anggota : OPD terkait Penanganan Korban Kecelakaan Keterangan: Susunan ketua dan anggota Pokja Pilar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi wilayah kewenangan masing-masing.

4.     Organisasi Penyr:sun RAK LLAJ Kabupaten/Kota

Tim Koordinasi RAK LLAJ Kabupaten/Kota terdiri atas:

Ketua : Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota.

Sekretaris : Kepaia Dinas/Badan yang menyeienggarakan urllsan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

Anggota : Kepala OPD terkait Keselamatan LLAJ dan dapat melibatkan peiaku usaha, swasta, serta akademisi. Kelompok Kerja Pilar KLLAJ Kabupaten/Kota terdiri atas:

a.     Pokja Pilar 1 (satu) Sistem yang Berkeselamatan .

Ketua : Kepala OPD bidang perencanaan pembangunan daerah kabupaten/ kota

Anggota: oPD terkait Sistem yang Berkeselamatan

b.     Pokja Pilar 2 (dua) Jaian yang Berkeselamatan

Ketua : Kepala OPD bidang jalan daerah kabupaten/kota

Anggota : OPD terkait Jalan yang Berkeselamatan

c.     Pokja Pilar 3 (tiga) Kendaraan yang Berkeselamatan

Ketua : Kepala OPD bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan daerah kabupaten/kota

Anggota: OPD terkait Kendaraan yang Berkeselamatan

d.     Pokja Pilar 4 (empat) Pengguna Jalan yang Berkeselamatan

Ketua : Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor/ Resorta/ Resortabes

Anggota: OPD terkait Pengguna Jalan yang Berkeselamatan

e.     Pokja Pilar 5 (lima) Penanganan Korban Kecelakaan

Ketua : Kepala OPD bidang kesehatan daerahkabupaten/ kota

Anggota: OPD terkait Penanganan Korban Kecelakaan

Keterangan: Susunan ketua dan anggota Pokja Pilar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi wilayah kewenangan masing-masing.

C.2 Uraian Tugas

1. Koordinasi RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga, bertugas:

melaksanakan penlusunan Peraturan Menteri/ Kepala Lembaga tentang RAK LLAJ Kementerian/Lembaga untuk ditetapkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga; melaksanakan penyusunan, pelaksanaan dan pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga; melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan Penanggung Jawab Pilar dalam pen5rusunan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga; melaksanakan koordinasi dengan seluruh Kementerian/Lembaga terkait dan pihak pendukung dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian kegiatan KLLAJ; sebagai pemrakarsa pada Forum LLAJ dalam peiaksanaan dan pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga; menyampaikan laporan pelaksanaan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga kepada Penanggung Jawab Pilar; menyampaikan Peraturan Menteri tentang RAK LLAJ Kementerian/Lembaga kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas; dan memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota mengenai substansi penyusunan RAK LLAJ Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

2. Koordinasi RAK LLAJ Provinsi, bertugas:

melaksanakan pen)rusunan Peraturan Gubernur tentang RAK LLAJ Provinsi untuk ditetapkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan RAK LLAJ Provinsi; mengintegrasikan rancangan RAK LLAJ Provinsi dari setiap Pokja Pilar; mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan RAK LLAJ Provinsi; melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan Penanggung Jawab Pilar dan Kementerian Dalam Negeri dalam penyusunan RAK LLAJ Provinsi; melaksanakan koordinasi dengan seluruh OPD terkait dan pihak pendukung dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian kegiatan KLLAJ; sebagai pemrakarsa pada Forum LLAJ Provinsi dalam pelaksanaan dan pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan RAK LLAJ Provinsi; menyampaikan laporan pelaksanaan RAK LLAJ Provinsi kepada Penanggung Jawab Pilar; menyampaikan Peraturan Gubernur tentang RAK LLAJ Provinsi kepada Penanggung Jawab Pilar; Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengenai substansi pen)rusunan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota; dan Melakukan sosialisasi RAK LLAJ Provinsi kepada seluruh pemangku kepentingan.

3. Tim Koordinasi RAK LLAJ Kabupaten/ Kota, bertugas:

melaksanakan penlrusunan Peraturan Bupati/Walikota tentang RAK LLAJ Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota; mengintegrasikan rancangan RAK LLAJ Kabupaten/Kota dari setiap Pokja Pilar; mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan RAK LLAJ Kabupaten/Kota; melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan Penanggung Jawab Pilar dan Kementerian Dalam Negeri dalam pen5rusunan RAK LLAJ Kabupaten/Kota; melaksanakan koordinasi dengan seluruh OPD terkait dan pihak pendukung dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian kegiatan KLLAJ; sebagai pemrakarsa pada Forum LLAJ Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan dan pengendaiian, serta evaluasi dan pelaporan RAK LLAJ Kabupaten/Kota; menyampaikan laporan pelaksanaan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota kepada Penanggung Jawab Pilar; menyampaikan Peraturan Bupati/Walikota tentang RAK LLAJ Kabupaten/Kota kepada Penanggung Jawab Pilar; dan melakukan sosialisasi RAK LLAJ Kabupaten/Kota kepada seluruh pemangku kepentingan.

4. Pokja Pilar KLLAJ, bertugas:

a. bertanggung jawab terhadap kegiatan pen1rusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota sesuai dengan bidang tugasnya;

b. membuat j adwal dan rencana kerja kegiatan Pokja Pilar sesuai dengan bidang tugasnya;

c. mengadakan rapat teknis sesuai dengan j adwal dan keperluan seiama peny'usunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota;

d. mengidentifikasi perkembangan lingkungan strategis terkait KLLAJ dan upaya-upaya KLLAJ yang telah dilakukan dalam rangka penJrusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota;

e. merumuskan ruang lingkup dan sasaran RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota sesuai dengan bidang tugasnya;

f. menganalisis data dan informasi yang telah dikumpulkan untuk pen)'Lrsunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota sesuai dengan bidang tugasnya;

g. menyampaikan hasii analisis kondisi, sasaran Pokja Pilar serta program dan kegiatan kepada Tim Koordinasi RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota untuk integrasikan dengan hasil Pokja Pilar lainnYa; dan

h. melakukan sosialisasi RAK LLAJ Provrnsr Kabupaten/Kota dengan Tim Koordinasi pemangku kepentingan.

D. TAHAPAN PEMUSUNAN RAK LLAJ

D.1. RAK LLAJ Kementerian/Lembaga

Penyusunan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut: Penyrsunan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga dilakukan melalui Langkah-langkah sebagai berikut:

a.     Langkah 1

Membentuk dan menetapkan Tim Koordinasi RAK LLAJ Kementerian/Lembaga. Susunan keanggotaan dan uraian tugas Tim Koordinasi secara terperinci disampaikan pada BAB II huruf C.

b.     Langkah 2

Melaksanakan koordinasi dan konsolidasi untuk membahas langkahlangkah persiapan pen)'Llsunan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga, pembahasan terkait rencana waktu dan muatan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga.

c.     Langkah 3 Menyusun rancangan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga dengan tahapan teknis:

1) Menganalisis kondisi perkembangan saat ini terkait situasi keselamatan LLAJ berdasarkan prinsip-prinsip KLLAJ dan indikator yang menjadi sasaran dan fokus capaian yang diamanatkan oleh PBB, SDGs, Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2017 , dan Peraturan Presiden Nomor 1 tai;run 2022. Disamping ha1 tersebut, perlu juga dilakukan analisis dan identifikasi terhadap kegiatan masing-masing Kementerian/ Lembaga dalam mendukung pelaksanaan kegiatan KLLAJ untuk setiap pi1ar. Beberapa contoh kegiatan dalam mendukung program setiap pilar, antara lain:

a) Bappenas: pelaksanaan kampanye KLLAJ, konsolidasi data dan koordinasi dalam penanganan daerah rawan kecelakaan, dan perumusan konsepsi serta skema pendanaan dalam pelaksanaan program KLLAJ;

b) Kementerian PUPR: pendampingan dan bimbingan teknis penlrusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, dan support data dalam pelaksanaan dan koordinasi penanganan perlintasan sebidang;

c) Kementerian Perhubungan: pendampingan dan bimbingan teknis penyusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, pelaksanaan kampanye KLLAJ, pengembangan dan integrasi data KLLAJ, pelaksanaan pemenuhan persyaratan perlengkapan ja1an, dan koordinasi penanganan daerah rawan kecelakaan;

d) POLRI: pendampingan dan bimbingan teknis peny,usunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, pengembangan dan integrasi data KLLAJ, koordinasi penanganan daerah rawan kecelakaan, dan penyelenggaraan dalam penerapan batas kecepatan kendaraan;

e) Kementerian Kesehatan: pendampingan dan bimbingan teknis pen)rusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, koordinasi penyelenggaraan pemeriksaan kondisi pengemudi, dan pengembangan sistem data kecederaan korban kecelakaan;

f) Kementerian Perindustrian: pendampingan dan bimbingan teknis pen1rusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, penyelenggaraan prosedur uji tipe, dan peningkatan instrumen dan fitur keselamatan pada kendaraan;

g) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: pendampingan dan bimbingan teknis peny,usunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, konsolidasi pengembangan kurikulum dan materi pendidikan berlalu lintas, dan kampanye KLLAJ di fasilitas pendidikan.

2) Merumuskan permasalahan dan tantangan dalam pelaksanaan program keselamatan LLAJ;

3) Merumuskan dan menetapkan sasaran Kementerian/Lembaga, arah kebijakan strategis, kebutuhan regulasi, dan tatanan kelembagaan yang diperiukan;

4) Mengidentifikasi dan menetapkan rencana aksi, tahapan, indikator, dan target kinerja yang akan digunakan untuk kebutuhan alat ukur pencapaian keberhasilan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga;

5) Mengidentifikasi dan menetapkan rencana pendanaan yang meliputi mekanisme pendanaan, sumber pendanaan, dan indikasi alokasi pendanaan dalam penyelenggaraan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga; dan

6) Menentukan mekanisme pelaksanaan dan pengendalian serta evaluasi dan peiaporan untuk mengukur tingkat capaian dan keberhasilan penyelenggaraan RAK LLAJ Kementerian/ Lembaga di lingkungan masing-masing yang disusun setiap 3 (tiga) bulan serta laporan evaluasi setiap tahun yang diperlukan untuk pelaporan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga ke Penanggung Jawab Pi1ar.

d. Langkah 4

Melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan Penanggung Jawab Pilar melalui Forum LLAJ, dan akan disampaikan hasil penlrusunan awal rancangan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga.

e. Langkah 5

Melaksanakan pembahasan penyempurnaan dan finalisasi rancangan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga oleh Tim Koordinasi dalam rangka mengakomodir masukan hasii konsultasi dengan Penanggung Jawab Pilar melalui Forum LLAJ.

f. Langkah 6

Menetapkan RAK LLAJ Kementerian/Lembaga dalam bentuk Peraturan Menteri/ Kepala Lembaga. -i

D.2 RAK LLAJ Provinsi/Kabupaten/Kota

Penyusunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a.     Langkah I

Membentuk dan menetapkan Tim Koordinasi RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota dan Kelompok Kerja Pilar yang didasarkan atas:

1) SK Sekretaris Daerah Provinsi untuk Pemerintah Daerah Provinsi; dan

2) SK Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 3) Tim Koordinasi RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota dan Kelompok Kerja Pilar dapat menggunakan Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pilar yang sudah ada atau membentuk Tim Koordinasi yang baru. Susunan keanggotaan serta uraian tugas Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pilar secara terperinci disampaikan pada BAB II huruf C.

b.     Langkah 2 Melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk membahas langkahlangkah persiapan peny'usunan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota, pembahasan terkait rencana waktu dan muatan RAK LLAJ Provinsi serta RAK LLAJ Kabupaten/Kota.

c.     Langkah 3

Masing-masing Kelompok Kerja Pilar yaitu Kelompok Kerja Pilar 1 (Sistem yang Berkeselamatan), Kelompok Kerja Pilar 2 (Jalan yang Berkeselamatan), Kelompok Kerja Pilar 3 (Kendaraan yang Berkeselamatan), Kelompok Kerja Pilar 4 (Pengguna Jalan yang Berkeselamatan), dan Kelompok Kerja Pilar 5 (Penanganan Korban Kecelakaan) berkontribusi dalam penyusunan rancangan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi, dengan tahapan teknis:

1) Menganalisis kondisi perkembangan saat ini terkait situasi Keselamatan LLAJ, antara lain:

a) kelembagaan, ketersediaan regulasi KLLAJ, kemitraan, dan pendanaan;

b) jumlah daerah rawan kecelakaan, infrastruktur jalan daerah yang berkeselamatan, dan kelaikan jalan daerah;

c) penyelenggaraan uji kelaikan kendaraan, kepatuhan terhadap kewajiban uji berkala, penindakan kendaraan angkutan barang yang bermuatan berlebih, peralatan uji kendaraan, sumber daya manusia yang berkompeten, dan tata kelola pengujian;

d) tingkat kepatuhan dan kesadaran masyarakat, penurunan jumlah pelanggaran LLAJ di daerah, jumlah kepemilikan SIM di daerah, ketersediaan pendidikan berlalu iintas, dan pelaksanaan sosialisasi KLLAJ;

e) ketersediaat Public Safety Center di Provinsi/Kabupaten/Kota, kecepatan waktu tanggap terhadap kecelakaan, peningkatan peran masyarakat terlatih dalam Penanganan Pertama Gawat Darurat (PPGD).

2) Merumuskan permasalahan dan tantangan dalam pelaksanaan program keselamatan LLAJ di masing-masing Provinsi dan Kabupaten/ Kota;

3) Merumuskan dan menetapkan sasaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, arah kebijakan strategis, kebutuhan regulasi, dan tatanan kelembagaan yang diperlukan;

4) Mengidentifikasi dan menetapkan rencana aksi, tahapan, indikator, dan target kinerja yang akan digunakan untuk kebutuhan alat ukur pencapaian keberhasilan RAK LLAJ Provinsi/ Kabupaten/ Kota oleh setiap Kelompok Kerja Pilar (Pokja Pilar);

5) Mengidentifikasi dan menetapkan rencana pendanaan yang meliputi mekanisme pendanaan, sumber pendanaan, dan indikasi alokasi pendanaan dalam penyelenggaraan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota; dan

6) Menentukan mekanisme pelaksanaan dan pengendalian serta evaluasi dan pelaporan untuk mengukur tingkat capaian dan keberhasilan penyelenggaraan RAK LLAJ Provinsi serta RAK LLAJ Kabupaten/Kota di wilayah masing-masing yang disusun setiap 3 (tiga) bulan serta laporan evaluasi setiap tahun yang diperlukan untuk pelaporan RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota ke Penanggung Jawab Pilar.

d. Langkah 4

Melakukan koordinasi dan konsultasi dengan:

1) Penanggung Jawab Pilar dan Kementerian Dalam Negeri melalui Forum LLAJ Provinsi untuk penyampaian rancangan RAK LLAJ Provinsi; dan

2) Penanggung Jawab Pilar dan Kementerian Dalam Negeri melalui Forum LLAJ Kabupaten/Kota untuk penyampaian rancangan RAK LLAJ Kabupaten/Kota.

e. Langkah 5

Melaksanakan pembahasan penyempurnaan dan finalisasi rancangan RAK LLAJ Provinsi serta RAK LLAJ Kabupaten/Kota oleh Tim Koordinasi dalam rangka mengakomodir masukan hasil konsultasi dengan Penanggung Jawab Pilar dan Kementerian Dalam Negeri meialui Forum LLAJ Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

f. Langkah 6 Menetapkan RAK LLAJ Provinsi/ Kabupaten/ Kota dalam bentuk: 1) Peraturan Gubernur untuk RAK LLAJ Provinsi; dan 2) Peraturan Bupati/Walikota untuk RAK LLAJ Kabupaten/Kota.

g. Langkah7 Melaksanakan sosialisasi RAK LLAJ Provinsi dan RAK LLAJ Kabupaten/ Kota kepada seluruh pemangku kepentingan.