Kamis, 20 Oktober 2022

KOTA BERKELANJUTAN: PARADIGMA MASA KINI

Fenomena demografis global menunjukkan fakta bahwa lebih dari separuh penduduk dunia berada di kawasan perkotaan pada awal dekade kedua abad ke-21. Fenomena ini memerlukan perhatian kita bersama. Kawasan perkotaan yang semakin berkembang menuntut kebutuhan prasarana dan sarana yang semakin berkualitas. Perkembangan kawasan perkotaan tersebut berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun perkembangan tersebut juga menimbulkan implikasi pada meningkatnya tuntutan terhadap ruang perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Sebagai respon atas perkembangan kota yang semakin kompleks tersebut, maka menjadi keniscayaan bahwa perencanaan kota secara konvensional harus diubah menjadi perencanaan kota yang progresif dan implementatif. Progresif berani tanggap terhadap perkembangan kota yang berjalan cepat dan juga terhadap isu perubahan iklim.

Caranya adalah mengadopsi prinsip pengembangan perkotaan berkelanjutan (sustainable urban development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendarang untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan mereka. Prinsip ini menyelaraskan 3 (tiga) aspek yaitu ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan, dengan fondasi urban governance. Sedangkan implementatif berarti mampu mentransformasi teori menjadi praktis nyata yang sistematis.

Pembangunan perkotaan berkelanjutan perlu diawali dengan perencanaan tata ruang yang harus selesai pada semua level, yaitu nasional, regional dan lokal. Syarat ini memastikan bahwa pendekatan komprehensif sudah dilakukan, rermasuk pada kawasan perkotaan.

Kota yang berkelanjutan perlu menjadi prioriras pada pembangunan saat ini. Mengapa? Karena akan membantu pengambilan kebijakan pada penyediaan kebutuhan pelayanan, mengurangi biaya pembangunan infrastrukrur akibar pelayanan rerhadap penduduk lebih terkonsentrasi, serta meningkatkan kerjasama pemerintah dengan pihak swasta.

Pada level nasional, instrumen yang harus dikembangkan adalah Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN) serta Sistem Perkotaan Nasional dalam RTRWN. Instrumen ini untuk mewujudkan pemerataan pembangunan wilayah. Selain itu instrumen tersebut akan memandu pemerintah daerah dalam memanfaatkan urbanisasi sebagai potensi pembangunan perkotaan, khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang.

Sementara itu, pada level regional dan lokal, pemerintah daerah sangat berperan penting dan besar pada implemenrasi pembangunan perkotaan secara efekrif dan efisien sesuai dengan karakrerisrik dan isu-isu lokal. Ini karena merekalah yang sangat dekat dengan masyarakat secara langsung.

Dalam konsep pengembangan perkotaan yang berkelanjutan, kita perlu memahami bahwa keberlanjutan bukanlah tujuan akhir pengembangan perkotaan. Keberlanjutan adalah proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk mewujudkan kualitas ruang perkotaan yang mampu menyejahterakan warga masyarakatnya.

Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong perubahan paradigma pengembangan perkotaan yang visioner, tanggap terhadap bencana dan perubahan iklim, mampu menggali kearifan lokal, serta didukung oleh kapasitas kelembagaan dan tata kelola yang baik, SUD Forum Indonesia (SUD-FI) menyuguhkan pemikiran dan gagasan yang ditulis oleh para anggotanya yang tertuang dalam 4 (empat) kluster yaitu Planet, People, Prosperity, dan Governance.

Keempat kluster ini adalah ejawantah 3 (tiga) aspek pembangunan berkelanjutan (lingkungan, sosial, ekonomi) serta dibina melalui tata kelola yang baik. Keempat kluster tersebut mengakomodasi berbagai isu pengembangan perkotaan berkelanjutan yang saat ini tengah menjadi fokus berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

CLUSTER PLANET: LINGKUNGAN BAGI KOTA BERKELANJUTAN

Pada kluster pertama, Planet, gagasan rerkait penjagaan kualitas lingkungan menjadi sangat penting. Pengembangan kota yang tanggap rerhadap bencana dan perubahan iklim adalah tantangan yang memerlukan upaya yang tak sedikit. Seperti kita ketahui, posisi Indonesia di kawasan pertemuan 3 (tiga) lempeng dunia ini mengakibatkan rawan bencana geologi (antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan gerakan tanah).

Di sisi lain, kondisi alam Indonesia saat ini mengalami degradasi fisik dan habitat akibat kelalaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran huran, intrusi air laur, dan kekeringan. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global pun turut mengakibatkan degradasi kualitas dan fungsi lingkungan perkotaan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kota-kota di Indonesia umumnya, terutama yang berada di wilayah pesisir, menjadi sangat rentan terhadap bencana dan perubahan iklim.

Berdasarkan tantangan tersebur, tentunya menjadi keharusan mengembangkan perkotaan dengan konsep yang tak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata. Perhatian terhadap aspek lingkungan menjadi sangat penting. Karena itu muncullah prakarsa kota lestari, kota hijau, dan revitalisasi kota tepi air yang saat ini tengah digalakkan.

Selain itu, telah ditegaskan komitmen bersama prakarsa kota lestari oleh sekitar 491 pemerintah kota dan kabupaten untuk bekerja sama mewujudkan kota-kota berkelanjutan di wilayah masing-masing. Semua prakarsa dan komitmen tersebut adalah langkah awal menuju implementasi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

Sementara itu pengembangan kota hijau di beberapa kota di Indonesia, antara lain melalui perwujudan tiga puluh persen ruang rerbuka hijau (RTH) sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga menjadi salah satu upaya serius. Tentu saja implementasi kota hijau tidak hanya dicapai melalui pemenuhan RTH, namun juga menjangkau berbagai aspek lain seperti infrastruktur hijau/biru, transportasi ramah lingkungan, pejalan kaki dan pesepeda, dan peran komunitas perkotaan.

Konsep kota hijau (green city) yang tengah diadaptasi dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) oleh Kementerian Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Jenderal Penataan Ruang adalah sebuah konsep pengembangan perkotaan berkelanjutan yang mengadopsi prinsip perencanaan kota yang progresif dan implementatif.

Kota hijau adalah terobosan baru dalam pembangunan kota yang memfokuskan pencapaian sasaran ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan secara terintegrasi. Kota hijau tercermin dalam bemuk kota yang ramah lingkungan, dihuni oleh orang-orang dengan kesadaran menghemat energi, air, dan makanan, serta mengurangi buangan limbah, pencemaran udara, dan pencemaran air.

Umuk mewujudkannya, setiap kota diharapkan menerapkan standar lingkungan kota hijau sesuai dengan 8 (delapan) atribut kota hijau yang meliputi green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, dan green community. Kedelapan atribut tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun menjadi sebuah sistem yang memiliki ketergantungan dan mempengaruhi satu sama lain.




CLUSTER PEOPLE: POTENSI MASYARAKAT KOTA BERKELANJUTAN

Selain aspek lingkungan, keberadaan masyarakat sebagai pengisi Bumi adalah elemen penting untuk mendongkrak pencapaian pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sebagaimana yang diuraikan dalam kluster kedua tentang People. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku, dan ras. Lebih dari 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai, dan budaya yang berbeda-beda (Asian Brain, 201 0). Dengan potensi tersebut, maka kearifan lokal yang ada perlu dilestarikan, dijaga kesinambungannya, dan menjadi pijakan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan berkelanjutan.

Kearifan lokal dipandang sebagai identitas kota berkelanjutan, karena dibentuk dalam wakru yang lama melalui proses sejarah yang panjang. Kearifan tersebut termanifesrasi dalam benruk kelembagaan, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).

Salah satu upaya Kemenrerian Pekerjaan Umum c.q. Direkrorar Jenderal Penataan Ruang mengadaptasi kearifan lokal ke dalam identitas kota adalah Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). Dengan adanya komitmen pemerintah kota dan kabupaten dalam menyusun kebijakan pelestarian berbagai pusaka alam dan budaya di wilayahnya sebagaimana yang digagas dalam kegiatan P3KP, diharapkan lingkungan fisik kota dapat ditata dengan unsur kehidupan budaya.

Persoalan kota lain yang dihadapi masyarakat adalah kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak sebagai tempat tinggal. Saat ini masyarakat dihadapkan pada persoalan terbatasnya lahan, yang berimplikasi pada meningkatnya backlog perumahan setiap tahunnya.

Persoalan ini diperkeruh dengan persoalan pembiayaan perumahan itu sendiri. Terlebih lagi, kebijakan penyediaan perumahan khususnya, di kawasan perkotaan, belum sepenuhnya berpihak bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, diperlukan terobosan efektif untuk mengatasinya, antara lain melalui pembangunan kampung susun, rumah sederhana, hingga rumah apung. Dengan demikian tingginya kebutuhan perumahan tersebut tak akan mengabaikan kendala lingkungan dan berprinsip pada pemanfaaran lahan yang terkonsentrasi dan intensitas tinggi (compact city).

CLUSTER PROSPERITY: POTENSI EKONOMI KOTA BERKELANJUTAN

Selain unsur lingkungan dan sosial, unsur ekonomi juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam mewujudkan kota berkelanjutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kluster ketiga, Prosperity, dengan memandang urbanisasi sebagai berkah bagi pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, pengembangan ekonomi lokal, termasuk kontribusi sektor informal, menjadi salah satu upaya untuk menggerakkan roda perekonomian kota. Tanpa kita sadari, kontribusi sektor informal terhadap pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, sehingga ruang sektor informal perlu dipertimbangkan dalam mengelola kota.

Di samping itu, upaya membangun citizenship dalam pengelolaan kota dipandang penting karena melalui upaya ini maka kesadaran warga kota atas peran, hak, dan kewajibannya dalam suatu komunitas kota akan terbangun. P2KH adalah program yang diinisiasi Pemerintah untuk meningkatkan urban citizenship. Dari program tersebur diharapkan terbentuk kesadaran bersama di antara warga masyarakat untuk mewujudkan kota ya ng berkelanjutan dengan mengotimalkan potensi lokal sebagai modal sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan terbentuknya kesadaran warga, maka pengelolaan kota menjadi lebih efektif dan efisien yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kota.

Aspek lain yang terkait dengan kluster ini adalah upaya mewujudkan transportasi berkelanjutan sebagai pendorong aktivitas perekonomian kota. Selain itu transportasi berkelanjutan diharapkan mewujudkan kota yang ramah pejalan kaki (walkable city), hemat energi dan rendah carbon (low carbon city), serta berorentasi pada transit.

Umuk menangani masalah transportasi yang demikian kompleks, diperlukan terobosan-terobosan yang mampu mengatasi permasalahan sampai pada akarnya, tidak hanya permasalahan yang tampak di depan mata. Sebagai contoh, upaya penanganan masalah kemacetan di Jakarta seyogyanya tidak dilakukan dengan cara-cara yang instan seperri pembangunan jalan baru, jalan layang, bahkan pengembangan jaringan jalan tol dalam kota. Namun perlu dipikirkan upaya yang menyentuh akar permasalahan mengapa kemacetan tersebut terjadi. Berbagai upaya untuk mengatasi kemacetan tersebut telah dan sedang dilakukan, baik di level makro maupun mikro.

Di level makro, dilakukan pengendalian pembangunan kota-kota baru di sekitar Jakarta yang akan menambah beban transportasi bagi Jakarta. Sedangkan di level mikro mikro, dilaksanakan perbaikan kerusakan jalan, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan layang pada persimpangan jalan yang padat maupun perlintasan jalan dengan rel kerera api.

CLUSTER GOVERNANCE: TATA KELOLA YANG BAlK DEMI PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN

Dari aspek tata kelola kota yang dihimpun dalam kluster keempat, Governance, telah menjadi suatu keharusan bagi seluruh pihak termasuk pemerintah dan masyarakat untuk memiliki komitmen mengelola kota yang visioner. Pengelolaan kota harus diarahkan pada suatu pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang. Partisipasi seluruh stakeholder secara inklusif dalam pengelolaan kota sangat diperlukan dalam rangka membangun kesepahaman bersama tentang cara mewujudkan kota yang nyaman untuk ditinggali para warganya.

Good governance (tata kelola yang baik) berprinsip pada partisipatori, akunrabilitas, efektivitas, pemerataan dan mendorong kekuatan hukum yang didasarkan pada broad commitment rerhadap masyarakat dan masyarakat miskin (pro-poor) dalam pengambilan kepurusan kebijakan publik. Penetapan good governance pada tingkat lokal, khususnya pemerintah kota/kabupaten akan mendorong kota berkelanjutan melalui berbagai kebijakan yang lebih pro-poor dan pro-public.

Sebagai contoh, Kota Solo dengan city branding sebagai kota budaya serta didukung oleh visi dan misi yang berpihak pada kaum marjinal telah membawa kota tersebut menjadi kota yang sangat didambakan warganya. Tentunya keberhasilan Solo tersebut tidak terlepas dari tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel dengan mengedepankan paradigma pro-poor

Dengan uraian dari keempat kluster rersebur, sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa kota berkelanjutan sebagai paradigma pembangunaan saat ini dapat dicapai apabila dilakukan atas dasar komitmen bersama dan dilakukan dengan melibarkan partisipasi semua pihak secara bersama-sama. Hal yang penting lainnya adalah bahwa rencana tata ruang sebagai tools pengelolaan dan pengembangan kota perlu dijadikan sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan.

Dalam menyikapi tujuan keberlanjutan, maka efektivitas upayanya ditentukan oleh keberadaan 2 (dua) hal yang fundamental, yaitu protection entry dan development entry. Protection entry berprinsip bahwa aspek perlindungan lingkungan harus didahulukan agar telapak ekologis tidak semakin besar serta berpeluang untuk mendorong economic development dan social development.

Penerapan pada prinsip proteksi dalam perencanaan menjadi penting untuk menetapkan ruang-ruang perkotaan mana saja yang harus dilindungi serta menerapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Sementara itu dalam development entry pengembangan perkotaan harus berprinsip pada pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisein. Hal yang dapat dilakukan di sini salah satunya adalah penerapan intensifikasi dan konsentrasi ruang dan kegiatan seperti konsep compact city termasuk di dalamnya transit oriented development (TOD), ramah pejalan kaki, serta membatasi perkembangan kota secara horisontal sehingga tidak akan menggerus perdesaan.

Dengan demikian, pembangunan perkotaan berkelanjutan juga berprinsip bahwa wilayah perdesaan sebagai sumberdaya alam bagi kawasan perkotaan (rural-urban Linkage) juga harus dipertahankan (pro-rural) agar terjadi keseimbangan antara perkotaan dan perdesaan.

Untuk mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan, maka upaya-upaya yang dilakukan secara konkrit adalah yang berpihak pada pelestarian lingkungan yang didorong oleh peran Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui program-program yang nyata dan kreatif serta berbasis penataan ruang.

Berbagai upaya tersebut dapat tercermin di dalam berbagai konsep tematik kota berkelanjutan seperti competitive city, creative city, resilient city, heritage city, inclusive city, active city, techno city, smart city, productive city, safe and health city dan sebagainya yang sedikit-banyak dijawab dengan kota hijau (green city) secara keseluruhan.

Dengan menggunakan berbagai prinsip pembangunan perkotaan berkelanjutan di atas, diharapkan ke depan kota-kota di Indonesia yang lebih layak huni, berjati diri, produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan secara sistematis

 

 

 

Sumber: Oleh Ruchyat Deni Djakapermana, dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.

 

Tidak ada komentar: