ARTI PENGELOLAAN PERKOTAAN
Dalam dunia ilmiah, kesepakatan mengenai definisi
"pengelolaan kota/perkotaan" (Urban Management (UM) sulit dicapai.
Akan tetapi secara prinsipil, pengelolaan perkotaan hampir selalu digambarkan
berfokus pada pendekatan manajemen interdisiplin lintas bidang pengetahuan
profesional konvensional.
Pada umumnya UM dipelajari untuk menyiapkan
pengetahuan yang tidak terlihat (insight) ke dalam solusi-solusi berorientasi
praktis yang dapat diterapkan dalam tataran akrivitas pengelolaan kota
sehari-hari. Dalam UM biasanya bergabung berbagai pengalaman yang pernah
diperoleh berbagai pemerintah daerah , LSM, sekror bisnis/swasta,
dan juga konsep-konsep yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi pembangunan
internasional seperti World Bank, UNDP, dan lain-lain.
RAGAM DEFINISI PENGELOLAAN PERKOTAAN
Beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa bahwa
pengelolaan perkotaan itu tidak bisa didefinisikan," Urban management is
an elusive concept, which escapes definition." (Stren, 1993; Mattingly,
1994). Akan tetapi beberapa ahli lain berusaha membuat definisi dengan merinci
cakupan dari UM itu sendiri. Clarke (1991) mendefinisikan pengelolaan perkotaan termasuk mengelola sumberdaya ekonomi perkotaan, rerutama lahan dan aset lingkungan buatan , menciptakan lapangan kerja, dan menarik investasi untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang tersedia.
Pakar lain menyatakan bahwa UM mengacu pada struktur
politik dan administrasi kota dan tantangan utama yang dihadapi dalam
menyediakan layanan infrastruktur sosial dan fisik (Wekwete dalam Rakodi
(1997)). Meine Pieter van Dijk dalam Urbanicity (2006) mendefinisikan UM
sebagai usaha mengkoordinasikan dan mengintegrasikan tindakan publik dan swasta
untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi penduduk kota dan mewujudkan kota
yang lebih berdaya saing, adil, dan berkelanjutan.
Akan tetapi jika bisa disarikan secara pendek, maka
definisi UM tersebut kurang lebih adalah: pengambilan peran aktif dalam
pengembangan, pengelolaan dan pengkoordinasian sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan
pembangunan kota/perkotaan tertentu. Atau lebih singkat lagi adalah
"peletakan perencanaan ke dalam praktek".
PERSOALAN APA YANG DISOROTI UM?
UM biasanya menyoroti hal-hal yang terkait dengan
persoalan-persoalan berat yang biasa dihadapi pembangunan perkotaan. Persoalan
tersebut antara lain adalah degradasi lingkungan, pertumbuhan kota yang tidak
terkendali, kacaunya sistem pertanahan, sistem perencanaan dan pengambilan
keputusan yang kurang tepat, kondisi pekerjaan dan perumahan permukiman yang
tidak memadai, ketidakcukupan infrastruktur, utilitas, dan polusi udara, hingga
kemunduran kawasan bersejarah di kota.
Dari skema yang disusun oleh Machlis
et.al (2002) berikut tampak bahwa ada 5 (lima) aliran materi yang harus
dikelola oleh pengelola suatu kota/perkotaan, agar pembangunannya
berkelanjutan.
Dalam menetapkan fokus pada masalah kota yang
terpenting atau paling strategis, justru isu utamanya adalah siapa yang
menetapkan masalah paling penting tersebut? Pemerintah daerah? Atau siapakah
yang akan membantu dan berkolaborasi dengan manajer kota menetapkan persoalan
yang paling penting tersebut? Setiap pihak bisa mempunyai sudut pandang dan
kepentingan yang berbeda.
Menurut World Bank dalam The Urban and City Management
Course, contoh isu-isu kunci yang harus ditangani oleh seorang pengelola kota
adalah:
• tata kelola/kepemerintahan (governance)
• pembiayaan kota
• daya saing kota
• penguatan kapasitas untuk menarik investasi sektor
privat dan penyediaan lapangan pekerjaan
• kapasitas untuk penyediaan pelayanan umum/publik
secara efisien
• kapasitas manajeriallingkungan
MENCARI KONTEKS PENGELOLAAN PERKOTAAN
DALAM PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Pendekatan terpadu untuk pengelolaan perkotaan pada
dasarnya adalah penanganan simultan dari keseluruhan isu isu penting perkotaan
yang terkait satu dengan lainnya. Oleh karena itu, hal ini menuntut lebih
banyak lagi keterlibatan semua pemangku kepentingan yang ingin berperan aktif,
sehingga akan muncul lebih banyak lagi tuntutan pelaksanaan tindakan-tindakan
multi-sektoral. Implikasi pendekaran terpadu seperti ini berimplikasi pada
pengelola kota yang memerlukan wewenang, tanggung jawab dan kewajiban yang
jelas. Lebih dari itu, diperlukan adanya desentralisasi yang lebih jelas dalam
pembangunan kota dan/atau perkotaan.
Mattingly (1994; 1995) menggarisbawahi pentingnya isu
'tanggung jawab' yang menyatu ke dalam konsep pengelolaan itu sendiri, terutama
di dalam suaru skenario kelembagaan yang terpecah-pecah seperti di
negara-negara sedang berkembang (tanggung jawab dan kewajiban dalam hal ini
ridak mudah didefinisikan). Oleh karena itu, dalam mencari konteks pengelolaan
perkotaan di Indonesia yang dibutuhkan adalah skenario keterpaduan atau koordinasi.
Disini tanggung jawab dan kewajiban dibuat dan ditetapkan tidak semata-mata
melalui cara-cara otoritas/kewenangan ataupun alokasi administratif
tugas-tugas. Tanggung jawab dan kewajiban tersebut dihasilkan melalui debat,
diskusi dan negosiasi antar seluruh pelaku yang berkepentingan.
Sementara itu pemerintah di negara maju tak lagi
menjadi penyedia layanan publik secara tradisional. Secara pelan tapi pasti, mereka
berubah hanya menjadi fasilitator proses-proses tempat masyarakat (dan juga
sektor bisnis/swasta) mengartikulasikan kepentingan, memediasi perbedaan yang
timbul, dan melaksanakan hak-hak hukum dan kewajiban-kewajiban. Pada intinya,
di dunia telah terjadi pergeseran dari manajemen kota tradisional ke arah tata
kelola/kepemerintahan. Pergeseran ini lebih melibatkan semua pemangku
kepentingan utama kota dalam pengelolaan kota/perkotaannya.
Cakupan tata kelola ini lebih luas. ]oris van
Etten dan Leon van den Dool (2001) mengatakan, tata kelola yang baik di
tingkat kota tak hanya berhubungan dengan manajemen kota yang baik, tetapi juga
interaksi antar seluruh pemangku kepentingan di kota. Karena itu dimensi
politis, konteks, dan konstitusional harus dipertimbangkan. Sementara Healy (
1995) menyatakan bahwa pengelolaan perkotaan jaman sekarang tidak lagi hanya
dilakukan dari pemerintah saja dengan model top down atau command and control.
Dalam konteks Indonesia, yang dibutuhkan adalah cara
menggeser pengelolaan (manajemen) kota ke tata kelola (governance) kota.
Pergeseran ini mendudukkan pemerintah daerah/ kota sejajar dengan pemangku
kepentingan lain seperti sektor bisnis/privat dan masyarakat madani untuk
bersama-sama menyelesaikan persoalan-persoalan kota dan membangun daya saing
kota ke depan menuju keberlanjutan pembangunan. Situasi dualistik
sosial-ekonomi yang ada lebih perlu mendudukkan pemerintah dalam prinsip
pemerintah yang proporsional (bukan hanya provider atau enabler).
Dalam konteks mencapai tujuan Pembangunan
Perkotaan Berkelanjutan, maka Gambar 2 menunjukkan seluruh sumberdaya yang
dikelola dalam suatu sistem pengelolaan perkotaan adalah hasil konsensus
seluruh pemangku kepentingan pembangunan perkotaan.
KEBUTUHAN PENGATURAN PENGELOLAAN PERKOTAAN Dl INDONESIA
Sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan
yang terkait dengan pengelolaan perkotaan di Indonesia, tetapi sayangnya satu dengan lainnya sepertinya tidak/ kurang
komplementer, sehingga banyak celah yang harus diisi. Ambil contoh UU No.
32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, legislasi ini tidak cukup mengatur
landasan pengelolaan kota (desentralisasi, otonomi, dan governance) khususnya
yang terkait:
• Urusan concurrent: kriteria ekstern alitas,
akuntabilitas, efisiensi
• Urusan wajib: pelayanan dasar (rermasuk penaraan
ruang)
• Urusan pilihan: core competence kota/daerah atau
basis ekonomi kota/daerah
• Koordinasi & kerjasama antar-pemerinrahan:
horisontal & vertikal
• Keterlibaran stakeholders kota dalam penentuan kebijakan
pembangunan kota
• Sumber dan mekanisme pembiayaan pembangunan kota
Selain hal-hal di atas, masih banyak pertanyaan yang mengemuka yang berkaitan
dengan peraturan perundangan lain:
• Apakah UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah tidak cukup mengatur pola hubungan antar (hirarki)
pemerinrahan dalam pembiayaan pembangunan kota?
• Apakah UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak
cukup jelas mengarur mekanisme dan prosedur penganggaran pembangunan kota?
• Apakah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional belum cukup jelas mengatur perencanaan program pembangunan
kota dan peranserta para pemangku kepentingan dalam hal itu?
• Apakah UU No. 32/2009 tentang Perlindungan &
Pengelolaan Lingkungan Hidup kurang jelas mengatur peran, hak & kewajiban
pemangku kepentingan dalam menjaga keberlanjutan pembangunan kota?
• Apakah UU No. 26/2007 tentang Penaraan Ruang ridak
cukup jelas mengatur sisrem governance dalam penaraan ruang kota?
• Apakah UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak cukup untuk melandasi usaha manajemen bencana kota/perkotaan?
Semua perundangan yang disebut di atas adalah bukan UU Sekroral, tetapi mengatur
kaitan semua sekror pembangunan kota. Oleh karena itu, justru yang perlu
diharmonisasikan untuk kepentingan pengelolaan kota di Indonesia adalah kesesuaian antar beragam UU tersebur dan memadukannya dalam suatu Sistem Pengelolaan
Pembangunan Daerah Kota/Perkotaan yang efektif & efisien. Pemaduan berbagai
UU tersebut dalam pengelolaan perkotaan harus berkesesuaian pula dengan
ideologi, konstirusi, dan ekonomi-politik negara untuk tujuan pembangunan kota/
perkotaan yang spesifik Indonesia.
Jika keseluruhan peraturan perundang-undangan di atas
dimasukkan ke dalam pola integrasi sistem pengelolaan perkotaan menuju
pembangunan berkelanjutan, akan terlihat komplikasi sistem pengelolaan yang
harus dijalankan pemerintah daerah. Ini mengingat setiap UU mensyaratkan
disusunnya "mandatory plan" yang kesemuanya harus berupa peraturan
daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
KEBUTUHAN PENGATURAN TATA KELOLA PERKOTAAN DI INDONESIA
Karena pengelolaan kota itu elusif atau tidak dapat
didefinisikan, maka akan sangat sensitif terhadap kualitas pengelola dan
pemangku kepentingan kota yang bersangkutan dalam menjalankan proses urban
governance sehari-hari sesuai ideologi, konstitusi, dan ekonomi politik yang di anut. Kalaupun ada yang perlu diatur, maka itu adalah kriteria dan indikator
kinerja tata kelola pembangunan kota berkelanjutan secara komprehensif/
inklusif. Kriteria tersebut tidak berbentuk kriteria & indikator
sektoral, tetapi gabungan/komposit. Selain itu tidak berbasis output saja,
tetapi juga input, process, dan outcome!
Untuk itu hal yang paling dibutuhkan dalam good urban
governance di Indonesia dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah
koordinasi & kerjasama untuk optimasi, sinergi, dan minimasi konflik
pembangunan kota . Konflik yang harus dikelola adalah konflik antar
kepentingan/motif pemanfaat ruang, antar sekror pembangunan, antar fungsi
ruang, dan antar sistem pembentuk ruang;
Berdasarkan daya dukung & daya tampung wilayah
tertentu (administratif: nasional, provinsi, kabupaten, kota; maupun fungsional: WAS/DAS) . Sayangnya Indonesia tidak mengenal desentralisasi
fungsional, karena hanya diatur dengan desentralisasi terirorial. Oleh karena
iru, yang harus dilakukan lebih banyak adalah koordinasi & kerjasama
horisontal (antar daerah) serta vertikal (dengan tingkat pusat) untuk wilayah
fungsional yang bersifat lintas-batas administratif.
Secara konsepsional, good urban governance yang akan
dibentuk perlu memenuhi beberapa pendekatan seperti yang tertuang dalam Gambar 4. Untuk itu
diperlukan juga good regional governance yang bersifat lintas daerah kabupaten/ kota .
Ada beberapa kota di Indonesia yang sudah mulai
menerapkan good urban governance. Kota tersebut antara lain adalah
Pekalongan, Salatiga, Bandung, Malang, dan Probolinggo.
Sumber: Oleh Andi Oetomo, dalam
KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit:
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar