Kamis, 06 Oktober 2022

EKONOMI DAN PERANANNYA DALAM TATA RUANG

Indonesia sebagai negara yang memiliki tanah yang subur, memiliki berbagai komoditas pertanian yang jarang dihasilkan oleh negara-negara lain. Tembakau misalnya, tumbuh subur dan menopang perkembangan industri kretek. lndustri yang bersifat padat karya ini telah berkembang sejak dulu hingga menarik kaum Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) keturunan Arab dan Cina untuk turut berdagang.

Selain tembakau, rempah-rempah merupakan hasil bumi yang tak kalah penting dan telah menarik pendatang untuk bertransaksi bahkan bermukim. Potensi tambang seperti emas, batubara, timah dan minyak bumi, juga memancing pendatang bahkan sejak zaman kolonial. Demikian pula kerajinan batik yang belakangan ini berkembang menjadi industri, tak kurang menarik dalam merebut perhatian pendatang.

Semua aktifitas ekonomi tersebut, tentu saja berpengaruh terhadap penataan ruang. Pada tataran tertentu, dinamika ekonomi yang berinteraksi dengan aspek keruangan merangsang sekaligus mendorong pertumbuhan kota-kota di negeri ini. Kebutuhan ruang untuk melangsungkan aktifitas ekonomi, kerap menghadirkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan wilayah maupun kota.

Dalam tulisan ini ditinjau perkembangan wilayah dan kota di Indonesia sehubungan dengan persebaran potensi serta dinamika ekonomi. Peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan- terutama semasa Orde Baru - dalam kerangka menyebar aktifitas ekonomi tentu tak dapat dikesampingkan. Oleh karena hal ini mengantarkan pada pemerataan pembangunan semua sektor di seluruh wilayah tanah air.

 

EKONOMI DAN PERTUMBUHAN KOTA PRA-1950

Letak geografis yang strategis, menyebabkan Indonesia sejak zaman Majapahit telah menjadi bag ian penting bagi jalur pelayaran para pedagang dari barat ke timur maupun sebaliknya. Kesederhanaan teknologi pelayaran saat itu mengharuskan ada perhentian di setiap jarak tertentu. Maka, tumbuhlah kota-kota pelabuhan di sepanjang jalur pelayaran (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900).

Sejalan dengan rancangan perdagangan, potensi Nusantara semakin merangsang pedagang untuk berdatangan. Maluku misalnya, kebanjiran pedagang I ada untuk dijual ke Eropa dan Arab. Pada gilirannya, ketika produksi menurun sedangkan permintaan terus menambah, tejadilah "perebutan". Para pedagang yang berasal Belanda, Portugis, Makao, Cina, Sailan, Jepang, Gujarat, lnggris dan Denmark mulai melancarkan strategi dagang masing-masing.

Belanda mendirikan Vereenigde Oost lndische Compagnie (VOC) dan menjalin kontrak dengan petani. Lebih lanjut, VOC berupaya memonopoli perdagangan di Indonesia. Akhirnya Belanda butuh tempat penyimpanan hasil bumi sebelum dipasarkan ke mancanegara. Tempat itu tentu dilengkapi dengan prasarana dan sarana, termasuk benteng pertahanan untuk keamanannya. Mulai dari sinilah kota-kota di Indonesia berkembang.

Fenomena tersebut, dalam pandangan Frederich List, dikategorikan sebagai keadaan yang berada pada fase perkembangan kedua dan ketiga. Fase ini ditandai dengan perkembangan suatu wilayah yang bertumpu pada potensi alam (hasil bumi) yang disertai industri. Ada pun fase pertama dikatakan sebagai fase primitif. Meski teori ini ditentang oleh ekonom lain, agaknya cukup sesuai untuk keadaan Indonesia pada saat itu, terlebih jika dikaitkan dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penataan ruang.

Sejarah membuktikan, industri rokok kretek -salah satu industri genuine khas Indonesia, tersebar mulai dari Kudus, Jawa Tengah, hingga Kediri, Tulungagung bahkan Malang, Jawa Timur. Ada pun industri batik -industri genuine khas Indonesia lainnya, bertebaran di pesisir utara Jawa, mulai dari Pal Merah, Jakarta, Gresik hingga Madura. Batik juga berkembang marak di bagian tengah dan selatan Jawa, mulai dari Tasikmalaya, Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, Ponorogo, Tulungagung hingga Blitar.

 

EKONOMI DAN TATA RUANG

Sebenarnya, tidak ada hubungan langsung antara tata ruang dan ekonomi, melainkan keduanya saling mempengaruhi. Penataan ruang mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Sebaliknya, dinamika ekonomi berpengaruh terhadap penataan ruang , teramati kasat mata dalam pemanfaatan ruang . Tata ruarig mempengaruhi dinamika ekonomi, sebaliknya dinamika ekonomi mempengaruhi perkembangan tata ruang.

Tata ruang suatu kota tidak lahir karena maksimalisasi teknologi atau ekonomi, tetapi karena suatu pola sosio-kultural. Namun pemilihan pemukiman kota dapat merujuk pada alasan ekonomis. Kaitan ekonomi dengan penataan ruang dapat digambarkan sebagai berikut:

• Kandungan sumber daya alam yang bernilai jual tinggi (potensi ekonomi) di suatu wilayah mempengaruhi perkembangan wilayah bersangkutan;

• Semakin besar potensi ekonomi di suatu wilayah, semakin besar pula prospek perkembangan wilayah bersangkutan;

• Aktifitas ekonomi di suatu wilayah akan mengundang pemukim yang tentu membutuhkan ruang.

• Aktifitas ekonomi membutuhkan prasarana dan sarana yang juga membutuhkan ruang.

 

EKONOMI DAN PERKEMBANGAN KOTA

Frederich List -penganut mazhab historis dalam pertumbuhan ekonomi, menganggap sistem laissez faire dapat menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Lebih lanjut, perkembangan ekonomi bergantung pada peranan pemerintah. Maka, berbagai kebijakan pemerintah dalam mengoptimalkan potensi sumber alam menjadi upaya "termudah" untuk menaikkan taraf kesejahteraan (ekonomi) masyarakat.

Secara alami, dinamika ekonomi merangsang perkembangan wilayah, seperti kota yang tumbuh pesat terdorong oleh perkembangan industri. Peranan pemerintah yang dikategorikan sebagai kebijakan publik, mempengaruhi skala dampak industri terhadap perkembangan suatu wilayah. Sejalan dengan itu, pada era tahun 1970-an diterapkan sistem Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa (Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, Poernomosidhi Hadjisarosa).

Dari konsep itu, dapat diperkirakan perekonomian suatu wilayah akan tumbuh sebagai dampak pemberian kemudahan berupa prasarana dan sarana. Konsep ini memperhatikan faktor aksesibilitas pergerakan barang dan jasa, termasuk modal, di suatu wilayah. Sasarannya adalah pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Dengan membangun sarana dan prasarana di lokasi yang tepat, tentu pertumbuhan ekonomi akan pesat.

Untuk menetapkan lokasi secara tepat, digunakanlah konsep pengembangan wilayah. Dalam hal ini, penentuan lokasi SWP terutama didasarkan pada aktifitas ekonomi. Lebih jauh, konsep tersebut mendefinisikan kota sebagai simpul ekonomi. Kota adalah pusat konsentrasi penduduk terbesar. Ada pun penduduk merupakan tenaga ke~a. sekaligus pangsa pasar. Kota juga disebut pusat jasa distribusi.

Perbedaan volume kegiatan ekonomi berpengaruh terhadap besaran kota. Dalam hal ini, dikenal hirarki kota (orde kota). Katakanlah, orde kota terbesar-orde satu, dicirikan memiliki kelengkapan prasarana dan sarana sebagai simpul kegiatan ekonomi, seperti terminal cargo (peti kemas), pelabuhan laut, bandar udara, jasa angkutan darat, pasar regional dan kelengkapan penunjang lainnya.

Dalam konsep Poernomosidhi disebutkan, "Kegiatan ekonomi berm uta pada sumber a/am dan berakhir pada konsumen. Sumber a/am letaknya tersebar, demikian pula konsumen akhir''. Dari konsep ini jelas, aktifitas ekonomi berpengaruh pada penataan ruang. Demikian pula penataan ruang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan "intervensi" penataan ruang di suatu lokasi aktifitas ekonomi, maka akan terjadi efesiensi sehingga menghasilkan keuntungan optimal.

llmu ekonomi merupakan suatu studi tentang alokasi ekonomis tentang alat-alat (sumber-sumber) fisik dan manusia yang langka adanya antara kegiatan-kegiatan yang bersaingan satu sama lain, suatu alokasi yang mencapai suatu sasaran yang mengoptimalkan menu rut ketentuan yang ditetapkan, atau sasaran yang memaksimilisasi.

Dalam kaitan itu, Departemen Pekerjaan Umum tidak hanya berperan sebatas merumuskan konsep pengembangan wilayah. lnstansi ini juga membangun prasarana dan sarana dasar guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, de parte men ini juga berperan bahkan dominan dalam membangun prasarana dan sarana perkotaan, seperti drainase, air bersih, persampahan, perbaikan kampung, jalan kota dan sanitasi.

Departemen PU dituntut berperan efektif karena desakan keadaan. Pengembangan perkotaan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah setempat. Pada dasarnya, kota berkembang karena urbanisasi akibat kepesatan pertumbuhan ekonomi. Kota kian dipadati penduduk, kebutuhan prasarana dan sarana pun terus meningkat. Pada gilirannya, timbul berbagai persoalan, berkaitan dengan aspek fisik maupun non fisik (sosial).

Kata pepatah, ada gula ada semut. Semakin banyak gulanya, maka semakin banyak pula semut yang cnengerumuninya. Eko Budihardjo dalam buku "Sejumlah Masalah Permukiman Kota" (halaman 202) menyebutkan, "Kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota terjadi, antara lain, karena bangunan dan linghkungan binaan dipandangsebagai hal statis. Lebih tragis lagi, bila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut statistik saja".

Sementara itu, Peter J.M. Nas dalam buku "The Indonesian City, From Problem to Planning" (halaman 91 ), menyatakan permasalahan perkotaan yang nyata adalah permasalahan fisik, juga permasalahan pertumbuhan penduduk. Menurutnya, untuk menghadapi permasalahan di kampung miskin yang padat, diperlukan sediaan tanah cadangan. "More ground should be reserved for kampung expansion and ... ". Pernyataan ini mengingatkan, bahwa tiap kampung di perkotaan perlu perencanaan penggunaan lahan.

 

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PENATAAN RUANG

Pembangunan ekonomi bukanlah hal mudah. Pembangunan ekonomi tidak sekedar menerapkan teori mengembangkan aktifitas ekonomi masyarakat di suatu wilayah atau mengembangkan suatu wilayah agar perekonomiannya tumbuh dan berkembang pesat. Pembangunan ekonomi bukan hanya menggali sumber alam, tetapi juga menuntut pengelolaannya secara bijaksana.

Emil Salim menyatakan, " ... karena Indonesia dapatdibagi-bagi ke dalam berbagai daerah ekologi, kita akan mengambillangkah sehingga di setiap derah ini paling tidak 10% disisihkan sebagai wilayah ekosistem. Wilayah ini dinyatakan sebagai eagar alam yang tetap, tidak disentuhsentuh kecuali sebagai laboratorium hid up untuk kepentingan ilmiah ... " (Pembangunan Berwawasan Lingkungan, halaman 137).

Pembangunan ekonomi merupakan proses meningkatkan pendapatan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Di suatu wilayah tertentu, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur dari pendapatan per kapita. Namun, karena pembangunan ekonomi membutuhkan waktu, dapat saja besaran pendapatan per kapita yang telah diperkirakan di awal pembangunan tidak dicapai ketika pada kurun waktu tertentu jumlah penduduk meningkat,.

Begitu kompleksnya pembangunan ekonomi, terlebih di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, menuntut keterpaduan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan non ekonomi, seperti pemberdayaan masyarakat. Pembangunan ekonomi, dengan demikian, memerlukan perencanaan matang agar dapat mencakup seluruh aspek dan dapat diukur keberhasilannya.

Pada masa orde lama cenderung lebih banyak membangun kehidupan politik, sedangkan pada masa orde baru mulai mengarah pada pembangunan ekonomi. Pada 1 April1969 mulai dilaksanakan kebijakan pembangunan jangka panjang yang dikenal dengan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I) yang dibagi dalam 5 (lima) tahapan pembangunan lima tahunan (Pelita).

Dalam Pelita I (1969-1974), pembangunan ekonomi diarahkan pada pemeliharaan stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan pemerataan hasil per:nbangunan. Pelita II (1974-1979) mem prioritaskan pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Pelita 111-V (1979-1984, 1984-1989 dan 1989- 1994) tetap memprioritas pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada era PJPT I berpengaruh pada era PJPT II.

Selanjutnya, pada era PJPT II yang diawali Pelita VI (1994- 1999) mengalami perubahan pendekatan dalam pencapaian pembangunan. Pembangunan lebih ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia dan teknologi. Sasaran Pelita VI tidak pernah dievaluasi, namun berbagai komentar yang berbau politik dan ekonomi sering menyinggung tentang besaran hutang luar negeri, kesenjangan dan kelemahan penguasaan teknologi.

 



Dari grafik di atas, Roeslan Zaris menjelaskan pengelompokkan berikut:

• Propinsi miskin (PDRB lebih kecil dari Rp. 30.000) berciri sumber alam sedikit dengan penduduk tidak padat;

• Propinsi berciri sebagai daerah agraris dan berpenduduk padat, termasuk kelompok miskin dan sulit berkembang;

• Propinsi berciri memiliki PDRB tinggi, kaya sumber alam dan berpenduduk padat (kecuali DKI sebagi ibukota negara);

• Propinsi yang pertumbuhannya pesat, kaya sumber alam dan berpenduduk jarang.

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas, bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan sumber daya alam di tiap wilayah.

Sejalan dengan pembangunan ekonomi (mulai dari PJPT I hingga Pelita VI), jumlah penduduk bertambah pula. Pada tahun 1979, penduduk masih berjumlah 139 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1983 menjadi 151 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk, meski berhasil ditekan melalui program Keluarga Berencana, mempunyai implikasi terhadap kesempatan kerja. Seperti dialami selama tahun 1979-1983, pencari ke~a baru berkisar 50-56 juta jiwa (sekitar 37% dari jumlah penduduk) yang membutuhkan lapangan kerja.

Selain kesempatan kerja, pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap kebutuhan ruang. Di Jawa, Madura dan Bali, tingkat kepadatan penduduk meningkat dari 644 jiwa per km2 (1978) menjadi 704 jiwa per km2 (1983). Pola pembangunan pada masa Pelita dipengaruhi oleh keadaan di Jawa, Madura dan Bali. Keadaan tersebut menuntut lahan baru yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman lengkap dengan prasarana dan sarana untuk aktifitas ekonomi dan sosial.

 

 

 

Sumber: Lina Marlia Dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia Penerbit DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH , DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Tahun 2003

Tidak ada komentar: