Kamis, 20 Oktober 2022

KOTA BERKELANJUTAN: PARADIGMA MASA KINI

Fenomena demografis global menunjukkan fakta bahwa lebih dari separuh penduduk dunia berada di kawasan perkotaan pada awal dekade kedua abad ke-21. Fenomena ini memerlukan perhatian kita bersama. Kawasan perkotaan yang semakin berkembang menuntut kebutuhan prasarana dan sarana yang semakin berkualitas. Perkembangan kawasan perkotaan tersebut berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun perkembangan tersebut juga menimbulkan implikasi pada meningkatnya tuntutan terhadap ruang perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Sebagai respon atas perkembangan kota yang semakin kompleks tersebut, maka menjadi keniscayaan bahwa perencanaan kota secara konvensional harus diubah menjadi perencanaan kota yang progresif dan implementatif. Progresif berani tanggap terhadap perkembangan kota yang berjalan cepat dan juga terhadap isu perubahan iklim.

Caranya adalah mengadopsi prinsip pengembangan perkotaan berkelanjutan (sustainable urban development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendarang untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan mereka. Prinsip ini menyelaraskan 3 (tiga) aspek yaitu ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan, dengan fondasi urban governance. Sedangkan implementatif berarti mampu mentransformasi teori menjadi praktis nyata yang sistematis.

Pembangunan perkotaan berkelanjutan perlu diawali dengan perencanaan tata ruang yang harus selesai pada semua level, yaitu nasional, regional dan lokal. Syarat ini memastikan bahwa pendekatan komprehensif sudah dilakukan, rermasuk pada kawasan perkotaan.

Kota yang berkelanjutan perlu menjadi prioriras pada pembangunan saat ini. Mengapa? Karena akan membantu pengambilan kebijakan pada penyediaan kebutuhan pelayanan, mengurangi biaya pembangunan infrastrukrur akibar pelayanan rerhadap penduduk lebih terkonsentrasi, serta meningkatkan kerjasama pemerintah dengan pihak swasta.

Pada level nasional, instrumen yang harus dikembangkan adalah Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN) serta Sistem Perkotaan Nasional dalam RTRWN. Instrumen ini untuk mewujudkan pemerataan pembangunan wilayah. Selain itu instrumen tersebut akan memandu pemerintah daerah dalam memanfaatkan urbanisasi sebagai potensi pembangunan perkotaan, khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang.

Sementara itu, pada level regional dan lokal, pemerintah daerah sangat berperan penting dan besar pada implemenrasi pembangunan perkotaan secara efekrif dan efisien sesuai dengan karakrerisrik dan isu-isu lokal. Ini karena merekalah yang sangat dekat dengan masyarakat secara langsung.

Dalam konsep pengembangan perkotaan yang berkelanjutan, kita perlu memahami bahwa keberlanjutan bukanlah tujuan akhir pengembangan perkotaan. Keberlanjutan adalah proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk mewujudkan kualitas ruang perkotaan yang mampu menyejahterakan warga masyarakatnya.

Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong perubahan paradigma pengembangan perkotaan yang visioner, tanggap terhadap bencana dan perubahan iklim, mampu menggali kearifan lokal, serta didukung oleh kapasitas kelembagaan dan tata kelola yang baik, SUD Forum Indonesia (SUD-FI) menyuguhkan pemikiran dan gagasan yang ditulis oleh para anggotanya yang tertuang dalam 4 (empat) kluster yaitu Planet, People, Prosperity, dan Governance.

Keempat kluster ini adalah ejawantah 3 (tiga) aspek pembangunan berkelanjutan (lingkungan, sosial, ekonomi) serta dibina melalui tata kelola yang baik. Keempat kluster tersebut mengakomodasi berbagai isu pengembangan perkotaan berkelanjutan yang saat ini tengah menjadi fokus berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

CLUSTER PLANET: LINGKUNGAN BAGI KOTA BERKELANJUTAN

Pada kluster pertama, Planet, gagasan rerkait penjagaan kualitas lingkungan menjadi sangat penting. Pengembangan kota yang tanggap rerhadap bencana dan perubahan iklim adalah tantangan yang memerlukan upaya yang tak sedikit. Seperti kita ketahui, posisi Indonesia di kawasan pertemuan 3 (tiga) lempeng dunia ini mengakibatkan rawan bencana geologi (antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan gerakan tanah).

Di sisi lain, kondisi alam Indonesia saat ini mengalami degradasi fisik dan habitat akibat kelalaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran huran, intrusi air laur, dan kekeringan. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global pun turut mengakibatkan degradasi kualitas dan fungsi lingkungan perkotaan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kota-kota di Indonesia umumnya, terutama yang berada di wilayah pesisir, menjadi sangat rentan terhadap bencana dan perubahan iklim.

Berdasarkan tantangan tersebur, tentunya menjadi keharusan mengembangkan perkotaan dengan konsep yang tak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata. Perhatian terhadap aspek lingkungan menjadi sangat penting. Karena itu muncullah prakarsa kota lestari, kota hijau, dan revitalisasi kota tepi air yang saat ini tengah digalakkan.

Selain itu, telah ditegaskan komitmen bersama prakarsa kota lestari oleh sekitar 491 pemerintah kota dan kabupaten untuk bekerja sama mewujudkan kota-kota berkelanjutan di wilayah masing-masing. Semua prakarsa dan komitmen tersebut adalah langkah awal menuju implementasi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

Sementara itu pengembangan kota hijau di beberapa kota di Indonesia, antara lain melalui perwujudan tiga puluh persen ruang rerbuka hijau (RTH) sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga menjadi salah satu upaya serius. Tentu saja implementasi kota hijau tidak hanya dicapai melalui pemenuhan RTH, namun juga menjangkau berbagai aspek lain seperti infrastruktur hijau/biru, transportasi ramah lingkungan, pejalan kaki dan pesepeda, dan peran komunitas perkotaan.

Konsep kota hijau (green city) yang tengah diadaptasi dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) oleh Kementerian Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Jenderal Penataan Ruang adalah sebuah konsep pengembangan perkotaan berkelanjutan yang mengadopsi prinsip perencanaan kota yang progresif dan implementatif.

Kota hijau adalah terobosan baru dalam pembangunan kota yang memfokuskan pencapaian sasaran ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan secara terintegrasi. Kota hijau tercermin dalam bemuk kota yang ramah lingkungan, dihuni oleh orang-orang dengan kesadaran menghemat energi, air, dan makanan, serta mengurangi buangan limbah, pencemaran udara, dan pencemaran air.

Umuk mewujudkannya, setiap kota diharapkan menerapkan standar lingkungan kota hijau sesuai dengan 8 (delapan) atribut kota hijau yang meliputi green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, dan green community. Kedelapan atribut tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun menjadi sebuah sistem yang memiliki ketergantungan dan mempengaruhi satu sama lain.




CLUSTER PEOPLE: POTENSI MASYARAKAT KOTA BERKELANJUTAN

Selain aspek lingkungan, keberadaan masyarakat sebagai pengisi Bumi adalah elemen penting untuk mendongkrak pencapaian pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sebagaimana yang diuraikan dalam kluster kedua tentang People. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku, dan ras. Lebih dari 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai, dan budaya yang berbeda-beda (Asian Brain, 201 0). Dengan potensi tersebut, maka kearifan lokal yang ada perlu dilestarikan, dijaga kesinambungannya, dan menjadi pijakan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan berkelanjutan.

Kearifan lokal dipandang sebagai identitas kota berkelanjutan, karena dibentuk dalam wakru yang lama melalui proses sejarah yang panjang. Kearifan tersebut termanifesrasi dalam benruk kelembagaan, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).

Salah satu upaya Kemenrerian Pekerjaan Umum c.q. Direkrorar Jenderal Penataan Ruang mengadaptasi kearifan lokal ke dalam identitas kota adalah Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). Dengan adanya komitmen pemerintah kota dan kabupaten dalam menyusun kebijakan pelestarian berbagai pusaka alam dan budaya di wilayahnya sebagaimana yang digagas dalam kegiatan P3KP, diharapkan lingkungan fisik kota dapat ditata dengan unsur kehidupan budaya.

Persoalan kota lain yang dihadapi masyarakat adalah kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak sebagai tempat tinggal. Saat ini masyarakat dihadapkan pada persoalan terbatasnya lahan, yang berimplikasi pada meningkatnya backlog perumahan setiap tahunnya.

Persoalan ini diperkeruh dengan persoalan pembiayaan perumahan itu sendiri. Terlebih lagi, kebijakan penyediaan perumahan khususnya, di kawasan perkotaan, belum sepenuhnya berpihak bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, diperlukan terobosan efektif untuk mengatasinya, antara lain melalui pembangunan kampung susun, rumah sederhana, hingga rumah apung. Dengan demikian tingginya kebutuhan perumahan tersebut tak akan mengabaikan kendala lingkungan dan berprinsip pada pemanfaaran lahan yang terkonsentrasi dan intensitas tinggi (compact city).

CLUSTER PROSPERITY: POTENSI EKONOMI KOTA BERKELANJUTAN

Selain unsur lingkungan dan sosial, unsur ekonomi juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam mewujudkan kota berkelanjutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kluster ketiga, Prosperity, dengan memandang urbanisasi sebagai berkah bagi pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, pengembangan ekonomi lokal, termasuk kontribusi sektor informal, menjadi salah satu upaya untuk menggerakkan roda perekonomian kota. Tanpa kita sadari, kontribusi sektor informal terhadap pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, sehingga ruang sektor informal perlu dipertimbangkan dalam mengelola kota.

Di samping itu, upaya membangun citizenship dalam pengelolaan kota dipandang penting karena melalui upaya ini maka kesadaran warga kota atas peran, hak, dan kewajibannya dalam suatu komunitas kota akan terbangun. P2KH adalah program yang diinisiasi Pemerintah untuk meningkatkan urban citizenship. Dari program tersebur diharapkan terbentuk kesadaran bersama di antara warga masyarakat untuk mewujudkan kota ya ng berkelanjutan dengan mengotimalkan potensi lokal sebagai modal sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan terbentuknya kesadaran warga, maka pengelolaan kota menjadi lebih efektif dan efisien yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kota.

Aspek lain yang terkait dengan kluster ini adalah upaya mewujudkan transportasi berkelanjutan sebagai pendorong aktivitas perekonomian kota. Selain itu transportasi berkelanjutan diharapkan mewujudkan kota yang ramah pejalan kaki (walkable city), hemat energi dan rendah carbon (low carbon city), serta berorentasi pada transit.

Umuk menangani masalah transportasi yang demikian kompleks, diperlukan terobosan-terobosan yang mampu mengatasi permasalahan sampai pada akarnya, tidak hanya permasalahan yang tampak di depan mata. Sebagai contoh, upaya penanganan masalah kemacetan di Jakarta seyogyanya tidak dilakukan dengan cara-cara yang instan seperri pembangunan jalan baru, jalan layang, bahkan pengembangan jaringan jalan tol dalam kota. Namun perlu dipikirkan upaya yang menyentuh akar permasalahan mengapa kemacetan tersebut terjadi. Berbagai upaya untuk mengatasi kemacetan tersebut telah dan sedang dilakukan, baik di level makro maupun mikro.

Di level makro, dilakukan pengendalian pembangunan kota-kota baru di sekitar Jakarta yang akan menambah beban transportasi bagi Jakarta. Sedangkan di level mikro mikro, dilaksanakan perbaikan kerusakan jalan, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan layang pada persimpangan jalan yang padat maupun perlintasan jalan dengan rel kerera api.

CLUSTER GOVERNANCE: TATA KELOLA YANG BAlK DEMI PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN

Dari aspek tata kelola kota yang dihimpun dalam kluster keempat, Governance, telah menjadi suatu keharusan bagi seluruh pihak termasuk pemerintah dan masyarakat untuk memiliki komitmen mengelola kota yang visioner. Pengelolaan kota harus diarahkan pada suatu pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang. Partisipasi seluruh stakeholder secara inklusif dalam pengelolaan kota sangat diperlukan dalam rangka membangun kesepahaman bersama tentang cara mewujudkan kota yang nyaman untuk ditinggali para warganya.

Good governance (tata kelola yang baik) berprinsip pada partisipatori, akunrabilitas, efektivitas, pemerataan dan mendorong kekuatan hukum yang didasarkan pada broad commitment rerhadap masyarakat dan masyarakat miskin (pro-poor) dalam pengambilan kepurusan kebijakan publik. Penetapan good governance pada tingkat lokal, khususnya pemerintah kota/kabupaten akan mendorong kota berkelanjutan melalui berbagai kebijakan yang lebih pro-poor dan pro-public.

Sebagai contoh, Kota Solo dengan city branding sebagai kota budaya serta didukung oleh visi dan misi yang berpihak pada kaum marjinal telah membawa kota tersebut menjadi kota yang sangat didambakan warganya. Tentunya keberhasilan Solo tersebut tidak terlepas dari tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel dengan mengedepankan paradigma pro-poor

Dengan uraian dari keempat kluster rersebur, sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa kota berkelanjutan sebagai paradigma pembangunaan saat ini dapat dicapai apabila dilakukan atas dasar komitmen bersama dan dilakukan dengan melibarkan partisipasi semua pihak secara bersama-sama. Hal yang penting lainnya adalah bahwa rencana tata ruang sebagai tools pengelolaan dan pengembangan kota perlu dijadikan sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan.

Dalam menyikapi tujuan keberlanjutan, maka efektivitas upayanya ditentukan oleh keberadaan 2 (dua) hal yang fundamental, yaitu protection entry dan development entry. Protection entry berprinsip bahwa aspek perlindungan lingkungan harus didahulukan agar telapak ekologis tidak semakin besar serta berpeluang untuk mendorong economic development dan social development.

Penerapan pada prinsip proteksi dalam perencanaan menjadi penting untuk menetapkan ruang-ruang perkotaan mana saja yang harus dilindungi serta menerapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Sementara itu dalam development entry pengembangan perkotaan harus berprinsip pada pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisein. Hal yang dapat dilakukan di sini salah satunya adalah penerapan intensifikasi dan konsentrasi ruang dan kegiatan seperti konsep compact city termasuk di dalamnya transit oriented development (TOD), ramah pejalan kaki, serta membatasi perkembangan kota secara horisontal sehingga tidak akan menggerus perdesaan.

Dengan demikian, pembangunan perkotaan berkelanjutan juga berprinsip bahwa wilayah perdesaan sebagai sumberdaya alam bagi kawasan perkotaan (rural-urban Linkage) juga harus dipertahankan (pro-rural) agar terjadi keseimbangan antara perkotaan dan perdesaan.

Untuk mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan, maka upaya-upaya yang dilakukan secara konkrit adalah yang berpihak pada pelestarian lingkungan yang didorong oleh peran Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui program-program yang nyata dan kreatif serta berbasis penataan ruang.

Berbagai upaya tersebut dapat tercermin di dalam berbagai konsep tematik kota berkelanjutan seperti competitive city, creative city, resilient city, heritage city, inclusive city, active city, techno city, smart city, productive city, safe and health city dan sebagainya yang sedikit-banyak dijawab dengan kota hijau (green city) secara keseluruhan.

Dengan menggunakan berbagai prinsip pembangunan perkotaan berkelanjutan di atas, diharapkan ke depan kota-kota di Indonesia yang lebih layak huni, berjati diri, produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan secara sistematis

 

 

 

Sumber: Oleh Ruchyat Deni Djakapermana, dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.

 

Kamis, 13 Oktober 2022

KONSEP PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA KELOLA

ARTI PENGELOLAAN PERKOTAAN

Dalam dunia ilmiah, kesepakatan mengenai definisi "pengelolaan kota/perkotaan" (Urban Management (UM) sulit dicapai. Akan tetapi secara prinsipil, pengelolaan perkotaan hampir selalu digambarkan berfokus pada pendekatan manajemen interdisiplin lintas bidang pengetahuan profesional konvensional.

Pada umumnya UM dipelajari untuk menyiapkan pengetahuan yang tidak terlihat (insight) ke dalam solusi-solusi berorientasi praktis yang dapat diterapkan dalam tataran akrivitas pengelolaan kota sehari-hari. Dalam UM biasanya bergabung berbagai pengalaman yang pernah diperoleh berbagai pemerintah daerah , LSM, sekror bisnis/swasta, dan juga konsep-konsep yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi pembangunan internasional seperti World Bank, UNDP, dan lain-lain.

RAGAM DEFINISI PENGELOLAAN PERKOTAAN

Beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa bahwa pengelolaan perkotaan itu tidak bisa didefinisikan," Urban management is an elusive concept, which escapes definition." (Stren, 1993; Mattingly, 1994). Akan tetapi beberapa ahli lain berusaha membuat definisi dengan merinci cakupan dari UM itu sendiri. Clarke (1991) mendefinisikan pengelolaan perkotaan termasuk mengelola sumberdaya ekonomi perkotaan, rerutama lahan dan aset lingkungan buatan , menciptakan lapangan kerja, dan menarik investasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang tersedia.

Pakar lain menyatakan bahwa UM mengacu pada struktur politik dan administrasi kota dan tantangan utama yang dihadapi dalam menyediakan layanan infrastruktur sosial dan fisik (Wekwete dalam Rakodi (1997)). Meine Pieter van Dijk dalam Urbanicity (2006) mendefinisikan UM sebagai usaha mengkoordinasikan dan mengintegrasikan tindakan publik dan swasta untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi penduduk kota dan mewujudkan kota yang lebih berdaya saing, adil, dan berkelanjutan.

Akan tetapi jika bisa disarikan secara pendek, maka definisi UM tersebut kurang lebih adalah: pengambilan peran aktif dalam pengembangan, pengelolaan dan pengkoordinasian sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan kota/perkotaan tertentu. Atau lebih singkat lagi adalah "peletakan perencanaan ke dalam praktek".

PERSOALAN APA YANG DISOROTI UM?

UM biasanya menyoroti hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan berat yang biasa dihadapi pembangunan perkotaan. Persoalan tersebut antara lain adalah degradasi lingkungan, pertumbuhan kota yang tidak terkendali, kacaunya sistem pertanahan, sistem perencanaan dan pengambilan keputusan yang kurang tepat, kondisi pekerjaan dan perumahan permukiman yang tidak memadai, ketidakcukupan infrastruktur, utilitas, dan polusi udara, hingga kemunduran kawasan bersejarah di kota.

Dari skema yang disusun oleh Machlis et.al (2002) berikut tampak bahwa ada 5 (lima) aliran materi yang harus dikelola oleh pengelola suatu kota/perkotaan, agar pembangunannya berkelanjutan.


FOKUS PENTING DALAM MASALAH PENGELOLAAN PERKOTAAN

Dalam menetapkan fokus pada masalah kota yang terpenting atau paling strategis, justru isu utamanya adalah siapa yang menetapkan masalah paling penting tersebut? Pemerintah daerah? Atau siapakah yang akan membantu dan berkolaborasi dengan manajer kota menetapkan persoalan yang paling penting tersebut? Setiap pihak bisa mempunyai sudut pandang dan kepentingan yang berbeda.

Menurut World Bank dalam The Urban and City Management Course, contoh isu-isu kunci yang harus ditangani oleh seorang pengelola kota adalah:

• tata kelola/kepemerintahan (governance)

• pembiayaan kota

• daya saing kota

• penguatan kapasitas untuk menarik investasi sektor privat dan penyediaan lapangan pekerjaan

• kapasitas untuk penyediaan pelayanan umum/publik secara efisien

• kapasitas manajeriallingkungan

MENCARI KONTEKS PENGELOLAAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Pendekatan terpadu untuk pengelolaan perkotaan pada dasarnya adalah penanganan simultan dari keseluruhan isu isu penting perkotaan yang terkait satu dengan lainnya. Oleh karena itu, hal ini menuntut lebih banyak lagi keterlibatan semua pemangku kepentingan yang ingin berperan aktif, sehingga akan muncul lebih banyak lagi tuntutan pelaksanaan tindakan-tindakan multi-sektoral. Implikasi pendekaran terpadu seperti ini berimplikasi pada pengelola kota yang memerlukan wewenang, tanggung jawab dan kewajiban yang jelas. Lebih dari itu, diperlukan adanya desentralisasi yang lebih jelas dalam pembangunan kota dan/atau perkotaan.

Mattingly (1994; 1995) menggarisbawahi pentingnya isu 'tanggung jawab' yang menyatu ke dalam konsep pengelolaan itu sendiri, terutama di dalam suaru skenario kelembagaan yang terpecah-pecah seperti di negara-negara sedang berkembang (tanggung jawab dan kewajiban dalam hal ini ridak mudah didefinisikan). Oleh karena itu, dalam mencari konteks pengelolaan perkotaan di Indonesia yang dibutuhkan adalah skenario keterpaduan atau koordinasi. Disini tanggung jawab dan kewajiban dibuat dan ditetapkan tidak semata-mata melalui cara-cara otoritas/kewenangan ataupun alokasi administratif tugas-tugas. Tanggung jawab dan kewajiban tersebut dihasilkan melalui debat, diskusi dan negosiasi antar seluruh pelaku yang berkepentingan.

Sementara itu pemerintah di negara maju tak lagi menjadi penyedia layanan publik secara tradisional. Secara pelan tapi pasti, mereka berubah hanya menjadi fasilitator proses-proses tempat masyarakat (dan juga sektor bisnis/swasta) mengartikulasikan kepentingan, memediasi perbedaan yang timbul, dan melaksanakan hak-hak hukum dan kewajiban-kewajiban. Pada intinya, di dunia telah terjadi pergeseran dari manajemen kota tradisional ke arah tata kelola/kepemerintahan. Pergeseran ini lebih melibatkan semua pemangku kepentingan utama kota dalam pengelolaan kota/perkotaannya.

Cakupan tata kelola ini lebih luas. ]oris van Etten dan Leon van den Dool (2001) mengatakan, tata kelola yang baik di tingkat kota tak hanya berhubungan dengan manajemen kota yang baik, tetapi juga interaksi antar seluruh pemangku kepentingan di kota. Karena itu dimensi politis, konteks, dan konstitusional harus dipertimbangkan. Sementara Healy ( 1995) menyatakan bahwa pengelolaan perkotaan jaman sekarang tidak lagi hanya dilakukan dari pemerintah saja dengan model top down atau command and control.

Dalam konteks Indonesia, yang dibutuhkan adalah cara menggeser pengelolaan (manajemen) kota ke tata kelola (governance) kota. Pergeseran ini mendudukkan pemerintah daerah/ kota sejajar dengan pemangku kepentingan lain seperti sektor bisnis/privat dan masyarakat madani untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan-persoalan kota dan membangun daya saing kota ke depan menuju keberlanjutan pembangunan. Situasi dualistik sosial-ekonomi yang ada lebih perlu mendudukkan pemerintah dalam prinsip pemerintah yang proporsional (bukan hanya provider atau enabler).

Dalam konteks mencapai tujuan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, maka Gambar 2 menunjukkan seluruh sumberdaya yang dikelola dalam suatu sistem pengelolaan perkotaan adalah hasil konsensus seluruh pemangku kepentingan pembangunan perkotaan.



KEBUTUHAN PENGATURAN PENGELOLAAN PERKOTAAN Dl INDONESIA

Sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perkotaan di Indonesia, tetapi sayangnya satu dengan lainnya sepertinya tidak/ kurang komplementer, sehingga banyak celah yang harus diisi. Ambil contoh UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, legislasi ini tidak cukup mengatur landasan pengelolaan kota (desentralisasi, otonomi, dan governance) khususnya yang terkait:

• Urusan concurrent: kriteria ekstern alitas, akuntabilitas, efisiensi

• Urusan wajib: pelayanan dasar (rermasuk penaraan ruang)

• Urusan pilihan: core competence kota/daerah atau basis ekonomi kota/daerah

• Koordinasi & kerjasama antar-pemerinrahan: horisontal & vertikal

• Keterlibaran stakeholders kota dalam penentuan kebijakan pembangunan kota

• Sumber dan mekanisme pembiayaan pembangunan kota Selain hal-hal di atas, masih banyak pertanyaan yang mengemuka yang berkaitan dengan peraturan perundangan lain:

• Apakah UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tidak cukup mengatur pola hubungan antar (hirarki) pemerinrahan dalam pembiayaan pembangunan kota?

• Apakah UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak cukup jelas mengarur mekanisme dan prosedur penganggaran pembangunan kota?

• Apakah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional belum cukup jelas mengatur perencanaan program pembangunan kota dan peranserta para pemangku kepentingan dalam hal itu?

• Apakah UU No. 32/2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup kurang jelas mengatur peran, hak & kewajiban pemangku kepentingan dalam menjaga keberlanjutan pembangunan kota?

• Apakah UU No. 26/2007 tentang Penaraan Ruang ridak cukup jelas mengatur sisrem governance dalam penaraan ruang kota?

• Apakah UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak cukup untuk melandasi usaha manajemen bencana kota/perkotaan?

Semua perundangan yang disebut di atas adalah bukan UU Sekroral, tetapi mengatur kaitan semua sekror pembangunan kota. Oleh karena itu, justru yang perlu diharmonisasikan untuk kepentingan pengelolaan kota di Indonesia adalah kesesuaian antar beragam UU tersebur dan memadukannya dalam suatu Sistem Pengelolaan Pembangunan Daerah Kota/Perkotaan yang efektif & efisien. Pemaduan berbagai UU tersebut dalam pengelolaan perkotaan harus berkesesuaian pula dengan ideologi, konstirusi, dan ekonomi-politik negara untuk tujuan pembangunan kota/ perkotaan yang spesifik Indonesia.

Jika keseluruhan peraturan perundang-undangan di atas dimasukkan ke dalam pola integrasi sistem pengelolaan perkotaan menuju pembangunan berkelanjutan, akan terlihat komplikasi sistem pengelolaan yang harus dijalankan pemerintah daerah. Ini mengingat setiap UU mensyaratkan disusunnya "mandatory plan" yang kesemuanya harus berupa peraturan daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.



KEBUTUHAN PENGATURAN TATA KELOLA PERKOTAAN DI INDONESIA

Karena pengelolaan kota itu elusif atau tidak dapat didefinisikan, maka akan sangat sensitif terhadap kualitas pengelola dan pemangku kepentingan kota yang bersangkutan dalam menjalankan proses urban governance sehari-hari sesuai ideologi, konstitusi, dan ekonomi politik yang di anut. Kalaupun ada yang perlu diatur, maka itu adalah kriteria dan indikator kinerja tata kelola pembangunan kota berkelanjutan secara komprehensif/ inklusif. Kriteria tersebut tidak berbentuk kriteria & indikator sektoral, tetapi gabungan/komposit. Selain itu tidak berbasis output saja, tetapi juga input, process, dan outcome!

Untuk itu hal yang paling dibutuhkan dalam good urban governance di Indonesia dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah koordinasi & kerjasama untuk optimasi, sinergi, dan minimasi konflik pembangunan kota . Konflik yang harus dikelola adalah konflik antar kepentingan/motif pemanfaat ruang, antar sekror pembangunan, antar fungsi ruang, dan antar sistem pembentuk ruang;

Berdasarkan daya dukung & daya tampung wilayah tertentu (administratif: nasional, provinsi, kabupaten, kota; maupun fungsional: WAS/DAS) . Sayangnya Indonesia tidak mengenal desentralisasi fungsional, karena hanya diatur dengan desentralisasi terirorial. Oleh karena iru, yang harus dilakukan lebih banyak adalah koordinasi & kerjasama horisontal (antar daerah) serta vertikal (dengan tingkat pusat) untuk wilayah fungsional yang bersifat lintas-batas administratif.

Secara konsepsional, good urban governance yang akan dibentuk perlu memenuhi beberapa pendekatan seperti yang tertuang dalam Gambar 4. Untuk itu diperlukan juga good regional governance yang bersifat lintas daerah kabupaten/ kota .

Ada beberapa kota di Indonesia yang sudah mulai menerapkan good urban governance. Kota tersebut antara lain adalah Pekalongan, Salatiga, Bandung, Malang, dan Probolinggo.




 

 

 

Sumber: Oleh Andi Oetomo, dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.

Kamis, 06 Oktober 2022

EKONOMI DAN PERANANNYA DALAM TATA RUANG

Indonesia sebagai negara yang memiliki tanah yang subur, memiliki berbagai komoditas pertanian yang jarang dihasilkan oleh negara-negara lain. Tembakau misalnya, tumbuh subur dan menopang perkembangan industri kretek. lndustri yang bersifat padat karya ini telah berkembang sejak dulu hingga menarik kaum Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) keturunan Arab dan Cina untuk turut berdagang.

Selain tembakau, rempah-rempah merupakan hasil bumi yang tak kalah penting dan telah menarik pendatang untuk bertransaksi bahkan bermukim. Potensi tambang seperti emas, batubara, timah dan minyak bumi, juga memancing pendatang bahkan sejak zaman kolonial. Demikian pula kerajinan batik yang belakangan ini berkembang menjadi industri, tak kurang menarik dalam merebut perhatian pendatang.

Semua aktifitas ekonomi tersebut, tentu saja berpengaruh terhadap penataan ruang. Pada tataran tertentu, dinamika ekonomi yang berinteraksi dengan aspek keruangan merangsang sekaligus mendorong pertumbuhan kota-kota di negeri ini. Kebutuhan ruang untuk melangsungkan aktifitas ekonomi, kerap menghadirkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan wilayah maupun kota.

Dalam tulisan ini ditinjau perkembangan wilayah dan kota di Indonesia sehubungan dengan persebaran potensi serta dinamika ekonomi. Peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan- terutama semasa Orde Baru - dalam kerangka menyebar aktifitas ekonomi tentu tak dapat dikesampingkan. Oleh karena hal ini mengantarkan pada pemerataan pembangunan semua sektor di seluruh wilayah tanah air.

 

EKONOMI DAN PERTUMBUHAN KOTA PRA-1950

Letak geografis yang strategis, menyebabkan Indonesia sejak zaman Majapahit telah menjadi bag ian penting bagi jalur pelayaran para pedagang dari barat ke timur maupun sebaliknya. Kesederhanaan teknologi pelayaran saat itu mengharuskan ada perhentian di setiap jarak tertentu. Maka, tumbuhlah kota-kota pelabuhan di sepanjang jalur pelayaran (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900).

Sejalan dengan rancangan perdagangan, potensi Nusantara semakin merangsang pedagang untuk berdatangan. Maluku misalnya, kebanjiran pedagang I ada untuk dijual ke Eropa dan Arab. Pada gilirannya, ketika produksi menurun sedangkan permintaan terus menambah, tejadilah "perebutan". Para pedagang yang berasal Belanda, Portugis, Makao, Cina, Sailan, Jepang, Gujarat, lnggris dan Denmark mulai melancarkan strategi dagang masing-masing.

Belanda mendirikan Vereenigde Oost lndische Compagnie (VOC) dan menjalin kontrak dengan petani. Lebih lanjut, VOC berupaya memonopoli perdagangan di Indonesia. Akhirnya Belanda butuh tempat penyimpanan hasil bumi sebelum dipasarkan ke mancanegara. Tempat itu tentu dilengkapi dengan prasarana dan sarana, termasuk benteng pertahanan untuk keamanannya. Mulai dari sinilah kota-kota di Indonesia berkembang.

Fenomena tersebut, dalam pandangan Frederich List, dikategorikan sebagai keadaan yang berada pada fase perkembangan kedua dan ketiga. Fase ini ditandai dengan perkembangan suatu wilayah yang bertumpu pada potensi alam (hasil bumi) yang disertai industri. Ada pun fase pertama dikatakan sebagai fase primitif. Meski teori ini ditentang oleh ekonom lain, agaknya cukup sesuai untuk keadaan Indonesia pada saat itu, terlebih jika dikaitkan dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penataan ruang.

Sejarah membuktikan, industri rokok kretek -salah satu industri genuine khas Indonesia, tersebar mulai dari Kudus, Jawa Tengah, hingga Kediri, Tulungagung bahkan Malang, Jawa Timur. Ada pun industri batik -industri genuine khas Indonesia lainnya, bertebaran di pesisir utara Jawa, mulai dari Pal Merah, Jakarta, Gresik hingga Madura. Batik juga berkembang marak di bagian tengah dan selatan Jawa, mulai dari Tasikmalaya, Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, Ponorogo, Tulungagung hingga Blitar.

 

EKONOMI DAN TATA RUANG

Sebenarnya, tidak ada hubungan langsung antara tata ruang dan ekonomi, melainkan keduanya saling mempengaruhi. Penataan ruang mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Sebaliknya, dinamika ekonomi berpengaruh terhadap penataan ruang , teramati kasat mata dalam pemanfaatan ruang . Tata ruarig mempengaruhi dinamika ekonomi, sebaliknya dinamika ekonomi mempengaruhi perkembangan tata ruang.

Tata ruang suatu kota tidak lahir karena maksimalisasi teknologi atau ekonomi, tetapi karena suatu pola sosio-kultural. Namun pemilihan pemukiman kota dapat merujuk pada alasan ekonomis. Kaitan ekonomi dengan penataan ruang dapat digambarkan sebagai berikut:

• Kandungan sumber daya alam yang bernilai jual tinggi (potensi ekonomi) di suatu wilayah mempengaruhi perkembangan wilayah bersangkutan;

• Semakin besar potensi ekonomi di suatu wilayah, semakin besar pula prospek perkembangan wilayah bersangkutan;

• Aktifitas ekonomi di suatu wilayah akan mengundang pemukim yang tentu membutuhkan ruang.

• Aktifitas ekonomi membutuhkan prasarana dan sarana yang juga membutuhkan ruang.

 

EKONOMI DAN PERKEMBANGAN KOTA

Frederich List -penganut mazhab historis dalam pertumbuhan ekonomi, menganggap sistem laissez faire dapat menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Lebih lanjut, perkembangan ekonomi bergantung pada peranan pemerintah. Maka, berbagai kebijakan pemerintah dalam mengoptimalkan potensi sumber alam menjadi upaya "termudah" untuk menaikkan taraf kesejahteraan (ekonomi) masyarakat.

Secara alami, dinamika ekonomi merangsang perkembangan wilayah, seperti kota yang tumbuh pesat terdorong oleh perkembangan industri. Peranan pemerintah yang dikategorikan sebagai kebijakan publik, mempengaruhi skala dampak industri terhadap perkembangan suatu wilayah. Sejalan dengan itu, pada era tahun 1970-an diterapkan sistem Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa (Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, Poernomosidhi Hadjisarosa).

Dari konsep itu, dapat diperkirakan perekonomian suatu wilayah akan tumbuh sebagai dampak pemberian kemudahan berupa prasarana dan sarana. Konsep ini memperhatikan faktor aksesibilitas pergerakan barang dan jasa, termasuk modal, di suatu wilayah. Sasarannya adalah pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Dengan membangun sarana dan prasarana di lokasi yang tepat, tentu pertumbuhan ekonomi akan pesat.

Untuk menetapkan lokasi secara tepat, digunakanlah konsep pengembangan wilayah. Dalam hal ini, penentuan lokasi SWP terutama didasarkan pada aktifitas ekonomi. Lebih jauh, konsep tersebut mendefinisikan kota sebagai simpul ekonomi. Kota adalah pusat konsentrasi penduduk terbesar. Ada pun penduduk merupakan tenaga ke~a. sekaligus pangsa pasar. Kota juga disebut pusat jasa distribusi.

Perbedaan volume kegiatan ekonomi berpengaruh terhadap besaran kota. Dalam hal ini, dikenal hirarki kota (orde kota). Katakanlah, orde kota terbesar-orde satu, dicirikan memiliki kelengkapan prasarana dan sarana sebagai simpul kegiatan ekonomi, seperti terminal cargo (peti kemas), pelabuhan laut, bandar udara, jasa angkutan darat, pasar regional dan kelengkapan penunjang lainnya.

Dalam konsep Poernomosidhi disebutkan, "Kegiatan ekonomi berm uta pada sumber a/am dan berakhir pada konsumen. Sumber a/am letaknya tersebar, demikian pula konsumen akhir''. Dari konsep ini jelas, aktifitas ekonomi berpengaruh pada penataan ruang. Demikian pula penataan ruang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan "intervensi" penataan ruang di suatu lokasi aktifitas ekonomi, maka akan terjadi efesiensi sehingga menghasilkan keuntungan optimal.

llmu ekonomi merupakan suatu studi tentang alokasi ekonomis tentang alat-alat (sumber-sumber) fisik dan manusia yang langka adanya antara kegiatan-kegiatan yang bersaingan satu sama lain, suatu alokasi yang mencapai suatu sasaran yang mengoptimalkan menu rut ketentuan yang ditetapkan, atau sasaran yang memaksimilisasi.

Dalam kaitan itu, Departemen Pekerjaan Umum tidak hanya berperan sebatas merumuskan konsep pengembangan wilayah. lnstansi ini juga membangun prasarana dan sarana dasar guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, de parte men ini juga berperan bahkan dominan dalam membangun prasarana dan sarana perkotaan, seperti drainase, air bersih, persampahan, perbaikan kampung, jalan kota dan sanitasi.

Departemen PU dituntut berperan efektif karena desakan keadaan. Pengembangan perkotaan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah setempat. Pada dasarnya, kota berkembang karena urbanisasi akibat kepesatan pertumbuhan ekonomi. Kota kian dipadati penduduk, kebutuhan prasarana dan sarana pun terus meningkat. Pada gilirannya, timbul berbagai persoalan, berkaitan dengan aspek fisik maupun non fisik (sosial).

Kata pepatah, ada gula ada semut. Semakin banyak gulanya, maka semakin banyak pula semut yang cnengerumuninya. Eko Budihardjo dalam buku "Sejumlah Masalah Permukiman Kota" (halaman 202) menyebutkan, "Kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota terjadi, antara lain, karena bangunan dan linghkungan binaan dipandangsebagai hal statis. Lebih tragis lagi, bila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut statistik saja".

Sementara itu, Peter J.M. Nas dalam buku "The Indonesian City, From Problem to Planning" (halaman 91 ), menyatakan permasalahan perkotaan yang nyata adalah permasalahan fisik, juga permasalahan pertumbuhan penduduk. Menurutnya, untuk menghadapi permasalahan di kampung miskin yang padat, diperlukan sediaan tanah cadangan. "More ground should be reserved for kampung expansion and ... ". Pernyataan ini mengingatkan, bahwa tiap kampung di perkotaan perlu perencanaan penggunaan lahan.

 

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PENATAAN RUANG

Pembangunan ekonomi bukanlah hal mudah. Pembangunan ekonomi tidak sekedar menerapkan teori mengembangkan aktifitas ekonomi masyarakat di suatu wilayah atau mengembangkan suatu wilayah agar perekonomiannya tumbuh dan berkembang pesat. Pembangunan ekonomi bukan hanya menggali sumber alam, tetapi juga menuntut pengelolaannya secara bijaksana.

Emil Salim menyatakan, " ... karena Indonesia dapatdibagi-bagi ke dalam berbagai daerah ekologi, kita akan mengambillangkah sehingga di setiap derah ini paling tidak 10% disisihkan sebagai wilayah ekosistem. Wilayah ini dinyatakan sebagai eagar alam yang tetap, tidak disentuhsentuh kecuali sebagai laboratorium hid up untuk kepentingan ilmiah ... " (Pembangunan Berwawasan Lingkungan, halaman 137).

Pembangunan ekonomi merupakan proses meningkatkan pendapatan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Di suatu wilayah tertentu, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur dari pendapatan per kapita. Namun, karena pembangunan ekonomi membutuhkan waktu, dapat saja besaran pendapatan per kapita yang telah diperkirakan di awal pembangunan tidak dicapai ketika pada kurun waktu tertentu jumlah penduduk meningkat,.

Begitu kompleksnya pembangunan ekonomi, terlebih di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, menuntut keterpaduan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan non ekonomi, seperti pemberdayaan masyarakat. Pembangunan ekonomi, dengan demikian, memerlukan perencanaan matang agar dapat mencakup seluruh aspek dan dapat diukur keberhasilannya.

Pada masa orde lama cenderung lebih banyak membangun kehidupan politik, sedangkan pada masa orde baru mulai mengarah pada pembangunan ekonomi. Pada 1 April1969 mulai dilaksanakan kebijakan pembangunan jangka panjang yang dikenal dengan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I) yang dibagi dalam 5 (lima) tahapan pembangunan lima tahunan (Pelita).

Dalam Pelita I (1969-1974), pembangunan ekonomi diarahkan pada pemeliharaan stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan pemerataan hasil per:nbangunan. Pelita II (1974-1979) mem prioritaskan pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Pelita 111-V (1979-1984, 1984-1989 dan 1989- 1994) tetap memprioritas pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada era PJPT I berpengaruh pada era PJPT II.

Selanjutnya, pada era PJPT II yang diawali Pelita VI (1994- 1999) mengalami perubahan pendekatan dalam pencapaian pembangunan. Pembangunan lebih ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia dan teknologi. Sasaran Pelita VI tidak pernah dievaluasi, namun berbagai komentar yang berbau politik dan ekonomi sering menyinggung tentang besaran hutang luar negeri, kesenjangan dan kelemahan penguasaan teknologi.

 



Dari grafik di atas, Roeslan Zaris menjelaskan pengelompokkan berikut:

• Propinsi miskin (PDRB lebih kecil dari Rp. 30.000) berciri sumber alam sedikit dengan penduduk tidak padat;

• Propinsi berciri sebagai daerah agraris dan berpenduduk padat, termasuk kelompok miskin dan sulit berkembang;

• Propinsi berciri memiliki PDRB tinggi, kaya sumber alam dan berpenduduk padat (kecuali DKI sebagi ibukota negara);

• Propinsi yang pertumbuhannya pesat, kaya sumber alam dan berpenduduk jarang.

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas, bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan sumber daya alam di tiap wilayah.

Sejalan dengan pembangunan ekonomi (mulai dari PJPT I hingga Pelita VI), jumlah penduduk bertambah pula. Pada tahun 1979, penduduk masih berjumlah 139 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1983 menjadi 151 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk, meski berhasil ditekan melalui program Keluarga Berencana, mempunyai implikasi terhadap kesempatan kerja. Seperti dialami selama tahun 1979-1983, pencari ke~a baru berkisar 50-56 juta jiwa (sekitar 37% dari jumlah penduduk) yang membutuhkan lapangan kerja.

Selain kesempatan kerja, pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap kebutuhan ruang. Di Jawa, Madura dan Bali, tingkat kepadatan penduduk meningkat dari 644 jiwa per km2 (1978) menjadi 704 jiwa per km2 (1983). Pola pembangunan pada masa Pelita dipengaruhi oleh keadaan di Jawa, Madura dan Bali. Keadaan tersebut menuntut lahan baru yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman lengkap dengan prasarana dan sarana untuk aktifitas ekonomi dan sosial.

 

 

 

Sumber: Lina Marlia Dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia Penerbit DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH , DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Tahun 2003

Minggu, 02 Oktober 2022

Wujud Kota Ramah Wisatawan

PERTUMBUHAN peduduk yang tidak d a p a t d i b e n d u n g dari waktu ke waktu sehingga membutuhkan ruang gerak yang dinamis dan ramah lingkungan serta populasi yang ada diatas bumi. Ruang yang dibutuhkan adalah ruang yang layak terhadap keberlangsungan h i d u p p e n d u d u k . U n t u k m e w u j u d k a n i t u m a k a diperlukan adanya penataan ruang yang komprehensif agar dapat mengatur setiap aspek yang dibutuhkan oleh populasi.

U n t u k m e l a k s a n a k a n p e n a t a a n d e n g a n pertumbuhan penduduk yang selalu meningkat, Adapun permasalahan utama yang dihadapi adalah ketersediaan lahan yang terbatas sehingga akan berpengaruh terhadap k e b u t u h a n n y a s e p e r t i perumahan dan permukiman, pertanian, pertambangan, perindustrian, kehutanan, pariwisata, pertahanan dan keamanan serta penataan sektor kelautan.

Mewujudkan penataan kawasan tidaklah mudah k a r e n a p e r k e m b a n g a n pembangunan sudah terjadi sejak lama sehingga dibutuhkan penataan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang dapat memberikan daya tarik bagi orang yang beraktifitas atau pengunjung. Penataan sebuah Kawasan harus memperhatikan dukungan sarana dan prasarana wilayah/kawasan karena dengan adanya sarana dan prasarana yang mendukung dan seimbang maka pembangunan setiap kawasan akan cepat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang ada.

Menurut Kamus Bahasa I n d o n e s i a “ k o t a a d a l a h p e r m u k i m a n s e b a g a i pemusatan penduduk yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat dengan kepadatan tinggi serta fasislitas m o d e r n s e b a g i a n b e s a r penduduknya bekerja diluar pertanian.

Berdasarkan hal diatas maka pembangunan kota harus diiringi oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang modern dan memberikan kesan ramah terhadap lingkungannya. Sarana dan prasarana adalah sebagai motor penggerak mewujudkan pertumbuhan ekonomi kawasan dan daya saing global. Maka dari itu yang di butuhkan adalah dukungan sarana dan prasarana kawasan antara lain seperti:

1.     Transportasi, penyediaan s a r a n a t r a n s p o r t a s i hendaklah dengan sistem yang terintegrasi antara jenis transportasi yang s a t u d e n g a n l a i n n y a (pelabuhan ke bandara d a n ke n d a ra a n u m u m atau kereta api, misalnya diwilayah kepulauan yang diperlukan adalah airport, pelabuhan, dan terminal bus/kereta api serta moda transportasinya yang juga terintegrasi dengan moda transportasi berskala mikro. Untuk menyediakan layanan tranportasi maka diperlukan moda transportasi dan fasilitas penunjang yang aman, nyaman serta ramah (green transportation) untuk semua golongan seperti halnya untuk orang tua, atau yang berkebutuhan khusus (difabel) seperti dibangun akses di stasiun ataupun di halte/bus stop di jalur pedestrian. Maka dengan demikian pengguna layanan transportasi akan merasa dimanjakan dengan kemudahan ini karena fasilitisnya lengkap, aman dan nyaman

2.     Telekomunikasi, Penyediaan sarana telekomunikasi y a n g m u d a h u n t u k diakses dengan sistem menggunakan jaringan t e l e k o m u n i k a s i y a n g d i r a n c a n g d i b a w a h tanah (underground) dan b e r k e p a d a t a n t i n g g i . Maka diharapkan akan memberikan wajah kota yang enak untuk dipandang dan dapat memberikan ruang gerak yang energi untuk populasi diatas bumi, seperti mudah dalam melakukan pemeliharaan taman dan pohon pelindung yang berada dipinggir jalan sehingga pohon tidak perlu dipangkas untuk menghindari jaringan yang ada diatasnya dan pohon akan tumbuh bebas dan kuat sehingga tanaman tumbuh subur dan udara diperkotaan juga menjadi sejuk.

3.     Jaringan energi, s a m a halnya dengan point 2 di atas, yaitu diperlukannya pembangunan dibawah tanah (underground).

4.     Jaringan Air Bersih, Jaringan air bersih mutlak untuk d i s e d i a k a n k a r e n a merupakan kebutuhan yang harus ada dari waktu ke waktu. Kebutuhan air bersih dapat digunakan untuk air minum, mandi dan kebutuhan sanitarian. A p a b i l a t e rc u ku p i n y a ketersediaan air bersih maka akan memberikan kenyamanan bagi penduduk di daerah tersebut.

5.     Sumber Daya Air, dalam mencukupi kebutuhan air bersih sering terkendala d e n g a n k e m a m p u a n sumber air untuk mensupply air ke masyarakat maka dari itu perlu dijaga sumber air seperti waduk/ e m b u n g d a n at a u p u n sungai serta tangkapan air (cacthman area) untuk mempertahankan kapasitas produksi air. Ada beberapa cara juga didalam mengatasi kekurangan air terutama dengan membangun kanal, membangun estuary Dam di laut dan dapat juga dengan pengendalian curah hujan serta air limbah rumah tangga yang diarahkan k e k o l a m t a m p u n g a n yang dibangun dengan kapasitas tinggi untuk mengolah air tersebut untuk dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan sehari hari. Menarik disini adalah pengelolaan air hujan dan air limbah rumah tangga perlunya di bangun p e n a m p u n g a n / d a n a u buatan. Ini dapat dilakukan karena tingginya potensi tutupan lahan yang timbul a k i b a t p e r t a m b a h a n bangunan dari waktu ke waktu sehingga mengurangi area resapan air atau area hijau. Maka dibutuhkan pada setiap area permukiman/ k e p a d a t a n p e n d u d u k dibangun waduk buatan dengan tampungan air sangat besar agar dapat menampung air dengan debit yang sangat tinggi. Dengan adanya waduk buatan ini maka dapat mengatasi limpahan air hujan sehingga menjadi solusi dalam mengendalikan g e n a n g a n a i r / b a n j i r. Adapun air tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan namun perlu dilakukan kembali pengelolaan kembali agar air dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat lain dari adanya pembangunan danau buatan ini adalah dapat dijadikan sebagai taman air dan tempat rekreasi bagi masyarakat s e p e rt i l o k a s i ke o i n g (camper park) dengan fasilitas yang lengkap dan menjaga lingkungan dengan ketat.

6.     Jaringan Drainase , p e r e n c a n a a a n d a n pembangunan jaringan drainase dibangun melebihi daya tampung perkiraan karena dengan adanya drainase yang cukup maka dapat mengatasi genangan air atau banjir selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan d i s a m p i n g u n t u k menampung buangan air rumah tangga dan limpahan air hujan dapat juga dijadikan sebagai sungai buatan (jika air yang mengalir aktif) sehinga dapat dijadikan untuk budidaya ikan air tawar atau wisata air (River Cruise). Dengan adanya jaringan d r a i n a s e m a k a p e r l u dibangun sistem jaringan utilitas yang dirancang dalam bentuk tunnel a g a r teratur dan mudah dalam perawatan dan pengelolaannya.

7.     Persampahan, s a m p a h merupakan salah satu permasalahan diperkotaan dimana potensi sampah setiap hari sangat banyak sehingga perlu dilakukan pengelolaan agar dapat bermanfat seperti untuk p u p u k at a u p u n u n t u k s u m b e r d a y a e n e r g i a l t e r n a t i f d a n l a i n sebagainya. Sering kita lihat sampah yang berserakan baik di public area (jalan, selokan, sungai danau dan bahkan dilaut) jika kondisi ini belum dapat diatasi maka wajah kota akan terlihat tidak bersih sehingga a k a n m e m p e n g a r u h i kualitas udara (bau) dan dampak sampah yang mempengaruhi kualitas air (kotor/keruh) serta akan menjadi pembicaraan khalayak banyak. Maka dari itu diperlukannya sistem persampahan yang baik agar sampah dapat diatasi dengan cara dibuang di tempat yang disediakan. U n t u k i t u d i b u t u h k a n tempat sampah dalam jarak tertentu agar orang s e l a l u m e n d a p a t k a n tempat sampah dan secara sadar membuang sampah d i t e m p a t n y a . Selain itu juga dibutuhkan kendaraan pengangkut s a m p a h y a n g r a m a h lingkungan sehingga dalam melakukan pengangkutan sampah tidak menimbulkan bau dan tidak berserakan serta kesehatan dari petugas kebersihan selalu terjaga dengan baik.

8.     Limbah, pengertian limbah adalah bahan pembuangan t i d a k t e r p a k a i y a n g berdampak negatif bagi masyarakat jika tidak dikelola d e n g a n b a i k . L i m b a h merupakan sisa produksi, baik dari alam maupun hasil kegiatan manusia. maka dari itu perlu dilakukan pengelolaan berdasarkan jenisnya sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik seperti pupuk dan untuk sumber daya energi atau dalam bentuk lain (edukasi). Sehingga limbah tidak hanya sebagai limbah namun memberikan nilai manfaat. Oleh sebab itu diperlukan pembangunan pengelolaan limbah terpadu, seperti pembuangan tinja yang biasa dibangun setiap bangunan maka diperlukan septic tank communal, yang bertujuan untuk mengurangi jumlah lobang dan juga dapat menjaga kualitas air tanah selain itu juga memudahkan didalam perawatan dan pengelolaannya.

9.     K a w a s a n Hijau (Green Area), seperti area parkir dan pedestrian. Kawasan hijau sangat d i b u t u h k a n u n t u k menciptakan keseimbangan lingkungan yang dibangun dengan ruang yang tidak terbangun. Sehingga akan menjaga dan memproduksi oksigen (O2) kembali. Kemudian ruang hijau ini dapat dimanfatkan oleh masyarakat sebagai tempat berinteraksi dengan sesamanya dan juga dengan alam.

Sarana dan Prasarana sebagaimana yang disebutkan di atas perlu dirancang secara baik agar fungsi layanannya maksimal sehingga dapat memberikan citra kota yang bersih dan nyaman bagi orang yang beraktifitas baik yang tinggal menetap maupun yang bersifat commuter. Permasalahan yang sering dilihat yaitu minimnya akses yang ramah bagi kaum difabel sehingga memberikan kesan tidak adanya kemudahan bagi orang yang berkebutuhan khusus dalam beraktifitas.

Dengan adanya penataan kawasan perkotaan yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang modern dan ramah terhadap penduduknya maka kota tidak hanya sebagai permukiman dan pusat perdagangan saja namun juga menjadi sebuah kota yang mampu menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Karena kegiatan pariwisata merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi pendapatan nasional dan pendapatan daerah. Menurut teori Yoeti (2003) “Syarat suatu perjalanan disebut sebagai perjalanan pariwisata apabila: (1) Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain, diluar tempat kediaman orang tersebut biasa tinggal; (2) Tujuan perjalanan semata-mata untuk bersenang-senang dan tidak mencari nafkah ditempat atau negara yang dikunjunginya; (3) semata-mata sebagai konsumen ditempat yang dia kunjungi.

B e r d a s a r k a n t e o r i d i atas dapat diartikan bahwa Kecenderungan wisatawan adalah melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat lain untuk mencari sesuatu y a n g d a p a t m e m u a s k a n batinnya atau melakukan perjalanan untuk melakukan kegiatan yang memberikan keuntungan pada dirinya. Maka wisatawan akan lebih mencari tujuan perjalananyang akan memberikan dampak positif bagi dirinya.

Sedangkan menurut Wahab “Pariwisata mengandung tiga unsur antara lain: Manusia, yakni unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata; Tempat, yakni unsur fisik yang sebenarnya tercakup dalam kegiatan itu sendiri; dan Waktu, yakni unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan tersebut dan selama berdiam d i t e m p at t u j u a n . A rt i n y a wisatawan akan mencari tempat yang dapat memuaskan dirinya dengan segala keunggulan di tempat yang dikunjunginya, yakni temasuk nilai objek, fasilitas dan akses dari dan ditempat tujuan.

Dengan tingginya mobilitas p e n d u d u k d a l a m ra n g ka mencari tepat merelaksasi diri ke satu Kawasan maka wisata kota adalah salah satu solusi dari pada objek wisata lainnya. Untuk mewujudkan kota yang ramah terhadap semua golongan yang perlu diperhatikan adalah penataan kota yang dapat memberikan nuasa ramah lingkungan (environmentally friendly).

S e t i a p o r a n g y a n g bepergian ada beberapa tipe perjalanan yang diperhatikan antara lain:

1.     Pusat perdagangan, kebutuhan masyarakat tidak dapat d i h i n d a r i m u l a i d a r i kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan yang bersifat lebih spesifik. Perjalanan ke kota salah s at u y a n g d i b u t u h ka n oleh banyak orang adalah untuk menikmati pusatpusat perbelanjaan yang modern dengan bangunan yang berastitektur modern d e n g a n f a s i l i t a s y a n g lengkap dan memberikan k e n y a m a n a n d a l a m berbelanja sehingga akan terjadi berkesinambungan (suistanability) fasilitas seperti Akses yang ramah terhadap difabel (disabled friendly acces ) y a n g tersedia di setiap gedung sampai menuju ke fasilitas transportasi (kendaraan d a n p a r k i r ) . A d a n y a rasa aman dan nyaman maka setiap orang ingin melakukan kunjungan ke Kawasan perbelanjaan y a n g d i k u n j u n g i n y a karena tidak menyediakan kelengkapannya.

2.     Pusat hiburan, hiburan adalah salah satu kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat perkotaan. A g a r m a s y a ra kat b i s a m e n i k m a t i d e n g a n maksimal pusat hiburan tersebut maka diperlukan fasilitas sebagaimana yang disebutkan pada point 1 diatas.

3.     Medical Service, kebutuhan k e s e h a t a n s a n g a t l a h dibutuhkan oleh setiap orang. Setiap orang yang merasakan ada kendala kesehatan maka selalu mencari tempat untuk berobat yang berkualitas. S e r i n g s e k a l i k i t a mendengar orang pergi berobat ke negara tertentu untuk berobat (sakit jantung, penyakit dalam, operasi, kanker, infertilitas dan ataupun untuk pengobatan kecantikan). Sehingga yang dibutuhkan adalah sistem pelayanan yang selalu dapat menjawab itu semua seperti mulai dari pendaftaran yang tidak antri terlalu lama, dokter ahli yang berkompeten dan dapat di jumpai setiap jam kerja serta alat-alat medis yang lengkap serta obat-obatan yang berkualitas.

4.     Mencari Pekerjaan, Setiap orang memiliki impian u n t u k m e n d a p a t k a n pekerjaan yang layak dan hidup diperkotaan sehingga banyak orang berbondongbondong datang ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih bagus daripada di kampung halaman.

5.     Menikmati Kota yang Ramah Lingkungan, yang dimaksud d e n g a n k o t a r a m a h lingkungan adalah kotayang dapat memberikan rasa aman, nyaman dan suistanability sehingga orang yang berkunjung ke kota tersebut selalu m e n e m u k a n m o d e l penataan kota yang berbeda dengan kota lain. Namun yang harus diperhatikan adalah kota yang bersih dan dilengkapi dengan segala fasilitas pendukungnya d a n r a m a h t e r h a d a p kaum difabel sehingga k a w a s a n p e r k o t a a n dapat memberikan ruang gerak yang sama bagi setiap orang dan dapat beraktifitas dengan mudah sehingga kota seperti itu menjadi impian bagi setiap orang untuk dapat mengunjunginya.

Kota yang ramah lingkungan dan memiliki sarana dan prasarana kota serta penataan k o t a y a n g a r t i s t i k d a n berwawasan lingkungan dapat memberikan kesan ramah terhadap semua kebutuhan orang yang berada dikawasan itu, sehingga dapat memberikan rasa puas kepada semua orang. Maka dengan demikian kota tersebut akan selalu banyak dikunjungi sehingga aktifitas ekonomi selalu aktif dan produktif dan meningkatkan p e n d a p a t a n p e r k a p i t a warganya. Dengan demikian maka akan dapat mewujudkan kota ramah wisatawan.

 

Referensi:

1. Pemasaran pariwisata,Disusun oleh Dr. Igusti Bagus Rai Utama, M.A

2. Fenomeda U r b a n S p r a w l Jabodetabek, Disusun oleh Juyadi, Ariyani Indrayati, dan Anisa Ulul Azmi.

3. Pengertian Limbah, Karakteristik, dan Jenis-jenisnya Faqihah M Itsnaini – detikEdu

 

 

Sumber: Penulis Ronaldy Lovina, ST, Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 5 | SEPTEMBER - OKTOBER 2021