Rabu, 28 September 2022

Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)

 1.     Komponen STBM

Program STBM dilaksanakan melalui proses pelembagaan 3 (tiga) komponen sanitasi total yang merupakan satu kesatuan yang saling memengaruhi yaitu:

a). Penciptaan lingkungan yang kondusif;

b). Peningkatan kebutuhan dan permint aan sanitasi; dan

c). Peningkatan penyediaan sanitasi.

 


Gambar 1. Komponen sanitasi total

Ketiga komponen sanitasi total tersebut menjadi landasan strategi pelaksanaan untuk pencapaian 5 (lima) pilar STBM.

a.     Penciptaan Lingkungan yang Kondusif

Komponen ini mencakup advokasi kepada para pemimpin Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam membangun komitmen bersama untuk melembagakan kegiatan pendekatan STBM yang diharapkan akan menghasilkan:

• Komitmen pemerintah daerah menyediakan sumber daya untuk melaksanakan pendekatan STBM menyediakan anggaran untuk penguatan intitusi ;

• Kebijakan dan peraturan daerah mengenai program sanitasi seperti SK Bupati, Perda, RPJMP, Renstra, dan lain-lain;

• Terbentuknya lembaga koordinasi yang mengarusutamakan sektor sanitasi, menghasilkan peningkatan anggaran sanitasi daerah, koordinasi sumber daya dari pemerintah maupun non-pemerintah;

• Adanya tenaga fasilita tor, pelatih STBM dan kegiatan peningkatan kapasitas;

• Adanya sistem peman tauan hasil kinerja dan proses pengelolaan pembelajaran.

b.     Peningkatan Kebutuhan dan Permintaan Sanitasi

Komponen peningkatan kebutuhan sanitasi merupakan upaya sistematis untuk mendapatkan perubahan perilaku yang higienis dan saniter, berupa :

• Pemicuan perubahan perilaku;

• Promosi dan kampanye perubahan perilaku higiene dan sanitasi secara langsung;

• Penyampaian pesan melalui media massa dan media komunikasi lainnya;

• Mengembangkan komitmen masyarakat dalam perubahan perilaku;

• Memfasilitasi terbentuknya komite/tim kerja masyarakat;

• Mengembangkan mekanisme peng hargaan terhadap masyarakat/institusi melalui mekanisme kompetisi dan benchmark kinerja daerah.

c.     Peningkatan Penyediaan Sanitasi

Peningkatan penyediaan sanitasi yang secara khusus diprioritaskan untuk meningkatkan dan mengembangkan percepatan penyediaan akses dan layanan sanitasi yang layak dalam rangka membuka dan mengembangkan pasar sanitasi perdesaan, yaitu :

• Mengembangkan opsi teknologi sarana sanitasi yang sesuai kebutuhan dan terjangkau; • Menciptakan dan memperkuat jejaring pasar sanitasi perdesaan;

• Mengembangkan kapasitas pelaku pasar sanitasi termasuk wirausaha sanitasi lokal;

• Mempromosikan pelaku usaha sanitasi dalam rangka memberikan akses pelaku usaha sanitasi lokal ke potensi pasar (permintaan) sanitasi on site

 

2.     Tahapan Pelaksanaan STBM

Pelaksanaan STBM dilakukan melalui tahapan kegiatan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Keseluruhan tahapan persiapan pelaksanaan STBM di semua tingkat harus memperhatikan koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan, termasuk lintas program pembangunan air minum dan sanitasi, sehingga keterpaduan dalam persiapan dan pelaksanaan STBM dapat tercapai.

 


3.     Peran Kelembagaan

Pemerintah kabupaten menjadi pemeran utama dalam pelaksanaan dan pengembangan program sesuai dengan strategi dan prinsip pendekatan STBM. Pemerintah Provinsi dan Pusat, memfasilitasi peningkatan kapasitas yang diperlukan untuk mendukung kegiatan operasional.

Dalam upaya mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kabupaten untuk mengembangkan program STBM, perlu dilakukan roadshow para pengambil keputusan ditingkat kebijakan dan manajemen program tentang prinsip-prinsip pengembangan program dengan mengutamakan tidak ada subsidi untuk sarana rumah tangga, penciptaan lingkungan yang mendukung dan peningkatan pemasaran serta perluasan supply materials yang terkait dengan sanitasi. Roadmap atau Rencana Strategis Higiene dan Sanitasi kabupaten yang merupakan pentahapan rencana pengembangan program STBM sangat diperlukan sebagai acuan untuk pengajuan anggaran APBD kabupaten melalui mekanisme yang ada seperti Musrenbang dan SKPD.

Pemerintah provinsi bersama pemerintah pusat akan memberikan bimbingan dalam upaya peningkatan kapasitas dan pelatihan untuk pengembangan program STBM di tingkat kabupaten yang mengacu pada mekanisme yang ada dan dokumen pendukung terkait. Provinsi menyusun Rencana Strategis Higiene dan Sanitasi dengan mempertimbangkan potensi yang ada dan legal dokumen dari Pusat yang terkait seperti target RPJMN dan MDGs. Pemerintah provinsi menyiapkan rencana yang didalamnya termasuk koordinasi pelaksanaan STBM tingkat provinsi, melaksanakaan riset pasar dan karaakter media komunikasi tingkat provinsi, melakukan kajian lingkungan yang mendukung (enabling environment) pada kabupaten sasaran dan mengembangkan kemitraan dengan organisasi non pemerintah (seperti dengan program-program Corporate Social Responsibility).

Pemerintah menyiapkan perangkat dalam upaya mengoperasionalkan kebijakan nasional STBM dan memfasilitasi penyediaan sumber daya termasuk pendanaan yang mendukung peningkatan kapasitas pengembangan pendekatan STBM melalui berbagai alternatif pendanaan, meningkatkatkan kapasitas dan peraangkat sistim monitoring, menyebar-luaskan dan memfasilitasi produk pengetahuan dan pembelajaran dan penciptaan sistim insentif.

Keterlibatan pemangku kepentingan lainnya (donor, LSM, swasta, institusi pendidikan, institusi agama, dll) mendukung upaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan program STBM berupa dukungan pembiayaan, advokasi, dan bantuan teknis. Dukungan yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah ini dapat dilakukan di berbagai tingkatan pemerintahan maupun tahapan pelaksanaan, sesuai dengan keberadaan dan kapasitas dari pemangku kepentingan.

Dukungan tersebut wajib dikoordinasikan dengan Pemerintah/Pemerintah Daerah maupun lembaga koordinasi di wilayah setempat agar sejalan serta bersinergi dengan kebijakan dan strategi nasional STBM.

Peran masyarakat adalah sebagai pelaku utama, motivator dan fasilitator STBM dalam penyusunan rencana aksi, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi rencana aksi yang telah tersusun.

4.     Mekanisme dan Koordinasi

4.1  Mekanisme Dukungan Peningkatan Kapasitas

Dukungan dalam rangka peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah akan difasilitasi oleh Pemerintah berdasarkan skala prioritas dan Pemerinah Daerah bertanggung jawab ata pengembangannya.

Dukungan Pemerintah akan diprioritaskan pada kegiatan persiapan untuk membangun advokasi lingkungan politik dan kelembagaan yang kondusif, termasuk pengembangan kapasitas fasilitator dan pelatih tingkat kabupaten. Pelaksanaan pengembangan kapasitas akan dilakukan melalui pelatihan bertahap dengan metode yang efektif dan melibatkan lembaga yang mempunyai wewenang dibidang pendidikan untuk memberikan legalitas dan akreditasi pendidikan yang berkulitas.

Peningkatan dan perluasan cakupan STBM ke seluruh kabupaten akan menggunakan alokasi pembiayaan dari Pemerintah Daerah dan sumber daya tenaga kerja yang telah dikembangkan.

4.2  Tenaga Pelatih dan Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas melalui berbagai kegiatan sangat diperlukan dalam upaya mendukung pelaksanaan program STBM.

Tim fasilitator nasional akan dipilih dari kalangan umum, pemerintah dan swasta, LSM, lembaga penelitian dan akademik, yang akan ditugaskan secara berkala untuk meningkatkan beragam keterampilan berbeda yang dibutuhkan oleh pengelola program sanitasi dan higiene serta para pelaksana program STBM.

Dalam upaya melaksanakan kegiatan operasional, dibentuk Sekretariat STBM yang berfungsi melakukan pemetaan tentang potensi, kebutuhan dan kesenjangan, berperan sebagai fasilitator untuk menjalankan program peningkatan kapasitas tim fasilitator berbagai tingkatan, koordinasi kegiatan STBM di pusat dan melakukan pemantauan perkembangan program, pengelolaan data, informasi dan pengetahuan.

Kerangka kerja peningkatan kapasitas pembangunan sanitasi perdesaan akan dikembangkan dengan materi pengembangan kapasitas yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap tingkatan institusi dari mulai provinsi, kabupaten, kecamatan, puskesmas, sampai tingkat masyarakat.

Di tingkat pusat melalui Sekretariat STBM akan melaksanakan TOT yang diikuti oleh para praktisi STBM termasuk Pemerintah, LSM yang berminat, Lembaga Donor, organisasi profesi, swasta, akademik dan lembaga pendidikan yang berkompeten dan provinsi terpilih. Tim fasilitator ini diharapkan menjadi sumber fasilitasi pengetahuan, keterampilan dan inovasi intervensi STBM dan bekerjasama dengan fasilitator provinsi melaksanakan TOT di tingkat kabupaten.

Advokasi dilaksanakan dalam upaya penyebarluasan informasi tentang kebijakan strategi nasional STBM kepada para pengambil keputusan dan pengelola program/proyek terkait dan kemungkinan dilakukannya sinergi sumber daya untuk mendukung upaya STBM yang lebih optimal dan dalam upaya pembentukan pusat pengembangan (development center) untuk sanitasi.

Pemantauan dan penciptaan lingkungan yang mendukung dilaksanakan dengan memanfaatkan sistim yang sudah ada, sehingga diharapkan setiap informasi perkembangan STBM dapat diketahui oleh para pelaku yang berkompeten. Pusat akan melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga peningkatan sumber daya manusia, khususnya dalam penyelenggaraan pelatihan yang berkaitan dengan jabatan fungsional tenaga sanitarian agar output yang dihasilkan dapat memperoleh nilai kredit dan akreditasi secara legal.

Upaya ini merupakan salah satu bentuk insentive bagi tenaga sanitarian dalam melaksanakan fungsi dilapangan khususnya yang berkaitan dengan kegiatan STBM.

Provinsi melalui Pokja AMPL bekerjasama dengan tim fasilitator pusat dan lembaga pendidik yang telah dilatih akan melaksanakan TOT tingkat kabupaten yang diikuti oleh lembaga pemerintah daerah yang berkompeten, LSM lokal, swasta, lembaga pendidikan, organisasi profesi dan puskesmas yang berminat dan terpilih untuk mengembangkan program STBM di wilayahnya dapat digunakan sebagai pusat pelatihan. Melakukan advokasi kepada para pengambil keputusan dan pengelola proyek/kegiatan yang berkaitan dengan /atau kemungkinan dilakukan sinergi untuk mendukung upaya sanitasi. Melakukan pemantauan terhadap kemajuan pelaksanaan STBM selaras dengan kebutuhan informasi oleh pusat dan data yang tersedia di kabupaten. Setiap provinsi yang mempunyai/mengelola lembaga pendidikan diharapkan dapat melakukan kerjasama untuk menyebarluaskan informasi dan dukungan sumber daya guna membantu pelaksanaan STBM di daerah. Dalam upaya menyusun rencana yang terintegrasi, provinsi melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan daerah dan mempertimbangkan sumber daya yang ada termasuk lembaga pendidikan yang dapat digunakan sebagai pusat pengembangan sanitasi (development center).

Kabupaten melalui fungsi Pokja AMPL, bekerjasama dengan tim fasilitator provinsi melaksanakan pelatihan untuk memahami berbagai bidang yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan STBM yang diikuti oleh para pelaksanaan kegiatan sanitasi di daerah antara lain lembaga pemerintah yang berkompeten, swasta, LSM lokal, organisasi massa dan sanitarian yang bertugas di wilayah kabupaten. Advokasi diselenggarakan dengan sasaran para pengambil keputusan dan pengelola proyek sanitasi atau yang memungkinkan untuk dilakukan sinergi. Pemantauan kemajuan pelaksanaan dan penyebarluasan informasi dilaksanakan dengan memanfaatkan sistim yang sudah ada dan mengacu pada kebutuhan informasi oleh provinsi dan pusat serta prinsip-prinsip pendekatan STBM.

Kecamatan/desa/kelurahan/masyarakat akan dilaksanakan pelatihan dalam upaya meningkatkan keterampilan untuk melaksanakan proses pemberdayaan masyarakat melalui perubahan perilaku secara kolektif sehingga terwujudnya desa/kelurahan sanitasi total dan melakukan pemantauan kemajuan pelaksanaan. Verifikasi akan dilakukan bila desa/kelurahan telah mencapai indikator pilar 1, selanjutnya dilakukan bila desa/kelurahan telah mencakup 5 pilar.

4.3  Koordinasi Pelaksanaan

Dalam upaya pelaksanaan mekanisme tersebut diatas, koordinasi menjadi bagian penting yang wajib dilaksanakan oleh masing-masing peran dan jenjang wilayah sesuai tugas pokok serta fungsinya (tupoksi).

1. Koordinasi di tingkat Pusat dilaksanakan dengan memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada seperti Pokja AMPL, Tim Pengarah dan Tim Tehnis kegiatan AMPL. Sekretariat STBM akan melakukan koordinasi operasional pelaksanaan STBM dan secara berkala melaporkan ke Kementerian Kesehatan untuk disampaikan ke forum koordinasi AMPL

2. Koordinasi tingkat Provinsi melalui Pokja AMPL / lembaga koordinasi yang sudah ada. Dinas Kesehatan Propinsi sebagai penanggung jawab kegiatan STBM menyampaikan kemajuan yang dicapai keforum Pokja AMPL dan Gubernur.

3. Koordinasi tingkat Kabupaten melalui Pokja AMPL / lembaga koordinasi yang sudah ada. Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab kegiatan STBM menyampaikan laporan kemajuan yang telah dicapai keforum AMPL dan Bupati.

4. Koordinasi tingkat Kecamatan dilaksanakan melalui mekanisme forum koordinasi kecamatan. Kepala Puskesmas sebagai penanggung jawab kegiatan STBM melaporkan kemajuan hasil kegiatan ke forum koordinasi yang dipimpin oleh Camat dan Kepala Pukesmas.

5. Koordinasi tingkat Desa/kelurahan melalui komite yang dibentuk oleh masyarakat dan melaporkan hasil kemajuan yang telah dicapai keperangkat desa yang dipimpin oleh kepala Desa, Lembaga Desa dan ke Puskesmas dengan menggunakan sistem yang ada.

Keterangan

1. Pokja AMPL di Pusat merupakan forum koordinasi tingkat nasional yang beranggotakan lintas Kementerian terkait antara lain Kementrian Pekerjaan Umum, Dalam Negeri ( Ditjen PMD dan Bangda ), Kesehatan ( Direktorat Penyehatan Lingkungan, Pusat Promosi Kesehatan, Pusat Data dan Informasi ), Pendidikan dan Kebudayaan, dan para pelaku kegiatan AMPL seperti para donor, LSM dan lembaga internasional

2. Sekretariat STBM di Pusat merupakan unit yang mengelola kegiatan STBM berkoordinasi dengan Pokja AMPL Nasional. Sekretariat dikoordinir oleh pejabat dari Kementerian Kesehatan dan beranggotakan dari konsultan yang direkrut oleh para pendukung Sekretariat. Unit ini bertanggung jawab dan melaporkan kemajuan yang telah dicapai kepada Kementerian Kesehatan.

3. Pokja AMPL Propinsi merupakan forum koordinasi ditingkat propinsi yang beranggotakan lintas dinas terkait di propinsi antara lain Dinas Cipta Karya, Dinas Kesehatan ( Penyehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Pusat Data dan Informasi ), Kantor PMD, Bappeda, Dinas Pendidikan dll

4. Pokja AMPL Kabupaten merupakan forum koordinasi di tingkat kabupaten yang beranggotakan lintas dinas terkait yaitu Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Kantor PMD, Bappeda, Dias Pendidikan, PKK/BKKBN dll

5. Komite di tingkat desa dan masyarakat adalah unit yang dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat yang berfungsi melakukan motivasi, kreatifitas dan pengawasan terhadap proses pemberdayaan akses terhadap sarana sanitasi yang sehat melalui perubahan perilaku secara kolektif. Komite beranggotakan unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, sanitarian, bidang desa.

 

5.     Mekanisme Pelaksanaan STBM pada Setiap Tingkatan

Pemerintah pusat Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab kegiatan menjabarkan pelaksanaan STBM sessuai dengan landasan hukum yang mendukung dan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan yang dirinci dalam Roadmap Sanitasi dengan menyiapkan pedoman pelaksanaan, pedoman tehnis dan modul pelaksanaan kegiatan, optimalisasi sumber dana sektoral, project nasional, kemitraan dengan anggaran lain yang terkait untuk mendukung kegiatan, kemitraan dengan pemangku kepentingan dan pemantauan kemajuan kegiatan termasuk pengelolaan pengetahuan. Kegiatan akan difokuskan pada peningkatan kapasitas pemerintah daerah melalui advokasi, pelatihan TOT provinsi dan kabupaten, pendampingan untuk pengembangan dan perluasan program, pengelolaan pengetahuan, penyiapan kerangka acuan khususnya terkait dengan studi yang spesifik. Di tingkat pusat dibentuk Sekretariat STBM yang sumber dayanya akan didukung oleh para pemangku kepentingan dan berfungsi sebagai pengelola kegiatan STBM secara terpadu dibawah koordinsi Kementrian Kesehatan. Secara periodik Sekretariat STBM akan melakukan koordinasi dengan Pokja AMPL pusat dalam upaya konsolidasi perkembangan program STBM.

Pemerintah provinsi akan memfasilitasi kabupaten yang berminat untuk mengembangkan program STBM antara lain berkerja sama dengan pusat melakukan advokasi dan TOT untuk tingkat kabupaten, pendampingan dan fasilitasi yang dibutuhkan oleh kabupaten, menyelenggarakan riset pemasaran (formative (perilaku dan preferensi konsumen) dan penilaian rantai supply (supply chain assessment) , strategi pemasaran dan kampanye komunikasi perubahan perilaku bedasarkan hasil temuan riset, menyiapkan Katalog Opsi Sanitasi Propinsi (Informed Choice Catalog) berdarsarkan riset, , evaluasi kinerja kabupaten dengan sistim pembandingan dan pembelajaran sesuai progres yang telah dicapai, fasilitasi akses terhadap potensi sumber dana yang ada termasuk dana CSR yang disediakan oleh perusahaan yang bergerak di wilayah tersedut. Dalam melakukan koordinasi dengan lembaga yang lain dibentuk Pokja AMPL yang beranggotakan kelembagaan terkait dan dikoordinir oleh Bappeda provinsi.

Pemerintah kabupaten merupakan pelaku utama dalam upaya pengembangan STBM karena program sanitasi menjadi salah satu urusan kabupaten. Advokasi para pengambil keputusan adalah merupakan langkah awal dalam upaya menjaring peminatan kabupaten dengan melibatkan Bupati, anggota DPRD, Ketua Bappeda dan SKPD. Pendampingan daerah untuk penyiapkan kelembagaan, penyusunan strategi pelaksanaan, komitmen daerah untuk penyediaan sumber dana dan sumber daya dengan kegiatan pokok diseminasi informasi, pengembangan strategi peningkatan demand dan pemasaran sanitasi termasuk jejaring distribusi, menjaring peminatan masyarakat, pemicuan dan pemantauan progres di masyarakat serta kompetisi antar desa atau kecamatan untuk hasil yang dicapai dan dikaitkan dengan sistim pemberian penghargaan (reward) kepada pelaksana yang telah melakukan usaha keras dan memiliki keberhasilan (champion).

Untuk kompetisi sumber dana dan sumber daya yang ada di kabupaten perlu diidentifikasi untuk mendukung kegiatan STBM secara langsung/tidak langsung. Pembentukan forum koordinasi antar lembaga terkait sangat diperlukan dalam upaya mendukung sinergi sumber dana, kegiatan, sasaran yang akan dicapai. Di tingkat kecamatan yang menjadi prioritas dalam intervensi program akan melakukan diseminasi informasi kepada tokoh masyarakat dan mengumpulkan peminatan yang disampaikan oleh desa/kelurahan. Berdasarkan peminatan masyarakat, kecamatan menentukan prioritas intervensi peningkatan demand melalui metoda pemicuan sesuai strategi pengembangan program STBM.

Keberhasilan lokasi awal pemicuan mencapai ODF dan melakukan deklarasi yang dihadiri oleh tokoh masyarakat termasuk Bupati akan memotivasi masyarakat sekitar untuk melakukan replikasi di wilayah lain. Pemantauan progres melalui pengumpulan data yang disampaikan oleh masyarakat dan melaksanakan verifikasi secara sistimatis dan berkelanjutan sesuai dengan indikator masing masing pilar. Pembentukan jejaring pemasaran sanitasi yang melibatkan penyedia material, pelaku wirausaha sanitasi dan sales diseluruh pelosok desa/kelurahan akan mempercepat peningkatan akses terhadap berbagai pilar sanitasi total. Jika memungkinkan , disediakan penghargaan berupa insentif atau penambahan kredit point kepada fasilitator jika mereka memfasilitasi masyarakat menjadi ODF. Hal ini akan menjadi ukuran jaminan kualitas kinerja.

Berikut adalah uraian kegiatan dalam pelaksanaan STBM pada setiap tingkatan:

1). Persiapan

a. Penyiapan dokumen pendukung NSPK (Norma, Standar, Pedoman, Kriteria)

Pemerintah pusat menyiapkan dokumen NSPK dalam bentuk Pedoman Pelaksanaan serta dokumen penunjang lainnya dan didiseminasikan ke seluruh provinsi di Indonesia.

b. Kelembagaan

Tingkat Pusat dibentuk Sekretariat STBM yang berperan melakukan koordinasi kegiatan STBM dan lebih fokus pada pengembangan konsep kepemimpinan dan pendampingan secara substantif dalam upaya membangun kapasitas kelembagaan yang berkesinambungan secara sistimatis, mekanisme yang tepat dan standar yang terukur melalui :

• Pengelolaan kegiatan selaras dengan strategi yang telah ditetapkan;

• Memberikan bantuan teknis peningkatan kapasitas terhadap lembaga yang membutuhkan;

• Menyusun laporan hasil pelaksanaan dan kemajuan yang telah dicapai kepada lembaga terkait melalui Kementerian Kesehatan;

• Monitoring terhadap kemajuan yang telah dicapai dengan menggunakan metoda pembandingan (monitoring akses kepada sarana sanitasi yang layak seperti yang diperlukan untuk target nasional dan penilaian kinerja kegiatan STBM melalui benchmarking).

Sekretariat juga berfungsi sebagai forum koordinasi para pelaku STBM baik dari lintas sektor antara lain Kementerian Kesehatan ( Direktorat PL, Promosi Kesehatan, Pusat Informasi Data, Bapelkes, UKS), Kemendagri, Kementerian PU, Bappenas maupun mitra swasta di tingkat Nasional, koordinasi dengan Pokja AMPL

c. Advokasi awal dan komunikasi kepada pemerintah daerah

Sesuai Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah pasal 13 tentang Urusan Daerah dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007, lampiran Bidang Kesehatan bahwa urusan sanitasi menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten.

Selaras dengan Undang undang tersebut Pemerintah Daerah menjadi pelaksana utama STBM, oleh karena itu diperlukan advokasi Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Advokasi ini bertujuan agar pemerintah daerah memahami dan berkomitmen mengembangkan program sanitasi dengan pendekatan STBM. Pelaksanaan kegiatan advokasi dapat dimulai dari tingkat Nasional dengan sasaran seluruh Gubernur dan dilanjutkan advokasi ke tingkat propinsi dengan sasaran seluruh Bupati.

Sosialisasi juga diperlukan untuk perluasan dan pengembangan kegiatan dengan sasaran utama adalah lintas sektor, lintas program, dan mitra di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah. Kegiatan sosialisasi dapat dilakukan melalui: Roadshow, Fasilitasi/pendampingan, Bantuan Teknis dan Lokakarya.

Dalam kegiatan advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan, disampaikan mengenai substansi kegiatan dan kebijakan/ peraturan yang mendukung.

Materi materi advokasi akan meliputi:

1. Keputusan atau Peraturan Menteri Kesehatan nomor 852/Kepmenkes/2008 tentang STBM

2. Pembelajaran dari hasil penerapan STBM secara skala besar di Propinsi Jawa Timur

3. Hasil –hasil penelitian global yang menerangkan kenapa Indonesia memilih STBM sebagai pendekatan nasional sanitasi berbasis masyarakat.

Paket advokasi yang disiapkan oleh Sekretariat STBM akan membawa pesan advokasi dan sosialisasi berupa:

1.     Mengapa bidang sanitasi perlu diprioritas kan oleh Pemerintah Daerah.

• Akses sanitasi saat ini di Indonesia dibandingkan dengan target MDG nasional dan RPJMN. Dari target akses sebesar 55,6% pada tahun 2015, akses masyarakat pada jamban keluarga yang layak pada tahun 2010 baru sebesar 38,4%. Terdapat kesenjangan sebesar 17% dalam sisa waktu 3 tahun (2012-2015). Sementara dalam RPJMN 2010 – 2014, mentargetkan bahwa pada akhir tahun 2014, tidak akan ada lagi masyarakat Indonesia yang melakukan praktik buang air besar sembarangan (BABS).

• Temuan penelitian tentang dampak terhadap ekonomi Indonesia akibat sanitasi buruk adalah kehilangan nilai ekonomi sebesar Rp. 56 Trillun, secara rata-rata setiap kabupaten sebesar Rp. 110 milyar per tahun

• Temuan studi dari pengembalian hasil ekonomi (economic returns) dari pembangunan sanitasi. Dukungan terhadap signifikansi capaian, target/outcome, misalnya meningkatkan derajat kesehatan, menurunkan tingkat kemiskinan/meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

• Pendekatan terdahulu yang menyediakan subsidi paket jamban secara gratis telah gagal untuk meningkatkan akses kepada jamban sehat dan tidak berkelanjutan atau memungkinkan dalam skala massif , Pemerintah Indoensia kemudian mengembangkan strategi nasional STBM pada tahun 2008 yang lebih fokus pada perubahan perilaku hygiene dan saniter secara luas oleh masyarakat , dengan cepat dan , efisien (cost-effective).

2.     Pengembangan kapasitas STBM m e r u p a kan sebuah kesempatan propinsi dan kabupaten untuk mempelajari bagaimana melaksanakan pendekatan STBM , seperti CLTS dan pemasaran sanitasi untuk melaksanakan pembangunan sanitasi berbasis masyarakat dalam skala besar dan menjadikan mereka bebas dari praktik BABS.

Pelaksanaan kegiatan STBM yang sudah dilakukan di beberapa daerah menunjukan hasil yang cukup menjanjikan.

3.     Pengembangan pendekatan STBM pada skala besar, diperlukan dukungan pengembangan kapasitas dan instrumen pelaksanaan yang akan disiapkan secara terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah

2) Mengembangkan peningkatan kapasitas institusi

              Pada langkah awal Pemerintah akan memfasilitasi peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah akan disediakan berdasarkan skala prioritas dan kepeminatan. Setelah itu diharapkan pengembangan kapasitas sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dukungan pembiayaan akan diprioritaskan untuk kegiatan persiapan dalam membangun advokasi lingkungan politik dan kelembagaan yang kondusif, termasuk kapasitas pembangunan fasilitator dan pelatih tingkat kabupaten.

Pelaksanaan pengembangan kapasitas akan diberikan melalui kombinasi berbagai pendekatan termasuk pelatihan secara bertahap, pendampingan, kajian pembelajaran (melaui pertemuan atau kunjungan), pengelolaan pengetahuan melalui media elektronik dan media lainnya.

Pada langkah awal, Pemerintah melalui Sekretariat STBM menyiapkan Tim Fasilitator nasional yang akan dipilih dari kalangan umum, pemerintah dan swasta, LSM, lembaga penelitian dan akademik. Tim akan dipanggil secara berkala guna meningkatkan keterampilan yang berbeda sesuai kebutuhan pengelola program sanitasi dengan pendekatan STBM di daerah. Tim fasilitator nasional ini disiapkan melalui TOT tingkat Nasional dan selanjutnya akan menjadi nara sumber dan pelatih di tingkat Provinsi. Peserta TOT di tingkat provinsi akan menjadi pelatih dan nara sumber pelatihan fasilitator di tingkat kabupaten

Peserta pelatihan di tingkat kabupaten terdiri dari para pelaku STBM di tingkat kabupaten dan kecamatan, termasuk diantaranya para pelaku/fasilitator lapangan seperti petugas Puskesmas (Sanitarian, Promkes, Bidan dll) atau stakeholder lain di tingkat kecamatan. Sebagian peserta pelatihan tingkat kabupaten, terutama yang berpotensi dan berkemampuan dapat menjadi pelatih atau narasumber untuk perluasan STBM ke wilayah yang lebih luas di Kabupaten.

Di tingkat pusat, peningkatan kapasitas institusi dalam melaksanakan kegiatan STBM akan dilakukan kepada semua pihak yang berpotensi untuk melaksanakan STBM yaitu lintas kementerian/lembaga, lintas program, dan mitra di tingkat pusat. Pada tahap berikutnya dukungan pusat diprioritaskan untuk membangun kapasitas kelembagaan di provinsi dan kabupaten.

Substansi peningkatan kapasitas didasarkan pada hasil penilaian kebutuhan yang tentu saja berbeda bagi masing-masing daerah. Tetapi secara umum meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Kapasitas teknis, misalnya teknologi tepat guna untuk sarana sanitasi; pengelolaan air minum rumahtangga, pengelolaan sampah dan limbah cair domestik;

2. Kemampuan fasilitasi, terkait upaya perubahan perilaku higiene dan sanitasi masyarakat;

3. Kemampuan advokasi bagi para pelaku STBM terkait dengan upaya perluasan pelaksanaan STBM;

4. Pengelolaan kegiatan STBM, termasuk penyusunan dokumen perencanaan, pembiayaan, dan lain-lain.

Metode dan kegiatan dalam peningkatan kapasitas:

1. Melalui ToT (Training of Trainer);

2. Lokakarya evaluasi pembelajaran;

3. Studi banding kepada daerah yang telah berhasil;

4. Pelatihan untuk peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan;

5. Pendampingan/bantuan teknis; 6. Membangun dengan sistim kopetisi dan insentif, dan lain-lain.

3) Mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi

Sistem pemantauan dan evaluasi secara nasional diperlukan untuk dapat selalu melakukan pemuthakiran data perkembangan pelaksanaan dan hasil kegiatan STBM. Hal ini terkait dengan upaya dan proses pencapaian target MDGs maupun RPJMN. Meskipun sistem pemantauan dan evaluasi di daerah akan cukup bervariasi pelaksanaannya, berdasarkan pengalaman yang ada dari proyek higiene dan sanitasi di Indonesia, sistem manajemen informasi dari hasil pemantauan yang akan dikembangkan dan dilembagakan pada lembaga pemerintah daerah setidaknya memenuhi tolok ukuran dan prinsip-prinsip yang sama. Pusat memberikan panduan umum sistem pemantauan dan evaluasi beserta indikator kinerja 5 pilar STBM. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengelompokkan secara nasional dalam pendataan untuk penyusunan kebijakan strategi STBM berskala nasional. Panduan diahas secara rinci di Pedoman Pelaksanaan STBM pada Bab 5.

Pembangunan kapasitas Pemerintah Daerah perlu disediakan oleh Kementerian Kesehatan termasuk kapasitas bagi pelaksanaan Sistem Manajemen Informasi daerah berdasarkan data pemantauan masyarakat, konsolidasi dan penggunaan datanya untuk peningkatan program di tingkat kabupaten dan provinsi, dan secara rutin terjadi pelaporan data dari masyarakat ke kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional menggunakan inovasi teknologi. Sebagai contoh adalah pengiriman data berbasis layanan pesan singkat/ SMS .

4) Pengelolaan pengetahuan

Pengalaman dalam melaksanakan STBM di berbagai daerah akan sangat bervariasi dan satu sama lain dapat saling memberikan pembelajaran untuk perbaikan dan peningkatan kinerja. Untuk memfasilitasi terjadinya pertukaran pembelajaran Pemerintah melaksanakan beberapa kegiatan diantaranya: tinjauan/review pembelajaran bersama, kunjungan lapangan, dokumentasi dan publikasi.

 

Review pembelajaran

Review pembelajaran yang dilakukan melalui pertemuan skala nasional yang diikuti oleh seluruh stakeholder yang berkompeten dalam pengembangan program sanitasi total dan pemasaran sanitasi. Proses ini akan melakukan analisa progres yang dicapai, kendala yang dihadapi, strategi yang dicanangkan, potensi daerah yang dapat dimanfaatkan dalam upaya melaksanakan strategi yang telah ditetapkan dan penetapan daerah yang dianggap kampiun sebagai upaya melakukan motivasi terhadap daerah lain.

 

Kunjungan pembelajaran antar daerah

Pemerintah memfasilitasi kunjungan antar daerah pelaku STBM untuk saling belajar tentang mekanisme dan proses yang terjadi di lapangan sehingga dapat dipelajari oleh daerah lain untuk dapat diadopsi. Mekanisme ini sangat efektif karena pelaku yang berkunjung dapat melihat langsung di lapangan dan dapat berdialog langsung dengan para stakeholder kabupaten, kecamatan dan desa/ kelurahan serta masyarakat lain yang dikunjungi.

 

Dokumentasi dan publikasi pembelajaran

Dokumentasi dan publikasi pembelajaran bertujuan untuk memperluas cakupan dan dampak dari kegiatan STBM dan mendukung kegiatan advokasi kepada stakeholder terkait dari tingkat pusat sampai dengan masyarakat. Dokumentasi kegiatan, inovasi pelaksanaan dan pencatatan progres yang telah dicapai merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan kegiatan program STBM. Hal-hal tersebut merupakan bahan publikasi sebagai pembelajaran dalam pelaksanaan kegiatan kegiatan STBM guna dilakukan sharing dengan stakeholder yang lain untuk memperkaya pengalaman dan wawasan.

 

 

Sumber: PEDOMAN PELAKSANAAN TEKNIS STBM Oleh Kementerian Kesehatan RI

Rabu, 21 September 2022

Pokok Pembelajaran Dari Pengalaman Perencanaan Pembangunan Kota dan Wilayah

Berbagai studi kasus yang mendokumentasikan pengalaman perencanaan di berbagai konteks, hasil dan pembelajaran itu jumlahnya cukup banyak dan beragam. Lima pokok pembelajaran yang dapat disampaikan dari berbagai studi kasus ini, yang menunjukkan pembangunan kota dan wilayah berkelanjutan dapat didorong melalui: 1) formulasi dan implementasi kebijakan yang terpadu; 2) strategi peremajaan yang transformative; 3) perencanaan dan pengelolaan lingkungan; 4) kota dan wilayah yg terkoneksi dan kompak, dan; 5) perencanaan partisipatif dan inklusif. Pokok-pokok pembelajaran yang didapat dari berbagai studi kasus dapat diaplikasikan pada tingkat lokal, wiayah, nasional atau internasional, merefleksikan suatu kesinambungan perencanaan dan pembangunan kota.

Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan yang Terpadu

Melaksanakan kebijakan dan rencana kota adalah cara efektif untuk meningkatkan dan memperkuat sistem pemerintahan kota agar pembangunan ekonomi dan sosial yang berimbang dapat tercapai. Untuk membuat intervensi kebijakan yang efektif dibutuhkan perspektif jangka panjang, yang memperhitungkan kebutuhan masa kini dan masa depan dari suatu area. Kebijakan vertikal dan horizontal yang terpadu terbukti penting dalam membentuk tata ruang di setiap wilayah, mengarahkan pertumbuhan yang akan datang, mempengaruhi perilaku dan tindakan politis dan memberikan arahan strategis melalui visi bersama pembangunan.

Kuatnya kebijakan yang mengacu ke masa depan telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di Tiongkok, khususnya Delta Sungai Yangtse dan Shenzhen, wilayah yang menjadi kekuatan ekonomi Tiongkok. Shenzhen sebagai Zona Ekonomi Khusus (SEZ), berkembang dari desa nelayan menjadi megacity modern. Rencana lnduk yang efektif memastikan bahwa pembangunan wilayah yang berimbang, dimana semua area terlayani oleh 1nfrastruktur, akses terhadap pekerjaan dan ruang terbuka hijau.

Selaras dengan itu, pembangunan wilayah dan ekonomi yang berimbang sudah dimulai dalam kebijakan pembangunan supra-nasional, wilayah dan kota di Maroko, Gauteng, Afrika Selatan dan Uni Eropa. Masing-masing menggunakan rencana tata ruang dan kerja sama sektoral untuk menghindari segregasi sosial dan kondisi kumuh , sekaligus menghasilkan keluaran ekonomi yang meningkat melalui produktivitas dan aksesibilitas yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan pada Wilayah Kota Gauteng, yang menerapkan kebijakan pembangunan yang progresif untuk memadukan tujuan pembangunan pada tingkat kelembagaan horizontal dan vertikal.

Penggunaan kebijakan perencanaan kota dan wilayah untuk memperbaiki pengelolaan kebencanaan dan mitigasi risiko terhadap perubahan iklim adalah langkah efektif di Port-au-Prince, Haiti dan Norwegia, d1mana keterpaduan sektor publik, swasta dan LSM membentuk ketangguhan kota. Pada kasus Norwegia, mobilisasi berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung kebijakan lingkungan dan perkotaan ke arah masa depan membantu memperbaiki kesiapan negara, melalui standarisasi tujuan dan sasaran adaptasi perubahan iklim.

Strategi Peremajaan Transformatif

Kemunduran perkotaan disebabkan oleh upaya-upaya yang tak kunjung berhasil untuk perbaikan ekonomi, sosial dan lingkungan dan berujung pada berkurangnya populasi atau ketidak-stabilan sosial di suatu area. Perencanaan kota dan wilayah memiliki kemampuan besar untuk melakukan perubahan melalui strategi perencanaan jangka panjang dan diterapkan berdasarkan pembangunan berbasis . kawasan. Peremajaan kota merupakan cara proakbf merespons perubahan lingkungan lokal dan global secara tata ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memulihkan ikatan sosial, dan meningkatkan lingkungan alamiah. Untuk mencapai hal ini diperlukan adanya struktur tata kelola pemerintahan yang kuat . dan progresif, yang menggunakan pendekatan inovatif dalam merespons tantangan perkotaan yang kompleks.

Penggunaan strategi perencanaan kota. dan wilayah . untuk mencegah eksklusi sosial berhasll dilakukan di Lyon, Perancis dan Medellin, Kolumbia, yang memadukan kawasan yang termarjinalkan untuk membangun kembali kohesi sosial. Hal ini tercapai melalui strategi dan rencana induk kota yang menciptakan keterhubungan bagian-bagian kota dan menyediakan ruang publik agar terjadi inklu~i dan partisipasi. Medellin adalah contoh utama dimana formasi pendekatan lokal untuk pembangunan kota menghasilkan dampak tak langsung tetapi berpengaruh kuat terhadap tingkat kematian dan kerawanan kejahatan di kota, dan akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apresiasi diberikan terhadap keterpaduan lingkungan kota yang tadinya rawan kejahatan, melalui proyek pembangunan kota yang berskala kecil sehingga ruang publik lebih ramah bagi keterpaduan sosial.

Peluang peremajaan kawasan banyak terdapat di kota atau wilayah yang mengalami perubahan industri: penurunan pertumbuhan ekonomi, dan degradasi kualitas lingkungan. Hal ini terjadi di Chattanooga, AS, · Rhine-Ruhr Jerman dan Krasnoyarsk, Rusia, yang menggunakan pusat kota yang terdegradasi sebagai dasar bagi rencana kota yang konstruktif, untuk membangun strategi perencanaan yang adaptif dan berjangka panjang. Rhine-Ruhr merupakan contoh unik, yang mengubah dirinya dari lahan buangan . industri menjadi taman hijau yang menarik ribuan turis setiap tahunnya, dan menjadi percontohan nasional tentang perencanaan kota dan wilayah.

Menggunakan intervensi tata ruang untuk mendorong regenerasi ekonomi tidak terbatas hanya pada bekas kota industri saja. Kota Strasbourg, Perancis . mengidentifikasikan wilayah perbatasannya sebagai area yang kurang dimanfaatkan karena tak adanya keterpaduan wilayah lintas-batas dengan Kehl, Jerman. Respons inovatif dari kedua walikotanya adalah secara proaktif memadukan wilayah melalui berbagai proyek pembangunan kota yang bersifa~ lintas-batas. Bersama sama, mereka mereformas1 struktur tata kelola pemerintahan untuk memfasilitasi proyek-proyek pembangunan kota, mendorong .. pergerakan manusia dan ekonomi kedua area ini, serta mendorong wilayah supra-nasional menjadi kompetitif di Uni Eropa.

Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan

Lingkungan alamiah menjadi komponen mendasar dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.Pemaduan lingkungan alamiah pada proses dan kebijakan perencanaan kota dan wilayah mulai dirasakan penting pada pengembangan kota tangguh (resilient city) sebagai akibat meningkatnya kesadaran perubahan iklim dan risiko terkait, ancaman bencana alam dan perlunya menyediakan sumber daya yang cukup untuk mendukung pertumbuhan penduduk. Hal ini penting pada berbagai skala perencanaan kota dan wilayah, dengan mempertimbangkan situasi dan sumber daya lintasbatas dimana jumlah pemangku kepentingan bertambah pesat.

Keterpaduan adaptasi iklim dan pengelolaan sumber daya alam telah diperkenalkan dalam contoh kasus Melbourne, Australia dan Toronto, Kanada, dimana proses perancangan kota dan tata guna lahan telah terpadu dengan lingkungan hidup sehingga membentuk visi masa depan yang berkelanjutan pada kedua kota ini. Menghadapi kondisi kekeringan akut dan memburuknya lingkungan alamiah kota, DPRD kota Melbourne mengembangkan program adaptasi iklim berbasis ekosistem yang terpadu dengan perencanaan kota. Dengan melakukan hal tersebut, kota membuka kesempatan dalam proses pembangunan, seperti perancangan kota yang ramah air, sekaligus menghindari dampak negatif pembangunan, melalui Strategi Hutan Kota.

Wilayah lintas-batas semakin dipertimbangkan pada kebijakan perencanaan supra-nasional, seperti contoh kasus Wilayah Great Lakes yang melintasi Kanada dan AS, dan Sengwe-Tshipise Wilderness Corridor yang membatasi Zimbabwe, Mozambik dan Afrika Selatan. Pemaduan koridor-koridor biru, hijau dan keanekaragaman hayati ke dalam strategi perencanaan menjadi dasar penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan penyatuan para pemangku kepentingan utama. Wilayah Great Lakes menggunakan teknik analisis skenario untuk membangun konsensus antar-pemangku kepentingan yang beragam, dan memastikan tersedianya sumber daya bersama di masa datang.

Merencana Wilayah dan Kota yang Kompak, Terpadu dan Terhubung

Wilayah dan kota yang kompak dan terhubung secara mendasar lebih produktif dan kurang merusak terhadap lingkungan dari pada wilayah dan kota yang yang terpisah-pisah, menyebar dan menyebar (sprawling). Koordinasi strategi kota dan wilayah dengan intervensi sektoral sangat penting karenanya. Pembangunan ini dapat memacu penciptaan lapangan kerja bagi warganya dan memfasilitasi lingkungan perkotaan yang inklusif secara sosial.

Perencanaan kompak yang berhasil dengan baik dalam mempengaruhi pembangunan infrastruktur dan mendukung kota yang terhubungkan dengan baik ditunjukkan di kota Ahmedabad, India dan Fukuoka, Jepang. Fukuoka, Jepang dikenal karena menerapkan "Model Kota Kompak." Menggunakan kerangka pembangunan kota untuk menunjukkan penerapan prinsip terkoneksi dan kompak dalam disainnya, telah menghasilkan pembangunan ekonomi jangka panjang, kuliatas hidup, dan peningkatan kualitas lingkungan.

Projek lmbaba di Wilayah Kairo Raya yang meregenerasi wilayah bandara untuk menyediakan transporasi, jasa dan perumahan merupakan contoh keberhasilan penerapan prinsip kota kompak. Menggunakan lahan peremajaan untuk mencapai pembangunan kompak, memperkuat koridor dan pusat transportasi yang ada, menghasilkan struktur perkotaan yang ekonomis, sekaligus mewujudkan areal kota yang terpadu.

Manfaat gambar grafis dan pemetaan yang memperlihatkan terjadinya integrasi antar-kota ditunjukkan dalam pendekatan rencana dasar di kotakota Lichinga, Mozambik dan di Santa Fe, Argentina, serta dalam Aturan Pengembangan Guna Lahan di Yekaterinburg, Rusia. Dalam kasus Yekaterinburg, Rusia, penggunaaan representasi grafis untuk menunjukkan realitas saat ini, membantu pengintegrasian berbagai fungsi yang berbeda melalui identifikasi intensitas penggunaan infrastruktur, sebagai elemen penting untuk mencapai pembangunan ekonomi berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup.

Perencanaan Partisipatif dan lnklusif

Manfaat partisipasi yang ditunjukkan dalam berbagai studi kasus, menunjukkan keberhasilan yang diperoleh dengan melibatkan masyarakat dan komunitas untuk memberikan hasil-hasil perkotaan, sosial dan budaya yang lebih baik. Studi kasus menunjukkan perbaikan yang signifikan terjadi dalam implementasi pada saat warga diajak berkonsultasi, dan diberi kewenangan lebih untuk berkontribusi secara aktif pada penyusunan kebijakan dan strategi kota dan wilayah. Hal ini memastikan terjaminnya hak-hak asasimanusia, merespons terhadap isu kesetaraan gender, inklusi generasi muda dalam lingkungan perkotaan.

Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota dan proses implementasi memberikan hasil-hasil perkotaan yang lebih baik, seperti di Surabaya, Indonesia dan Ghent, Belgia. Keberhasilan yang sama, Strategi Pembangunan Kota (CDS) yang diterapkan di Ouagadougou, Burkina Faso dan Douala, Kamerun, berisikan contoh tentang bagaimana inisiatif pembangunan kota dapat diperkuat melalui pendekatan partisipatif dan inklusif.

Mengajak warga dan para pemangku kepentingan untuk berperan-serta dalam strategi kotanya, melalui dialog terbuka dan advokasi terus-menerus, merupakan kunci keberhasilan keseimbangan pembangunan kota dan hak asasimanusia. Konsensus dan kerja sama dalam membangun dan melaksanakan melalui CDS memberikan peningkatan rasa percaya diri kelembagaan dan peluang pendanaan baru.

Contoh terbaik tentang partisipasi masyarakat yang efektif dan terkelola baik, terbukti pada penganggaran partisipatif di Porto Alegre, Brasil. Dengan menyediakan saluran bagi suara warga untuk berkontribusi pada penyusunan kebijakan , terjadi peningkatan tanggapan masyarakat dan tercapainya target tantangan sektor-sektor perkotaan untuk akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan air bersih. Proses ini telah memperkuat masyarakat secara keseluruhan, khususnya pada kelompok yang termarjinalkan yang kini telah mampu menyuarakan kepeduliannya pada isu sosial dan perkotaan.

 

 

Sumber: Buku Panduan lnternasional tentang Perencanaan Kota dan Wilayah Penerbit BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH, KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT 

Selasa, 20 September 2022

Prosedur Pembobotan dan Penentuan Prioritas Penilaian Kerusakan Pantai

 a.      Prosedur pembobotan

Penilaian kerusakan pantai dilakukan dengan menilai tingkat kerusakan pada suatu lokasi pantai terpilih terkait dengan masalah erosi/abrasi, kerusakan lingkungan, dan sedimentasi yang ada. Kemudian nilai bobot tersebut dikalikan dengan koefisien pengali berdasar tingkat kepentingan kawasan tersebut. Bobot akhir adalah hasil pengalian antara bobot tingkat kerusakan pantai dengan koefisien bobot tingkat kepentingan. Agar prosedur pembobotan dan penentuan urutan prioritas menjadi lebih sederhana maka digunakan cara tabulasi. Pembobotan tingkat kerusakan pantai dilakukan dengan skala 50 sampai dengan 250 dengan perincian seperti terlihat pada Tabel 2



Berikut ini adalah prosedur penilaian kerusakan pantai:

1) Penilaian kerusakan pantai dilakukan pada lokasi (kawasan) terjadinya kerusakan .

2) Penilaian kerusakan pada satu lokasi dilakukan secara terpisah dengan lokasi yang lain. Apabila satu lokasi terjadi beberapa jenis kerusakan maka penilaian dilakukan pada kasus kerusakan pantai terberat yang terjadi di lokasi tersebut.

3) Khusus untuk penilaian kerusakan lingkungan harus dilakukan sangat hati-hati terutama terkait keberadaan bangunan atau fasilitas di sempadan pantai, karena persepsi masyarakat sangat beragam (contoh : tempat ibadah berada di sempadan pantai, hotel di sempadan pantai, lokasi rekreasi di sempadan pantai).

4) Penilaian kerusakan pada suatau kawasan pantai yang cukup luas dapat dilakukan dengan membagi kawasan tersebut menjadi beberapa lokasi sesuai keperluan.

b.     Penentuan urutan prioritas

Berdasarkan data dari peninjauan lapangan dan analisis sensitivitas maka prioritas penanganan pantai dapat dikelompokkan menjadi:

1 ) Prioritas A (amat sangat diutamakan - darurat) bobot > 300

2) Prioritas B (sangat diutamakan) bcbot 226 sampai dengan 300

3) Prioritas C (diutamakan) bobot 151 sampai dengan 225

4) Prioritas D (kurang diutamakan) bcbot 75 sampai dengan 150

5) Prioritas E (tidak diutamakan) bobot < 75

c.      Laporan

Laporan penilaian kerusakan pantai, perlu disusun secara ringkas dengan urutan sebagai berikut :

a) Pendahuluan Diuraikan latar belakang, tujuan, wilayah pesisir yang akan ditinjau dan dilengkapi dengan peta.

b) Kriteria kerusakan pantai Diuraikan tolok ukur kerusakan pantai yang digunakan dalam kegiatan penilaian.

c) Prosedur penilaian kerusakan pantai Diuraikan prosedur penilaian kerusakan pantai, termasuk cara menentukan lokasi kerusakan pantai.

d) Tolok ukur kerusakan dan kepentingan pantai Dijelaskan tolok ukur yang digunakan dalam penilaian.

e) Proses pembobotan kerusakan pantai Diuraikan kerusakan pantai di masing-masing lokasi secara cermat dan dilengkapi dengan sket, foto dan kalau dapat dengan rekaman handycam.

f) Proses penentuan prioritas penanganan kerusakan pantai Diuraikan proses untuk mendapatkan prioritas penanganan kerusakan pantai.

g) Resume hasil penilaian kerusakan pantai dan penentuan prioritas penanganan kerusakan pantai dalam bentuk tabel.


Formulir 1


 


Cara pengisian formulir 1

Pelaksana (surveyor)           : Ditulis dengan nama surveyor. Misal: Arafik M, ST

Waktu pelaksanaan              : Ditulis dengan waktu (hari, tanggal, bulan, tahun) pelaksanaan survei.

Wilayah Administrasi          : Ditulis dengan nama Provinsi/Kabupaten/Kota.

Kolom 1                                 : Ditulis nomor urut.

Kolom 2                                 : Ditulis kecamatan, desa, nama pantai, dan koordinat (posisi GPS).

Kolom 3                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai untuk kerusakan lingkungan karena permukiman dan fasilitas umum yang terlalu dekat dengan pantai. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 5

Kolom 4                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena areal pertanian terlalu dekat dengan garis pantai. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 7.

Kolom 5                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan karena aktifitas penambangan pasir di kawasan gumuk pasir. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 9 .

Kolom 6                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena

pencemaran lingkungan perairan pantai oleh limbah perkotaan, industri maupun rumah tangga. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 11

Kolom 7                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena intrusi air laut pada air tanah. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 12

Kolom 8                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena penebangan hutan (tanaman) mangrove. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 14.

Kolom 9                                 : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena penambangan terumbu karang. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 16

Kolom 10                               : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena rob yang terutama disebabkan oleh penurunan tanah dan kenaikan muka air laut. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 18.

Kolom 11                               : Ditulis bobot tingkat kerusakan pantai karena perubahan garis pantai. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 20

Kolom 12                               : Ditulis bobot kerusakan pantai karena kerusakan bangunan. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 22

Kolom 13                               :. Ditulis bobot kerusakan pantai karena sedimentasi dan pendangkalan muara untuk muara sungai yang tidak stabil dan muara sungai tidak digunakan untuk pelayaran. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 24

Kolom 14                               : Ditulis bobot kerusakan pantai karena sedimentasi dan pendangkalan muara untuk muara sungai yang tidak stabil dan muara sungai digunakan untuk pelayaran. Nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 26.

Kolom 15                               : Ditulis koefisien bobot tingkat kepentingan pantai. Nilai koefisen tingkat kepentingan pantai dapat dilihat pada Tabel 1.

 

 

Catatan:

1. Penilaian bobot tingkat kerusakan pantai dan koefisien bobot tingkat kepentingan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2, dan Tabel 5 sampai dengan Tabel 26.

2. Penilaian pada suatu lokasi pada setiap kriteria kerusakan pantai diambil secara keseluruhan, namun dalam analisis selanjutnya hanya diambil satu yang paling dominan sesuai tugas dan fungsi pemrakarsa. Misal: Suatu lokasi pantai mempunyai kerusakan lingkungan: 1) permukiman dan fasilitas umum yang terlalu dekat dengan pantai, 2) pencemaran lingkungan. 3) intrusi air laut, namun apabila diperhatikan dengan seksama maka yang paling dominan kerusakannya adalah kerusakan lingkungan karena permukiman dan fasilitas umum yang terlalu dekat dengan pantai maka untuk kriteria kerusakan lingkungan untuk keperluan analisis selanjutnya dipilih L 1 (kerusakan lingkungan akibat pemukiman dan fasilitas umum yang terlalu dekat dengan pantai). Hal ini juga berlaku untuk kriteria kerusakan pantai yang lainnya.

3 . Petugas survei diharapkan dapat memperhatikan betul-betul kerusakan/ permasalahan pantai yang terkait dengan permukiman dan fasilitas umum serta perlindungan alami daerah pantai (wilayah pesisir).

  

Formulir 2



Cara pengisian formulir 2

Kolom 1                 : Ditulis nomor urut

Kolom 2                 : Ditulis kecamatan, desa, nama pantai dan

koordinat (posisi GPS).

 Kolom 3                 : Ditulis nilai bobot kerusakan lingkungan, diambil dari formulir 1 kolom 3 sampai dengan kolom 10, dipilih yang terbesar atau dipilih yang akan ditangani PU dan diberi kode kerusakannya di kolom 4

 Kolom 5                 : Ditulis nilai bobot kerusakan akibat erosi/abrasi dan kerusakan bangunan, diambil dari formulir 1, dipilih yang terbesar antara kolom 11 atau 12 dan diberi kode kerusakannya di kolom 6.

 Kolom 7                 : Ditulis nilai bobot kerusakan akibat sedimentasi, diambil dari formulir 1, dipilih yang terbesar antara kolom 13 atau 14 dan diberi kode kerusakannya di kolom 8.

Kolom 9                 : Ditulis koefisien bobot tingkat kepentingan yang ada di lokasi pantai dilihat pada Tabel 1.

 Kolom 10               : Ditulis jumlah dari perkalian antara bobot kerusakan lingkungan (kolom 3) dengan koefisien bobot tingkat kepentingan (kolom 9)

Kolom 11               : Ditulis skala prioritas (dapat dilihat pada kolom 16 -keterangan) yang dihasilkan berdasarkan kolom 10.

 Kolom 12               : Ditulis jumlah dari perkalian antara bobot kerusakan akibat erosi/abrasi dan kerusakan bangunan (kolom 5) dengan koefisien bobot tingkat kepentingan (kolom 9)

Kolom 13               : Ditulis skala prioritas ( dapat dilihat pad a kolom 16 -keterangan) yang dihasilkan berdasarkan kolom 12

 Kolom 14              : Ditulis jumlah dari perkalian antara bobot kerusakan akibat sedimentasi dan pendangkalan (kolom 7) dengan koefisien bobot tingkat kepentingan (kolom 9).

Kolom 15              : Ditulis skala prioritas (dapat dilihat pada kolom 16 - keterangan) yang dihasilkan berdasarkan kolom 14.

Kolom 16              : Ditulis keterangan prioritas atau hal lain yang berhubungan dengan analisis penilaian kerusakan pantai.

 

Catatan:

1. Penilaian kerusakan pantai dilakukan pada lokasi (kawasan) terjadinya kerusakan.

2. Penilaian kerusakan pada satu lokasi dilakukan secara terpisah dengan lokasi yang lain. Apabila satu lokasi terjadi beberapa jenis kerusakan maka penilaian dilakukan pada kasus kerusakan pantai terberat yang terjadi di lokasi tersebut.

3 . Khusus untuk penilaian kerusakan lingkungan harus dilakukan sangat hati-hati, karena persepsi masyarakat sangat beragam (contoh: tempat ibadah berada di sempadan pantai, hotel di sempadan pantai, dan lokasi rekreasi di sempadan pantai).

4. Penilaian kerusakan suatu kawasan pantai yang luas dapat dilakukan dengan membagi kawasan tersebut menjadi beberapa lokasi sesuai keperluan.

 

Sumber: Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 08/SE/M/201 0 tentang Pemberlakukan Pedoman Penilaian Kerusakan Pantai Dan Prioritas Penanganannya.