PANDEMI Covid-19 tengah merambah lebih dari 90 negara dengan penyebarannya yang sangat cepat meluas dan mengubah pola aktivitas penduduk dunia. Tidak ada negara yang tidak gagap menghadapi pandemi ini dan tidak sedikit juga sector penggerak kehidupan, terutama di perkotaan, yang berjuang untuk tetap bertahan pada kondisi yang membatasi aktivitasnya secara paksa. Sektor ekonomi, pemerintahan, pendidikan, transportasi, dan lainnya tetap dipaksa berjalan meski dalam keterbatasan. Sebagai tumpuan utama saat ini, sektor Kesehatan mengemban peran penting untuk memastikan pandemi ini tetap dapat tertangani.
Bagi
kota-kota besar yang memiliki populasi besar dan padat, dampak Covid-19 berpengaruh
signifikan terhadap sektor ekonomi maupun sosial. Upaya untuk mengendalikan laju
pandemi memerlukan keahlian dalam pembuatan, pengumpulan, analisis, dan aplikasi
data perkotaan. Salah satu parameter yang dapat dilihat adalah mobilitas
manusia.
Mobilitas
manusia, seperti perjalanan harian (bekerja, belanja, sekolah) yang berjarak tempuh
cukup jauh karena akibat dari urban sprawl, dapat memperbesar risiko penularan Covid-19.
Berbagai strategi mengurangi risiko penularan telah ditempuh, mulai dari lockdown,
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga anjuran dari tokoh masyarakat untuk
tetap berada di rumah telah dilakukan. Namun, tidak semua orang memiliki
kesempatan untuk dapat melakukan segala aktivitasnya dari rumah.
Pandemi
saat ini telah memicu banyak pertanyaan yang belum pernah terkemuka sebelumnya,
seperti bagaimana caranya mengisolasi diri tanpa mengganggu kehidupan sosial ekonomi
sehari-hari. Berbagai penyesuaian aktivitas dilakukan secara cepat saat
pemerintah pertama kali mengumumkan pemberlakuan pembatasan sosial dalam rangka
menekan laju penularan Covid-19. Penyesuaian aktivitas di rumah, perjalanan harian
keluar rumah, dan perjalanan jarak jauh tengah dilakukan masyarakat dan mempengaruhi
perkembangan kebijakkan (transportasi) pemerintah selama dan pasca Covid-19, dan
pandemi di masa depan serta skenario
lain yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan pantauan mobilitas
selama masa pembatasan sosial di Indonesia, terjadi peningkatan pergerakan manusia
di area permukiman 11%, sedangkan penurunan kegiatan terjadi di area taman
terbuka 7%, area wisata 8%, perkantoran 23%, dan sarana transportasi 32%.
Ketika
jalanan yang biasanya dipadati oleh kendaraan bermotor menjadi sepi karena menurunnya
mobilitas penduduk, di situlah kita sadar bahwa betapa kecilnya ruang kota
diperuntukkan bagi manusia. Banyaknya masyarakat yang mengalihkan segala
aktivitasnya di rumah, dapat meningkatkan kebutuhan masyarakat akan ruang-ruang
aktivitas di kawasan permukiman seperti taman, ruang publik, dan green infrastructure.
Kondisi
pandemi ini memaksa manusia untuk berubah. Respon masing-masing individu
terhadap perubahan yang disebabkan Covid-19 mengerucut kepada tiga komponen:
pengetahuan, inovasi, dan nilai-nilai yang dianut. Individu-individu yang memiliki
perilaku yang serupa akan menghasilkan perubahan dalam komunitas dan akhirnya mengubah
kota. Apabila kita hendak mengalahkan virus ini, kita bukan hanya harus mempelajari
tentang virus ini, tetapi juga memahami tentang kota dan jejaring yang menggerakkannya,
komunitas dan bagaimana hubungan satu dengan yang lain, serta individu dan
pertimbangan-pertimbangan terhadap pilihannya.
Selanjutnya,
pandemic Covid-19 juga mempertanyakan apakah struktur ruang perkotaan yang ada
saat ini sudah cukup tangguh untuk mengatasi dampak pandemi. Terdapat empat
kelompok unsur perencanaan kota dan wilayah yang berpotensi terdampak pandemi
Covid-19, di antaranya 1) social distancing, urban structure, community, dan
density, 2) housing affordability, 3) lockdowns, border closures, reshoring,
dan regional economic recovery, serta 4) smart city technology, contact tracing,
dan privacy. Kedepannya perlu dirumuskan kebijakan pengembangan perkotaan pasca
pandemi yaitu bagaimana menciptakan kota-kota yang secara lokasi sangat
berdekatan sehingga masyarakat dapat dengan mudah mencapai tujuan perjalanan
hariannya.
Kota-kota
besar di Indonesia telah mengalami aglomerasi. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan
sebuah kota menampung kepadatan penduduknya. Ketika hal ini terjadi, kota
menjadi sangat padat di tengah dan menyebar ke pinggiran, sehingga batas kota menjadi
melebar. Kasus urban sprawl diasosiasikan dengan polusi, ruang terbuka hijau
yang terbatas, dan harga rumah yang tidak terjangkau. Perubahan zonasi yang
memisahkan antara zona ekonomi dengan zona perumahan meningkatkan kebutuhan
jaringan pergerakan, dan menyebabkan masalah waktu tempuh, energi, serta finansial
bagi penduduknya.
Salah
satu metode pengelolaan perkotaan yang efisien dan berkelanjutan adalah konsep
compact city, yaitu pengembangan sebuah area perkotaan dengan kepadatan dan
kekompakan yang tinggi sehingga akses terhadap fasilitas, infrastruktur dan
lapangan kerja menjadi sangat mudah. Beberapa prinsip dalam penerapan konsep
compact city antara lain konsentrasi pembangunan kota, peremajaan dan
pembangunan kembali pusat kota, guna lahan campuran, meningkatkan transportasi
publik untuk meredakan kemacetan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat,
pembangunan untuk kawasan berkepadatan tinggi, serta menurunkan jumlah
penggunaan kendaraan pribadi. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu
intervensi yang tengah dilakukan oleh beberapa kota besar di dunia untuk
menghadapi perubahan pola hidup masyarakat akibat pandemi Covid-19 adalah
konsep pengembangan kota 15-minute city. Konsep ini merupakan strategi
perwujudan konsep compact city di level lokal atau skala lingkungan
(neighbourhood unit).
Konsep
15 Minutes City
Pada
prinsipnya konsep 15-minute city ini sejalan dengan konsep New Urbanism dan Transit
Oriented Development (TOD) dengan akar idenya adalah perencanaan pada
neighbourhood unit yang dikemukakan pada awal 1900an. Lebih lanjut lagi, konsep
15-minute city ini merupakan pendekatan komplementer dengan konsep TOD yang mengusung
konsep perencanaan yang lebih padat pemanfaatan ruang dan minim ketergantungan penggunaan
kendaraan pribadi, mengutamakan transportasi publik yang cepat, terjadwal, dan
dapat diandalkan untuk menghubungkan pusat-pusat kegiatan di belahan kota
lainnya. Pada tahun 2050 diperkirakan akan ada 43 megapolitan dan dua per tiga
dari populasi penduduk dunia tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perencanaan kawasan perkotaan yang sesuai dengan kondisi demografi
dan karakteristik wilayahnya.
Struktur
ruang Kawasan perkotaan yang dapat membagi sentralitas pusat kota ke dalam beberapa
pusat kegiatan dapat memperkuat ketahanan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan
kondisi saat ini, konsep 15-minute city sangat relevan untuk dikembangkan pada masa
recovery pandemi Covid-19 karena membentuk kota dengan banyak pusat kegiatan sehingga dapat
meminimalkan pergerakan manusia, terutama mobilitas jarak jauh. Setiap pusat kegiatan
yang direncanakan akan melayani berbagai kebutuhan dasar masyarakat dalam
radius jangkauan 15 menit yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau
bersepeda. Hal ini bertolak belakang dengan paradigma perencanaan kota yang
memisahkan Kawasan perkantoran, pertokoan, industri, dan hiburan sehingga membutuhkan
perjalanan dengan jarak yang jauh dan waktu tempuh yang lama bagi masyarakat
melakukan perjalanan keseharian atau mengakses fasilitas dasar.
Konsep
15-minutes city terkait erat dengan walkability index dari sebuah kota.
Walkability adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk mengukur konektivitas
dan kualitas akses pejalan kaki, trotoar, maupun infrastruktur lain yang
ditujukan untuk pejalan kaki. Semakin tinggi walkability index sebuah kota,
maka kota tersebut semakin layak huni. Dalam survei yang dilaksanakan pada
tahun 2011 di kota-kota besar Asia, ditemukan bahwa secara jumlah, pejalan kaki dan pengguna
kendaraan umum di Asia, terhitung besar, namun hal tersebut tidak didukung oleh
infrastruktur pejalan kaki yang baik, sistem jaringan jalan yang saling
terhubung, serta tata kota yang kompak. Hal ini membuat perjalanan dan waktu
tempuh semakin panjang dan tidak esensial.
Selain
mengurangi perjalanan antarkota yang tidak esensial, konsep 15-minute city
secara spesifik dapat menyediakan ruang publik kota lebih banyak, memusatkan
aktivitas di tingkat lokal, memperkuat kebersamaan, mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan,
meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, dan meningkatkan
tingkat layak huni dan keberlanjutan kota. Tujuan dari konsep 15-minute city
adalah ruang perkotaan yang lebih nyaman, less stressful, dan berkelanjutan
serta memberi kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana prasarana dan
pelayanan dengan jarak tempuh yang singkat, termasuk bekerja dari atau dekat
dengan rumah. Mempertimbangkan kondisi saat ini, merupakan momentum yang tepat
untuk menerapkan konsep 15-minute city dalam perencanaan kota. Prioritas
perencanaannya juga dapat diprioritaskan bagi lingkungan dengan aksesibilitas rendah
terhadap pelayanan dasar perkotaan.
Prinsip
utama 15-minute city
•
Setiap warga
memiliki akses yang mudah terhadap penyedia kebutuhan seharihari dan layanan umum,
khususnya supermarket, pasar, dan layanan kesehatan.
•
Setiap lingkungan
memiliki beberapa macam tipe rumah yang sesuai dengan tingkat dan daya beli
masyarakat agar dapat mengakomodasi berbagai rumah tangga dan memungkinkannya
untuk tinggal lebih dekat dengan tempat kerja.
•
Masyarakat setempat berhak menikmati udara
segar yang bebas dari polusi dan tersedianya ruang terbuka hijau publik.
•
Lebih banyak
orang dapat bekerja dari rumah.
Selain
itu, unsur teknologi digital dalam hal pelayanan publik sangat diperlukan untuk
mendukung kegiatan masyarakat yang dilakukan di rumah maupun lingkungan
sekitarnya dan meningkatkan perekonomian lokal. Perencanaan Kawasan pada neighbourhood
unit akan membentuk desain kota secara keseluruhan dan untuk mewujudkan kota
yang inklusif dan berkelanjutan diperlukan pelibatan secara aktif dari seluruh pemangku
kepentingan.
Kota-kota
Besar di Dunia dengan Konsep 15 Minutes City
1. Paris
Hyper-proximity
dan 15-minute city merupakan kunci keberhasilan Walikota Paris Anne Hidalgo
dalam kampanye pemilihan kembali walikota 2020 lalu. Pendekatan pengelolaan perkotaan
ini bertujuan untuk mengurangi polusi udara dan waktu transportasi
(perjalanan), serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat Paris yang dapat
membuat kotanya menjadi bebas karbon pada tahun 2050. Paris secara
besar-besaran meningkatkan konstruksi pedestrian dan jalur sepeda dengan tujuan
menciptakan banyak sekali lingkungan yang memiliki akses terhadap segala kebutuhan
dalam waktu tempuh 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Rencana
aksi yang disusun oleh Walikota Paris antara lain:
a)
menyediakan jalur sepeda pada setiap jalur jalan dan jembatan;
b) mengalihfungsikan lebih dari 70% lahan parkir
jalanan menjadi penggunaan lainnya;
c)
meningkatkan jumlah perkantoran dan co-working hubs dalam skala lingkungan;
d)
memperluas pemanfaatan infrastruktur dan bangunan gedung di luar jam kerja
standar;
e) mendorong masyarakat untuk membuka gerai
(local shops); dan
f)
menciptakan taman-taman kecil di area bermain sekolah yang juga dapat
dimanfaatkan masyarakat sekitar di luar jam sekolah. Hal ini sebagai strategi
pemenuhan ruang terbuka hijau.
2. Melbourne
Dalam
perencanaan jangka panjang Pemerintah Victoria, Australias, Plan Melbourne 2017-2050
diterapkan prinsip 20-minute neighbourhoods untuk mendukung salah satu outcome
perencanaannya yang mengutamakan living locally dan menciptakan masyarakat yang
inklusi, hidup, dan sehat. Hal ini diartikan bahwa masyarakat dapat memenuhi
segala kebutuhan dasarnya (seperti pada Gambar 3) dalam jarak tempuh 20 menit
dengan berjalan kaki dari rumah (radius sekitar 800 meter), dengan pilihan moda
bersepeda dan transportasi yang aman. Waktu tempuh 20 menit ini diindikasikan
sebagai waktu tempuh maksimal (pulang dan pergi) seseorang berjalan kaki untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti fasilitas kesehatan, sekolah, dan
pusat perbelanjaan. Diprioritaskan alokasi ruang untuk zona perkantoran, sarana
pelayanan umum, dan transportasi dapat berada dekat dengan hunian masyarakat.
Dalam
setiap unit lingkungan (neighbourhood) terdapat pusat kegiatan lingkungan (neighbourhood
activity centres) yang difungsikan sebagai pusat perbelanjaan lokal yang menyediakan
fasilitas Kesehatan setempat, hiburan, jasa retail, dan lainnya. Untuk
mempermudah akses tersebut, dikembangkan penambahan jalur sepeda sepanjang 40
km.
3. Milan
Kota
Milan mengusung rencana recovery Covid-19 dengan konsep 15-minute city yang
bertujuan untuk menjamin layanan dasar, khususnya fasilitas kesehatan, dapat
dijangkau masyarakat dengan berjalan kaki dan untuk mencegah lonjakan penggunaan
kendaraan pribadi di akhir masa lockdown. Rencana ini mengatur pembangunan baru
jalur sepeda sepanjang 35 km dan beberapa jalur pejalan kaki di sekitar
sekolah. Selain itu, toko/kedai, bar dan restoran juga diperbolehkan untuk memanfaatkan
ruang jalan untuk melayani pelanggan di luar ruangan.
4. Ottawa
Ottawa
telah merevisi rencana tata ruangnya dengan rencana intensifikasi perkotaan
untuk 25 tahun yang mengusung konsep 15-minute neighbourhoods dan bertujuan untuk
mengubah ibukota Kanada menjadi kota sedang paling layak huni di Amerika Utara.
Rencana ini menargetkan masyarakat mengubah moda perjalanan hariannya lebih dari
50% dengan berjalan kaki, bersepeda, transportasi publik, atau carpooling.
5. Portland
Rencana
2030 Complete Neighborhoods menargetkan 80% area perumahan memiliki akses yang
mudah dengan berjalan kaki atau bersepeda terhadap kebutuhan dasar, dan
memiliki jalur pejalan kaki atau jalur sepeda. Indikator kelengkapan lingkungan
terdiri atas jarak dari rute sepeda dan transit services, jarak dari taman
lingkungan ke pusat kegiatan masyarakat, serta kualitas pedestrian. Rencana tersebut
memprioritaskan area yang kurang terlayani oleh utilitas dasar dan hunian masyarakat
berpenghasilan rendah.
Bagaimana
Penerapan Konsep 15 Minutes City pada Masa Recovery Covid-19 di Indonesia?
Sejak
terjadinya pandemic Covid-19, kota yang terpusat tidak mampu bertahan dengan
lockdown. Namun, pada beberapa kota besar yang kompak dan dengan penggunaan transportasi
massal yang sangat tinggi di Asia seperti Singapura, Hong Kong, Seoul, dan
Tokyo, aspek kepadatan penduduk tidak menjadi fator dalam penyebaran Covid-19,
tetapi aspek kelembagaan dan budaya masyarakat (respon sosial) yang sangat
mempengaruhi, seperti jaga jarak, pemakaian masker, dan kewaspadaan terhadap
virus. Oleh karena itu, penanganan kota pasca pandemi Covid-19 akan memerlukan
pemikiran baru tentang bagaimana merencanakan ruang public yang dapat
melindungi dan menjaga kesehatan lingkungan, disamping fungsinya sebagai ruang
untuk bersosialisasi, pengembangan masyarakat, dan identitas lingkungan tetap terjaga.
Salah
satu strategi yang dapat dilakukan agar konsep 15-minute city ini dapat
terwujud di antaranya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan dasar,
khususnya fasilitas kesehatan dan penyediaan makanan, serta meningkatkan daya
beli masyarakat akan perumahan. Selain itu, beberapa strategi berikut
memungkinkan dapat dilakukan di Indonesia:
•
Memperinci rencana tata ruang wilayah kota ke dalam rencana detail tata ruang (skala
lingkungan).
•
Mengintegrasikan konsep 15-minute city dengan konsep transit-oriented
development (TOD) dalam rencana umum atau rencana rinci.
•
Menerapkan zona mixed-use untuk fungsi perumahan, perkantoran, dan perdagangan/jasa.
- Memastikan setiap lingkungan tersedia kedai/toko penyedia bahan makanan.
- Memperbaharui rencana zonasi kota untuk memastikan pelayanan publik, ruang terbuka hijau, dan infrastruktur dasar dapat diakses oleh masyarakat sampai skala lingkungan.
- Meningkatkan program penyediaan rumah layak huni dan terjangkau secara berkelanjutan.
•
Meningkatkan kualitas dan kuantitas jalur pejalan kaki dan pesepeda karena berjalan
kaki dan bersepeda merupakan metode pergerakan yang paling aman dan efisien
untuk skala perjalanan jarak dekat harian dalam kota.
•
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang, khususnya
masyarakat yang terdampak berat akibat pandemi, seperti masyarakat berpenghasilan
rendah/ marginal dan pengusaha kecil/menengah.
•
Menerapkan langkahlangkah perencanaan agar setiap lingkungan dapat tumbuh maju
dan berkembang.
•
Memanfaatkan teknologi digital atau teknologi smart city untuk membatasi perjalanan,
serta melindungi kesehatan dan privasi masyarakat.
•
Rencana strategis tidak lagi disusun berbasis pada unit organisasi (tidak
ekuivalen pada unit eselon I dan II), tetapi kepada fungsinya.
Konsep
TOD di Indonesia, melalui interpretasi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor
16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit memperkenalkan
tiga tipologi TOD:
1. Kawasan TOD Kota
Kawasan TOD kota berfungsi sebagai pusat
ekonomi fungsi primer dan berlokasi sebagai pusat pelayanan kota dengan fungsi
pelayanan regional. Dilihat dari karakteristiknya, kawasan TOD kota adalah kawasan
dengan fungsi campuran komersial, blok perkantoran dan hunian dengan intensitas
tinggi yang terintegrasi dengan sistem transportasi masal.
2. Kawasan TOD Subkota
Kawasan TOD subkota berfungsi sebagai pusat ekonomi
fungsi sekunder dan berlokasi sebagai subpusat pelayanan kota/ perkotaan.
Karakteristiknya adalah kawasan dengan fungsi campuran dengan intensitas sedang
hingga tinggi dan terintegrasi dengan sistem transportasi masal.
3. Kawasan TOD Lingkungan
Kawasan TOD lingkungan berfungsi sebagai pusat
ekonomi lokal dan berlokasi pada pusat pelayanan lingkungan. Kawasannya berkarakteristik
berfungsi campuran dengan intensitas sedang dan terintegrasi dengan sistem
transportasi.
Dalam
ketiga tipologi kawasan tersebut, walaupun memiliki hierarki dan intensitas yang
berbeda-beda, yang terpenting adalah bahwa sebuah kawasan memiliki akses yang baik
dan terlayani dengan system transportasi.
Sebagai
contoh, inovasi yang dilakukan dalam perencanaan calon Ibu Kota Negara (IKN) yaitu
mengadaptasi konsep kota 10 menit agar konsentrasi penduduk dapat terbagi,
waktu perjalanan harian lebih cepat, tingkat polusi menjadi rendah, dan adanya
kesempatan bagi UMKM dan penyedia layanan perkotaan di skala lokal.
Sumber:
Oleh TIKKI MAHAYANTI, ST, M.ENG dan CORRY AGUSTINA, ST, MSC dalam BULETIN
PENATAAN RUANG EDISI 6 | NOVEMBER -
DESEMBER 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar