Kamis, 14 Juli 2022

Strategi Pengarusutamaan Pemulihan Mata Pencaharian dan Penguatan Masyarakat Pascabencana

 1.      Inklusif

Inklusif tidak hanya menyangkut kesetaraan gender tetapi juga mencakup pelibatan berbagai kelompok rentan seperti perempuan, kaum muda, lansia, penyandang disabilitas, pengidap HIV/AIDS dan anggota masyarakat lainnya yang dianggap rentan dengan mempertimbangkan aspek interseksionalitasnya.

Tidak dapat disangkal bahwa bencana menimbulkan dampak yang berbeda bagi setiap individu bergantung pada jenis kelamin, usia, kondisi fisik, dan kesehatan sehingga perlu diperhatikan aspek kesetaraan gender dan keberagaman dalam formulasi kegiatan dukungan. Hal ini pun tercermin dalam pengalaman penanggulangan bencana di masa lalu. Misalnya, terdapat kecenderungan jumlah korban perempuan lebih banyak daripada lakilaki dikarenakan bias dan diskriminasi berbasis gender yang telah ada sebelumnya.

Saat gempa bumi terdahulu di Jepang, angka kematian penyandang disabilitas dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan bukan penyandang disabilitas. Pascabencana, pengidap HIV dan AIDS mungkin akan kesulitan memperoleh obat-obatan esensial. Dalam pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi sosial, penyediaan dukungan tidak hanya berfokus terhadap perempuan, tetapi juga kelompok rentan lainnya pada situasi pascabencana. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pendekatan khusus bagi masing – masing kelompok rentan.

a.       Pendekatan Responsif Gender

Pendekatan responsif gender perlu diperhatikan dalam seluruh langkah – langkah pelaksanaan kegiatan.

- Persentase perempuan yang menjadi kepala desa, kepala dusun, ketua RT serta koordinator di tempat penampungan dan huntara masih sangat rendah. Oleh karena itu, perempuan di masyarakat perlu berperan serta secara aktif dalam pertemuan konsultatif untuk memastikan keterwakilan suara serta menyuarakan kebutuhannya dalam tahap formulasi dan pelaksanaan kegiatan serta menjamin penyebarluasan informasi bagi perempuan.

- Peran gender, norma, praktik sosial, dan budaya harus dipertimbangkan dalam formulasi rancangan rencana kegiatan, kriteria seleksi, dan lainnya. Segala jenis kegiatan yang tidak responsif gender terhadap perempuan (dewasa dan anak) harus dihindari. Kegiatan yang dilaksanakan harus memiliki andil dalam transformasi sosial dan gender untuk pembangunan yang lebih baik dan kesetaraan gender dalam masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan tidak hanya ditujukan bagi kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki demi menjaga keseimbangan dalam kegiatan.

 - Secara umum, tingkat literasi kaum perempuan lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, terutama lansia dan etnis minoritas yang tinggal di daerah perdesaan/terpencil, demikian pula dengan keterampilan berhitung. Hal ini harus dipertimbangkan dalam penyebarluasan informasi, pengumpulan proposal kegiatan, penyelenggaraan pelatihan, dan lain-lain.

- Ketika terjadi bencana, permasalahan yang kerap terjadi dalam kondisi normal semakin meningkat, seperti kekerasan berbasis gender. Terkait kegiatan pemulihan masyarakat, potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan (dewasa dan anak) dan rumah tangga, pelecehan gender dan kekerasan berbasis gender, perdagangan perempuan (dewasa dan anak) harus dipertimbangkan dan langkah penanganan yang tepat harus dilakukan pada saat yang bersamaan.

 - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota merupakan penanggung jawab utama untuk memastikan integrasi pendekatan responsif gender dan responsive keragaman, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan (dewasa dan anak) termasuk kekerasan berbasis gender. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di provinsi dan kabupaten/kota perlu dilibatkan dalam setiap konsultasi dan koordinasi di semua kegiatan.

b.      Lapangan Kerja bagi Kaum Muda

Keterlibatan kaum muda merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menjaga stabilitas hubungan antara pemuda dan masyarakat serta mengoptimalkan dampak pemulihan baik secara individu maupun kolektif. Secara umum, kaum muda merupakan mayoritas dalam populasi, tetapi kebutuhan mereka seringkali terabaikan karena mekanisme dukungan cenderung berfokus kepada anak-anak dan perempuan dewasa. Selain itu, kaum muda juga memiliki kesempatan yang terbatas untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat dan pengambilan keputusan.

Kurangnya dukungan terhadap kaum muda baik laki-laki maupun perempuan atau terbatasnya akses terhadap pekerjaan yang produktif dapat berdampak secara fisik maupun psikis selain stres yang tinggi akibat bencana. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan peluang kerja baru, peningkatan keahlian, dan pelatihan keterampilan bagi kaum muda. Hal ini merupakan peluang bagi pemuda khususnya perempuan muda untuk mempelajari bidang dan keahlian baru seperti keterampilan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) dan juga teknologi informatika dan komunikasi (TIK) yang bisa menjadi pilihan untuk digeluti. Pelibatan pemuda dapat mempercepat pemulihan kaum muda dan masyarakat serta hubungan sosial kemasyarakatannya.

c.       Lansia dan Penyandang Disabilitas

Di sejumlah lokasi huntara, bangunan telah dirancang dengan mempertimbangkan kondisi lansia dan penyandang disabilitas. Kepala desa selaku penanggung jawab pengaturan/pengalokasian penghuni huntara di desanya telah memprioritaskan lansia dan penyandang disabilitas dalam pengaturan relokasi. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk mengaplikasikan “rancangan atau desain bangunan universal” yang dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan kelompok rentan di hunian sementara maupun hunian tetap.

d.      Pengidap HIV dan AIDS

Sulitnya memperoleh perawatan medis dapat mengancam kehidupan pengidap HIV dan AIDS maka kebutuhan mereka perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan sebelumnya. Seperti halnya penderita penyakit kronis yang lain, pengidap HIV dan AIDS wajib mengonsumsi obat-obatan secara rutin (Pengobatan Anti-Retroviral–ART) yang bisa menekan aktivitas virus sehingga pengidap HIV dan AIDS bisa hidup normal seperti individu yang lain.

Ketika bencana skala besar terjadi, sarana penopang kehidupan dan fasilitas medis dapat terganggu/terhenti sehingga penyediaan pengobatan yang diperlukan dapat terhambat. Pada kasus pengidap HIV dan AIDS, Kondisi ini sangat berbahaya karena virus dapat berkembang lebih cepat dan resisten terhadap obat-obatan yang digunakan. Pada umumnya pengidap HIV dan AIDS bisa memperoleh obat-obatan yang diperlukan di rumah sakit, tetapi perubahan kondisi pascabencana dapat menyulitkan mereka untuk mengakses obat-obatan dan perawatan yang dibutuhkan.

 

2.      Keberlanjutan

a.       Membangun Kembali Lebih Baik (Build Back Better) untuk pemulihan dan pembangunan kembali masyarakat yang berkelanjutan Keberlanjutan dalam perspektif ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan perlu dipertimbangkan di seluruh aspek tahapan pemulihan dan pembangunan kembali. Pemulihan dan penguatan tidak hanya berkaitan dengan pemulihan kembali ke kondisi awal di daerah terdampak bencana, tetapi yang paling penting pada tahapan ini adalah kesempatan untuk mengurangi risiko bencana di masa depan melalui masyarakat yang lebih tangguh dan menjaga keberlanjutan kegiatan.

b.      Ramah Lingkungan Selama pemulihan dan pembangunan kembali, perlu dipertimbangkan aspek konservasi lingkungan alam dan sosial. Kondisi kehidupan dan mata pencaharian masyarakat berubah akibat bencana sehingga membutuhkan banyak sumber daya untuk pemulihan dan pembangunan kembali. Dalam kondisi ini, keberkelanjutan sumber daya alam adalah salah satu hal yang harus dipertimbangkan.

 

3.      Kemandirian

Masyarakat didorong dan difasilitasi untuk menginisiasi dan melaksanakan kegiatan swadaya. Pascabencana, masyarakat perlu memulihkan kehidupannya dan mengeratkan hubungan sosial kemasyarakatannya, baik secara swadaya, gotong royong, maupun dengan bantuan pemerintah.

Mengingat keterbatasan sumber daya pemerintah untuk membantu masyrakat, khususnya pascabencana karena Mereka harus mampu memulihkan kehidupan mereka dan melakukan penguatan masyarakat secara mandiri, gotong royong, dan melalui bantuan publik. Mengingat sumber daya pemerintah untuk membantu masyarakat terbatas, terutama selama bencana, prioritas difokuskan pada pemeliharaan stabilitas dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus menjadi mitra pemerintah dan memiliki inisiatif dalam melakukan kegiatan swadaya

 

 

 

 

 

 

Sumber: Panduan Dukungan Pemulihan Mata Pencaharian dan Penguatan Masyarakat Pascabencana Penerbit Kementerian PPN/Bappenas - JICA

Tidak ada komentar: