Sejarah perencanaan wilayah dan kota di Indonesia tidak
terlepas dari sejarah pendudukan colonial Belanda yang berlangsung selama
hampir 350 tahun. Pada tahap awal perkembangannya, wilayah dan kota di
Nusantara tidak memiliki dasar perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi
saat ini. Untuk menyebutkan sebuah "kota" pada masa pra-kolonial,
berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait
dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan hanya sedikit informasi yang
dapat digali terkait perencanaan kota pada masa pra-kolonial.
Penataan ruang sendiri merupakan preseden modern yang
melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya
teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan
kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah mulai muncul. Untuk konteks
perencanaan wilayah dan kota di Indonesia saat itu, pengaruh kepercayaan
terhadap roh atau kek"uatan alam sangat menentukan pola pengaturan ruang
masyarakat. Apabila ditelusuri lebih jauh diperoleh bahwa pola pengaturan ini
berkaitan erat qengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan
terkait pula dengan hierarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang
ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan
kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota,
merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati
kedudukan sentral pada sebuah kota.
Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan
ruang dalam upaya menyeimbangkan antara kekuatan roh, a lam, dan hubungan
antarmanusia. Berdasarkan pengetahuan lokal tersebut. Ruang diatur secara
terpusat di tengah-tengah kota. Adapun elemen-elemen umum yang berada di pusat,
diantaranya adalah tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling
dari pusat terdapat rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke
seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa. Monumen-monumen
penting pada masa ini, selain puing-puing bekas kerajaan diantaranya adalah
adanya candi-candi pemujaan. Candi-candi yang sangat terkenal karena masih bertahan
hingga saat ini seperti, Borobudur, Prambanan, Kompleks Candi di Dieng, Pura
Besakih dan Pura Tanah Lot di Bali, d.an masih banyak lagi lainnya .
Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan
interaksi dengan warga dari berbagai bangsa . Tumbuhnya kota-kota pesisir pada
tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian menciptakan
struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama
Islam yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin
mengurangi daya magis kekuasaan lama di pedalaman . Perubahan struktur penduduk
ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama untuk n:endukung
kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan
pasar yang lebih besar merupakan imbas dari perkembangan baru saat itu. Dalam
banyak hal, "perencanaan" masih belum muncul dalam masyarakat
Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini. Masuknya penjajah
kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia yang
sekarang bernama Jakarta adalah salah satunya. Elite kota adalah orang-orang
Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih rendah,
memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi
oleh pemerintah kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan
ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota untuk kelompok-kelompok
bangsa.
Bentuk wilayah dan kota-kota saat itu digambarkan oleh
Karsten dengan kondisi perumahan orangorang Eropa yang tinggal di rumah-rumah
'India Kuno' yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar.
Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi
bangunannya tetap primitif dan tidak tertata . Sejumlah kebun berada di atas
tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat
kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam
perkampungan China yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17
dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan kolonial yang kurang beruntung
tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Gambaran lni
merupakan bentuk pengaturan awal yang muncul dari penataan kota.
Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti
dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang diambil dari kota-kota
Jawa. Kota Batavia dibangun dengan jalan besaryang melingkari kota dan
dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sarna halnya dengan Bandung yang baru
dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi
persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan dan agama yang
mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di
sekitarnya . Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang
ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan . Rumah-rumah berjarak satu
dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.
Pemisahan atas ruang - ruang masih merupakan ciri dari kota
kolonial, yang terutama didasarkan pada kebangsaan . Orang-orang pribumi
menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan
biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara
itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen
.
Karya-karya hasil penataan wilayah dan ruang yang dilakukan
kolonial dapat dikatakan merupakan pondasi
dari seluruh penataan ruang dan wilayah yang dilakukan saat ini di Indonesia.
Contoh karya besar yang masih digunakan, bahkan terus dikembangkan, hingga saat
ini salah satunya adalah jalan lintas pantai utara pulau Jawa (Pantura) dari
Merak hingga Panarukan . Belum lagi jika kita menyebutkan bangunan bangunan
megah yang dipergunakan sebagai kantor Pemerintahan saat ini, seperti lstana
Merdeka di Jakarta, lstana Bogar, kanal-kanal saluran air di Jakarta, Surabaya
dan kota besar lainnya.
Masa Pasca Kemerdekaan
Kota-kota pasca-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang
menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional. Kota-kota ini
mengalami pertumbuhan yang pesat seiring terjadi migrasi. Pada saat ini,
kondisi infrastruktur masih kurang baik akibat perang fisik yang berkepanjangan
. Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang
ditandai dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun
direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia oleh Presiden
Soekarno.
Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahan Orde Baru disusun perencanaan yang
sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun,
wilayah dan kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya.
Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang
diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang did;;mai oleh
lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement
Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an. Secara sistematis,
kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah
(BAPPEDA). Dengan adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah,
perencanaan daerah berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam
penyelenggaraannya.
Pada tahun 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil
dirumuskan. Tahun ini adalah tonggak
bagi perencanaan spasial. Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan
fisik menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure
Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan
investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan
investasi swasta .
Pada tahun 1992, lahir Undang-Undang No. 24 Tahun 1994
tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai
tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antar tingkatan tersebut. Lah irnya
UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Pada
tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Kota-kota mengalami masalah
serius terkait 'macetnya' investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam
kondisi yang demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam
mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia.
Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama
sebagai motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil.
Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang
demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga
dalam menyusun Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU
Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam
UU No. 32 Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah
dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang
dilakukan bersama antar daerah otonom.
Sumber: Penataan Ruang: Sebuah Cermin Peradaban Penerbit Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar