Minggu, 10 Juli 2022

PERKEMBANGAN TATA RUANG DI INDONESIA

Sejarah perencanaan wilayah dan kota di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pendudukan colonial Belanda yang berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap awal perkembangannya, wilayah dan kota di Nusantara tidak memiliki dasar perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah "kota" pada masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan hanya sedikit informasi yang dapat digali terkait perencanaan kota pada masa pra-kolonial.

Penataan ruang sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah mulai muncul. Untuk konteks perencanaan wilayah dan kota di Indonesia saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap roh atau kek"uatan alam sangat menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Apabila ditelusuri lebih jauh diperoleh bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat qengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hierarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.

Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya menyeimbangkan antara kekuatan roh, a lam, dan hubungan antarmanusia. Berdasarkan pengetahuan lokal tersebut. Ruang diatur secara terpusat di tengah-tengah kota. Adapun elemen-elemen umum yang berada di pusat, diantaranya adalah tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat terdapat rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa. Monumen-monumen penting pada masa ini, selain puing-puing bekas kerajaan diantaranya adalah adanya candi-candi pemujaan. Candi-candi yang sangat terkenal karena masih bertahan hingga saat ini seperti, Borobudur, Prambanan, Kompleks Candi di Dieng, Pura Besakih dan Pura Tanah Lot di Bali, d.an masih banyak lagi lainnya .

Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa . Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama di pedalaman . Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama untuk n:endukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar yang lebih besar merupakan imbas dari perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, "perencanaan" masih belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini. Masuknya penjajah kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia yang sekarang bernama Jakarta adalah salah satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa.

Bentuk wilayah dan kota-kota saat itu digambarkan oleh Karsten dengan kondisi perumahan orang­orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah 'India Kuno' yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar. Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap primitif dan tidak tertata . Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam perkampungan China yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Gambaran lni merupakan bentuk pengaturan awal yang muncul dari penataan kota.

Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang diambil dari kota-kota Jawa. Kota Batavia dibangun dengan jalan besaryang melingkari kota dan dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sarna halnya dengan Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di sekitarnya . Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan . Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.

Pemisahan atas ruang - ruang masih merupakan ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan pada kebangsaan . Orang-orang pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen .

Karya-karya hasil penataan wilayah dan ruang yang dilakukan kolonial dapat dikatakan merupakan  pondasi dari seluruh penataan ruang dan wilayah yang dilakukan saat ini di Indonesia. Contoh karya besar yang masih digunakan, bahkan terus dikembangkan, hingga saat ini salah satunya adalah jalan lintas pantai utara pulau Jawa (Pantura) dari Merak hingga Panarukan . Belum lagi jika kita menyebutkan bangunan­ bangunan megah yang dipergunakan sebagai kantor Pemerintahan saat ini, seperti lstana Merdeka di Jakarta, lstana Bogar, kanal-kanal saluran air di Jakarta, Surabaya dan kota besar lainnya.

Masa Pasca Kemerdekaan

Kota-kota pasca-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat seiring terjadi migrasi. Pada saat ini, kondisi infrastruktur masih kurang baik akibat perang fisik yang berkepanjangan . Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia oleh Presiden Soekarno.

Masa Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru disusun perencanaan yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun, wilayah dan kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang did;;mai oleh lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an. Secara sistematis, kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah (BAPPEDA). Dengan adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.

Pada tahun 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah  tonggak bagi perencanaan spasial. Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta .

Pada tahun 1992, lahir Undang-Undang No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antar tingkatan tersebut. Lah irnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Kota-kota mengalami masalah serius terkait 'macetnya' investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia. Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil.

Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32 Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang dilakukan bersama antar daerah otonom.

 

 

 

Sumber: Penataan Ruang: Sebuah Cermin Peradaban Penerbit Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 

Tidak ada komentar: