RENCANA Tata Ruang (RTR) disusun dengan latar belakang
masalah yang sama yaitu bagaimana memanfaatkan ruang yang terbatas ini agar
manusia dapat menjalankan aktivitasnya untuk tetap hidup. Aktivitas tersebut
dikenal dengan sebutan pemanfaatan ruang. Tidak semua pemanfaatan pada ruang
dapat dilakukan secara berdampingan, karena setiap pemanfaatan memiliki p e n g
a r u h y a n g b e r b e d a terhadap ruang disekitarnya. Setiap aspek dan
pengaruh y a n g a k a n t i m b u l s u d a h seharusnya diperhitungkan d a l
a m p e n y u s u n a n t a t a ruang sehingga rencana tata ruang yang akan
dihasilkan m e r u p a k a n k o m p o s i s i peraturan terbaik bagi tiap-tiap
pemanfaatan ruang. Setelah rencana tata ruang terbaik itu disusun, dibutuhkan
suatu instrumen pengendalian agar hal tersebut dapat dilaksanakan dan terwujud
secara nyata bukan hanya sebuah rencana tekstual di atas kertas.
Penyelenggaraan penataan r u a n g b e r t u j u a n u n t u
k mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Tujuan ini dapat tercapai apabila tertib tata ruang dapat terwujud dan ditandai
dengan adanya kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang
(RTR) yang telah ditetapkan. Upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang dilakukan
melalui pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, khususnya p a d a p a s a
l 1 4 7 a y a t 1 , ditegaskan bahwa pengendalian p e m a n f a a t a n r u a n
g dilaksanakan untuk mendorong terwujudnya Tata Ruang sesuai dengan RTR.
Terbitnya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UUCK) turut berdampak pada penyelenggaraan tata ruang. Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disahkan
menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun
2010. Terbitnya peraturan baru mengenai penyelenggaraan penataan ruang
berdampak pada setiap tahapan penyelenggaraan, t e r m a s u k p e n g e n d a
l i a n pemanfaatan ruang. Perubahan m e n d a s a r t e r j a d i p a d a
instrumen pengendaliannya yaitu munculnya istilah penilaian pelaksanaan K e s e
s u a i a n K e g i a t a n Pe m a n f a a t a n R u a n g ( K K P R ) dan
pernyataan mandiri pelaku U M K s e r t a p e n i l a i a n perwujudan RTR. Pengendalian
juga dilakukan dalam bentuk pengenaan sanksi kepada orang yang tidak menaati
RTR dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang yang diperiksa melalui audit tata
ruang. Instrumen pengendalian tersebut kemudian harus dituangkan tidak hanya
dalam bentuk tekstual namun juga ke dalam bentuk spasial.
P e r i o d e p e n i l a i a n pelaksanaan KKPR dilakukan
selama pembangunan dan pasca pembangunan. Penilaian pelaksanaan KKPR selama
pembangunan dilakukan paling lambat dua tahun sejak diterbitkannya KKPR.
Penilaian s e l a m a pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan p ro s e
s p e l a k s a n a a n n y a , sedangkan penilaian pasca pembangunan dilakukan
untuk memastikan kepatuhan dari hasil pembangunan. Kedua hasil penilaian harus
dituangkan dalam bentuk tekstual dan spasial. Ketika wajib dituangkan dalam
bentuk spasial, maka dalam proses penilaiannya akan membutuhkan Informasi
Geospasial (IG) baik dasar maupun tematik. Informasi geospasial yang dibutuhkan
akan terbagi menjadi dua p e r i o d e y a i t u s a a t s e l a m a
pembangunan d a n p a s c a pembangunan. Hal tersebut a k a n m e n j a d i s e
b u a h tantangan tersendiri mengingat k e t e r s e d i a a n i n f o r m a s
i geospasial di daerah yang sama pada rentang waktu berbeda sangatlah terbatas.
Tantangan keterbatasan IG yang sama juga dihadapi saat melakukan
penilaian perwujudan RTR dan audit tata ruang. Penilaian perwujudan RTR
dilakukan terhadap kesesuaian p r o g r a m , l o k a s i , w a k t u
pelaksanaan pemanfaatan ruang terhadap rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang yang telah disusun. Penilaian tersebut dilakukan satu kali dalam lima
tahun dan dilaksanakan satu tahun sebelum peninjauan kembali RTR. Di sisi lain,
a u d i t t a t a r u a n g d a l a m penentuan delineasi lokasi dan
pengumpulan data secara jelas tertulis dalam pedoman pelaksanaannya membutuhkan
peta penggunaan lahan terbaru sesuai dengan saat audit tata ruang tersebut
dilakukan. Oleh karena itu, IG termutakhir saat melakukan penilaian perwujudan
RTR sangatlah dibutuhkan
Revolusi Industri 4.0 pada perkembangan A rt i f i c i a l
Intelligence (AI) dengan menggunakan Internet of Things (IoT) sebagai penggerak
utama turut memajukan teknologi penyediaan IG. Dalam proses pengumpulan data,
pemakaian wahana drone atau UAV dapat menjadi suatu alternatif yang patut
dicoba. Drone dapat mengambil data geospasial dari berbagai sudut pandang
secara bebas, mudah digunakan dan bisa mengakses lokasi yang sulit terjangkau
bila menggunakan jalur darat. Dapat mengambil dan menampilkan data visual
secara cepat dan real-time membuat drone menjadi salah satu alat yang cocok
untuk melakukan pengawasan atau memonitor suatu lokasi. Data visual juga dapat
terekam dan tersimpan dengan baik di perangkat drone atau bahkan langsung
terkoneksi dengan jaringan penyimpanan berbasis cloud yang dapat dibagipakaikan
dengan mudah. Kendala atau tantangan pada pemakaian drone ini ada pada faktor
cuaca, tidak dapat dilakukan saat angin kencang atau hujan.
P e n g a m b i l a n d a t a geospasial yang bisa dilakukan
kapan saja selama dalam cuaca yang baik menjadi titik kuat pemakaian drone
dalam penyediaan IG untuk mendukung pengendalian pemanfaatan RTR. Pada proses
penilaian pelaksaan KKPR, pengambilan data dengan drone dapat dilakukan baik
selama proses pembangunan b e r l a n g s u n g a t a u p a s c a pembangunan.
Begitu pula saat melakukan penilaian perwujudan RTR, pengambilan data
geospasial dapat dilakukan secara langsung pada lokasi yang akan dilakukan
penilaian. Data geospasial mutakhir akan membuat tahapan persandingan program
dan penilaian struktur dan pola ruang dapat terlaksana dengan baik dan hasilnya
dapat dipertanggungjawabkan.
Pengoperasian drone untuk melakukan pengambilan data geospasial
dapat dilakukan dengan cukup mudah. Terdapat pilihan pengoperasian secara
otomatis atau auto-pilot yang akan menerbangkan drone sesuai dengan perencanaan
jalur terbang yang telah dibuat sebelumnya. Drone akan dapat menyesuaikan
posisi kamera dan ketinggian terbang serta proses pendaratan secara otomatis.
Dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan RTR ini akan menjadi nilai tambah
karena tidak dibutuhkan suatu latar belakang pendidikan atau keilmuan khusus
untuk dapat menerbangkan drone. Namun demikian, terdapat pelatihan dan
sertifikasi khusus pilot drone sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum dapat
menerbangkan drone dengan baik dan bertanggung jawab.
D r o n e m e n j a d i s a l a h satu sarana yang dibutuhkan
dalam melakukan audit tata ruang. Drone dibutuhkan untuk mengambil data visual
penggunaan lahan mutakhir suatu lokasi. Hal tersebut dapat menjadi alternatif
pemenuhan kebutuhan data spasial yang mensyaratkan data tersebut haruslah data
terkini atau memiliki periode waktu yang sama dengan pelaksanaan audit tata
ruang. Mengingat jangka waktu audit tata ruang paling lama dikerjakan dalam 10
bulan, maka kebutuhan data spasial harus cepat terpenuhi. Data tersebut akan
digunakan dalam proses analisis kesesuaian pemanfaatan ruang guna mendeteksi
indikasi pelanggaran yang terjadi.
I n d i k a s i p e l a n g g a r a n pemanfaatan ruang dapat
diketahui melalui penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR.
Hasil penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR digunakan untuk
mengetahui implikasi kewilayahan atas pemanfaatan ruang yang nantinya harus
dilakukan pengendalian. Implikasi kewilayahan yang umumnya terjadi diantaranya
berupa munculnya konsentrasi pemanfaatan ruang tertentu pada wilayah tertentu
yang tidak sesuai dengan skenario perwujudan RTR dan adanya dominasi kegiatan
pemanfaatan ruang tertentu. Pada ruang yang memiliki konsentrasi dan/atau
dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif tinggi serta
berpotensi melampaui d a y a d u k u n g d a n d a y a tampung maka
dikategorikan sebagai zona kendali agar pemanfaatan ruang dapat dijaga
kesesuaiannya dengan skenario perwujudan RTR. Sedangkan pada ruang dengan
konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif
masih sangat rendah maka dikategorikan sebagai zona yang didorong dan perlu
ditingkatkan perwujudannya agar sesuai dengan skenario RTR.
Aktivitas sosial masyarakat pada suatu ruang yang terus
meningkat menyebabkan pemanfaatan ruang menjadi s e m a k i n b e r a g a m d a
n b e r ke m b a n g k i a n p e s a t . Pe r k e m b a n g a n t e r s e b u t
t e r k a d a n g m e n i m b u l k a n tumpangtindih pemanfaatan ruang dan
bahkan semakin tak terkendali. Untuk dapat menjaga pemanfaatan ruang yang
harmonis, diperlukan sistem penataan ruang mulai dari perencanaan, pemanfaatan,
dan pengendalian pemanfaatan ruang yang baik. Ketersediaan data/informasi
geospasial y a n g b a i k d a n m a m p u m e n g g a m b a r ka n ko n d i s
i sebenarnya memegang peran penting dalam mendukung ke b e r l a n g s u n g a
n s i s t e m penataan ruang tersebut. Oleh karena itu, informasi geospasial
tiga dimensi (3D) yang mampu merepresentasikan kondisi fisik dengan lebih nyata
akan menjadi salah satu komponen yang vital dalam penataan ruang. Salah satu
model untuk m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya suatu ruang dalam
bentuk informasi geospasial tiga dimensi (3D) adalah model kota 3D (3D City
Model) atau dikenal pula sebagai kembaran virtual (Digital Twin).
V i s u a l i s a s i i n f o r m a s i geospasial 3D di
kota-kota di Indonesia saat ini masih jarang ditemui. Penyebab utamanya
dikarenakan oleh keterbatasan data geospasial yang lengkap dan detail. Saat ini
perencanaan wilayah kota (RDTR) masih berbasiskan informasi geospasial dua
dimensi (2D) yang diperoleh dari peta skala besar, padahal k o n s e p p e n a
t a a n r u a n g terutama untuk penataan ruang rinci/detail seharusnya
memiliki aspek 3D. Peta Rupabumi Indonesia skala 1:5.000 yang merupakan peta
skala besar dari BIG sebenarnya memiliki tingkat kedetailan setara LOD1 (Level
of Detail 1). LOD1 ini dapat direpresentasikan sebagai bangunan prismatik
dengan atap datar, dimana blok-blok bangunan pada peta skala besar ditambahkan
informasi ketinggian sehingga dapat membentuk bangun 3D. Namun, untuk kebutuhan
pengawasan dan pengendalian t a t a r u a n g , d i b u t u h k a n informasi
geospasial 3D yang lebih baik lagi, baik dari segi kedetailan informasi maupun
d a r i s e g i ke t e r b a h a r u a n datanya. Alternatif solusi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut ada pada teknologi drone, yang mana saat ini dapat
memuat sensor untuk foto udara maupun lidar.
Foto udara dapat digunakan dalam pengendalian intensitas
pemanfaatan lahan yang berkaitan dengan evaluasi Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
dan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Foto udara yang bermanfaat dalam pembuatan
peta penutup lahan eksisting melalui teknik interpretasi visual dapat menunjang
evaluasi KDB dengan jalan menghitung persentase luas lantai dasar bangunan
terhadap luas wilayah dan evaluasi KDH dengan menghitung persentase luas ruang
terbuka hijau terhadap luas wilayahnya. Sementara data lidar yang berupa point
cloud digunakan untuk membangun model kota 3D dengan tingkat kedetailan hingga
mencapai L O D 2 , y a n g m e r u p a k a n r e p r e s e n t a s i b a n g u
n a n dengan struktur atap yang berbeda, hingga LOD3 yang merepresentasikan
struktur atap, dinding bahkan detail vegetasi dan obyek transportasi.
Pengolahan p o i n t c l o u d dilakukan melalui klasifikasi semi otomatis terhadap
fitur ground dan non ground. Point cloud pada kategori ground merupakan dasar dalam
membangun Digital Terrain Model (DTM), dan point cloud non ground pada kelas
bangunan digunakan untuk membangun model bangunan 3 D. Tu m p a n g s u s u n
DT M dengan model bangunan 3D ini akan menghasilkan 3D City Model yang
merepresentasikan permukaan bumi beserta obyekobyek yang ada di wilayah
perkotaan. Representasi dalam tingkat kedetailan LOD2 hingga LOD3 ini akan
memudahkan d a l a m p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang yang berkaitan
dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dimana ketinggian setiap bangunan dapat
diketahui secara pasti.
Penggunaan teknologi d ro n e d a l a m m e l a k u k a n
pemetaan baik berupa 2D maupun model 3D berkembang menjadi salah satu metode
yang potensial untuk memenuhi tantangan penyediaan IG untuk RTR. Kelebihan
penggunaan drone ada pada kemudahan dan kecepatan dalam melakukan pengambilan
dan pengolahan data sehingga ketersediaan IG untuk pengendalian RTR pada suatu
wilayah dapat terpenuhi dengan cepat. Namun, di balik kelebihan tersebut masih
terdapat kekurangan khususnya p a d a c a k u p a n w i l a y a h pemetaannya
yang terbatas serta tingkat ketelitian dari IG yang dihasilkan. Perlu dilakukan
banyak kajian lanjutan untuk mengatasi keterbatasan tersebut agar pemetaan
menggunakan d r o n e d a p a t d i l a k u k a n secara efektif dan efisien
serta menghasilkan IG yang baik untuk dapat digunakan khususnya pada
pengendalian pemanfaatan ruang.
Sumber: Oleh Ryan Pribadi, ST , I Made Dipta Sudana, ST , Ircham Habib Anggara, S.Si, M.URP Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar