Jumat, 15 Juli 2022

PENGGUNAAN DRONE DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

RENCANA Tata Ruang (RTR) disusun dengan latar belakang masalah yang sama yaitu bagaimana memanfaatkan ruang yang terbatas ini agar manusia dapat menjalankan aktivitasnya untuk tetap hidup. Aktivitas tersebut dikenal dengan sebutan pemanfaatan ruang. Tidak semua pemanfaatan pada ruang dapat dilakukan secara berdampingan, karena setiap pemanfaatan memiliki p e n g a r u h y a n g b e r b e d a terhadap ruang disekitarnya. Setiap aspek dan pengaruh y a n g a k a n t i m b u l s u d a h seharusnya diperhitungkan d a l a m p e n y u s u n a n t a t a ruang sehingga rencana tata ruang yang akan dihasilkan m e r u p a k a n k o m p o s i s i peraturan terbaik bagi tiap-tiap pemanfaatan ruang. Setelah rencana tata ruang terbaik itu disusun, dibutuhkan suatu instrumen pengendalian agar hal tersebut dapat dilaksanakan dan terwujud secara nyata bukan hanya sebuah rencana tekstual di atas kertas.

Penyelenggaraan penataan r u a n g b e r t u j u a n u n t u k mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tujuan ini dapat tercapai apabila tertib tata ruang dapat terwujud dan ditandai dengan adanya kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang dilakukan melalui pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, khususnya p a d a p a s a l 1 4 7 a y a t 1 , ditegaskan bahwa pengendalian p e m a n f a a t a n r u a n g dilaksanakan untuk mendorong terwujudnya Tata Ruang sesuai dengan RTR.

Terbitnya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) turut berdampak pada penyelenggaraan tata ruang. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disahkan menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010. Terbitnya peraturan baru mengenai penyelenggaraan penataan ruang berdampak pada setiap tahapan penyelenggaraan, t e r m a s u k p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang. Perubahan m e n d a s a r t e r j a d i p a d a instrumen pengendaliannya yaitu munculnya istilah penilaian pelaksanaan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pe m a n f a a t a n R u a n g ( K K P R ) dan pernyataan mandiri pelaku U M K s e r t a p e n i l a i a n perwujudan RTR. Pengendalian juga dilakukan dalam bentuk pengenaan sanksi kepada orang yang tidak menaati RTR dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang yang diperiksa melalui audit tata ruang. Instrumen pengendalian tersebut kemudian harus dituangkan tidak hanya dalam bentuk tekstual namun juga ke dalam bentuk spasial.

P e r i o d e p e n i l a i a n pelaksanaan KKPR dilakukan selama pembangunan dan pasca pembangunan. Penilaian pelaksanaan KKPR selama pembangunan dilakukan paling lambat dua tahun sejak diterbitkannya KKPR. Penilaian s e l a m a pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan p ro s e s p e l a k s a n a a n n y a , sedangkan penilaian pasca pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan dari hasil pembangunan. Kedua hasil penilaian harus dituangkan dalam bentuk tekstual dan spasial. Ketika wajib dituangkan dalam bentuk spasial, maka dalam proses penilaiannya akan membutuhkan Informasi Geospasial (IG) baik dasar maupun tematik. Informasi geospasial yang dibutuhkan akan terbagi menjadi dua p e r i o d e y a i t u s a a t s e l a m a pembangunan d a n p a s c a pembangunan. Hal tersebut a k a n m e n j a d i s e b u a h tantangan tersendiri mengingat k e t e r s e d i a a n i n f o r m a s i geospasial di daerah yang sama pada rentang waktu berbeda sangatlah terbatas.

Tantangan keterbatasan IG yang sama juga dihadapi saat melakukan penilaian perwujudan RTR dan audit tata ruang. Penilaian perwujudan RTR dilakukan terhadap kesesuaian p r o g r a m , l o k a s i , w a k t u pelaksanaan pemanfaatan ruang terhadap rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang telah disusun. Penilaian tersebut dilakukan satu kali dalam lima tahun dan dilaksanakan satu tahun sebelum peninjauan kembali RTR. Di sisi lain, a u d i t t a t a r u a n g d a l a m penentuan delineasi lokasi dan pengumpulan data secara jelas tertulis dalam pedoman pelaksanaannya membutuhkan peta penggunaan lahan terbaru sesuai dengan saat audit tata ruang tersebut dilakukan. Oleh karena itu, IG termutakhir saat melakukan penilaian perwujudan RTR sangatlah dibutuhkan

Revolusi Industri 4.0 pada perkembangan A rt i f i c i a l Intelligence (AI) dengan menggunakan Internet of Things (IoT) sebagai penggerak utama turut memajukan teknologi penyediaan IG. Dalam proses pengumpulan data, pemakaian wahana drone atau UAV dapat menjadi suatu alternatif yang patut dicoba. Drone dapat mengambil data geospasial dari berbagai sudut pandang secara bebas, mudah digunakan dan bisa mengakses lokasi yang sulit terjangkau bila menggunakan jalur darat. Dapat mengambil dan menampilkan data visual secara cepat dan real-time membuat drone menjadi salah satu alat yang cocok untuk melakukan pengawasan atau memonitor suatu lokasi. Data visual juga dapat terekam dan tersimpan dengan baik di perangkat drone atau bahkan langsung terkoneksi dengan jaringan penyimpanan berbasis cloud yang dapat dibagipakaikan dengan mudah. Kendala atau tantangan pada pemakaian drone ini ada pada faktor cuaca, tidak dapat dilakukan saat angin kencang atau hujan.

P e n g a m b i l a n d a t a geospasial yang bisa dilakukan kapan saja selama dalam cuaca yang baik menjadi titik kuat pemakaian drone dalam penyediaan IG untuk mendukung pengendalian pemanfaatan RTR. Pada proses penilaian pelaksaan KKPR, pengambilan data dengan drone dapat dilakukan baik selama proses pembangunan b e r l a n g s u n g a t a u p a s c a pembangunan. Begitu pula saat melakukan penilaian perwujudan RTR, pengambilan data geospasial dapat dilakukan secara langsung pada lokasi yang akan dilakukan penilaian. Data geospasial mutakhir akan membuat tahapan persandingan program dan penilaian struktur dan pola ruang dapat terlaksana dengan baik dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Pengoperasian drone untuk melakukan pengambilan data geospasial dapat dilakukan dengan cukup mudah. Terdapat pilihan pengoperasian secara otomatis atau auto-pilot yang akan menerbangkan drone sesuai dengan perencanaan jalur terbang yang telah dibuat sebelumnya. Drone akan dapat menyesuaikan posisi kamera dan ketinggian terbang serta proses pendaratan secara otomatis. Dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan RTR ini akan menjadi nilai tambah karena tidak dibutuhkan suatu latar belakang pendidikan atau keilmuan khusus untuk dapat menerbangkan drone. Namun demikian, terdapat pelatihan dan sertifikasi khusus pilot drone sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum dapat menerbangkan drone dengan baik dan bertanggung jawab.

D r o n e m e n j a d i s a l a h satu sarana yang dibutuhkan dalam melakukan audit tata ruang. Drone dibutuhkan untuk mengambil data visual penggunaan lahan mutakhir suatu lokasi. Hal tersebut dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan data spasial yang mensyaratkan data tersebut haruslah data terkini atau memiliki periode waktu yang sama dengan pelaksanaan audit tata ruang. Mengingat jangka waktu audit tata ruang paling lama dikerjakan dalam 10 bulan, maka kebutuhan data spasial harus cepat terpenuhi. Data tersebut akan digunakan dalam proses analisis kesesuaian pemanfaatan ruang guna mendeteksi indikasi pelanggaran yang terjadi.

I n d i k a s i p e l a n g g a r a n pemanfaatan ruang dapat diketahui melalui penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR. Hasil penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR digunakan untuk mengetahui implikasi kewilayahan atas pemanfaatan ruang yang nantinya harus dilakukan pengendalian. Implikasi kewilayahan yang umumnya terjadi diantaranya berupa munculnya konsentrasi pemanfaatan ruang tertentu pada wilayah tertentu yang tidak sesuai dengan skenario perwujudan RTR dan adanya dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu. Pada ruang yang memiliki konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif tinggi serta berpotensi melampaui d a y a d u k u n g d a n d a y a tampung maka dikategorikan sebagai zona kendali agar pemanfaatan ruang dapat dijaga kesesuaiannya dengan skenario perwujudan RTR. Sedangkan pada ruang dengan konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif masih sangat rendah maka dikategorikan sebagai zona yang didorong dan perlu ditingkatkan perwujudannya agar sesuai dengan skenario RTR.

Aktivitas sosial masyarakat pada suatu ruang yang terus meningkat menyebabkan pemanfaatan ruang menjadi s e m a k i n b e r a g a m d a n b e r ke m b a n g k i a n p e s a t . Pe r k e m b a n g a n t e r s e b u t t e r k a d a n g m e n i m b u l k a n tumpangtindih pemanfaatan ruang dan bahkan semakin tak terkendali. Untuk dapat menjaga pemanfaatan ruang yang harmonis, diperlukan sistem penataan ruang mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang baik. Ketersediaan data/informasi geospasial y a n g b a i k d a n m a m p u m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya memegang peran penting dalam mendukung ke b e r l a n g s u n g a n s i s t e m penataan ruang tersebut. Oleh karena itu, informasi geospasial tiga dimensi (3D) yang mampu merepresentasikan kondisi fisik dengan lebih nyata akan menjadi salah satu komponen yang vital dalam penataan ruang. Salah satu model untuk m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya suatu ruang dalam bentuk informasi geospasial tiga dimensi (3D) adalah model kota 3D (3D City Model) atau dikenal pula sebagai kembaran virtual (Digital Twin).

V i s u a l i s a s i i n f o r m a s i geospasial 3D di kota-kota di Indonesia saat ini masih jarang ditemui. Penyebab utamanya dikarenakan oleh keterbatasan data geospasial yang lengkap dan detail. Saat ini perencanaan wilayah kota (RDTR) masih berbasiskan informasi geospasial dua dimensi (2D) yang diperoleh dari peta skala besar, padahal k o n s e p p e n a t a a n r u a n g terutama untuk penataan ruang rinci/detail seharusnya memiliki aspek 3D. Peta Rupabumi Indonesia skala 1:5.000 yang merupakan peta skala besar dari BIG sebenarnya memiliki tingkat kedetailan setara LOD1 (Level of Detail 1). LOD1 ini dapat direpresentasikan sebagai bangunan prismatik dengan atap datar, dimana blok-blok bangunan pada peta skala besar ditambahkan informasi ketinggian sehingga dapat membentuk bangun 3D. Namun, untuk kebutuhan pengawasan dan pengendalian t a t a r u a n g , d i b u t u h k a n informasi geospasial 3D yang lebih baik lagi, baik dari segi kedetailan informasi maupun d a r i s e g i ke t e r b a h a r u a n datanya. Alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut ada pada teknologi drone, yang mana saat ini dapat memuat sensor untuk foto udara maupun lidar.

Foto udara dapat digunakan dalam pengendalian intensitas pemanfaatan lahan yang berkaitan dengan evaluasi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Foto udara yang bermanfaat dalam pembuatan peta penutup lahan eksisting melalui teknik interpretasi visual dapat menunjang evaluasi KDB dengan jalan menghitung persentase luas lantai dasar bangunan terhadap luas wilayah dan evaluasi KDH dengan menghitung persentase luas ruang terbuka hijau terhadap luas wilayahnya. Sementara data lidar yang berupa point cloud digunakan untuk membangun model kota 3D dengan tingkat kedetailan hingga mencapai L O D 2 , y a n g m e r u p a k a n r e p r e s e n t a s i b a n g u n a n dengan struktur atap yang berbeda, hingga LOD3 yang merepresentasikan struktur atap, dinding bahkan detail vegetasi dan obyek transportasi. Pengolahan p o i n t c l o u d dilakukan melalui klasifikasi semi otomatis terhadap fitur ground dan non ground. Point cloud pada kategori ground merupakan dasar dalam membangun Digital Terrain Model (DTM), dan point cloud non ground pada kelas bangunan digunakan untuk membangun model bangunan 3 D. Tu m p a n g s u s u n DT M dengan model bangunan 3D ini akan menghasilkan 3D City Model yang merepresentasikan permukaan bumi beserta obyekobyek yang ada di wilayah perkotaan. Representasi dalam tingkat kedetailan LOD2 hingga LOD3 ini akan memudahkan d a l a m p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dimana ketinggian setiap bangunan dapat diketahui secara pasti.

Penggunaan teknologi d ro n e d a l a m m e l a k u k a n pemetaan baik berupa 2D maupun model 3D berkembang menjadi salah satu metode yang potensial untuk memenuhi tantangan penyediaan IG untuk RTR. Kelebihan penggunaan drone ada pada kemudahan dan kecepatan dalam melakukan pengambilan dan pengolahan data sehingga ketersediaan IG untuk pengendalian RTR pada suatu wilayah dapat terpenuhi dengan cepat. Namun, di balik kelebihan tersebut masih terdapat kekurangan khususnya p a d a c a k u p a n w i l a y a h pemetaannya yang terbatas serta tingkat ketelitian dari IG yang dihasilkan. Perlu dilakukan banyak kajian lanjutan untuk mengatasi keterbatasan tersebut agar pemetaan menggunakan d r o n e d a p a t d i l a k u k a n secara efektif dan efisien serta menghasilkan IG yang baik untuk dapat digunakan khususnya pada pengendalian pemanfaatan ruang.

 

 

 

 

Sumber: Oleh  Ryan Pribadi, ST  , I Made Dipta Sudana, ST , Ircham Habib Anggara, S.Si, M.URP Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021 

Tidak ada komentar: