Rabu, 13 Juli 2022

KEARIFAN LOKAL IDENTITAS KOTA BERKELANJUTAN

Saat ini pertumbuhan kota-kota metropolitan dan pengembangan kota kecil sedang yang berkiblat kepada kota besar metropolitan. Timbul pertanyaan menjadi seperti apakah wajah lanskap dan budaya perkotaan pada masa 20 tahun, 50 tahun, 100 tahun bahkan 800 tahun ke depan? Apakah masih dapat menampilkan wajah pemukiman seperti di Kampung Hulu Muntok Bangka Barat, Wologae NTT, ataukah wajah kota seperti BSD dan "konsep-konsep tematik" yang mendasari kota-kota baru di Indonesia? Apakah kota pusaka masih memiliki kearifan lokal?

ADA APA KOTA-KOTA DI INDONESIA?

Secara hipotetik, perjalanan sejarah kota-kota di Indonesia tidak dapat lepas dari perkembangan kota Jakarta. Sah saja bahwa Jakarta menjadi parameter daerah, karena Jakarta adalah ibukota negara, kota metropolitan, pusat kegiatan pemerintahan, pusat administrasi negara dan pusat kehidupan politik. Jakarta juga menyandang fungsi-fungsi sebagai pusat kegiatan internasional, pusat perdagangan, pusat seni budaya serta pusat pendidikan. Bahkan menurut buku Jakarta 50 tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota yang dikeluarkan Dinas Tata Kota DKI Jakarta, di masa pertengahan abad ke-18 kota ini dikenal dengan julukan Queen of the East Batavia, kota pantai pelabuhan dan pusat perdagangan yang paling dihandalkan di Timur Jauh oleh Belanda.

Jakarta juga mencatat perhimpunan Budi Oetomo 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda II dan menggaungkannya hingga ke seluruh negeri , dalam era perjalanan menuju kemerdekaan Republik Indonesia. Jakarta adalah kota yang menggemakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kota ini juga memanfaatkan ruang terbuka sebagai ruang publik, dengan diselenggarakannya rapat raksasa di Lapangan Gambir untuk mengespresikan kebulatan tekad dan semangat kemerdekaan. Beragam rekam jejak sejarah perjalanan bangsa , sebelum dan sesudah proklamas i kemerdekaan serta spirit kebangsaan, menjadikan Kota Jakarta memiliki nilai-nilai peradaban dan makna yang otentik secara nasional.

Spirit mengisi kemerdekaan juga terjadi di kota- kota lainnya di Indonesia. Kota-kota memiliki rekam jejak sejarah secara tak benda/nir ragawi di setiap tempat/ruang dan waktu yang beragam. Tata letak ruang terus berubah, terlebih pada masa otonomi daerah. Hasil pengamatan lapangan dan data sekunder seperti pada contoh studi kasus warisan Kota Satelit Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Hasil tinjauan lapangan dan konsultasi dengan pemerintah daerah di beberapa kota menunjukkan penataan ruang kota dalam era otonomi daerah pada umumnya diawali dengan pembangunan pusat pemerintahan. Kawasan pusat pemerintahan sebagai identitas kota. Pusat pemerintahan juga merupakan pemekaran pemukiman, contohnya seperti yang terjadi di kota Muntok Bangka Barat, Sangata Kalimantan Timur, Tobelo Halmahera Utara, Bangkinang Kampar dan kota-kota otonomi baru lainnya. Upaya menciptakan identitas kota bisa jadi sebagai dampak dari kegalauan melawan krisis jatidiri kota. Kesempatan mencari karakter dan peluang dalam "aksi mengejar citra kota". Gelar yang diburu untuk mendapatkan citra sebagai kota mandiri, kota sehat, kota aktif, kota hijau, kota pusaka, kota kreatif, kota anak dan setumpuk aksi program-program terkait yang dicanangkan pemerintah pusat telah direspons secara positif oleh para pemangku kepentingan daerah untuk turut mengambil peran dan melakukan aksi. Bahkan program Perserikatan Bangsa-bangsa dalam UNESCO Asia Pacific World Cultural Heritage Award yang menggaungkan Iomba universal value telah digunakan sebagai bagian strategis kota untuk meraih perhatian global. Kota-kota yang pernah mengikuti kegiatan tersebut adalah kota Muntok Bangka Barat (2007) dan kota Sawahlunto (2008).

MENGAPA IDENTITAS KOTA DIBUTUHKAN?

Identitas kota dibutuhkan karena merupakan karakter kota, baik ragawi maupun nir ragawi, dan butuh proses dalam pembentukannya. Seperti yang dikutip dari buku Jakarta 50 tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota: "Identitas kota berkaitan dengan ritme sejarah yang telah melalui proses panjang, misalnya yang pada awalnya adalah kawasan pemukiman (kampung atau desa) seperti wajah kota Jakarta yang pada masa lalu dijuluki The Big Village menjadi metropolitan, kemudian menjadi kota dunia. Identitas kota membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya berkaitan dengan ritme sejarah yang telah melalui proses panjang sehingga jati diri suatu kota tidak dapat diciptakan begitu saja. Butuh proses perjalanan waktu yang bertahun-tahun, bahkan melampaui rentang generasi peradaban bangsa."

Kebutuhan identitas kota berkelanjutan sejalan dengan pernyataan dari sumber anonim, "Dunia di sekeliling kita mengalami perubahan tak pernah henti berkat pikiran dan tangan man usia, namun sejarah juga mencatat bahwa sebaik apapun ideologi yang dibangun manusia, selalu saja terjadi degradasi dan proses pembusukan karena pikiran dan perilaku manusianya sehingga muncul konflik. .... "

ADA APA DENGAN KEARIFAN LOKAL Dl TANAH AIR KITA?

Masalah sosial politik budaya ekonomi dan bencana lingkungan yang bertubi-tubi di beberapa kota di Indonesia tidak dapat lepas dari peran pengelola dan pengguna kota. Kota tidak dapat tumbuh dan berkembang secara independen. Kota-kota di Indonesia tidak bersinergi dengan kota-kota terdekat di sekitarnya, tidak juga dengan desa-desa tradisional dan kampung-kampung orisinal yang menjadi penguat dan pendukungnya. Tidak terjaganya dan tidak dilestarikannya peruntukan laban di kawasan konservasi daerah hulu menimbulkan dampak ketidakstabilan pada kondisi keamanan dan keselamatan lingkungan di hilir perkotaan. Contohnya, perubahan tata guna laban pertanian dan perkebunan kawasan konservasi di kota-kota kabupaten di sekitar Bogor menjadi salah satu penyebab banjir di hilir kota Jakarta.

Ketiadaan ruang publik yang bersih, tertib dan nyaman mengakibatkan warga terhimpit dengan hiruk-pikuk, kebisingan dan ketidakstabilan emosi. Arus informasi dari media elektronik dan jejaring sosial dunia maya yang tak terbendung dan tanpa seleksi juga telah merubah pola pikir, sikap dan respons masyarakat terhadap cara berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan alam. Kebrutalan para pelajar dalam mengekspresikan ketidakpuasan adalah contoh gamblang tentang ini .

Hal tersebut diatas mempengaruhi tata perilaku, tata perikehidupan dan tata cara menyalurkan gagasan dalam mengelola lingkungan hidup disekitar tempat bermukim bekerja, berdagang, belajar dan berekreasi. Pengelolaan dan pengembangan kota-kota lebih banyak mengadopsi pengaruh global. Sayangnya nilai-nilai kearifan dan keunikan yang berada di lingkungan sekitar tidaklah lebih disemarakkan.

Mari kita lihat kota Yogya. Kota pusaka ini memiliki karakter rekam jejak dan perikehidupan masyarakat keraton dan proletar, menjadikan Yogya kaya dengan ragam kearifan lokal. Namun sikap pemerintah daerah dan masyarakat dalam memanfaatkan ruang terbuka dan menata kota menimbulkan dilema. Di satu sisi secara nir ragawi (intangible), suasana kota menampakkan kekayaan dan kekuatan kreatihtas kriya dalam skala rumah tangga. Di sisi lain, secara fisik (tangible) distorsi kota pusaka ini sangat dirasakan yaitu tumpang-tindihnya fungsi ruang.

Ini tampak jelas di Jalan Malioboro. Padahal jalan ini adalah poros dan sumbu utama spiritual dalam pembentukan kota awalnya. Tetapi kota seperti melakukan pembiaran estetika dengan ketiadaan kontrol olah desain. Dekorasi iklan yang berkelebihan  dan keanekaragaman warna fasad bangunan jauh sekali dari warna-warna tradisional Yogya. Ruang jalur pedestrian disatukan dengan dengan jalur kendaraan beroda, jalur kuda dokar, sepeda, motor dan pedagang kaki lima.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI IDENTITAS

Kearifan lokal adalah nilai-nilai tata perilaku manusia, kearifan, etika yang bersumber dari pemikiran, bakat dan atau talenta yang terdapat dalam setiap individu. Peran serta dan Prakarsa individu terhadap lingkungan keluarga yang diikuti kelompok maupun komunitas merupakan langkah-langkah kecil menuju aksi masyarakat.

Menurut kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, 'kearifan lokal' (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). 'Lokal' berarti setempat, sedangkan 'kearifan' sama dengan kebijaksanaan. Secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat  (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Comoh kearifan lokal dalam kota dapat terlihat di kota Madinah. Menurut Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad: "Konsep civil society yang dalam bahasa Arab adalah madani, memang mengacu pada hal-hal yang ideal, paling tidak dalam dua hal. Pertama, mengacu pada kehidupan Nabi Muhammad SAW periode Madinah. Saat itu beliau dengan pesona keberhasilannya membangun dan membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati berlandaskan hukum, hak, dan tanggung jawab bersama.

Kedua, kata madani juga ideal dalam konteks sosiologis dunia Arab, yang menyiratkan kota selalu menjanjikan peradaban yang lebih makmur daripada daerah-daerah di luar kota yang hanya dihiasi panorama padang pasir tanpa air. Barangkali karena kondisi ideal itulah, arti Madinah dalam kamus Arab sarat dengan hal-hal yang ideal, seperti penduduk perkotaan yang memahami hukum atau undang-undang, kualitas kehidupan yang lebih tinggi dari segi cita rasa, daya dan pola berpikir serta tingkah laku sehari­hari."

MEMBANGUN KOTA BERKELANJUTAN DENGAN KEARIFAN LOKAL

Banyak cara dan langkah strategis yang telah dilakukan para pemangku kepentingan. Perlu spirit, keyakinan spiritual, perjuangan, konsistensi dan komitmen untuk menjamin Kota Berkelanjutan antara lain:

Membangun Sistem Partisipasi Masyarakat

Peran para individu, kelompok dan para pemangku kepentingan kota telah menunjukan upaya-upaya menghidupkan nuansa kesemarakan kota. Masyarakat lokal merupakan modal dan panglima dalam menjamin kota berlanjutan. Museum dan amusement menjadi langkah-langkah awal. Museum kehidupan dilakukan di beberapa kota yang memiliki karakter dan rekam jejak sejarah. Amusement sebagai upaya mempromosikan kota melalui kegiatan kepariwisataan. Contohnya partisipasi masyarakat dalam melestarikan dan menjadikan kawasan destinasi wisata pada Kampung Batik Laweyan . Batik sebagai Warisan Dunia, Adakah system partisipasi masyarakat yang dibangun berbasis kearifan lokal?

Memelihara Spirit dan Spiritual

Dalam upaya menebar benih peduli kota berkelanjutan, Oirektorat Jenderal Penataan Ruang memfasilitasi pelaksanaan progam-program rencana aksi. Kegiatan yang telah dilaksanakan sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 adalah peringatan Hari Tata Ruang, dengan tema-tema kepedulian lingkungan hidup. Promosi ruang terbuka dan taman seperti di lapangan Senayan kota Jakarta, di ruang privat dan ruang publik kota Denpasar, ruang terbuka pantai Losari Makasar. Kegiatan yang dalam beberapa tahun terakhir dilakukan merupakan langkah-langkah signifikan.

Kebiasaan dan tradisi menebar benih peduli kota berkelanjutan memang masih dalam tahap hiburan dan seremonial. Patut diapresiasi , hal tersebut merupakan perjalanan menuju kebiasaan yang merupakan cikal bakal sebuah peradaban baru. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup terus.

Mengelola Perubahan

Proses menuju akhir yang baik dalam membangun kota berkelanjutan yang hakiki membutuhkan kepercayaan, keyakinan dan jaringan interaksi secara holistik. Menggali nilai-nilai kearifan lokal di lingkungan urban dapat melalui keilmiahan dan mengelaborasi praktik-praktik teruji yang dievaluasi, diterapkan dan diarsipkan. Proses daur ulang atas penggalian, penemuan, pengenalan, pemahaman dan penerapan dapat disesuaikan dengan budaya lokal. Meningkatkan edukasi kapasitas dalam pemahaman nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian lingkungan perlu dirumuskan dan dilatih ketrampilannya. Piagam 10 Prakarsa Bali dan SUD Index yang digagas SUD-FI dapat diadopsi dan diadaptasi. Prakarsa dan indeks parameter sebagai alat dapat dibudidayakan melalui model-model kreatifitas karya dalam menuju kota berkelanjutan.

Perlu upaya kearifan dan etika dalam mengimbangi gelombang budaya hibrid dan pengaruh global yang menggiurkan. Ritme serba cepat menunrut kreatifitas dalam pengelolaan 10 Prakarsa Bali dan SUD Indeks. Pertanyaannya adalah bagaimanakah memanfaatkan, mengelola dan melestarikan aset-aser pusaka alam dan nilai-nilai kearifan lokal di setiap kota secara sinergis dan terintegritasi? Bagaimana memaksimalkan hubungan interaksi timbal balik perikehidupan berbangsa dan bernegara ini dalam skala lokal, demi kepentingan nasional dan menyenruh nilai-nilai universal?

Memfasilitasi dan mengapresiasi kearifan lokal

Kegiaran komuniras peduli lingkungan hidup, pelesrari budaya dan pegiat kota berkelanjutan memburuhkan sisrem dan mekanisme fasilitas maupun pendanaan serta apresiasi yang dapat menjamin keberlangsungannya. Sebagai conroh: kota Bau-bau, pengembangan pusat pemerintahan, pembangunan kota baru dan pelestarian kota lama (kota pusaka) mendapat perharian yang serius oleh para pengambil kebijakan. Peran serta masyarakar dilibarkan melalui homestay di rumah-rumah warga. Pendatang baik sebagai pelancong maupun peneliti dapat ringgal Bersama dengan penduduk setempat. Proses belajar mengajar dari para pengguna kota didapat dari perikehidupan masyarakat setempat sebagai penghuni kota Bau-bau. Dilesrarikannya pola tata ruang pada kawasan pemukiman juga menunjukkan conroh peran ruang terbuka pada halaman rumah. Pekarangan menjadi tempat berinteraksi sosial dan bertanam pohon-pohon buah dan tanaman herbal. Demikian juga kelesrarian aser ketrampilan berkriya dan pusaka-pusaka arsitektural.

Pernyaraan di atas sesuai dengan sumber tulisan anonim yang menyarakan: "beberapa waktu belakangan ini bersama-sama gerakan ekologis, orang berusaha menggali dan menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal yang masih tersisa. Beberapa pemikir dan pemerhati kebudayaan menganggapnya sebagai bentuk encounter dan arah-balik pencaharian dahaga spiritual akibat kejenuhan, untuk tidak mengarakan sebagai kekeringan spiritual masyarakat modern. Saat ini sebagian besar kearifan local sebenarnya telah menghilang alias tak lagi dipercaya, dipraktikkan ataupun diproduksi". Bisakah swasta dan pemerinrah bersinergis dalam membangun mekanisme reward and punishment berbasis kearifan lokal?

Melindungi dan mengelola Kota Pusaka

Kebijakan daerah rerhadap perlindungan pelestarian dan penataan kota lama mulai mendapatkan proporsinya. lnventarisasi, dokumentasi dan pengkajian nilai-nilai keilmiahan serta menginterprerasikan kawasan cagar budaya atau bagian kota pusaka menjadi langkah awal dalam keberlanjutan kora. Dibutuhkan perlindungan hukum unruk menjamin keberlanjutan, melalui Perda dan hukum adat. Pengelolaan yang berbasis pelestarian ekologis, kearifan lokal dan ekonomi kerakyatan dapat dikaji dan diratakemas ulang dalam nilai-nilai yang universal.

Sikap ini dapar kita lihat di kota Semarang. Para pemangku kepentingan baik dari pemerintah kota maupun pengusaha swasta berusaha keras mengimplementasikan visi dan misi menuju Kota Pusaka Dunia. Conroh lain yang rerkenal adalah warisan dunia Subak. lnilah kearifan lokal yang mampu mengangkat nilai tambah kota-kota pusaka lain di Pulau Bali seperti Ubud, Denpasar, Karang Asem dan lainnya.

PENUTUP

Kota membutuhkan sistem tata kelola yang baik, tujuan keberlanjutan adalah reroprimalisasikannya sistem kinerja yang terpantau dan terjaganya nila-nilai kearifan yang ridak bersifat statis. Tujuan yang telah ditetapkan, capaian yang telah dijangkau serta antisipasi resiko pengembangannya dipantau dan dinilai oleh para pengelola dan pengguna kota. Kota tidak dapat berdiri sendiri. Kebutuhan tata kelola secara inregriras dan holisrik antar Iimas jaringan kota diburuhkan dalam bersinergis dan berkolaborasi menggali nilai-nilai kearifan lokal.

Kearifan lokal membemuk lansekap budaya perkotaan di bumi Indonesia dan rekam jejak teknik-teknis spesifik dalam tata guna tanah di Nusantara. Perkembangan sosial kemasyarakatan, kekerabatan antar Iimas komunitas, serta imaginasi dan vitalitas spiritual kemanusiaan adalah bagian dari identitas kita bersama, penghuni planet ini.

Komunitas diharapkan dapat berperan sebagai panglima dalam menuju kota berkelanjutan. Komunitas merupakan sumber nilai­nilai ideologi dan idealisme. Seperti dalam pernyataan sumber anonim "Kita perlu menyusun dan membangun barisan komunitas yang dapat merespons perubahan tak rerduga. Kebutuhan kita adalah membangun tempat kerja yang "hidup" dimana pikiran, talenta dan hati bersinergi".

 

 

Sumber: Dani B Ishak, Dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia

 

Tidak ada komentar: