Senin, 18 Juli 2022

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

UNDANG-UNDANG No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) telah lebih dari satu dekade diundangkan namun masih belum terasa dampaknya. Hal yang menjadi salah satu penyebab adalah sebagian besar Pemerintah Daerah belum menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang LP2B sehingga alih fungsi lahan pertanian pangan khususnya sawah menjadi non sawah semakin meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Hal ini berpotensi dapat mempengaruhi produksi padi nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional.

Dalam rangka mengendalikan alih fungsi lahan sawah diperlukan adanya upaya dan kebijakan yang mendasar dari Pemerintah baik di Pusat dan Daerah agar perlindungan LP2B menjadi semakin efektif. Oleh karena itu, pada tanggal 6 September 2019 telah ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Pengendalian alih fungsi lahan sawah merupakan salah satu strategi peningkatan kapasitas produksi padi dalam negeri, sehingga perlu dilakukan percepatan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dan pengendalian alih fungsi lahan sawah sebagai program strategis  nasional. Sedangkan tujuan dari Perpres ini adalah:

a.  Mempercepat penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dalam rangka memenuhi dan menjaga ketersediaan lahan sawah untuk mendukung kebutuhan pangan nasional;

b.  Mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang semakin pesat;

c.  Memberdayakan petani untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan sawah; dan

d. Menyediakan data dan informasi lahan sawah untuk bahan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Berdasarkan Perpres tersebut,pengendalian alih fungsi lahansawah merupakan tugas lintaskementerian/ lembaga negara yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Kementerian/Lembaga tersebut mempunyai peran dan kewenangan masing-masing yang diatur dalam Perpres tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Kementerian ATR/ BPN yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria, pertanahan, dan tata ruang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Peran tersebut diantaranya yaitu:

a. Melakukan verifikasi lahan sawah terhadap data pertanahan dan tata ruang;

b.  Sebagai Ketua Harian Tim Terpadu Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Menteri ATR/Kepala BPN menetapkan Peta Lahan Sawah Dilindungi (LSD);

c. Melakukan pengendalian terhadap integrasi Peta LSD ke dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);

d. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alih fungsi pada lahan yang telah ditetapkan sebagai LSD maupun LP2B; dan

e. Melakukan  penertiban terhadap pelanggaran alih fungsi lahan.

 

BAGAN ALUR PENGENDALIAN FUNGSI LAHAN

 


Penetapan lahan sawah dilindungi diawali dengan Verifikasi Lahan Sawah yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Pertanian. Hasil verifikasi oleh kemeterian/ lembaga tersebut dilanjutkan dengan proses sinkronisasi oleh Tim Terpadu yang dipimpin Menko Perekonomian. Berdasarkan usulan Tim Terpadu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional menetapkan Peta Lahan Sawah Dilindungi (LSD) per kabupaten/ kota dengan skala 1:5.000.

Peta LSD digunakan sebagai bahan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam penetapan LP2B pada rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci tata ruang. Pada tahun 2020, penetapan LSD akan dilakukan pada kabupaten/kota di delapan provinsi yaitu Bali, Banten, D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat. Sejumlah 12 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan) yang telah diverifikasi pada tahun 2019 dilanjutkan dengan klarifikasi kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pada 13 provinsi lainnya (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua) akan dilakukan verifikasi lahan sawah terhadap data pertanahan dan tata ruang. Dengan demikian, pada tahun 2020, seluruh lahan sawah di Indonesia telah terverifikasi sehingga pada tahun berikutnya dapat ditetapkan lahan sawah dilindungi pada seluruh kabupaten/kota.

 

 

Sumber: TIM PENGENDALIAN AFLS Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 3 | MEI - JUNI 2020

Minggu, 17 Juli 2022

PENATAAN KAWASAN DI DAERAH RAWAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR

Banjir dan Longsor di Indonesia

Berdasarkan data historis, banjir dan longsor adalah bencana dengan peringkat tertinggi frekuensi kejadiannya di Indonesia, dengan kecenderungan terus meningkat, serta pola yang berulang pada kawasan yang sama atau jenis ancaman yang relatif permanen di kala musim penghujan tiba. menurut BNPB melalui Data Informasi Bencana Indonesia (http://dibi.bnpb.go.id), jumlah kejadian banjir tertinggi terjadi pada tahun 2010 dan 2017 dimana jumlah kejadian pada tahun 2010 yaitu 1.035 kejadian dan pada tahun 2017 sejumlah 978 kejadian. Bahkan pada tahun 2010, lebih dari 50% kejadian bencana di Indonesia merupakan kejadian banjir, sedangkan jumlah kejadian tanah longsor tertinggi terjadi pada tahun 2017 dimana jumlah kejadian mencapai 846 kejadian. Pada banyak kasus, kejadian tanah longsor diikuti dengan kejadian banjir akibat curah hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan banjir lumpur, contoh kejadian banjir di Bogor dan Lebak di awal 2020.  Ejadian banjir dan longsor terbesar terkini lainnya adalah banjir bandang Sentani Jayapura 2019 dan banjir bandang Garut 2016.

Faktor Penyebab Banjir dan Longsor

Bencana banjir terdiri atas beberapa jenis yang berbeda karakteristik bahaya bencananya, yaitu: a) banjir bandang yang umumnya terjadi di subDAS hulu dengan kecepatan arus tinggi berdurasi singkat dan sering menimbulkan korban jiwa; b) banjir sungai atau banjir fluvial yang dikenal banjir kiriman dari hulu DAS dan berdampak pada dataran banjir di Kawasan perkotaan di hilir DAS; c) banjir fluvial atau banjir lokal akibat drainase dan curah hujan local yang tinggi; dan d) banjir rob atau banjir pesisir yang dipengaruhi pasang laut. Pada scenario terburuk, ke empat jenis banjir ini dapat terjadi bersamaan dan lintas wilayah administrasi, artinya berdampak pada semua segmen DAS (hulu, tengah, hilir, dan pesisir), serta didahului oleh longsor di perbukitan hulu DAS.

Penyebab bencana banjir dan longsor umumnya terdiri atas beberapa faktor dan kombinasi antara faktor alam dan factor manusia, kemudian dari tiap kejadian dapat bervariasi factor mana yang paling dominan sebagai penyebab utama bencana. Misal untuk bencana banjir dapat disebabkan oleh 13 faktor mulai dari alih fungsi lahan, curah hujan tinggi, hingga kapasitas pengaliran sungai yang mengecil, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk penyebab banjir yang dipengaruhi oleh faktor manusia, sangat berkaitan erat kondisi tata ruang dan dapat diintervensi upaya mitigasinya melalui penataan ruang. Contoh alih fungsi lahan dari hutan menjadi permukiman dapat menyebabkan 5 hingga 20 kali peningkatan debit puncak (Kodoatie,2018).

Sedangkan bencana Gerakan tanah termasuk longsor, dapat dibedakan oleh pemicu utamanya, yaitu: longsor karena curah hujan yang tinggi (rain-induced landslide) dan longsor yang dipicu gempa bumi yang kuat (earthquakeinduced landslide) seperti gempa Lombok dan Palu 2018. Faktor-faktor penyebab tanah longsor diantaranya: curah hujan tinggi, kemiringan lahan atau lereng yang terjal, tata guna lahan misalnya persawahan di kelerengan tinggi, jenis tanah yang tebal dan kurang padat serta batuan yang kurang kuat atau mudah lepas, getaran termasuk gempabumi, beban tambahan seperti bangunan pada lereng, pengikisan akibat erosi di tebing sungai, cut and fill dalam perluasan permukiman, deforestasi, serta pemotongan lereng akibat pertambangan dan jaringan jalan. Kesemua factor tersebut mengganggu kestabilan lereng atau pembebanan berlebih di bagian atas lereng sehingga faktor keamanan menurun. Sebagian besar faktor tersebut juga sangat berkaitan dengan tekanan aktivitas manusia sebagai penyebab bencananya. Maka penataan ruang pada dasarnya dapat berperan besar sebagai instrumen mitigasi.

Bencana banjir dan longsor seringkali dikaitkan dengan kondisi tata ruang. Karena karakteristik pemanfaatan ruang berupa jenis dan intensitas penggunaan lahan mempengaruhi kondisi sumberdaya air suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui proses run-off atau air limpasan permukaan, erosi, infiltrasi, dan sedimentasi. Pengaruh guna lahan tersebut berdampak pada kuantitas dan kualitas air pada air permukaan maupun air tanah, sehingga Banjir dan kekeringan, lahan/DAS kritis dan sedimentasi, deforestasi dan laju urbanisasi, ketersediaan air bersih dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, merupakan segelintir dari banyak isu bersama antara tata ruang, pengelolaan DAS, dan mitigasi bencana. Probabilitas dan intensitas bahaya banjir bandang di hilir juga dapat dipengaruhi oleh kejadian longsor dan guna lahan di hulu DAS. Oleh karena itu, seringkali penataan KRB banjir di hilir tidak dapat dipisahkan dengan penataan KRB longsor di hulu. Maka sebagai solusi terpadu dan berkelanjutan terhadap masalah banjir, yaitu melalui tata ruang kawasan rawan bencana (KRB) berbasis DAS, dimana upaya pengelolaan/penataan hulu dan hilir DAS serta mitigasi struktural dan nonstruktural bencana, kemudian rencana dan program lintas kewenangan, seluruhnya diintegrasikan dan dilegalkan dalam rencana tata ruang.

 

FAKTOR PENYEBAB BANJIR DAN LONGSOR

No

PENYEBAB BANJIR

ALAM

MANUSIA

No

PENYEBAB LONGSOR

ALAM

MANUSIA

1.


2.

 

 

3.

 


4.

 

 

 5.

 

6.

 

 

 

7.

 

 

8.

 

 

 

 

 

 

9.

 

 

10.

 

 

11.

 

 

 

12.

 

 

 

13.

Alih fungsi lahan

Pembuangan dan penumpukan

Sampah

Erosi dan sedimentasi tinggi (mis. >

60 ton/ha/th)

Deforestasi, peladang berpindah,

degradasi lahan

Pengaruh pasang air laut (rob)

Kapasitas pengaliran sungai menurun

atau kecil

Curah Hujan tinggi durasi lama (mis.>

100 mm/hari)

Karakteristik DAS rentan banjir

(bentuk DAS, geometri sungai,

morfologi lahan, permeabilitas tanah)

Pembendungan alami (longsor di

hulu DAS)

Amblesan atau penurunan muka

Tanah

Permukiman & kawasan kumuh di

badan dan sempadan sungai

Sistem drainase tersumbat, tidak

memadai, tidak terintegrasi

Alokasi, operasi, dan pemeliharaan

bangunan pengendali banjir

(kegagalan tanggul, pompa, pintu

air, dll)

 

 

 

 


Ö

 

 

 

 

 

Ö

 

Ö

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Ö


Ö

 

 

Ö

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

 


Ö

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.

 

 

2.

 

3.

 

4.

5.

6.

7.

 

 

8.

 

 

9.

 

 

10.

11.

12.

13.

Alih fungsi lahan, tata guna lahan,

pola tanam

Penggalian dan pemotongan lereng

Kemiringan Lahan / lereng terjal

Deforestasi

Curah hujan

Kegempaan

Kondisi Tanah yang tebal dan kurang

Padat

Batuan penyusun lereng kurang kuat

atau mudah lepas

Beban tambahan seperti konstruksi

bangunan pada lereng

Drainase

Erosi di tebing sungai

Kepadatan penduduk

Tata air lereng

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

Ö

Ö

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

Ö

 

Ö

 

Ö

 

 

Ö

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

Ö

Ö

 

 

Regulasi Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir dan Longsor

Penataan ruang berkaitan erat dengan penanggulangan bencana. Penataan Ruang merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya dalam hal Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada tahap pra bencana, sedangkan kebencanaan tentunya merupakan pertimbangan mendasar dalam proses perencanaan tata ruang. Hal ini ditegaskan dalam konsideran menimbang huruf e UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menimbang bahwa NKRI berada pada kawasan rawanbencana, sehingga diperlukanpenataan ruang yang berbasismitigasi bencana. Bila ditinjaudari amanat UU 24 Tahun2007 tentang PenanggulanganBencana, setidaknya terdapatempat peran penataan ruangdalam penyelenggaraanpenanggulangan bencana,yaitu: pencegahan, mitigasi,pelaksanaan dan penegakanrencana tata ruang, dan acuanrekonstruksi pasca bencana.

Melalui revisi pedomanpenyusunan rencana tata ruangwilayah provinsi, kabupaten, kotadengan ditetapkannya PermenATR/Kepala BPN No. 1 tahun2018, dilakukan penguatan aspekmitigasi/pengurangan risikobencana dalam tiap tahapanpenyusunan rencana tata ruang(RTR) mulai dari input data yangdigunakan, proses analisis, danoutput berupa muatan rencanadi berbagai hierarki RTR.

Rencana Tata Ruang Berbasis Pengurangan Risiko Bencana Banjir dan Longsor

Berbeda dengan jenis bencana lainnya, penataan KRB banjir tidak dapat hanya difokuskan pada lokasi rawannya atau di hilir DAS saja, namun juga menata kawasan hulu DAS yang menjadi kontributor atau sumber limpasannya. Maka pokokpokok upaya mitigasi bencana banjir dan longsor berbasis pengelolaan DAS terpadu, perlu diintegrasikan ke dalam seluruh hierarki perencanaan tata ruang daerah, baik pada tataran rencana umum tata ruang yaitu RTRW, maupun pada tataran rencana rinci yaitu RDTR sebagai operasionalisasinya pada Kawasan yang rawan bencana. Selanjutnya RDTR menjadi dasar penataan kawasan pada level tapak seperti Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Kemudian sebagai negara rawan bencana dimana Indonesia hampir tidak ada daerah yang benar-benar aman dari ancaman segala jenis bencana, sehingga pendekatan yang digunakan dalam menata KRB banjir dan longsor adalah dengan pengurangan risiko bencana karena seutuhnya menghindar dari kawasan rawan sulit dilakukan.

Melalui penataan ruang dikembangkan skenarioskenario bagaimana komponen pembentuk risiko banjir yaitu bahaya, kerentanan, dan kapasitas, dikelola agar dapat diturunkan sehingga Ketika bencana terjadi, dampak bisa diminimalisir. Langkah-langkah penataan KRB dimulai dari mengenali karakteristik bahaya banjir yaitu probabilitas kejadian yaitu periode ulangnya (return period) dan intensitasnya seperti kedalaman dan kecepatan arus banjir. Disini pemetaan KRB banjir maupun longsor pada skala rinci dan akurat sangat krusial. Selanjutnya pahami lebih baik risiko yang ada berdasarkan tingkat kerentanan yaitu berapa besar aset dan jumlah jiwa yang berada di KRB dan seberapa rentan, kemudian seberapa tinggi tingkat kapasitas masyarakat dan sistem yang ada terhadap bahaya yang akan dihadapi. Kemudian sepakati tingkat risiko yang akan dimitigasi berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan dan kapasitas pembiayaan, misal apakah risiko debit banjir kala ulang 100 tahunan atau 25 tahunan. Semakin besar kala ulangnya maka semakin besar kebutuhan investasi mitigasi yang diperlukan. Tingkat risiko yang disepakati tersebut kemudian dianalisis mitigasi/ PRBnya untuk dirumuskan dan disepakati opsi mitigasi, baik berupa mitigasi struktural, non struktural atau kombinasinya, baik kebijakan menghindari atau relokasi, atau proteksi, dan adaptasi. Hal tersebut menjadi dasar muatan rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana yang dituangkan dalam rencana struktur dan pola ruang, program pembangunan, dan peraturan zonasi di KRB banjir. Konsistensi implementasi rencana yaitu komitmen berbagai pihak dalam program investasi dan pembiayaan untuk melaksanakan dan menegakan rencana tata ruang menjadi kunci keberhasilan bersama. Kerangka kerja bagaimana langkah-langkah Penataan Kawasan Rawan Bencana (KRB) dan bagaimana Penataan KRB Banjir dan Longsor dilakukan \ Berbasis Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Pengelolaan DAS Terpadu (PDAST), dan Manajemen Banjir Terpadu (MBT).

Upaya Meningkatkan Kualitas Tata Ruang KRB Banjir dan Longsor di Indonesia

Upaya Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang cq. Dit. Penataan Kawasan dalam menata KRB banjir dan longsor di Indonesia, salah satunya melalui Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dan pendampingan penyempurnaan RTR daerah dari aspek mitigasi/pengurangan risiko bencana untuk berbagai jenis bencana (banjir, longsor, letusan gunungapi, gempabumi, dan tsunami) di lebih dari 30 lokasi prioritas 2015-2019. Lokasi tersebut dipilih sebagai percontohan bagi daerah lain dengan tipologi kerawanan serupa, dengan kriteria pemilihan lokasi berdasarkan 136 lokasi prioritas PRB dalam RPJMN 2015-2019, wilayah terentan perubahan iklim dalam RAN API, permohonan bantuan teknis dan pemda, lokasi bencana besar terkini, serta status review/revisi perda RTR. Salah satu lokasi yang terkait bencana dominan berupa banjir dan longsor adalah Kabupaten Garut yang terdampak banjir bandang September 2016, dimana Rekomtek Penataan KRB yang sebelumnya disepakati bersama pimpinan daerah serta multi-pihak lintas sektor dan lintas wilayah menjadi bagian muatan mendasar dalam Perda No. 6 tahun 2019 Tentang Perubahan atas Perda No. 29 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Garut 2011-2031, serta penyempurnaan draft RDTR Kawasan Perkotaan Garut. Lokasi serupa lainnya adalah di Kota dan Kabupaten Bima, Kota Manado, Kota Sorong, Kota Ambon, dan Kawasan Perkotaan Sentani Kabupaten Jayapura.

 

 

Sumber : Oleh  MIRWANSYAH PRAWIRANEGARA, ST.,M.SC Dalam BULETIN PENATAAN RUANG  EDISI 1 | JANUARI - FEBRUARI 2020

 

Sabtu, 16 Juli 2022

FASILITASI PENERTIBAN (FASTIB) ALIH FUNGSI RTH MENJADI PERUMAHAN

TELAH dilaksanakan kegiatan Fasilitasi Penertiban untuk penanganan kasus indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi perumahan di Kelurahan Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung. Dalam kegiatan yang diselenggarakan pada tanggal 16-17 Juli 2019 tersebut dibuka dan dipimpin oleh Kasubdit Penertiban Pemanfaatan Ruang Wilayah I, Stevanus Eko Pramuji di Hotel Emersia Bandar Lampung.

Fasilitasi Penertiban

Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang berdaya guna, berkualitas, dan berkelanjutan perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam perjalanannya, meski proses penataan ruang direncanakan dengan kajian ilmiah yang sedemikian rupa ternyata dalam penyelenggaraannya banyak pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana. Salah satu contohnya yakni pemanfaatan RTH menjadi perumahan di Kelurahan Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung. Upaya implementasi penataan ruang yang tertib diwujudkan melalui pengendalian pemanfaatan ruang.

Kegiatan Fastib dilakuka dalam rangka penegakan hukum dengan mendorong Pemerintah Daerah untuk menerapkan sanksi administratif di daerah. Kegiatan ini merupakan tindak sosialisasi, pencegahan, sekaligus peringatan demi meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah dan semua pihak dalam mewujudkan tertib ruang dengan memaksimalkan fungsi kinerja PPNS Penataan Ruang.

Kronologis Singkat

Kegiatan Fastib di Kota Bandar Lampung ini bermula dari temuan PPNS Penataan Ruang pada saat kegiatan pemasangan plang terhadap indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang berupa aktivitas penambangan yang dilakukan pada kawasan RTH. Pada saat kegiatan berlangsung, terlihat adanya pembangunan perumahan di kawasan Kelurahan Sukamenanti.

Proses Fastib di Kota Bandar Lampung

Pada saat artikel ini ditulis, perkembangan kegiatan fastib sudah sampai pada proses pengiriman surat peringatan dari Pemerintah Daerah kepada pengembang agar menghentikan kegiatan tersebut. “Pertemuan hari ini guna menindaklanjuti surat peringatan dan sebagai langkah tindak lanjut dari kegiatan fastib di kota Bandar Lampung. Diharapkan dari pertemuan hari ini mendapat kesepakatan tindak lanjut setelah adanya surat peringatan” Ucap Stevanus.

Menurut Sekretaris Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Bandar Lampung, Hairul Akmal, pihak pengembang telah mengirimkan surat balasan terkait surat peringatan tersebut. Dalam suratnya, pengembang berjanji akan menghentikan pembangunan namun meminta solusi kepada Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung terkait bangunan yang telah berdiri, mengingat banyak masyarakat yang ingin memiliki hunian di perumahan tersebut.

Pada saat tim Subdit Penertiban Pemanfaatan Ruang Wilayah I melakukan survei ke lapangan, terlihat pembangunan sudah dihentikan, ada sekitar 29 rumah sudah terbangun (17/7).

Hasil dari pertemuan tersebut disepakati bahwa Kementerian ATR/BPN akan mengeluarkan surat rekomendasi kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang sudah berdiri disertai pencabutan izin yang telah diberikan karena pemberian izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang

 

 

Sumber: Oleh STEVANUS EKO PRAMUJI, S.SOS., MSI dan VIORIZZA SUCIANI PUTRI, SH Dalam BULETIN PENATAAN RUANG  EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2019

Jumat, 15 Juli 2022

PENGGUNAAN DRONE DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

RENCANA Tata Ruang (RTR) disusun dengan latar belakang masalah yang sama yaitu bagaimana memanfaatkan ruang yang terbatas ini agar manusia dapat menjalankan aktivitasnya untuk tetap hidup. Aktivitas tersebut dikenal dengan sebutan pemanfaatan ruang. Tidak semua pemanfaatan pada ruang dapat dilakukan secara berdampingan, karena setiap pemanfaatan memiliki p e n g a r u h y a n g b e r b e d a terhadap ruang disekitarnya. Setiap aspek dan pengaruh y a n g a k a n t i m b u l s u d a h seharusnya diperhitungkan d a l a m p e n y u s u n a n t a t a ruang sehingga rencana tata ruang yang akan dihasilkan m e r u p a k a n k o m p o s i s i peraturan terbaik bagi tiap-tiap pemanfaatan ruang. Setelah rencana tata ruang terbaik itu disusun, dibutuhkan suatu instrumen pengendalian agar hal tersebut dapat dilaksanakan dan terwujud secara nyata bukan hanya sebuah rencana tekstual di atas kertas.

Penyelenggaraan penataan r u a n g b e r t u j u a n u n t u k mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tujuan ini dapat tercapai apabila tertib tata ruang dapat terwujud dan ditandai dengan adanya kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang dilakukan melalui pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, khususnya p a d a p a s a l 1 4 7 a y a t 1 , ditegaskan bahwa pengendalian p e m a n f a a t a n r u a n g dilaksanakan untuk mendorong terwujudnya Tata Ruang sesuai dengan RTR.

Terbitnya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) turut berdampak pada penyelenggaraan tata ruang. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disahkan menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010. Terbitnya peraturan baru mengenai penyelenggaraan penataan ruang berdampak pada setiap tahapan penyelenggaraan, t e r m a s u k p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang. Perubahan m e n d a s a r t e r j a d i p a d a instrumen pengendaliannya yaitu munculnya istilah penilaian pelaksanaan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pe m a n f a a t a n R u a n g ( K K P R ) dan pernyataan mandiri pelaku U M K s e r t a p e n i l a i a n perwujudan RTR. Pengendalian juga dilakukan dalam bentuk pengenaan sanksi kepada orang yang tidak menaati RTR dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang yang diperiksa melalui audit tata ruang. Instrumen pengendalian tersebut kemudian harus dituangkan tidak hanya dalam bentuk tekstual namun juga ke dalam bentuk spasial.

P e r i o d e p e n i l a i a n pelaksanaan KKPR dilakukan selama pembangunan dan pasca pembangunan. Penilaian pelaksanaan KKPR selama pembangunan dilakukan paling lambat dua tahun sejak diterbitkannya KKPR. Penilaian s e l a m a pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan p ro s e s p e l a k s a n a a n n y a , sedangkan penilaian pasca pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan dari hasil pembangunan. Kedua hasil penilaian harus dituangkan dalam bentuk tekstual dan spasial. Ketika wajib dituangkan dalam bentuk spasial, maka dalam proses penilaiannya akan membutuhkan Informasi Geospasial (IG) baik dasar maupun tematik. Informasi geospasial yang dibutuhkan akan terbagi menjadi dua p e r i o d e y a i t u s a a t s e l a m a pembangunan d a n p a s c a pembangunan. Hal tersebut a k a n m e n j a d i s e b u a h tantangan tersendiri mengingat k e t e r s e d i a a n i n f o r m a s i geospasial di daerah yang sama pada rentang waktu berbeda sangatlah terbatas.

Tantangan keterbatasan IG yang sama juga dihadapi saat melakukan penilaian perwujudan RTR dan audit tata ruang. Penilaian perwujudan RTR dilakukan terhadap kesesuaian p r o g r a m , l o k a s i , w a k t u pelaksanaan pemanfaatan ruang terhadap rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang telah disusun. Penilaian tersebut dilakukan satu kali dalam lima tahun dan dilaksanakan satu tahun sebelum peninjauan kembali RTR. Di sisi lain, a u d i t t a t a r u a n g d a l a m penentuan delineasi lokasi dan pengumpulan data secara jelas tertulis dalam pedoman pelaksanaannya membutuhkan peta penggunaan lahan terbaru sesuai dengan saat audit tata ruang tersebut dilakukan. Oleh karena itu, IG termutakhir saat melakukan penilaian perwujudan RTR sangatlah dibutuhkan

Revolusi Industri 4.0 pada perkembangan A rt i f i c i a l Intelligence (AI) dengan menggunakan Internet of Things (IoT) sebagai penggerak utama turut memajukan teknologi penyediaan IG. Dalam proses pengumpulan data, pemakaian wahana drone atau UAV dapat menjadi suatu alternatif yang patut dicoba. Drone dapat mengambil data geospasial dari berbagai sudut pandang secara bebas, mudah digunakan dan bisa mengakses lokasi yang sulit terjangkau bila menggunakan jalur darat. Dapat mengambil dan menampilkan data visual secara cepat dan real-time membuat drone menjadi salah satu alat yang cocok untuk melakukan pengawasan atau memonitor suatu lokasi. Data visual juga dapat terekam dan tersimpan dengan baik di perangkat drone atau bahkan langsung terkoneksi dengan jaringan penyimpanan berbasis cloud yang dapat dibagipakaikan dengan mudah. Kendala atau tantangan pada pemakaian drone ini ada pada faktor cuaca, tidak dapat dilakukan saat angin kencang atau hujan.

P e n g a m b i l a n d a t a geospasial yang bisa dilakukan kapan saja selama dalam cuaca yang baik menjadi titik kuat pemakaian drone dalam penyediaan IG untuk mendukung pengendalian pemanfaatan RTR. Pada proses penilaian pelaksaan KKPR, pengambilan data dengan drone dapat dilakukan baik selama proses pembangunan b e r l a n g s u n g a t a u p a s c a pembangunan. Begitu pula saat melakukan penilaian perwujudan RTR, pengambilan data geospasial dapat dilakukan secara langsung pada lokasi yang akan dilakukan penilaian. Data geospasial mutakhir akan membuat tahapan persandingan program dan penilaian struktur dan pola ruang dapat terlaksana dengan baik dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Pengoperasian drone untuk melakukan pengambilan data geospasial dapat dilakukan dengan cukup mudah. Terdapat pilihan pengoperasian secara otomatis atau auto-pilot yang akan menerbangkan drone sesuai dengan perencanaan jalur terbang yang telah dibuat sebelumnya. Drone akan dapat menyesuaikan posisi kamera dan ketinggian terbang serta proses pendaratan secara otomatis. Dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan RTR ini akan menjadi nilai tambah karena tidak dibutuhkan suatu latar belakang pendidikan atau keilmuan khusus untuk dapat menerbangkan drone. Namun demikian, terdapat pelatihan dan sertifikasi khusus pilot drone sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum dapat menerbangkan drone dengan baik dan bertanggung jawab.

D r o n e m e n j a d i s a l a h satu sarana yang dibutuhkan dalam melakukan audit tata ruang. Drone dibutuhkan untuk mengambil data visual penggunaan lahan mutakhir suatu lokasi. Hal tersebut dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan data spasial yang mensyaratkan data tersebut haruslah data terkini atau memiliki periode waktu yang sama dengan pelaksanaan audit tata ruang. Mengingat jangka waktu audit tata ruang paling lama dikerjakan dalam 10 bulan, maka kebutuhan data spasial harus cepat terpenuhi. Data tersebut akan digunakan dalam proses analisis kesesuaian pemanfaatan ruang guna mendeteksi indikasi pelanggaran yang terjadi.

I n d i k a s i p e l a n g g a r a n pemanfaatan ruang dapat diketahui melalui penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR. Hasil penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR digunakan untuk mengetahui implikasi kewilayahan atas pemanfaatan ruang yang nantinya harus dilakukan pengendalian. Implikasi kewilayahan yang umumnya terjadi diantaranya berupa munculnya konsentrasi pemanfaatan ruang tertentu pada wilayah tertentu yang tidak sesuai dengan skenario perwujudan RTR dan adanya dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu. Pada ruang yang memiliki konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif tinggi serta berpotensi melampaui d a y a d u k u n g d a n d a y a tampung maka dikategorikan sebagai zona kendali agar pemanfaatan ruang dapat dijaga kesesuaiannya dengan skenario perwujudan RTR. Sedangkan pada ruang dengan konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif masih sangat rendah maka dikategorikan sebagai zona yang didorong dan perlu ditingkatkan perwujudannya agar sesuai dengan skenario RTR.

Aktivitas sosial masyarakat pada suatu ruang yang terus meningkat menyebabkan pemanfaatan ruang menjadi s e m a k i n b e r a g a m d a n b e r ke m b a n g k i a n p e s a t . Pe r k e m b a n g a n t e r s e b u t t e r k a d a n g m e n i m b u l k a n tumpangtindih pemanfaatan ruang dan bahkan semakin tak terkendali. Untuk dapat menjaga pemanfaatan ruang yang harmonis, diperlukan sistem penataan ruang mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang baik. Ketersediaan data/informasi geospasial y a n g b a i k d a n m a m p u m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya memegang peran penting dalam mendukung ke b e r l a n g s u n g a n s i s t e m penataan ruang tersebut. Oleh karena itu, informasi geospasial tiga dimensi (3D) yang mampu merepresentasikan kondisi fisik dengan lebih nyata akan menjadi salah satu komponen yang vital dalam penataan ruang. Salah satu model untuk m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya suatu ruang dalam bentuk informasi geospasial tiga dimensi (3D) adalah model kota 3D (3D City Model) atau dikenal pula sebagai kembaran virtual (Digital Twin).

V i s u a l i s a s i i n f o r m a s i geospasial 3D di kota-kota di Indonesia saat ini masih jarang ditemui. Penyebab utamanya dikarenakan oleh keterbatasan data geospasial yang lengkap dan detail. Saat ini perencanaan wilayah kota (RDTR) masih berbasiskan informasi geospasial dua dimensi (2D) yang diperoleh dari peta skala besar, padahal k o n s e p p e n a t a a n r u a n g terutama untuk penataan ruang rinci/detail seharusnya memiliki aspek 3D. Peta Rupabumi Indonesia skala 1:5.000 yang merupakan peta skala besar dari BIG sebenarnya memiliki tingkat kedetailan setara LOD1 (Level of Detail 1). LOD1 ini dapat direpresentasikan sebagai bangunan prismatik dengan atap datar, dimana blok-blok bangunan pada peta skala besar ditambahkan informasi ketinggian sehingga dapat membentuk bangun 3D. Namun, untuk kebutuhan pengawasan dan pengendalian t a t a r u a n g , d i b u t u h k a n informasi geospasial 3D yang lebih baik lagi, baik dari segi kedetailan informasi maupun d a r i s e g i ke t e r b a h a r u a n datanya. Alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut ada pada teknologi drone, yang mana saat ini dapat memuat sensor untuk foto udara maupun lidar.

Foto udara dapat digunakan dalam pengendalian intensitas pemanfaatan lahan yang berkaitan dengan evaluasi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Foto udara yang bermanfaat dalam pembuatan peta penutup lahan eksisting melalui teknik interpretasi visual dapat menunjang evaluasi KDB dengan jalan menghitung persentase luas lantai dasar bangunan terhadap luas wilayah dan evaluasi KDH dengan menghitung persentase luas ruang terbuka hijau terhadap luas wilayahnya. Sementara data lidar yang berupa point cloud digunakan untuk membangun model kota 3D dengan tingkat kedetailan hingga mencapai L O D 2 , y a n g m e r u p a k a n r e p r e s e n t a s i b a n g u n a n dengan struktur atap yang berbeda, hingga LOD3 yang merepresentasikan struktur atap, dinding bahkan detail vegetasi dan obyek transportasi. Pengolahan p o i n t c l o u d dilakukan melalui klasifikasi semi otomatis terhadap fitur ground dan non ground. Point cloud pada kategori ground merupakan dasar dalam membangun Digital Terrain Model (DTM), dan point cloud non ground pada kelas bangunan digunakan untuk membangun model bangunan 3 D. Tu m p a n g s u s u n DT M dengan model bangunan 3D ini akan menghasilkan 3D City Model yang merepresentasikan permukaan bumi beserta obyekobyek yang ada di wilayah perkotaan. Representasi dalam tingkat kedetailan LOD2 hingga LOD3 ini akan memudahkan d a l a m p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dimana ketinggian setiap bangunan dapat diketahui secara pasti.

Penggunaan teknologi d ro n e d a l a m m e l a k u k a n pemetaan baik berupa 2D maupun model 3D berkembang menjadi salah satu metode yang potensial untuk memenuhi tantangan penyediaan IG untuk RTR. Kelebihan penggunaan drone ada pada kemudahan dan kecepatan dalam melakukan pengambilan dan pengolahan data sehingga ketersediaan IG untuk pengendalian RTR pada suatu wilayah dapat terpenuhi dengan cepat. Namun, di balik kelebihan tersebut masih terdapat kekurangan khususnya p a d a c a k u p a n w i l a y a h pemetaannya yang terbatas serta tingkat ketelitian dari IG yang dihasilkan. Perlu dilakukan banyak kajian lanjutan untuk mengatasi keterbatasan tersebut agar pemetaan menggunakan d r o n e d a p a t d i l a k u k a n secara efektif dan efisien serta menghasilkan IG yang baik untuk dapat digunakan khususnya pada pengendalian pemanfaatan ruang.

 

 

 

 

Sumber: Oleh  Ryan Pribadi, ST  , I Made Dipta Sudana, ST , Ircham Habib Anggara, S.Si, M.URP Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021 

Kamis, 14 Juli 2022

Strategi Pengarusutamaan Pemulihan Mata Pencaharian dan Penguatan Masyarakat Pascabencana

 1.      Inklusif

Inklusif tidak hanya menyangkut kesetaraan gender tetapi juga mencakup pelibatan berbagai kelompok rentan seperti perempuan, kaum muda, lansia, penyandang disabilitas, pengidap HIV/AIDS dan anggota masyarakat lainnya yang dianggap rentan dengan mempertimbangkan aspek interseksionalitasnya.

Tidak dapat disangkal bahwa bencana menimbulkan dampak yang berbeda bagi setiap individu bergantung pada jenis kelamin, usia, kondisi fisik, dan kesehatan sehingga perlu diperhatikan aspek kesetaraan gender dan keberagaman dalam formulasi kegiatan dukungan. Hal ini pun tercermin dalam pengalaman penanggulangan bencana di masa lalu. Misalnya, terdapat kecenderungan jumlah korban perempuan lebih banyak daripada lakilaki dikarenakan bias dan diskriminasi berbasis gender yang telah ada sebelumnya.

Saat gempa bumi terdahulu di Jepang, angka kematian penyandang disabilitas dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan bukan penyandang disabilitas. Pascabencana, pengidap HIV dan AIDS mungkin akan kesulitan memperoleh obat-obatan esensial. Dalam pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi sosial, penyediaan dukungan tidak hanya berfokus terhadap perempuan, tetapi juga kelompok rentan lainnya pada situasi pascabencana. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pendekatan khusus bagi masing – masing kelompok rentan.

a.       Pendekatan Responsif Gender

Pendekatan responsif gender perlu diperhatikan dalam seluruh langkah – langkah pelaksanaan kegiatan.

- Persentase perempuan yang menjadi kepala desa, kepala dusun, ketua RT serta koordinator di tempat penampungan dan huntara masih sangat rendah. Oleh karena itu, perempuan di masyarakat perlu berperan serta secara aktif dalam pertemuan konsultatif untuk memastikan keterwakilan suara serta menyuarakan kebutuhannya dalam tahap formulasi dan pelaksanaan kegiatan serta menjamin penyebarluasan informasi bagi perempuan.

- Peran gender, norma, praktik sosial, dan budaya harus dipertimbangkan dalam formulasi rancangan rencana kegiatan, kriteria seleksi, dan lainnya. Segala jenis kegiatan yang tidak responsif gender terhadap perempuan (dewasa dan anak) harus dihindari. Kegiatan yang dilaksanakan harus memiliki andil dalam transformasi sosial dan gender untuk pembangunan yang lebih baik dan kesetaraan gender dalam masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan tidak hanya ditujukan bagi kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki demi menjaga keseimbangan dalam kegiatan.

 - Secara umum, tingkat literasi kaum perempuan lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, terutama lansia dan etnis minoritas yang tinggal di daerah perdesaan/terpencil, demikian pula dengan keterampilan berhitung. Hal ini harus dipertimbangkan dalam penyebarluasan informasi, pengumpulan proposal kegiatan, penyelenggaraan pelatihan, dan lain-lain.

- Ketika terjadi bencana, permasalahan yang kerap terjadi dalam kondisi normal semakin meningkat, seperti kekerasan berbasis gender. Terkait kegiatan pemulihan masyarakat, potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan (dewasa dan anak) dan rumah tangga, pelecehan gender dan kekerasan berbasis gender, perdagangan perempuan (dewasa dan anak) harus dipertimbangkan dan langkah penanganan yang tepat harus dilakukan pada saat yang bersamaan.

 - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota merupakan penanggung jawab utama untuk memastikan integrasi pendekatan responsif gender dan responsive keragaman, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan (dewasa dan anak) termasuk kekerasan berbasis gender. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di provinsi dan kabupaten/kota perlu dilibatkan dalam setiap konsultasi dan koordinasi di semua kegiatan.

b.      Lapangan Kerja bagi Kaum Muda

Keterlibatan kaum muda merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menjaga stabilitas hubungan antara pemuda dan masyarakat serta mengoptimalkan dampak pemulihan baik secara individu maupun kolektif. Secara umum, kaum muda merupakan mayoritas dalam populasi, tetapi kebutuhan mereka seringkali terabaikan karena mekanisme dukungan cenderung berfokus kepada anak-anak dan perempuan dewasa. Selain itu, kaum muda juga memiliki kesempatan yang terbatas untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat dan pengambilan keputusan.

Kurangnya dukungan terhadap kaum muda baik laki-laki maupun perempuan atau terbatasnya akses terhadap pekerjaan yang produktif dapat berdampak secara fisik maupun psikis selain stres yang tinggi akibat bencana. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan peluang kerja baru, peningkatan keahlian, dan pelatihan keterampilan bagi kaum muda. Hal ini merupakan peluang bagi pemuda khususnya perempuan muda untuk mempelajari bidang dan keahlian baru seperti keterampilan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) dan juga teknologi informatika dan komunikasi (TIK) yang bisa menjadi pilihan untuk digeluti. Pelibatan pemuda dapat mempercepat pemulihan kaum muda dan masyarakat serta hubungan sosial kemasyarakatannya.

c.       Lansia dan Penyandang Disabilitas

Di sejumlah lokasi huntara, bangunan telah dirancang dengan mempertimbangkan kondisi lansia dan penyandang disabilitas. Kepala desa selaku penanggung jawab pengaturan/pengalokasian penghuni huntara di desanya telah memprioritaskan lansia dan penyandang disabilitas dalam pengaturan relokasi. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk mengaplikasikan “rancangan atau desain bangunan universal” yang dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan kelompok rentan di hunian sementara maupun hunian tetap.

d.      Pengidap HIV dan AIDS

Sulitnya memperoleh perawatan medis dapat mengancam kehidupan pengidap HIV dan AIDS maka kebutuhan mereka perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan sebelumnya. Seperti halnya penderita penyakit kronis yang lain, pengidap HIV dan AIDS wajib mengonsumsi obat-obatan secara rutin (Pengobatan Anti-Retroviral–ART) yang bisa menekan aktivitas virus sehingga pengidap HIV dan AIDS bisa hidup normal seperti individu yang lain.

Ketika bencana skala besar terjadi, sarana penopang kehidupan dan fasilitas medis dapat terganggu/terhenti sehingga penyediaan pengobatan yang diperlukan dapat terhambat. Pada kasus pengidap HIV dan AIDS, Kondisi ini sangat berbahaya karena virus dapat berkembang lebih cepat dan resisten terhadap obat-obatan yang digunakan. Pada umumnya pengidap HIV dan AIDS bisa memperoleh obat-obatan yang diperlukan di rumah sakit, tetapi perubahan kondisi pascabencana dapat menyulitkan mereka untuk mengakses obat-obatan dan perawatan yang dibutuhkan.

 

2.      Keberlanjutan

a.       Membangun Kembali Lebih Baik (Build Back Better) untuk pemulihan dan pembangunan kembali masyarakat yang berkelanjutan Keberlanjutan dalam perspektif ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan perlu dipertimbangkan di seluruh aspek tahapan pemulihan dan pembangunan kembali. Pemulihan dan penguatan tidak hanya berkaitan dengan pemulihan kembali ke kondisi awal di daerah terdampak bencana, tetapi yang paling penting pada tahapan ini adalah kesempatan untuk mengurangi risiko bencana di masa depan melalui masyarakat yang lebih tangguh dan menjaga keberlanjutan kegiatan.

b.      Ramah Lingkungan Selama pemulihan dan pembangunan kembali, perlu dipertimbangkan aspek konservasi lingkungan alam dan sosial. Kondisi kehidupan dan mata pencaharian masyarakat berubah akibat bencana sehingga membutuhkan banyak sumber daya untuk pemulihan dan pembangunan kembali. Dalam kondisi ini, keberkelanjutan sumber daya alam adalah salah satu hal yang harus dipertimbangkan.

 

3.      Kemandirian

Masyarakat didorong dan difasilitasi untuk menginisiasi dan melaksanakan kegiatan swadaya. Pascabencana, masyarakat perlu memulihkan kehidupannya dan mengeratkan hubungan sosial kemasyarakatannya, baik secara swadaya, gotong royong, maupun dengan bantuan pemerintah.

Mengingat keterbatasan sumber daya pemerintah untuk membantu masyrakat, khususnya pascabencana karena Mereka harus mampu memulihkan kehidupan mereka dan melakukan penguatan masyarakat secara mandiri, gotong royong, dan melalui bantuan publik. Mengingat sumber daya pemerintah untuk membantu masyarakat terbatas, terutama selama bencana, prioritas difokuskan pada pemeliharaan stabilitas dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus menjadi mitra pemerintah dan memiliki inisiatif dalam melakukan kegiatan swadaya

 

 

 

 

 

 

Sumber: Panduan Dukungan Pemulihan Mata Pencaharian dan Penguatan Masyarakat Pascabencana Penerbit Kementerian PPN/Bappenas - JICA