Banjir
dan Longsor di Indonesia
Berdasarkan data historis, banjir dan longsor adalah bencana
dengan peringkat tertinggi frekuensi kejadiannya di Indonesia, dengan kecenderungan
terus meningkat, serta pola yang berulang pada kawasan yang sama atau jenis ancaman
yang relatif permanen di kala musim penghujan tiba. menurut BNPB melalui Data Informasi
Bencana Indonesia (http://dibi.bnpb.go.id), jumlah kejadian banjir tertinggi
terjadi pada tahun 2010 dan 2017 dimana jumlah kejadian pada tahun 2010 yaitu
1.035 kejadian dan pada tahun 2017 sejumlah 978 kejadian. Bahkan pada tahun 2010,
lebih dari 50% kejadian bencana di Indonesia merupakan kejadian banjir,
sedangkan jumlah kejadian tanah longsor tertinggi terjadi pada tahun 2017
dimana jumlah kejadian mencapai 846 kejadian. Pada banyak kasus, kejadian tanah
longsor diikuti dengan kejadian banjir akibat curah hujan yang cukup tinggi
sehingga menyebabkan banjir lumpur, contoh kejadian banjir di Bogor dan Lebak
di awal 2020. Ejadian banjir dan longsor
terbesar terkini lainnya adalah banjir bandang Sentani Jayapura 2019 dan banjir
bandang Garut 2016.
Faktor Penyebab Banjir dan Longsor
Bencana banjir terdiri atas beberapa jenis yang berbeda karakteristik
bahaya bencananya, yaitu: a) banjir bandang yang umumnya terjadi di subDAS hulu
dengan kecepatan arus tinggi berdurasi singkat dan sering menimbulkan korban
jiwa; b) banjir sungai atau banjir fluvial yang dikenal banjir kiriman dari
hulu DAS dan berdampak pada dataran banjir di Kawasan perkotaan di hilir DAS;
c) banjir fluvial atau banjir lokal akibat drainase dan curah hujan local yang
tinggi; dan d) banjir rob atau banjir pesisir yang dipengaruhi pasang laut.
Pada scenario terburuk, ke empat jenis banjir ini dapat terjadi bersamaan dan lintas
wilayah administrasi, artinya berdampak pada semua segmen DAS (hulu, tengah,
hilir, dan pesisir), serta didahului oleh longsor di perbukitan hulu DAS.
Penyebab bencana banjir dan longsor umumnya terdiri atas beberapa
faktor dan kombinasi antara faktor alam dan factor manusia, kemudian dari tiap kejadian
dapat bervariasi factor mana yang paling dominan sebagai penyebab utama bencana.
Misal untuk bencana banjir dapat disebabkan oleh 13 faktor mulai dari alih
fungsi lahan, curah hujan tinggi, hingga kapasitas pengaliran sungai yang mengecil,
lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk penyebab banjir yang dipengaruhi
oleh faktor manusia, sangat berkaitan erat kondisi tata ruang dan dapat diintervensi
upaya mitigasinya melalui penataan ruang. Contoh alih fungsi lahan dari hutan menjadi
permukiman dapat menyebabkan 5 hingga 20 kali peningkatan debit puncak (Kodoatie,2018).
Sedangkan bencana Gerakan tanah termasuk longsor, dapat
dibedakan oleh pemicu utamanya, yaitu: longsor karena curah hujan yang tinggi (rain-induced
landslide) dan longsor yang dipicu gempa bumi yang kuat (earthquakeinduced landslide)
seperti gempa Lombok dan Palu 2018. Faktor-faktor penyebab tanah longsor diantaranya:
curah hujan tinggi, kemiringan lahan atau lereng yang terjal, tata guna lahan
misalnya persawahan di kelerengan tinggi, jenis tanah yang tebal dan kurang
padat serta batuan yang kurang kuat atau mudah lepas, getaran termasuk
gempabumi, beban tambahan seperti bangunan pada lereng, pengikisan akibat erosi
di tebing sungai, cut and fill dalam perluasan permukiman, deforestasi, serta
pemotongan lereng akibat pertambangan dan jaringan jalan. Kesemua factor tersebut
mengganggu kestabilan lereng atau pembebanan berlebih di bagian atas lereng
sehingga faktor keamanan menurun. Sebagian besar faktor tersebut juga sangat
berkaitan dengan tekanan aktivitas manusia sebagai penyebab bencananya. Maka
penataan ruang pada dasarnya dapat berperan besar sebagai instrumen mitigasi.
Bencana banjir dan longsor seringkali dikaitkan dengan kondisi
tata ruang. Karena karakteristik pemanfaatan ruang berupa jenis dan intensitas
penggunaan lahan mempengaruhi kondisi sumberdaya air suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS) melalui proses run-off atau air limpasan permukaan, erosi, infiltrasi, dan
sedimentasi. Pengaruh guna lahan tersebut berdampak pada kuantitas dan kualitas
air pada air permukaan maupun air tanah, sehingga Banjir dan kekeringan,
lahan/DAS kritis dan sedimentasi, deforestasi dan laju urbanisasi, ketersediaan
air bersih dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, merupakan segelintir dari
banyak isu bersama antara tata ruang, pengelolaan DAS, dan mitigasi bencana.
Probabilitas dan intensitas bahaya banjir bandang di hilir juga dapat dipengaruhi
oleh kejadian longsor dan guna lahan di hulu DAS. Oleh karena itu, seringkali penataan
KRB banjir di hilir tidak dapat dipisahkan dengan penataan KRB longsor di hulu.
Maka sebagai solusi terpadu dan berkelanjutan terhadap masalah banjir, yaitu
melalui tata ruang kawasan rawan bencana (KRB) berbasis DAS, dimana upaya pengelolaan/penataan
hulu dan hilir DAS serta mitigasi struktural dan nonstruktural bencana,
kemudian rencana dan program lintas kewenangan, seluruhnya diintegrasikan dan dilegalkan
dalam rencana tata ruang.
FAKTOR PENYEBAB
BANJIR DAN LONGSOR
No
|
PENYEBAB BANJIR
|
ALAM
|
MANUSIA
|
No
|
PENYEBAB LONGSOR
|
ALAM
|
MANUSIA
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
|
Alih fungsi lahan
Pembuangan dan penumpukan
Sampah
Erosi dan sedimentasi tinggi (mis. >
60 ton/ha/th)
Deforestasi, peladang berpindah,
degradasi lahan
Pengaruh pasang air laut (rob)
Kapasitas pengaliran sungai menurun
atau kecil
Curah Hujan tinggi durasi lama (mis.>
100 mm/hari)
Karakteristik DAS rentan banjir
(bentuk DAS, geometri sungai,
morfologi lahan, permeabilitas tanah)
Pembendungan alami (longsor di
hulu DAS)
Amblesan atau penurunan muka
Tanah
Permukiman & kawasan kumuh di
badan dan sempadan sungai
Sistem drainase tersumbat, tidak
memadai, tidak terintegrasi
Alokasi, operasi, dan pemeliharaan
bangunan pengendali banjir
(kegagalan tanggul, pompa, pintu
air, dll)
|
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
|
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
|
Alih fungsi lahan, tata guna lahan,
pola tanam
Penggalian dan pemotongan lereng
Kemiringan Lahan / lereng terjal
Deforestasi
Curah hujan
Kegempaan
Kondisi Tanah yang tebal dan kurang
Padat
Batuan penyusun lereng kurang kuat
atau mudah lepas
Beban tambahan seperti konstruksi
bangunan pada lereng
Drainase
Erosi di tebing sungai
Kepadatan penduduk
Tata air lereng
|
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
|
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
|
Regulasi Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir dan
Longsor
Penataan ruang berkaitan erat dengan penanggulangan bencana. Penataan
Ruang merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya
dalam hal Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada tahap pra bencana, sedangkan
kebencanaan tentunya merupakan pertimbangan mendasar dalam proses perencanaan tata
ruang. Hal ini ditegaskan dalam konsideran menimbang huruf e UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, menimbang bahwa NKRI berada pada kawasan rawanbencana,
sehingga diperlukanpenataan ruang yang berbasismitigasi bencana. Bila
ditinjaudari amanat UU 24 Tahun2007 tentang PenanggulanganBencana, setidaknya
terdapatempat peran penataan ruangdalam penyelenggaraanpenanggulangan bencana,yaitu:
pencegahan, mitigasi,pelaksanaan dan penegakanrencana tata ruang, dan
acuanrekonstruksi pasca bencana.
Melalui revisi pedomanpenyusunan rencana tata ruangwilayah
provinsi, kabupaten, kotadengan ditetapkannya PermenATR/Kepala BPN No. 1
tahun2018, dilakukan penguatan aspekmitigasi/pengurangan risikobencana dalam
tiap tahapanpenyusunan rencana tata ruang(RTR) mulai dari input data
yangdigunakan, proses analisis, danoutput berupa muatan rencanadi berbagai
hierarki RTR.
Rencana Tata Ruang Berbasis Pengurangan Risiko Bencana Banjir
dan Longsor
Berbeda dengan jenis bencana lainnya, penataan KRB banjir
tidak dapat hanya difokuskan pada lokasi rawannya atau di hilir DAS saja, namun
juga menata kawasan hulu DAS yang menjadi kontributor atau sumber limpasannya.
Maka pokokpokok upaya mitigasi bencana banjir dan longsor berbasis pengelolaan DAS
terpadu, perlu diintegrasikan ke dalam seluruh hierarki perencanaan tata ruang daerah,
baik pada tataran rencana umum tata ruang yaitu RTRW, maupun pada tataran rencana
rinci yaitu RDTR sebagai operasionalisasinya pada Kawasan yang rawan bencana. Selanjutnya
RDTR menjadi dasar penataan kawasan pada level tapak seperti Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan (RTBL).
Kemudian sebagai negara rawan bencana dimana Indonesia hampir
tidak ada daerah yang benar-benar aman dari ancaman segala jenis bencana,
sehingga pendekatan yang digunakan dalam menata KRB banjir dan longsor adalah dengan
pengurangan risiko bencana karena seutuhnya menghindar dari kawasan rawan sulit
dilakukan.
Melalui penataan ruang dikembangkan skenarioskenario bagaimana
komponen pembentuk risiko banjir yaitu bahaya, kerentanan, dan kapasitas,
dikelola agar dapat diturunkan sehingga Ketika bencana terjadi, dampak bisa diminimalisir.
Langkah-langkah penataan KRB dimulai dari mengenali karakteristik bahaya banjir
yaitu probabilitas kejadian yaitu periode ulangnya (return period) dan
intensitasnya seperti kedalaman dan kecepatan arus banjir. Disini pemetaan KRB banjir
maupun longsor pada skala rinci dan akurat sangat krusial. Selanjutnya pahami
lebih baik risiko yang ada berdasarkan tingkat kerentanan yaitu berapa besar
aset dan jumlah jiwa yang berada di KRB dan seberapa rentan, kemudian seberapa
tinggi tingkat kapasitas masyarakat dan sistem yang ada terhadap bahaya yang
akan dihadapi. Kemudian sepakati tingkat risiko yang akan dimitigasi
berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan dan kapasitas pembiayaan, misal
apakah risiko debit banjir kala ulang 100 tahunan atau 25 tahunan. Semakin
besar kala ulangnya maka semakin besar kebutuhan investasi mitigasi yang
diperlukan. Tingkat risiko yang disepakati tersebut kemudian dianalisis
mitigasi/ PRBnya untuk dirumuskan dan disepakati opsi mitigasi, baik berupa
mitigasi struktural, non struktural atau kombinasinya, baik kebijakan
menghindari atau relokasi, atau proteksi, dan adaptasi. Hal tersebut menjadi dasar
muatan rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana yang dituangkan dalam
rencana struktur dan pola ruang, program pembangunan, dan peraturan zonasi di
KRB banjir. Konsistensi implementasi rencana yaitu komitmen berbagai pihak
dalam program investasi dan pembiayaan untuk melaksanakan dan menegakan rencana
tata ruang menjadi kunci keberhasilan bersama. Kerangka kerja bagaimana langkah-langkah
Penataan Kawasan Rawan Bencana (KRB) dan bagaimana Penataan KRB Banjir dan
Longsor dilakukan \ Berbasis Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Pengelolaan DAS
Terpadu (PDAST), dan Manajemen Banjir Terpadu (MBT).
Upaya Meningkatkan Kualitas Tata Ruang KRB Banjir dan Longsor
di Indonesia
Upaya Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang cq.
Dit. Penataan Kawasan dalam menata KRB banjir dan longsor di Indonesia, salah
satunya melalui Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dan pendampingan penyempurnaan
RTR daerah dari aspek mitigasi/pengurangan risiko bencana untuk berbagai jenis
bencana (banjir, longsor, letusan gunungapi, gempabumi, dan tsunami) di lebih
dari 30 lokasi prioritas 2015-2019. Lokasi tersebut dipilih sebagai percontohan
bagi daerah lain dengan tipologi kerawanan serupa, dengan kriteria pemilihan lokasi
berdasarkan 136 lokasi prioritas PRB dalam RPJMN 2015-2019, wilayah terentan perubahan
iklim dalam RAN API, permohonan bantuan teknis dan pemda, lokasi bencana besar terkini,
serta status review/revisi perda RTR. Salah satu lokasi yang terkait bencana
dominan berupa banjir dan longsor adalah Kabupaten Garut yang terdampak banjir
bandang September 2016, dimana Rekomtek Penataan KRB yang sebelumnya disepakati
bersama pimpinan daerah serta multi-pihak lintas sektor dan lintas wilayah
menjadi bagian muatan mendasar dalam Perda No. 6 tahun 2019 Tentang Perubahan
atas Perda No. 29 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Garut 2011-2031, serta penyempurnaan
draft RDTR Kawasan Perkotaan Garut. Lokasi serupa lainnya adalah di Kota dan Kabupaten
Bima, Kota Manado, Kota Sorong, Kota Ambon, dan Kawasan Perkotaan Sentani Kabupaten
Jayapura.
Sumber : Oleh MIRWANSYAH PRAWIRANEGARA, ST.,M.SC Dalam BULETIN
PENATAAN RUANG EDISI 1 | JANUARI -
FEBRUARI 2020