Muatan RDTR terdiri atas tujuan penataan WP, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, ketentuan pemanfaatan ruang, dan peraturan zonasi.
1. Tujuan Penataan WP
Tujuan penataan WP merupakan
nilai dan/atau kualitas terukur yang akan dicapai sesuai dengan arahan
pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota dan merupakan
alasan disusunnya RDTR tersebut, serta apabila diperlukan dapat dilengkapi
konsep pencapaian. Tujuan penataan WP berisi tema yang akan direncanakan di
wilayah perencanaan.
Tujuan penataan WP berfungsi:
a. sebagai acuan untuk penyusunan
rencana pola ruang, penyusunan rencana struktur ruang, penyusunan ketentuan
pemanfaatan ruang, penyusunan peraturan zonasi; dan
b. untuk menjaga konsistensi dan
keserasian pengembangan wilayah perencanaan dengan RTRW kabupaten/kota
Perumusan tujuan penataan WP
didasarkan pada:
a. Arahan pencapaian sebagaimana
ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;
b. Isu strategis wilayah
perencanaan, yang antara lain dapat berupa potensi, masalah, dan urgensi
penanganan; dan
c. Karakteristik wilayah
perencanaan.
Tujuan penataan WP dirumuskan
dengan mempertimbangkan:
a. Keseimbangan dan keserasian
antarbagian dari wilayah kabupaten/kota;
b. Fungsi dan peran WP;
c. Potensi investasi;
d. Keunggulan dan daya saing WP;
e. Kondisi sosial dan lingkungan
WP;
f. Peran dan aspirasi masyarakat
dalam pembangunan; dan
g. Prinsip-prinsip yang merupakan
penjabaran dari tujuan tersebut.
2. Rencana Struktur Ruang
Rencana struktur ruang merupakan
susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana di WP yang akan
dikembangkan untuk mencapai tujuan dalam melayani kegiatan skala WP.
Rencana struktur ruang berfungsi
sebagai:
a. Pembentuk sistem pusat
pelayanan di dalam WP;
b. Dasar perletakan jaringan
serta rencana pembangunan prasarana dan utilitas dalam WP sesuai dengan fungsi
pelayanannya; dan
c. Dasar rencana sistem
pergerakan dan aksesibilitas lingkungan dalam RTBL dan rencana teknis sektoral.
Rencana struktur ruang dirumuskan
berdasarkan:
a. Rencana struktur ruang yang
termuat dalam RTRW Kabupaten/Kota;
b. Kebutuhan pelayanan dan
pengembangan bagi WP; dan
c. Ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait.
Rencana struktur ruang dirumuskan
dengan kriteria:
a. Memperhatikan rencana struktur
ruang WP lainnya dalam wilayah kabupaten/kota;
b. Memperhatikan rencana struktur
ruang kabupaten/kota sekitarnya yang berbatasan langsung dengan WP;
c. Menjamin keterpaduan dan
prioritas pelaksanaan pembangunan prasarana dan utilitas pada WP;
d. Mengakomodasi kebutuhan
pelayanan prasarana dan utilitas WP termasuk kebutuhan pergerakan manusia dan
barang; dan
e. Mempertimbangkan inovasi
dan/atau rekayasa teknologi.
Materi rencana struktur ruang
meliputi:
a. Rencana Pengembangan Pusat
Pelayanan Rencana pengembangan pusat pelayanan merupakan distribusi pusatpusat pelayanan
di dalam WP yang akan melayani SWP, dapat meliputi:
1) pusat
pelayanan kota/kawasan perkotaan;
2) sub pusat
pelayanan kota/kawasan perkotaan; dan
3) pusat
pelayanan lingkungan, berupa:
a) pusat
lingkungan kecamatan;
b) pusat
lingkungan kelurahan/desa; dan/atau
c) pusat rukun
warga.
b. Rencana Jaringan Transportasi
Rencana jaringan transportasi
dapat mencakup:
1) Jalan umum,
meliputi:
a) jalan arteri
primer;
b) jalan arteri
sekunder;
c) jalan
kolektor primer;
d) jalan
kolektor sekunder;
e) jalan lokal
primer;
f) jalan lokal
sekunder;
g) jalan
lingkungan primer; dan
h) jalan
lingkungan sekunder;
2) jalan
khusus;
3) jalan tol;
4) jalan masuk
dan keluar terminal barang dan penumpang;
5) jalan
menuju moda transportasi umum;
6) jalan masuk
dan keluar parkir;
7) terminal
penumpang, meliputi:
a) terminal
penumpang tipe A;
b) terminal
penumpang tipe B; dan
c) terminal
penumpang tipe C;
8) terminal
barang;
9) jembatan
timbang;
10) jembatan;
11) halte;
12) jaringan
jalur kereta api antarkota;
13) jaringan
jalur kereta api perkotaan, meliputi:
a) jalur
monorel;
b) jalur kereta
rel listrik;
c) jalur MRT
(mass rapid transit); dan
d) jalur LRT
(light rapid transit).
14) jaringan
jalur kereta api khusus;
15) stasiun
kereta api, meliputi:
a) stasiun
penumpang besar;
b) stasiun
penumpang sedang;
c) stasiun
penumpang kecil;
d) stasiun
barang; dan
e) stasiun
operasi.
16)
Alur-pelayaran sungai dan alur-pelayaran danau, meliputi:
a)
alur-pelayaran kelas I;
b)
alur-pelayaran kelas II; dan
c)
alur-pelayaran kelas III;
17) Lintas
penyeberangan, meliputi:
a) lintas
penyeberangan antarnegara;
b) lintas
penyeberangan antarprovinsi;
c) lintas
penyeberangan antarkabupaten/kota dalam provinsi;
d) lintas
penyeberangan dalam kabupaten; dan
e) lintas
penyeberangan dalam kota;
18) Pelabuhan
sungai dan danau, meliputi:
a) pelabuhan
sungai dan danau utama;
b) pelabuhan
sungai dan danau pengumpul; dan
c) pelabuhan
sungai dan danau pengumpan;
19) Pelabuhan
penyeberangan, meliputi:
a) pelabuhan
penyeberangan kelas I;
b) pelabuhan
penyeberangan kelas II; dan
c) pelabuhan
penyeberangan kelas III;
20) pelabuhan
utama;
21) pelabuhan
pengumpul;
22) pelabuhan
pengumpan, meliputi:
a) pelabuhan
pengumpan regional; dan
b) pelabuhan
pengumpan lokal;
23) Terminal
umum;
24) Terminal
khusus;
25) Pelabuhan
perikanan, meliputi:
a) pelabuhan
perikanan samudra;
b) pelabuhan
perikanan nusantara;
c) pelabuhan
perikanan pantai; dan
d) pangkalan
pendaratan ikan;
26) Bandar
udara pengumpul, meliputi:
a) bandar udara
pengumpul skala pelayanan primer;
b) bandar udara
pengumpul skala pelayanan sekunder; dan
c) bandar udara
pengumpul skala pelayanan tersier;
27) Bandar
udara pengumpan; dan
28) Bandar
udara khusus;
Jaringan transportasi dapat
berada di permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, atau di atas permukaan
tanah.
c. Rencana Jaringan Energi,
meliputi:
1) infrastruktur minyak dan gas
bumi, terdiri atas:
a) sarana penyimpanan bahan
bakar; dan
b) sarana pengolahan hasil
pembakaran.
2) jaringan yang menyalurkan
minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi-kilang pengolahan, terdiri atas:
a) jaringan yang menyalurkan
minyak bumi dari fasilitas produksi-kilang pengolahan; dan
b) jaringan yang menyalurkan gas
bumi dari fasilitas produksikilang pengolahan;
3) jaringan yang menyalurkan
minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi-tempat penyimpanan, terdiri atas:
a) jaringan yang menyalurkan
minyak bumi dari fasilitas produksi-tempat penyimpanan; dan
b) jaringan yang menyalurkan gas
bumi dari fasilitas produksi tempat penyimpanan;
4) jaringan yang menyalurkan gas
bumi dari kilang pengolahan ke konsumen;
5) Infrastruktur Pembangkitan
Listrik dan Sarana Pendukung, meliputi:
a) Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA);
b) Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU);
c) Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG);
d) Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel (PLTD);
e) Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN);
f) Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS);
g) Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
(PLTB);
h) Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP);
i) Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH); dan
j) Pembangkit Listrik Lainnya;
6) Jaringan Transmisi Tenaga
Listrik Antarsistem, meliputi:
a) Saluran Udara Tegangan Ultra
Tinggi (SUTUT);
b) Saluran Udara Tegangan Ekstra
Tinggi (SUTET);
c) Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT);
d) Saluran Udara Tegangan Tinggi
Arus Searah (SUTTAS);
e) Kabel bawah tanah; dan
f) Saluran transmisi lainnya;
7) Jaringan Distribusi Tenaga Listrik,
meliputi:
a) Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM);
b) Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR);
c) Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM); dan
d) Saluran distribusi lainnya;
8) Jaringan pipa/kabel bawah laut penyaluran
tenaga listrik;
9) Gardu Listrik, meliputi:
a) gardu induk;
b) gardu hubung; dan c) gardu distribusi.
d. Rencana Jaringan
Telekomunikasi, terdiri atas:
1) Jaringan Tetap, meliputi:
a) Jaringan Serat Optik
b) Telepon Fixed Line
c) Sentral Telepon Otomat (STO);
d) Rumah Kabel;
e) Kotak Pembagi; dan
f) Pusat Otomasi Sambungan
Telepon;
2) Jaringan Bergerak Terestrial,
meliputi:
a) Infrastruktur Jaringan Mikro
Digital; dan
b) Stasiun Transmisi (Sistem
Televisi).
3) Jaringan Bergerak Seluler
berupa menara Base Transceiver Station (BTS); dan
4) Jaringan Bergerak Satelit,
meliputi stasiun Bumi.
e. Rencana Jaringan Sumber Daya
Air
1) Sistem Jaringan Irigasi
a) Jaringan Irigasi Primer;
b) Jaringan Irigasi Sekunder;
c) Jaringan Irigasi Tersier; dan
d) Jaringan Irigasi Air Tanah.
2) Sistem jaringan air bersih;
3) Sistem Pengendalian Banjir,
meliputi:
a) jaringan pengendalian banjir;
dan
b) bangunan pengendalian banjir.
4) Bangunan Sumber Daya Air
a) Pintu Air;
b) Bendungan; dan
c) Prasarana Irigasi.
f. Rencana Jaringan Air Minum,
meliputi:
1) jaringan perpipaan:
a) unit air baku, meliputi:
(1) bangunan pengambil air baku;
dan
(2) jaringan transmisi air baku
b) unit produksi, meliputi:
(1) instalasi produksi;
(2) bangunan penampung air; dan
(3) jaringan transmisi air minum.
c) unit distribusi, berupa
jaringan distribusi pembagi; dan
d) unit pelayanan, meliputi:
(1) sambungan langsung;
(2) hidran umum; dan
(3) hidran kebakaran.
2) Bukan jaringan perpipaan, yang
terdiri atas:
a) sumur dangkal;
b) sumur pompa;
c) bak penampungan air hujan;
d) terminal air; dan
e) bangunan penangkap mata air
g. Rencana Pengelolaan Air Limbah
dan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), meliputi:
1) Sistem Pembuangan Air Limbah
Non Domestik, meliputi:
a) Jaringan Sistem Pembuangan Air
Limbah Non Domestik; dan
b) Infrastruktur Sistem
Pembuangan Air Limbah Non Domestik.
2) Sistem Pengelolaan Air Limbah
Domestik Setempat, meliputi:
a) Subsistem Pengolahan Setempat;
dan
b) Subsistem Pengolahan Lumpur
Tinja.
Sistem pengelolaan air limbah
domestik setempat yang dimuat dalam RDTR merupakan sistem pengelolaan yang
bersifat komunal.
3) Sistem Pengelolaan Air Limbah
Domestik Terpusat
a) Subsistem Pelayanan, meliputi:
(1) Pipa Tinja;
(2) Pipa Non Tinja;
(3) Pipa Persil;
(4) Bak Perangkap Lemak dan
Minyak dari Dapur;
(5) Bak Kontrol; dan
(6) Lubang Inspeksi.
b) Subsistem Pengumpulan
meliputi:
(1) Pipa Retikulasi;
(2) Pipa Induk; dan
(3) Prasarana dan Sarana
Pelengkap;
c) Subsistem Pengolahan Terpusat,
meliputi:
(1) IPAL Kota;
(2) IPAL Skala Kawasan
Tertentu/Permukiman; dan
(3) IPAL Komunal Industri Rumah
Tangga;
4) Sistem Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Untuk industri rumah tangga harus
menyediakan instalasi
pengolahan air limbah komunal
tersendiri.
h. Rencana Jaringan Persampahan,
meliputi:
1) Stasiun Peralihan Antara
(SPA);
2) Tempat Pengelolaan Sampah
Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R);
3) Tempat Penampungan Sementara
(TPS);
4) Tempat Pemrosesan Akhir (TPA);
dan
5) Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST).
i. Rencana Jaringan Drainase,
meliputi:
1) jaringan drainase primer;
2) jaringan drainase sekunder;
3) jaringan drainase tersier;
4) jaringan drainase lokal;
5) bangunan peresapan (kolam
retensi);
6) bangunan tampungan (polder);
dan
7) bangunan pelengkap drainase.
j. Rencana Jaringan Prasarana
Lainnya
Penyediaan prasarana lainnya direncanakan
sesuai kebutuhan pengembangan WP, yang dapat berupa:
1) jalur evakuasi bencana;
Jalur evakuasi bencana dapat
memanfaatkan jaringan prasarana
dan sarana yang sudah ada;
2) tempat evakuasi, terdiri atas:
a) titik kumpul;
b) tempat evakuasi sementara; dan
c) tempat evakuasi akhir.
3) jalur sepeda;
4) jalur pejalan kaki;
5) pengaman pantai; dan
6) tanggul penahan longsor.
Dalam Raperkada, setiap rencana
struktur ruang yang berupa jaringan disebutkan sebaran lokasinya berdasarkan
SWP dan setiap rencana struktur ruang yang berupa titik disebutkan sebaran
lokasinya berdasarkan blok.
Peta rencana struktur ruang
digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peta rencana struktur ruang
terdiri dari:
1) peta rencana pusat pelayanan
yang memuat pusat-pusat
pelayanan;
2) peta rencana jaringan
transportasi;
3) peta rencana jaringan energi;
4) peta rencana jaringan
telekomunikasi;
5) peta rencana jaringan sumber
daya air;
6) peta rencana jaringan air
minum;
7) peta rencana jaringan air
limbah dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
8) peta rencana jaringan
drainase;
9) peta rencana jaringan
persampahan; dan
10) peta rencana jaringan
prasarana lainnya.
Peta rencana struktur ruang ini
digambarkan secara tersendiri untuk masing-masing peta rencana.
b. Apabila terdapat rencana
jaringan yang berada di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maupun di atas
permukaan tanah maka digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan
gambar potongan/penampang;
c. Rencana struktur ruang
digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian informasi 1:5.000
dan mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan
oleh kementerian/lembaga yang berwenang;
d. Rencana struktur ruang
disajikan dalam format digital sesuai dengan Pedoman Basis Data; dan
e. Rencana struktur ruang dapat
digambarkan juga dalam model 3 (tiga) dimensi.
3. Rencana Pola Ruang
Rencana pola ruang merupakan
rencana distribusi zona pada WP yang akan diatur sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya.
Rencana pola ruang berfungsi
sebagai:
a. Alokasi ruang untuk berbagai
kegiatan sosial budaya, ekonomi, serta kegiatan pelestarian fungsi lingkungan
dalam WP;
b. Dasar penerbitan Konfirmasi
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. Dasar penyusunan RTBL dan
rencana teknis lainnya; dan
d. Dasar penyusunan rencana
jaringan prasarana.
Rencana pola ruang dirumuskan
dengan kriteria:
a. Mengacu pada rencana pola
ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;
b. Mempertimbangkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup dan infrastruktur dalam WP;
c. Memperkirakan kebutuhan ruang
untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan pelestarian fungsi lingkungan,
khususnya untuk kawasan perkotaan yang memiliki kegiatan yang berpotensi menimbulkan
bangkitan yang cukup besar;
d. Mempertimbangkan ketersediaan
ruang yang ada;
e. Memperhatikan rencana pola
ruang bagian wilayah yang berbatasan;
f. Memperhatikan mitigasi
dan adaptasi bencana
pada WP, termasuk dampak perubahan iklim; dan
g. Menyediakan RTH dan RTNH untuk
menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.
Rencana pola ruang RDTR terdiri
atas:
a. Zona lindung yang meliputi:
1) zona hutan lindung (HL);
2) zona lindung gambut (LG);
3) zona perlindungan setempat
(PS);
4) zona ruang terbuka hijau (RTH)
yang meliputi:
a) rimba kota (RTH-1);
b) taman kota (RTH-2);
c) taman kecamatan (RTH-3);
d) taman kelurahan (RTH-4);
e) taman RW (RTH-5);
f) taman RT (RTH-6);
g) pemakaman (RTH-7); dan
h) jalur hijau (RTH-8).
5) zona konservasi (KS) yang
meliputi:
a) cagar alam (CA);
b) cagar alam laut (CAL);
c) suaka margasatwa (SM);
d) suaka margasatwa laut (SML);
e) taman nasional (TN);
f) taman hutan raya (THR);
g) taman wisata alam (TWA);
h) taman wisata alam laut (TWL);
i) taman buru (TB);
j) suaka pesisir (SPS);
k) suaka pulau kecil (SPK);
l) taman pesisir (TP);
m) taman pulau kecil (TPK);
n) daerah perlindungan adat
maritim (PAM);
o) daerah perlindungan budaya
maritim (PBM); dan
p) kawasan konservasi perairan
(KPR).
6) zona hutan adat (ADT);
7) zona lindung geologi (LGE)
yang meliputi:
a) keunikan batuan dan fosil
(LGE-1);
b) keunikan bentang alam (LGE-2);
c) keunikan proses geologi
(LGE-3); dan
d) imbuhan air tanah (LGE-4).
8) zona cagar budaya (CB);
Kriteria cagar budaya yang
dimasukkan sebagai zona adalah warisan budaya berupa bangunan atau situs cagar
budaya yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal cagar budaya
tersebut berupa lansekap budaya atau kegiatan, maka dapat tidak digambarkan
sebagai zona cagar budaya namun wajib diatur dalam ketentuan khusus.
9) zona ekosistem mangrove (EM);
dan
10) zona badan air (BA) (jika
diperlukan pengaturan).
b. Zona budi daya yang meliputi:
1) zona hutan produksi (KHP) yang
meliputi:
a) hutan produksi terbatas (HPT);
b) hutan produksi tetap (HP); dan
c) hutan produksi yang dapat
dikonversi (HPK).
2) zona perkebunan rakyat (KR);
3) zona pertanian (P) yang
meliputi:
a) tanaman pangan (P-1);
b) hortikultura (P-2);
c) perkebunan (P-3); dan
d) peternakan (P-4).
Khusus zona pertanian, di
dalamnya dapat ditetapkan luasan dan sebaran lahan pertanian pangan
berkelanjutan (LP2B) dengan mengacu pada kawasan pertanian pangan berkelajutan
(KP2B) yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang RTRW kabupaten/kota.
LP2B memiliki pengaturan tersendiri dalam ketentuan khusus.
4) zona perikanan (IK) yang
meliputi:
a) perikanan tangkap (IK-1); dan
b) perikanan budi daya (IK-2).
5) zona pergaraman (KEG);
6) zona pertambangan (T) yang
meliputi:
a) pertambangan mineral
radioaktif (MRA);
b) pertambangan mineral logam
(MLG);
c) pertambangan mineral bukan
logam (MNL);
d) peruntukkan pertambangan
batuan (MBT);
e) pertambangan batubara (BR);
f) pertambangan minyak dan gas
bumi (MG); dan
g) panas bumi (PB).
7) zona pembangkitan tenaga
listrik (PTL);
8) zona kawasan peruntukan industri
(KPI).
9) zona pariwisata (W);
10) zona perumahan (R), yang
meliputi:
a) perumahan kepadatan sangat
tinggi (R-1);
b) perumahan kepadatan tinggi
(R-2);
c) perumahan kepadatan sedang
(R-3);
d) perumahan kepadatan rendah
(R-4); dan
e) perumahan kepadatan sangat
rendah (R-5);
11) zona sarana pelayanan umum
(SPU), yang meliputi:
a) sarana pelayanan umum skala
kota (SPU-1);
b) sarana pelayanan umum skala
kecamatan (SPU-2);
c) sarana pelayanan umum skala
kelurahan (SPU-3); dan
d) sarana pelayanan umum skala RW
(SPU-4).
12) zona terbuka non hijau
(RTNH);
13) zona campuran (C), yang
meliputi:
a) campuran intensitas tinggi
(C-1); dan
b) campuran intensitas
menengah/sedang (C-2)
Penggunaan kategori zona campuran
di dalam rencana zonasi dapat bertujuan untuk mendorong pertumbuhan suatu
bagian kawasan perkotaan agar menjadi satu fungsi ruang tertentu. Kategori zona
campuran juga dapat digunakan untuk mengakomodasi adanya suatu bagian kawasan
perkotaan yang memiliki lebih dari satu fungsi ruang yang harmonis, namun tidak
dapat secara utuh dikategorikan ke dalam salah satu zona. Zona campuran dapat
berupa perumahan dan perdagangan/jasa, perumahan dan perkantoran,
perdagangan/jasa dan perkantoran.
Penggunaan kategori zona campuran
harus didukung oleh:
a. Adanya batas zona yang jelas
yang dapat membatasi perluasan fungsi campuran lebih lanjut; dan
b. Dapat diupayakan untuk
mendorong perkembangan fungsi campuran menuju ke satu zona peruntukan tertentu.
14) zona perdagangan dan jasa
(K), yang meliputi:
a) perdagangan dan jasa skala kota (K-1);
b) perdagangan dan jasa skala WP (K-2); dan
c) perdagangan dan jasa skala SWP (K-3).
15) zona perkantoran (KT);
16) zona pengelolaan persampahan
(PP);
17) zona transportasi (TR);
18) zona pertahanan dan keamanan
(HK);
19) zona peruntukkan lainnya (PL)
yang meliputi:
a) tempat evakuasi sementara
(PL-1);
b) tempat evakuasi akhir (PL-2);
c) instalasi pengolahan air minum
(IPAM) (PL-3);
d) instalasi pengolahan air
limbah (IPAL) (PL-4);
e) pengembangan nuklir (PL-5);
dan
f) pergudangan (PL-6)
20) Badan jalan (BJ) (jika
diperlukan pengaturan).
Dalam Raperkada, setiap zona dan
sub zona disebutkan luasnya dan sebaran lokasinya berdasarkan blok.
Dalam menentukan klasifikasi
zona/subzona lindung dan budidaya dalam RDTR, perlu dibuat kriteria
pengklasifikasian zona/subzona yang memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama zona/subzona;
b. Kode zona/subzona;
c. Definisi zona/subzona memuat
pengertian lebih lanjut tentang zona/subzona;
d. Tujuan penetapan zona memuat
tujuan yang ingin dicapai untuk setiap zona/subzona lindung dan budidaya dalam
RDTR;
e. Kriteria performazona/subzona
merupakan kualitas atau kinerja yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan
penetapan masing-masing zona/subzona; dan
f. Kriteria perencanaan zona
merupakan kriteria dan standar untuk merencanakan ruang suatu zona agar
tercapai tujuan penetapan zona/subzona. Khusus untuk zona perumahan harus
mencantumkan
luas persil minimum dan/atau luas
persil maksimum tiap zona/subzona.
Setiap SWP terdiri atas blok yang
dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan
sebagainya. Dalam hal luas WP relatif kecil, rencana pola ruang dapat
digambarkan secara langsung ke dalam blok. Zona dapat dibagi lagi menjadi subzona.
Apabila dampaknya kecil dan tidak memiliki urgensi pengaturan, maka tidak perlu
diklasifikasikan sebagai zona dan cukup dimasukkan ke dalam daftar kegiatan
pada matriks ITBX.
Penjabaran zona menjadi sub zona
harus memperhatikan dua hal yaitu:
a. perbedaan dasar pengertian
antara zona peruntukan ruang dengan kegiatan; dan
b. hakekat zona adalah fungsi
ruang, dan penjabarannya pun sebaiknya mengikuti perbedaan fungsi ruang.
Apabila WP terlalu luas untuk
digambarkan ke dalam satu peta berskala 1:5.000, maka peta rencana pola
tersebut dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta berdasarkan SWP. Adapun
untuk zona rawan bencana, peta digambarkan secara terpisah dari peta rencana
pola.
Peta rencana pola ruang digambarkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Rencana pola ruang digambarkan
dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian informasi 1:5.000, serta
mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga
yang berwenang;
b. Apabila terdapat rencana
pemanfaatan ruang yang berada di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maka
digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan gambar
potongan/penampang;
c. Rencana pola ruang dapat
digambarkan kedalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan
mengikuti ketentuan yang berlaku;
d. Kawasan lindung dan kawasan
budidaya yang berukuran minimal 625 m2 harus tergambar dalam bentuk poligon di
rencana pola ruang RDTR. Dalam hal kawasan lindung dan kawasan budidaya
berukuran kurang dari 625 m2, dapat digambarkan dalam bentuk poligon jika memiliki
nilai strategis dan/atau memiliki penetapan dalam bentuk peraturan perundangan;
e. Peta rencana pola ruang harus
sudah menunjukkan batasan bidang tanah/persil untuk wilayah yang sudah
terbangun;
f. Rencana pola ruang disajikan
dalam format digital sesuai dengan Pedoman Basis Data; dan
g. Rencana pola ruang dapat
digambarkan juga dalam model 3 (tiga) dimensi.
Pada rencana pola ruang, dapat
berlaku ketentuan tambahan terkait holding zone, di antaranya:
a. zona hutan yang diusulkan
menjadi peruntukan lain dan belum disepakati pada saat penetapan peraturan
kepala daerah;
b. zona pertanian tanaman pangan
yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
diusulkan menjadi peruntukan ruang lain serta belum disepakati pada saat penetapan
peraturan kepala daerah;
c. peruntukan ruang perairan
pesisir atau badan air berupa sungai yang diusulkan untuk direklamasi menjadi
peruntukan ruang lain dan belum disepakati pada saat penetapan peraturan kepala
daerah; dan
d. kawasan hutan yang telah
memiliki IPPKH/PPKH.
Mekanisme penetapan holding zone
mengacu pada ketentuan perundangundangan dan penggambarannya mengikuti ketentuan
terkait basis data.
4. Ketentuan Pemanfaatan Ruang
Ketentuan pemanfaatan ruang dalam
RDTR merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program pengembangan WP dalam
jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan
sebagaimana diatur dalam pedoman ini.
Ketentuan pemanfaatan ruang
berfungsi sebagai:
a. dasar pemerintah dan
masyarakat dalam pemrograman investasi pengembangan WP;
b. arahan untuk sektor dalam
penyusunan program;
c. dasar estimasi kebutuhan
pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan dan penyusunan program tahunan untuk
setiap jangka 5 (lima) tahun; dan
d. acuan bagi masyarakat dalam
melakukan investasi.
Ketentuan pemanfaatan ruang
disusun berdasarkan:
a. rencana pola ruang dan rencana
struktur ruang;
b. ketersediaan sumber daya dan
sumber dana pembangunan;
c. kesepakatan para pemangku
kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan;
d. masukan dan kesepakatan dengan
para investor; dan
e. prioritas pengembangan WP dan
pentahapan rencana pelaksanaan program yang sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah,
serta rencana terpadu dan program investasi infrastruktur jangka menengah
(RPI2JM).
Ketentuan pemanfaatan ruang
disusun dengan kriteria:
a. mendukung perwujudan rencana
struktur ruang dan rencana pola ruang;
b. mendukung program penataan
ruang wilayah kabupaten/kota;
c. realistis, objektif, terukur,
dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu perencanaan;
d. konsisten dan berkesinambungan
terhadap program yang disusun, baik dalam jangka waktu tahunan maupun lima
tahunan; dan
e. terjaganya sinkronisasi antar
program dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah
kabupaten/kota.
Ketentuan pemanfaatan ruang
dituangkan dalam bentuk narasi, namun khusus untuk program prioritas 5 (lima)
tahun pertama disusun dalam bentuk tabel indikasi program pemanfaatan ruang
prioritas yang memuat:
a. Program Pemanfaatan Ruang
Prioritas
Program pemanfaatan ruang prioritas merupakan
program-program pengembangan WP yang diindikasikan memiliki bobot tinggi berdasarkan
tingkat kepentingan atau diprioritaskan akan diwujudkan dalam 5 (lima) tahun
pertama dan memiliki nilai strategis untuk mewujudkan rencana struktur ruang
dan rencana pola ruang di WP sesuai tujuan penataan WP. Program pemanfaatan
ruang
prioritas ini dapat memuat
kelompok program sebagai berikut:
1) program perwujudan rencana
struktur ruang di WP yang meliputi:
a) perwujudan pusat pelayanan;
b) perwujudan jaringan
transportasi;
c) perwujudan jaringan energi;
d) perwujudan jaringan
telekomunikasi;
e) perwujudan jaringan sumber
daya air;
f) perwujudan jaringan air minum;
g) perwujudan pengelolaan air
limbah dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
h) perwujudan jaringan
persampahan;
i) perwujudan jaringan drainase;
dan/atau
j) perwujudan jaringan prasarana
lainnya.
2) program perwujudan rencana
pola ruang di WP, yang meliputi:
a) perwujudan zona lindung,
termasuk pemenuhan kebutuhan RTH; dan
b) perwujudan zona budi daya pada WP yang
antara lain terdiri atas:
(1) perwujudan penyediaan
fasilitas sosial dan fasilitas umum di WP;
(2) perwujudan ketentuan
pemanfaatan ruang untuk setiap jenis pola ruang;
(3) perwujudan intensitas
pemanfaatan ruang blok; dan/atau
(4) perwujudan tata bangunan.
3) kelompok program lainnya,
disesuaikan berdasarkan kebutuhannya.
b. Lokasi
Lokasi merupakan tempat dimana
usulan program akan dilaksanakan.
c. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan dapat berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, APBD
provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta, dan/atau
masyarakat. Sumber pendanaan dapat dilengkapi dengan perkiraan kebutuhan biaya
bagi masing-masing program.
d. Instansi Pelaksana
Instansi pelaksana merupakan
pihak-pihak pelaksana program prioritas yang meliputi pemerintah seperti satuan
kerja perangkat daerah (SKPD), dinas teknis terkait, dan/atau
kementerian/lembaga,
swasta, dan/atau masyarakat.
e. Waktu dan Tahapan Pelaksanaan
Program direncanakan dalam kurun
waktu perencanaan 5 (lima) tahun yang dirinci setiap tahun dan masing-masing
program mempunyai durasi pelaksanaan yang bervariasi sesuai kebutuhan.
Penyusunan program prioritas disesuaikan dengan pentahapan jangka waktu 5 tahunan
RPJP daerah kabupaten/kota.
Contoh tabel indikasi program
pemanfaatan ruang prioritas dapat dilihat pada Lampiran IV.4.
5. PERATURAN ZONASI
PZ disusun untuk setiap zona
peruntukan baik zona budidaya maupun zona lindung dengan memperhatikan esensi
fungsinya yang ditetapkan dalam rencana rinci tata ruang dan bersifat mengikat/regulatory.
Dalam sistem regulatory, seluruh kawasan perkotaan terbagi habis ke dalam zona peruntukan
ruang yang tergambarkan dalam peta rencana pola ruang. Pada setiap zona
peruntukan akan berlaku satu aturan dasar tertentu yang mengatur perpetakan,
kegiatan, intensitas ruang dan tata bangunan. Peraturan zonasi merupakan
ketentuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RDTR dan berfungsi
sebagai:
a. perangkat operasional
pengendalian pemanfaatan ruang;
b. acuan dalam pemberian
rekomendasi Keseuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, termasuk di dalamnya air
right development dan pemanfaatan ruang di bawah tanah;
c. acuan dalam pemberian insentif
dan disinsentif;
d. acuan dalam pengenaan sanksi;
dan
e. rujukan teknis dalam
pengembangan atau pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi investasi.
Peraturan zonasi bermanfaat
untuk:
a. menjamin dan menjaga kualitas
ruang WP minimal yang ditetapkan;
b. menjaga kualitas dan
karakteristik zona dengan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan karakteristik zona; dan
c. meminimalkan gangguan atau
dampak negatif terhadap zona.
Peraturan zonasi memuat aturan
dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar merupakan persyaratan
pemanfaatan ruang meliputi, ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan
intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana
minimal, ketentuan khusus, dan/atau ketentuan pelaksanaan.
Teknik pengaturan zonasi adalah
ketentuan lain dari zonasi konvensional yang dikembangkan untuk memberikan
fleksibilitas dalam penerapan aturan zonasi dan ditujukan untuk mengatasi
berbagai permasalahan dalam penerapan peraturan zonasi dasar, mempertimbangkan
kondisi kontekstual kawasan dan arah penataan ruang.
a. Aturan Dasar (Materi Wajib)
1) Ketentuan Kegiatan dan
Penggunaan Lahan
Ketentuan kegiatan dan penggunaan
lahan adalah ketentuan yang berisi kegiatan dan penggunaan lahan yang
diperbolehkan, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat secara terbatas, kegiatan
dan penggunaan lahan yang bersyarat tertentu, dan kegiatan dan penggunaan lahan
yang tidak diperbolehkan pada zona lindung maupun zona budi daya. Ketentuan
kegiatan dan penggunaan lahan dirumuskan berdasarkan ketentuan maupun standar
yang terkait dengan pemanfaatan ruang, ketentuan dalam peraturan bangunan setempat,
dan ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan.
Ketentuan teknis zonasi terdiri
atas:
Klasifikasi I =
pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan
Kegiatan dan penggunaan lahan
yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang
yang direncanakan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat melakukan peninjauan
atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang
termasuk dalam klasifikasi I.
Klasifikasi T =
pemanfaatan bersyarat secara terbatas
Pemanfaatan bersyarat secara
terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan
sebagai berikut:
a) pembatasan pengoperasian, baik
dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam subzone maupun
pembatasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan;
b) pembatasan luas, baik dalam
bentuk pembatasan luas maksimum suatu kegiatan di dalam subzona maupun di dalam
persil, dengan tujuan untuk tidak mengurangi dominansi pemanfaatan ruang di
sekitarnya; dan
c) pembatasan jumlah pemanfaatan,
jika pemanfaatan yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan
tambahan, maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan
terbatas dengan pertimbanganpertimbangan khusus.
Contoh:
Dalam sebuah zona perumahan yang berdasarkan
standar teknis telah cukup jumlah fasilitas peribadatannya, maka aktivitas
rumah ibadah termasuk dalam klasifikasi T.
Klasifikasi B =
pemanfaatan bersyarat tertentu
Pemanfaatan bersyarat tertentu
bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan
diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum
dan persyaratan khusus, dapat dipenuhi dalam bentuk inovasi atau rekayasa
teknologi. Persyaratan dimaksud diperlukan mengingat pemanfaatan ruang tersebut
memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitarnya.
Contoh persyaratan umum antara
lain:
a) dokumen AMDAL;
b) dokumen Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); dan
c) pengenaan disinsentif misalnya
biaya dampak pembangunan (development impact fee).
Contoh persyaratan khusus
misalnya diwajibkan menyediakan tempat parkir, menambah luas RTH, dan
memperlebar pedestrian.
Klasifikasi X =
pemanfaatan yang tidak diperbolehkan
Kegiatan dan penggunaan lahan
yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan
lahan yang direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi
lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam
klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang bersangkutan.
Penentuan I, T, B dan X untuk
kegiatan dan penggunaan lahan pada suatu zonasi didasarkan pada:
a) Pertimbangan Umum
Pertimbangan umum berlaku untuk semua jenis
penggunaan lahan, antara lain kesesuaian dengan arahan pemanfaatan ruang dalam
RTRW kabupaten/kota, keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya
dalam suatu wilayah, kelestarian lingkungan (perlindungan dan pengawasan
terhadap pemanfaatan air, udara, dan ruang bawah tanah), perbedaan sifat
kegiatan bersangkutan terhadap fungsi zona terkait, definisi zona, kualitas local
minimum, toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak terhadap peruntukan
yang ditetapkan (misalnya penurunan estetika lingkungan, penurunan kapasitas
jalan/lalu-lintas, kebisingan, polusi limbah, dan restriksi sosial), serta kesesuaian
dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
b) Pertimbangan Khusus
Pertimbangan khusus berlaku untuk
masing-masing karakteristik guna lahan, kegiatan atau komponen yang akan dibangun.
Pertimbangan khusus dapat disusun berdasarkan rujukan mengenai ketentuan atau
standar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, rujukan mengenai ketentuan dalam
peraturan bangunan setempat, dan rujukan mengenai ketentuan khusus bagi unsur
bangunan atau komponen yang dikembangkan. Selain itu perlu dipertimbangkan
kondisi yang harus dipenuhi agar kegiatan dapat berlangsung pada zona terkait
yang antara lain meliputi:
(1) prosedur administrasi yang
harus diikuti;
(2) kajian kelayakan lingkungan
yang harus dipenuhi;
(3) prasarana dan/atau sarana
tambahan yang harus diadakan untuk menunjang jegiatan tersebut;
(4) pembatasan yang harus
diberlakukan, terkait:
(a) luas fisik pemanfaatan ruang;
(b) kaian dengan kegiatan lain di
sekitar
(c) jumlah tenaga kerja;
(d) waktu operasional;
(e) masa usaha;
(f) arahan lokasi spesifik;
(g) jumlah kegiatan serupa;
(h) pengembangan usaha kegiatan
lebih lanjut; dan
(i) penggunaan utilitas untuk
kegiatan tersebut harus terukur dan tidak menimbulkan gangguan pada zona tersebut.
(5) persyaratan terkait estetika
lingkungan; dan
(6) persyaratan lain yag perlu
ditambahkan.
2) Ketentuan Intensitas
Pemanfaatan Ruang
Intensitas pemanfaatan ruang
adalah ketentuan teknis tentang kepadatan zona terbangun yang dipersyaratkan
pada zona tersebut dan diukur melalui Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien
Lantai Bangunan (KLB), dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) baik di atas maupun di
bawah permukaan tanah. Ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang adalah
ketentuan mengenai
intensitas pemanfaatan ruang yang diperbolehkan pada suatu zona, yang
meliputi:
a) Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
Maksimum
KDB adalah koefisien perbandingan antara luas
lantai dasar bangunan gedung dengan luas persil/kavling. KDB maksimum ditetapkan
dengan mempertimbangkan tingkat pengisian atau peresapan air, kapasitas
drainase, dan jenis penggunaan lahan. KDB maksimum dinyatakan dalam satuan
persentase, misalnya di sebuah zona dengan KDB 60%, maka properti yang dapat
dibangun luasnya tak lebih dari 60% dari luas lahan.
b) Koefisien Lantai Bangunan
(KLB) Minimum dan Maksimum
KLB adalah koefisien perbandingan antara luas
seluruh lantai bangunan gedung dan luas persil/kavling. KLB minimum dan maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan
harga lahan, ketersediaan dan tingkat pelayanan prasarana, dampak atau
kebutuhan terhadap prasarana tambahan, serta ekonomi, sosial dan pembiayaan.
c) Koefisien Dasar Hijau (KDH)
Minimal
KDH adalah angka prosentase perbandingan
antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan
bagi pertamanan/penghijauan dengan luas persil/kavling. KDH minimal digunakan
untuk mewujudkan RTH dan diberlakukan secara umum pada suatu zona. KDH minimal
ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pengisian atau peresapan air dan
kapasitas drainase. KDH minimal dinyatakan dinyatakan dalam satuan persentase, misalnya
di sebuah zona dengan KDH 20%.
d) Luas Kavling Minimum
Untuk zona perumahan, diatur
luasan kavling minimum yang disepakati oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
dengan kantor pertanahan setempat.
e) Koefisien Tapak Basement (KTB)
Maksimum
KTB maksimum ditetapkan dengan
mempertimbangkan KDH minimal. KTB adalah angka prosentasi luas tapak bangunan yang
dihitung dari proyeksi dinding terluar bangunan dibawah permukaan tanah terhadap
luas perpetakan atau lahan perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW, RDTR dan PZ.
f) Koefisien Wilayah Terbangun
(KWT) Maksimum
KWT adalah perbandingan antara luas wilayah
terbangun dengan luas seluruh wilayah. KWT ditetapkan dengan mempertimbangkan:
(1) Tingkat pengisian peresapan
air/water recharge;
(2) Jenis penggunaan lahan; dan
(3) Kebutuhan akan buffer zone.
Selain ketentuan di atas, dapat
ditambahkan ketentuan Kepadatan Bangunan atau Unit Maksimum yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan faktor kesehatan (ketersediaan air bersih, sanitasi, sampah,
cahaya matahari, aliran udara, dan ruang antar bangunan), faktor sosial (ruang
terbuka privat, privasi, serta perlindungan dan jarak tempuh terhadap fasilitas
lingkungan), faktor teknis (resiko kebakaran dan keterbatasan lahan untuk
bangunan atau rumah), dan faktor ekonomi (biaya lahan, ketersediaan, dan ongkos
penyediaan pelayanan dasar).
Perumusan Ketentuan Intensitas
Pemanfaatan Ruang dilakukan berdasarkan pada:
a) ketentuan kegiatan dalam zona;
dan
b) peraturan perundang-undangan
tentang bangunan gedung.
Ketentuan intensitas pemanfaatan
ruang mendetailkan lebih lanjut intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam
ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota, atau juga bisa berisi
sama dengan intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum
peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota. Intensitas pemanfaatan ruang yang
terdapat dalam ketentuan intensitas pemanfaatan ruang dapat didetailkan kembali
lebih lanjut dalam RTBL.
3) Ketentuan Tata Bangunan
Ketentuan tata bangunan adalah
ketentuan yang mengatur bentuk, besaran, peletakan, dan tampilan bangunan pada
suatu zona untuk menjaga keselamatan dan keamanan bangunan. Komponen ketentuan
tata bangunan minimal terdiri atas:
a) Ketinggian bangunan (TB)
maksimum
Ketinggian bangunan adalah tinggi maksimum
bangunan gedung yang diizinkan pada lokasi tertentu dan diukur dari jarak
maksimum puncak atap bangunan terhadap (permukaan) tanah yang dinyatakan dalam
satuan meter.
b) Garis sempadan bangunan (GSB)
minimum
GSB adalah jarak minimum antara garis pagar
terhadap dinding bangunan terdepan. GSB ditetapkan dengan mempertimbangkan
keselamatan, resiko kebakaran, kesehatan, kenyamanan, dan estetika.
c) Jarak bebas antar bangunan
minimal yang harus memenuhi ketentuan tentang jarak bebas yang ditentukan oleh
jenis peruntukan dan ketinggian bangunan.
d) Jarak bebas samping (JBS) dan
jarak bebas belakang (JBB) JBB adalah
jarak minimum antara garis batas petak belakang terhadap dinding bangunan
terbelakang. Jarak Bebas Samping (JBS) merupakan jarak minimum antara batas
petak samping terhadap dinding bangunan terdekat.
Selain itu, ketentuan tata
bangunan dapat memuat tampilan bangunan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan
warna bangunan, bahan bangunan, tekstur bangunan, muka bangunan, gaya bangunan,
keindahan bangunan, serta keserasian bangunan dengan lingkungan sekitarnya. Ketentuan tata bangunan mendetailkan lebih
lanjut tata bangunan yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada
RTRW kabupaten/kota, atau juga dapat berisi sama dengan tata bangunan yang
diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota. Tata
bangunan yang terdapat dalam ketentuan tata bangunan ruang dapat didetailkan kembali
lebih lanjut dalam RTBL.
4) Ketentuan Prasarana dan Sarana
Minimal
Ketentuan prasarana dan sarana
pendukung minimal mengatur jenis prasarana dan sarana pendukung minimal apa
saja yang harus ada pada setiap zona peruntukan. Jenis prasarana dan sarana
minimal ditentukan berdasarkan sifat dan tuntutan kegiatan utama pada zona
peruntukannya. Sedangkan volume atau kapasitasnya ditentukan berdasarkan pada
perkiraan jumlah orang yang menghuni zona peruntukan tersebut. Ketentuan
prasarana dan sarana minimal berfungsi sebagai kelengkapan dasar fisik
lingkungan dalam rangka menciptakan lingkungan yang nyaman melalui penyediaan
prasarana dan sarana yang sesuai agar zona berfungsi secara optimal. Ketentuan
prasarana dan sarana minimum sekurangnya harus mengatur jenis prasarana dan
sarana pendukung untuk lima zona budidaya utama, perumahan, komersial, SPU,
industri dan zona hijau budidaya. Prasarana dan sarana minimum pada Zona Lainnya
diatur mengikuti aturan pada kelima zona di atas. Prasarana yang diatur dalam
peraturan zonasi dapat berupa prasarana parkir, aksesibilitas untuk difabel, jalur
pedestrian, jalur sepeda, bongkar muat, dimensi jaringan jalan, kelengkapan jalan,
dan kelengkapan prasarana lainnya yang diperlukan. Ketentuan prasarana dan
sarana minimal ditetapkan sesuai dengan ketentuan mengenai prasarana dan sarana
yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.
5) Ketentuan Khusus
Ketentuan khusus adalah ketentuan
yang mengatur pemanfaatan zona yang memiliki fungsi khusus dan diberlakukan
ketentuan khusus sesuai dengan karakteristik zona dan kegiatannya. Selain itu,
ketentuan pada zona-zona yang digambarkan di peta khusus yang memiliki
pertampalan (overlay) dengan zona lainnya dapat pula dijelaskan disini.
Ketentuan khusus merupakan aturan
tambahan yang ditampalkan (overlay) di atas aturan dasar karena adanya hal-hal khusus
yang memerlukan aturan tersendiri karena belum diatur di dalam aturan dasar.
Komponen ketentuan khusus antara
lain meliputi:
a) kawasan keselamatan operasi
penerbangannya (KKOP);
b) lahan pertanian pangan
berkelanjutan (LP2B);
c) kawasan rawan bencana;
d) kawasan berorientasi transit
(TOD);
e) tempat evakuasi bencana (TES
dan TEA);
f) pusat penelitian
(observatorium, peluncuran roket, dan lainlain);
g) kawasan cagar budaya;
h) kawasan resapan air;
i) kawasan sempadan;
j) kawasan pertahanan dan
keamanan (hankam);
k) kawasan karst;
l) kawasan pertambangan mineral
dan batubara;
m) kawasan migrasi satwa; dan
n) ruang dalam bumi.
Ketentuan mengenai penerapan
aturan khusus pada zona-zona khusus di atas ditetapkan sesuai dengan ketentuan
yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang. Ketentuan khusus dapat
menganulir aturan yang ada pada aturan dasar sesuai dengan tuntutan
kekhususannya.
6) Ketentuan Pelaksanaan
Ketentuan pelaksanaan adalah
aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan peraturan daerah RDTR dan PZ
yang terdiri atas:
a) Ketentuan variansi pemanfaatan
ruang yang merupakan ketentuan yang memberikan kelonggaran untuk menyesuaikan
dengan kondisi tertentu dengan tetap mengikuti ketentuan massa ruang yang
ditetapkan dalam peraturan zonasi. Hal ini dimaksudkan untuk menampung dinamika
pemanfaatan ruang mikro dan sebagai dasar antara lain transfer of development
rights (TDR) dan air right development yang dapat diatur lebih lanjut dalam
RTBL.
b) Ketentuan pemberian insentif
dan disinsentif yang merupakan ketentuan yang memberikan insentif bagi kegiatan
pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak
positif bagi masyarakat, serta yang memberikan disinsentif bagi kegiatan
pemanfaatan ruang yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak
negatif bagi masyarakat. Insentif dapat berbentuk kemudahan perizinan,
keringanan pajak, kompensasi, imbalan, subsidi prasarana, pengalihan hak
membangun, dan ketentuan teknis lainnya. Sedangkan disinsentif dapat berbentuk
antara lain pengetatan persyaratan, pengenaan pajak dan retribusi yang tinggi,
pengenaan denda, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, atau kewajiban
untuk penyediaan prasarana dan sarana kawasan.
c) Ketentuan untuk penggunaan
lahan yang sudah ada dan tidak sesuai dengan peraturan zonasi. Ketentuan ini
berlaku untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan
RDTR/peraturan zonasi, dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh
sesuai dengan prosedur yangbenar.
d) Aturan peralihan yang mengatur
status pemanfaatan ruang yang berbeda dengan fungsi ruang zona peruntukannya. Untuk
pemanfaatan ruang tertentu yang memenuhi persyaratan dapat mengajukan
persetujuan “legal nonconforming use” atau persetujuan “conditional use.”
b. Teknik Pengaturan Zonasi
(Materi Pilihan)
Teknik pengaturan zonasi
berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi dasar
serta memberikan pilihan penanganan pada lokasi tertentu sesuai dengan
karakteristik, tujuan pengembangan, dan permasalahan yang dihadapi pada zona tertentu,
sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat dicapai secara lebih
efektif. Teknik pengaturan zonasi adalah aturan yang disediakan untuk mengatasi
kekakuan aturan dasar di dalam pelaksanaan pembangunan. Penerapan teknik
pengaturan zonasi tidak dapat dilakukan secara serta-merta, melainkan harus
direncanakan sejak awal mengenai teknik apa saja yang akan diaplikasikan dan didukung
oleh perangkat dan kelembagaan yang auditable. Teknik pengaturan zonasi yang
dikenal antara lain:
1) Transfer development right
(TDR)
TDR adalah teknik pengaturan zonasi yang
memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak
lain, sehingga si pembeli dapat membangun propertinya dengan intensitas lebih
tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi penggunaan lahan pertanian atau
penggunaan lahan hijau lainnya dari konversi penggunaan lahan, dimana pemilik lahan
pertanian/hijau dapat mempertahankan kegiatan pertaniannya dan memperoleh uang
sebagai ganti rugi atas haknya untuk membangun. Di Indonesia, TDR tidak dapat digunakan untuk
melindungi lahan pertanian ataupun lahan hijau karena pada lahan pertanian dan lahan
hijau budidaya sudah tidak diperkenankan ada kegiatan lain (bangunan) dan
intensitas pemanfaatan ruang nol. TDR digunakan untuk menambah intensitas
pemanfaatan ruang pada kawasan terbangun dengan kriteria sebagai berikut:
a) hanya dapat diaplikasikan
sebagai upaya terakhir setelah tidak ada lagi teknik pengaturan zonasi lain
yang dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang;
b) diaplikasikan pada satu blok
peruntukan yang sama. Bila diaplikasikan pada zona yang sama namun antara blok peruntukan
berbeda, harus didahului dengan analisis daya dukung daya tampung terkait
dengan perubahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan yang
menerima tambahan intensitas ruang; dan
c) hanya dapat diaplikasikan pada
zona komersial dan zona perkantoran.
2) Bonus zoning
Bonus zoning adalah teknik pengaturan
zonasi yang memberikan izin kepada pengembang untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan
ruang melebihi aturan dasar, dengan imbalan (kompensasi) pengembang tersebut
harus menyediakan sarana publik tertentu, misalnya RTH, terowongan
penyeberangan dsb.
Penerapan bonus zoning harus
memenuhi kriteria berikut:
a) diberikan pada pengembang yang
belum atau tidak pernah menambah intensitas pemanfaatan ruangnya;
b) hanya dapat diberlakukan pada
zona komersial, zona perkantoran, dan zona perumahan, khususnya untuk rumah susun;
dan
c) harus didahului dengan
analisis daya dukung daya tamping lingkungan untuk mengetahui:
(1) penambahan intensitas
pemanfaatan ruang pada blok peruntukan agar masih dalam daya dukung
lingkungannya;
(2) dampak negatif yang mungkin
ditimbulkan beserta besar kerugiannya; dan
(3) kompensasi pembangunan sarana
publik. Kompensasi pembangunan sarana publik diutamakan
untuk dilaksanakan pada sub kawasan
dimana bonus zoning diterapkan, namun dapat juga dilaksanakan pada kawasan
lainnya dengan persyaratan tertentu berdasarkan keputusan Pemerintah Daerah.
Contoh:
Pembangunan Jalan Simpang Susun
Semanggi yang didanai oleh kompensasi dari perhitungan penambahan ketinggian
bangunan beberapa gedung di sekitar Simpang Semanggi.
3) Conditional uses
Conditional uses adalah teknik
pengaturan zonasi yang memungkinkan suatu pemanfaatan ruang yang dianggap
penting atau diperlukan keberadaannya, untuk dimasukkan ke dalam satu zona
peruntukan tertentu sekalipun karakteristiknya tidak memenuhi kriteria zona
peruntukan tersebut. Pemerintah daerah dapat menerbitkan izin pemanfaatan ruang
bersyarat atau Conditional Use Permit (CUP) setelah melalui pembahasan danpertimbangan
Forum Penataan Ruang. CUP diberikan dengan kriteria:
a) Pemanfaatan ruang yang akan
diberi izin memiliki tingkat kepentingan yang nyata bagi kepentingan orang
banyak atau kawasan perkotaan secara keseluruhan;
b) Pemanfaatan ruang yang akan
diberi izin tidak mengganggu fungsi ruang di sekitarnya; dan
c) Pemberian izin harus melalui
pertimbangan Forum Penataan Ruang.
Contoh:
Keberadaan mini market, bengkel
dan salon di zona perumahan diperbolehkan apabila aktivitas tersebut tidak
menimbulkan gangguan yang signifikan.
4) Zona Performa (Performance
zoning)
Zona Performa adalah TPZ yang
merupakan ketentuan pengaturan pada satu atau beberapa zona/subzona dalam satu
blok atau beberapa blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan prespektif,
namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan. Zona performa
didesain untuk menyusun standarstandar
kondisi fisik yang terukur yang
harus diikuti dengan standar kinerja yang mengikat, misalkan tingkat pelayanan
(Level of Service) jalan minimum, tingkat pencemaran maksimum, dan lainnya.
5) Zona Fiskal (Fiscal zoning)
Zona Fiskal adalah TPZ yang
ditetapkan pada satu zona atau beberapa zona yang berorientasi kepada
peningkatan pendapatan daerah.
6) Zona Pemufakatan Pembangunan
(Negotiated Development)
Pemufakatan pembangunan adalah
TPZ yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang
diberikan dalam bentuk peningkatan intensitas pemanfaatan ruang yang didasarkan
pada pemufakatan pengadaan lahan untuk infrastruktur dan/atau fasilitas publik.
Dapat diterapkan sebagai bentuk insentif imbalan.
7) Zona Pertampalan Aturan
(Overlay Zone)
Pertampalan aturan (overlay zone)
adalah TPZ yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang
berupa pembatasan intensitas pembangunan melalui penerapan dua atau lebih
aturan. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan
tertentu dalam perizinan.
8) Zona Ambang (Floating Zone)
Zona Ambang adalah TPZ yang
merupakan ketentuan pengaturan pada blok peruntukan yang diambangkan
pemanfaatan ruangnya dan peruntukan ruangnya ditentukan kemudian berdasarkan perkembangan
pemanfaatan ruang pada blok peruntukan tersebut.
9) Zona Banjir (Flood Plain Zone)
Zona Banjir adalah TPZ yang
merupakan ketentuan pengaturan pada zona rawan banjir untuk mencegah atau
mengurangi kerugian akibat banjir. Penerapan zona banjir sekurangkurangnya memenuhi
kriteria lokasi yang ditetapkan teridentifikasi adanya rawan bencana banjir
yang berdasarkan analisis banjir tahunan hingga jangka waktu tahunan tertentu dan
berdasarkan analisis kerentanan maupun risiko bencana banjir.
10) TPZ Khusus
TPZ Khusus adalah TPZ yang
memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan karakteristik dan/atau objek
khusus yang dimiliki Zona, yang penetapan lokasinya dalam peraturan zonasi.
Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan tertentu
dalam perizinan.
11) Zona Pengendalian Pertumbuhan
(Growth Control)
Pengendalian pertumbuhan adalah
TPZ yang diterapkan melalui pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi
karakteristik kawasan. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif persyaratan
tertentu dalam perizinan.
12) Zona Pelestarian Cagar Budaya
Pelestarian cagar budaya adalah
TPZ yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan bangunan dan
situs yang memiliki nilai budaya tertentu. Dapat berupa persyaratan khusus
dalam perizinan untuk tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.
13) TPZ Lainnya
TPZ lainnya yang tidak termasuk
pada jenis TPZ (kode penulisan a-l) dapat didefinisikan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing pemerintah daerah. Apabila terdapat lebih dari satu TPZ lainnya,
dapat dituliskan dengan kode m1, m2, m3 dst.
Selain teknik-teknik pengaturan
zonasi di atas, dapat juga diterapkan teknik pengaturan zonasi lain sesuai
dengan kebutuhan.
Sumber: Permen ATR Nomer 11 Tahun
2021 tentang TATA CARA PENYUSUNAN, PENINJAUAN KEMBALI, REVISI, DAN PENERBITAN
PERSETUJUAN SUBSTANSI RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, KOTA, DAN
RENCANA DETAIL TATA RUANG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar