Jumat, 27 Mei 2022

ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS

Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan sebagai upaya untuk mendorong kemajuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu dilakukan dengan cara memberikan kemudahan berusaha untuk mendorong investasi di bidang penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyederhanaan terhadap proses pertzinan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peraturan Pemerintah ini mengatur antara lain mengenai ketentuan-ketentuan terkait analisis dampak Lalu Lintas, pengujian dan rancang bangun Kendaraan Bermotor, penyelenggaraan Terminal, Perizinan Berusaha bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta subsidi penyelenggaraan angkutan, sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.

Dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, rencana pembangunan suatu pusat kegiatan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas sesuai dengan kategori skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang ditimbulkan. Untuk memberikan kemudahan berusaha bagi para pelaku usaha, dokumen analisis dampak Lalu Lintas dimaksud terintegrasi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Berikut akan diuraikan hal-hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan analisis dampak lalu lintas.

Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas. Dokumen analisis dampak Lalu Lintas terintegrasi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.

Pusat kegiatan sebagaimana dimaksud diatas berupa bangunan untuk: a. kegiatan perdagangan; b. kegiatanperkantoran; c. kegiatan industri; d. kegiatan pariwisata; e. fasilitas pendidikan; f. fasilitas pelayanan umum; dan/atau g. kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan Lalu Lintas. Permukiman sebagaimana dimaksud diatas berupa: a. perumahan dan permukiman; b. rumah susun dan apartemen; dan/atau c. permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan Lalu Lintas. Infrastruktur sebagaimana dimaksud diatas berupa: a. akses ke dan dari Jalan tol; b. pelabuhan; c. bandar udara; d. Terminal; e. stasiun kereta api; f. tempat penyimpanan Kendaraan; g. fasilitas Parkir untuk umum; dan/atau h. infrastruktur lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan Lalu Lintas.

Pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas digolongkan dalam 3 (tiga) kategori skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang ditimbulkan sebagai berikut:

a. kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang tinggi;

b. kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang . sedang dan

c. kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang rendah.

Pengembang atau pembangun wajib melaksanakan ana-lisis dampak Lalu Lintas sesuai dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas untuk kegiatan yang diajukan oleh pengembang atau pembangun. Analisis dampak Lalu Lintas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang tinggi, pengembang atau pembangun diwajibkan untuk menyampaikan dokumen analisis dampak Lalu Lintas yang disusun oleh tenaga ahli yang memiliki Sertifikat Kompetensi pen5rusun analisis dampak Lalu Lintas;

b. untuk kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang sedang, pengembang atau pembangun diwajibkan untuk menyampaikan rekomendasi teknis penanganan dampak Lalu Lintas yang disusun oleh tenaga ahli yang memiliki Sertifikat Kompetensi pen)rusun analisis dampak Lalu Lintas; atau

c. untuk kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang rendah, pengembang atau pembangun diwajibkan untuk:

1. memenuhi standar teknis penanganan dampak Lalu Lintas yang telah ditetapkan oleh Menteri; dan

2. menyampaikan gambaran umum lokasi dan rencana pembangunan atau pengembangan yang akan dilaksanakan.

Hasil analisis dampak Lalu Lintas merupakan bagian dokumen analisis dampak Lalu Lintas yang terintegrasi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Sertifikat Kompetensi penyusun analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas diterbitkan oleh Menteri.

Dokumen analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas paling sedikit memuat:

a. perencanaan dan metodologi analisis dampak LaJu Lintas;

b. analisis kondisi La-lu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini;

c. analisis bangkitan/tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan akibat pembangunan berdasarkan kaidah teknis transportasi dengan menggunakan faktor trip rate yartg ditetapkan secara nasional;

d. analisis distribusiperjalanan;

e. analisis pemilihan moda;

f. analisis pembebanan perjalallan;

g. simulasi kinerja Lalu Lintas yang dilakukan terhadap analisis dampak Lalu Lintas;

h. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak Lalu Lintas;

i. rincian tanggung jawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam huruf h;

j. rencana pemantauan dan evaluasi; dan

k. gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan.

Rekomendasi teknis penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas paling sedikit memuat:

a. analisis kondisi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini;

b. simulasi kinerja Lalu Lintas yang dilakukan terhadap analisis dampak Lalu Lintas;

c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak Lalu Lintas;

d. rincian tanggung jawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan pengembang atau pembangun dalam penangarlan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

e. rencana pemantauan dan evaluasi; dan

f. gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan.

Pemenuhan standar teknis penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas meliputi:

a. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak Lalu Lintas;

b. rincian tanggung jawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan

c. rencana pemantauan dan evaluasi.

Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas harus mendapat persetujuan dari:

a. Menteri, untuk Jalan nasional;

b. gubernur, untuk Jalan provinsi;

c. bupati, untuk Jalan kabupaten dan atau Jalan desa; atau

d. walikota, untuk Jalan kota.

Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud diatas, pengembang atau pembangun harus menyampaikan hasil analisis dampak Lalu Lintas sesuai dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas kegiatan yang ditimbulkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyampaian hasil analisis dampak Lalu Lintas dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha lingkungan hidup. Sistem elektronik dilaksanakan pada Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, dan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal melalui pelayanan terpadu satu pintu. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan persetuiuan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah seluruh dokumen lengkap. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam hal hasil analisis dampak Lalu Lintas berupa dokumen analisis dampak Lalu Lintas untuk kegiatan dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang tinggi, maka persetujuan diberikan setelah mendapat persetujuan teknis dari tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas.  Tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas merupakan unsur pembina sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang berjumlah sebanyak 3 (tiga) orang.

Tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas mempunyai tugas:

a. melakukan penilaian terhadap hasil analisis darnpak Lalu Lintas yang berupa dokumen analisis dampak Lalu Lintas untuk kegiatan dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang tinggi; dan

b. menilai kelayakan persetujuan yang diusulkan dalam hasil analisis dampak Lalu Lintas.

Dalam hal hasil analisis dampak Lalu Lintas telah memenuhi persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya meminta kepada pengembang atau pembangun untuk membuat surat pernyataan kesanggupan melaksanakan semua kewajiban analisis dampak Lalu Lintas. Surat pernyataan kesanggupan ditandatangani oleh penanggung jawab perusahaan di atas materai. Surat pernyataan kesanggupan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hasil analisis dampak LaIu Lintas. Kewajiban harus terpenuhi sebelum dan selama pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur dioperasikan.

Terhadap pelaksanaan pemenuhan kewajiban pengembang atau pembangun yang tercantum dalam persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.  Monitoring dan evaluasi secara berkala dilaksanakan oleh tim monitoring dan evaluasi yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tim monitoring dan evaluasi diketuai oleh instansi pembina di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta beranggotakan unsur dari instansi pembina di bidang Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tim monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud diatas mempunyai tugas:

a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas baik pada masa kontruksi maupun operasional kegiatan usaha; dan

b. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan dan pemenuhan atas persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas yang telah ditetapkan.

Setiap pengembang atau pembangun yang melanggar pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud diatas dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara kegiatan/pelayanan umum;

c. denda administratif; dan/atau

d. pembatalan persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas dan/ atau Perizinan Berusaha.

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud diatas dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-rnasing 30 (tiga puluh) hari kalender. Dalam hal pengembang atau pembangun tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga, . dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan/pelayanan umum selama 30 (tiga puluh) hari kalender. Dalam hal pengembang atau pembangun tetap tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu), dikenai denda administratif paling banyak 1% (satu persen) dari nilai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang atau pembangun sebagaimana dimaksud diatas. Dalam waktu 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pengenaan sanksi denda administratif atau 9O (sembilan puluh) hari kalender sejak pembayaran denda, pengembang atau pembangun tidak melaksanakan kewajibannya, maka persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud diatas dibatalkan

 

 

 

 

Sumber: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2O21 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN 

Rabu, 04 Mei 2022

PROSES PENYUSUNAN RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

 A.    Alur Penyusunan

Dalam penyusunan RIPPARPROV atau RIPPARKAB/KOTA, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berpedoman pada RIPPARNAS, RPJPD, dan memperhatikan aspirasi masyarakat, serta didukung dengan background study terkait potensi, permasalahan dan kebijakan pembangunan pariwisata. Alur penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA sebagai berikut :

1.    pembentukan kelompok kerja;

2.  pengumpulan data;

3.  penyusunan rancangan;

4.  uji publik, dan

5.  penetapan.


1.  Pembentukan Kelompok Kerja

Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya membentuk kelompok kerja. Susunan keanggotaan terdiri dari Kepala Bappeda sebagai ketua, Kepala Dinas yang membidangi pariwisata sebagai sekretaris, dan anggota terdiri dari SPKD/instansi terkait, pemangku kepentingan lainnya sesuai dengan kebutuhan penyusunan. Kelompok kerja dapat dibantu tim teknis yang ditetapkan oleh ketua kelompok kerja.

2.  Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner, wawancara maupun focus  group  discussion  serta peninjauan lapangan secara langsung untuk mengenali kondisi fisik, sosial dan ekonomi. Data sekunder dilakukan melalui data pustaka terkait karakteristik wilayah dan aspek-aspek dalam pengembangan kepariwisataan.

3.  Penyusunan Rancangan

Penyusunan rancangan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA, dilakukan   setelah   data   primer   dan   sekunder   dianalisis   dan selanjutnya dirumuskan sesuai dengan sistematika penulisan.

4.  Uji Publik

Uji publik dilaksanakan untuk meminta tanggapan, masukan, dan saran dari para pemangku kepentingan pariwisata.

5.  Penetapan

RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA yang telah disusun ditetapkan melalui Peraturan Daerah.



B.    Tenaga Ahli

Dalam proses penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA, perlu melibatkan sejumlah tenaga ahli yang terdiri dari tenaga ahli inti, tenaga ahli tambahan dan pendukung yang dapat saja bervariasi, tergantung karakter daerah dan jenis pariwisata yang akan dikembangkan, dan atau skala pengembangannya.

Tenaga ahli inti dapat terdiri dari:

1.  Ahli Perencanaan Kepariwisataan;

2.  Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota;

3.  Ahli Ekonomi Pembangunan;

4.  Ahli Pemasaran;

5.  Ahli Industri Pariwisata;

6.  Ahli Sosial Budaya;

7.  Ahli Transportasi;

8.  Ahli Lingkungan;

9.  Ahli Kelembagaan.


Tenaga  ahli  lain  dapat  bervariasi  tergantung  konteks  daerah  yang bersangkutan, seperti:

1.  Ahli  Kehutanan, Kelautan, Geologi, Pertanian;

2.  Ahli  Arsitektur Lansekap atau Rancang Kota;

3.  Ahli  Sejarah;

4.  keahlian lainnya, disesuaikan dengan kondisi daerah.


Tenaga pendukung antara lain: drafter, staf administrasi, operator komputer, surveyor, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.


C.    Jangka Waktu Penyusunan

Untuk menyusun RIPPARPROV atau RIPPARKAB/KOTA diperlukan waktu yang cukup untuk pengerjaannya. Periode waktu penyusunan rencana paling sedikit 150 hari kerja, serta penyusunan naskah akademik dan rancangan peraturan daerah paling sedikit 60 hari kerja.

Konsultan yang bertanggung jawab, tak akan menyanggupi untuk melaksanakan penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA dalam

1-2 bulan saja, terlebih jika wilayahnya cukup luas dan aksesibilitas yang tidak terlalu baik. Aparat sebagai pemberi tugas yang bertanggung jawab juga tak akan merencanakan kegiatan penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA untuk selesai dalam dua bulan. Mempercepat waktu pelaksanaan, mempunyai konsekuensi yang seringkali fatal, mengakibatkan kualitas rencana yang rendah, dan atau tidak efektifnya rencana.


D.   Sistem Pelaporan

Pelaporan penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA hendaknya dilakukan sedikitnya 4 (empat) kali dan dijadwalkan, sebagai berikut:

1. LaporanPendahuluan

Laporan pendahuluan berisi tanggapan dan penjabaran terhadap Kerangka Acuan Kerja, yang menjelaskan bagaimana pekerjaan akan dilaksanakan, termasuk pendekatan perencanaan, metodologi atau kerangka umum pelaksanaan pekerjaan.

Pelaporan  pertama  ini  diselesaikan  dalam  jangka  waktu  1  (satu) bulan.

2. Laporan Kemajuan

Laporan kemajuan disampaikan setelah suatu tahap tertentu dilalui, diharapkan setidaknya sudah ada temuan dan analisis tentang potensi dan permasalahan kepariwisataan daerah, dan proyeksi awal.

Pelaporan kedua ini diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat perjanjian kerja sama ditandatangani.

3.    Rancangan Laporan Akhir

Laporan ini berisikan rumusan awal kebijakan, strategi dan indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah untuk setiap aspek pengembangan, dilengkapi dengan peta, tabel, maupun gambar- gambar yang relevan.

Pelaporan ketiga ini diselesaikan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak surat perjanjian kerja sama ditandatangani.

4.    Laporan Akhir

Berisikan rumusan visi, misi, tujuan, kebijakan, strategi, rencana, dan indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah, serta isi naskah akademik yang telah disepakati bersama.

Laporan akhir diselesaikan dalam jangka waktu sedikitnya 5 (lima) bulan sejak surat perjanjian kerja sama ditandatangani, dengan sistematika sebagai berikut:


BAB 1   PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran

1.3 Keluaran

1.4 Ruang Lingkup

1.4.1   Lingkup Wilayah

1.4.2   Lingkup Materi

1.4.3   Lingkup Kegiatan

1.5  Metodologi

1.5.1 Kerangka Pendekatan

1.5.2 Tahapan Pelaksanaan Pekerjaan

1.6  Jangka Waktu Perencanaan

1.7  Sistematika Pelaporan

BAB 2   KEPARIWISATAAN   PROVINSI   ATAU   KABUPATEN/KOTA DALAM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN

2.1  Kepariwisataan  Provinsi  atau  Kabupaten/Kota  dalam Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan Nasional

2.2 Kepariwisataan Provinsi atau Kabupaten/Kota dalam Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan Provinsi atau Kabupaten/Kota

2.3 Kepariwisataan Provinsi atau Kabupaten/Kota dalam Kebijakan dan Pembangunan Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota

BAB 3   KONDISI  WILAYAH  PROVINSI  ATAU  KABUPATEN/KOTA DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN

3.1  Kondisi Fisik

3.2  Sejarah Sebagai Potensi Pariwisata

3.3  Kekayaan Ekologis Sebagai Potensi Pariwisata

3.4  Kondisi Sosial Budaya Sebagai Potensi Pariwisata

3.5  Perekonomian

BAB 4   PROVINSI  ATAU KABUPATEN/KOTA  SEBAGAI DESTINASI PARIWISATA

4.1  Daya Tarik dan Sumber Daya Wisata (khusus Kab/Kota)

4.2  Fasilitas Pariwisata

4.3  Fasilitas Umum Pendukung Pariwisata

4.4  Aksesibilitas Pendukung Pariwisata

4.5  Prasarana Umum Pendukung Pariwisata

4.6  Penduduk   Sebagai   Potensi   Sumber   Daya   Manusia

Pariwisata

BAB 5   INDUSTRI PARIWISATA

5.1  Usaha Pariwisata

5.2  Usaha Kecil dan Menengah Pendukung Pariwisata

BAB 6    PASAR PARIWISATA DAN UPAYA PEMASARAN

6.1  Jumlah dan Perkembangan Pasar Wisatawan

6.2  Karakteristik Pasar Wisatawan

6.3  Upaya Pemasaran yang Dilakukan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota

BAB 7    KELEMBAGAAN KEPARIWISATAAN

7.1  Sumber Daya Manusia Pariwisata

7.2  Asosiasi Pariwisata

7.3  Kelembagaan Pemerintah Terkait Pariwisata

7.4  Kelembagaan Lain Terkait Pariwisata

BAB 8     PRINSIP DAN KONSEP PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN

8.1 Tantangan      dan      Isu      Strategis Pembangunan

Kepariwisataan

8.2 Prinsip Pembangunan Kepariwisataan

8.3 Konsep Pembangunan Kepariwisataan

8.4 Visi

8.5 Misi

8.6 Tujuan

BAB 9     KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN

9.1  Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan

9.2  Strategi  Pembangunan Kepariwisataan

BAB 10  RENCANA PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN PARIWISATA

10.1  Rencana Struktur Perwilayahan Pariwisata

10.2  Rencana Kawasan Pengembangan Pariwisata dan Kawasan Strategis Pariwisata

BAB 11   PROGRAM DAN INDIKASI KEGIATAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN


5.    Naskah Akademik

Naskah Akademik diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah dokumen RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA selesai dibuat. Naskah akademik dilengkapi dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan  dan  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, naskah akademik Peraturan Daerah harus memuat:


BAB 1    PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Identifikasi Permasalahan

1.3 Tujuan Penyusunan Naskah Akademik

1.4 Metodologi Penyusunan Naskah Akademik

1.5 Struktur Isi Naskah Akademik

BAB 2     KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1 Kajian Teoritis

2.2  Kajian terhadap Asas-Asas Kepariwisataan dan Prinsip Prinsip Pembangunan Kepariwisataan

2.3  Kajian     Kondisi     Kepariwisataan     Provinsi     atau Kabupaten/Kota

2.4  Kajian     terhadap     Implikasi     Penerapan     Perda RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA

BAB 3     EVALUASI   DAN   ANALISIS   PERATURAN   PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT

3.1 Kajian  Terhadap  Peraturan  Perundang-undangan Terkait Kepariwisataan di Pusat dan Provinsi atau Kabupaten/Kota

3.1.1  Peraturan Perundang-undanganan terkait Kepariwisataan di Tingkat Pusat

3.1.2  Peraturan Perundang-undanganan terkait Kepariwisataan di Tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota

3.2  Keterkaitan Antara Perda RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA dengan Peraturan Perundang- undangan Lain

3.3   Dampak Perda RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA terhadap Peraturan Perundang-undangan Lain

BAB 4   LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

4.1  Landasan Filosofis

4.2  Landasan Sosiologis

4.3  Landasan Yuridis

BAB 5  JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1    Jangkauan   Peraturan   Daerah   RIPPARPROV   dan RIPPARKAB/KOTA

5.2    Arah Pengaturan

5.3    Ruang      Lingkup      Materi      Peraturan      Daerah RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA 

BAB 6    PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN (Rancangan Peraturan Daerah tentang RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA)


6.    Rancangan     Peraturan     Daerah     tentang     RIPPARPROV     dan RIPPARKAB/KOTA Menjadi bagian dari Naskah Akademik.


E.    Format Penyajian

Format Penyajian RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA disajikan dalam bentuk:

1.    Dokumen RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA, yang berisi:

a) Data  dan  analisis,  berisi  himpunan  data  kepariwisataan  dan hasil analisis mengenai kondisi, perkembangan, posisi, dan prediksi kepariwisataan daerah.

Buku Data dan Analisis dilengkapi dengan:


1)    Peta-peta    kondisi    terakhir    kepariwisataan    berskala 1:50.000;

2) Data strategis dan hasil pengolahan data yang digunakan dalam menganalisis kondisi, perkembangan, posisi, dan prediksi kepariwisataan daerah; dan

3) Daftar  pustaka  referensi  yang  digunakan  dalam  proses analisis.


b) Rencana, berisi arahan pengembangan kepariwisataan daerah, yang memuat prinsip-prinsip, visi dan misi, tujuan, kebijakan, strategi, rencana, dan program pembangunan kepariwisataan.

Buku Rencana dilengkapi dengan:


1) Peta-peta   rencana   pengembangan   kawasan   pariwisata berskala 1:50.000;

2) Daftar  pustaka  referensi  yang  digunakan  dalam  proses analisis;

3) Daftar nama anggota tim penyusun beserta latar belakang pendidikan/kompetensinya;

4)    Daftar nama tim pengarah penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA;

5) Daftar peserta Focus Group Discussion (FGD) yang terlibat dalam diskusi      penyusunan      RIPPARPROV      dan RIPPARKAB/KOTA; dan

6)    Daftar  narasumber  yang  memberikan  masukan  dalam proses penyusunan RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA.


2.    Naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA; dan

3.    Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang RIPPARPROV dan RIPPARKAB/KOTA. 



 


Sumber : Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan Kabupaten/Kota.


Minggu, 01 Mei 2022

MUATAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR)

 Muatan RDTR terdiri atas tujuan penataan WP, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, ketentuan pemanfaatan ruang, dan peraturan zonasi.

1. Tujuan Penataan WP

Tujuan penataan WP merupakan nilai dan/atau kualitas terukur yang akan dicapai sesuai dengan arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota dan merupakan alasan disusunnya RDTR tersebut, serta apabila diperlukan dapat dilengkapi konsep pencapaian. Tujuan penataan WP berisi tema yang akan direncanakan di wilayah perencanaan.

Tujuan penataan WP berfungsi:

a. sebagai acuan untuk penyusunan rencana pola ruang, penyusunan rencana struktur ruang, penyusunan ketentuan pemanfaatan ruang, penyusunan peraturan zonasi; dan

b. untuk menjaga konsistensi dan keserasian pengembangan wilayah perencanaan dengan RTRW kabupaten/kota

Perumusan tujuan penataan WP didasarkan pada:

a. Arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;

b. Isu strategis wilayah perencanaan, yang antara lain dapat berupa potensi, masalah, dan urgensi penanganan; dan

c. Karakteristik wilayah perencanaan.

Tujuan penataan WP dirumuskan dengan mempertimbangkan:

a. Keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah kabupaten/kota;

b. Fungsi dan peran WP;

c. Potensi investasi;

d. Keunggulan dan daya saing WP;

e. Kondisi sosial dan lingkungan WP;

f. Peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan

g. Prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut.

 

2. Rencana Struktur Ruang

Rencana struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana di WP yang akan dikembangkan untuk mencapai tujuan dalam melayani kegiatan skala WP.

Rencana struktur ruang berfungsi sebagai:

a. Pembentuk sistem pusat pelayanan di dalam WP;

b. Dasar perletakan jaringan serta rencana pembangunan prasarana dan utilitas dalam WP sesuai dengan fungsi pelayanannya; dan

c. Dasar rencana sistem pergerakan dan aksesibilitas lingkungan dalam RTBL dan rencana teknis sektoral.

Rencana struktur ruang dirumuskan berdasarkan:

a. Rencana struktur ruang yang termuat dalam RTRW Kabupaten/Kota;

b. Kebutuhan pelayanan dan pengembangan bagi WP; dan

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

 

Rencana struktur ruang dirumuskan dengan kriteria:

a. Memperhatikan rencana struktur ruang WP lainnya dalam wilayah kabupaten/kota;

b. Memperhatikan rencana struktur ruang kabupaten/kota sekitarnya yang berbatasan langsung dengan WP;

c. Menjamin keterpaduan dan prioritas pelaksanaan pembangunan prasarana dan utilitas pada WP;

d. Mengakomodasi kebutuhan pelayanan prasarana dan utilitas WP termasuk kebutuhan pergerakan manusia dan barang; dan

e. Mempertimbangkan inovasi dan/atau rekayasa teknologi.

Materi rencana struktur ruang meliputi:

a. Rencana Pengembangan Pusat Pelayanan Rencana pengembangan pusat pelayanan merupakan distribusi pusatpusat pelayanan di dalam WP yang akan melayani SWP, dapat meliputi:

1) pusat pelayanan kota/kawasan perkotaan;

2) sub pusat pelayanan kota/kawasan perkotaan; dan

3) pusat pelayanan lingkungan, berupa:

a) pusat lingkungan kecamatan;

b) pusat lingkungan kelurahan/desa; dan/atau

c) pusat rukun warga.

b. Rencana Jaringan Transportasi

Rencana jaringan transportasi dapat mencakup:

1) Jalan umum, meliputi:

a) jalan arteri primer;

b) jalan arteri sekunder;

c) jalan kolektor primer;

d) jalan kolektor sekunder;

e) jalan lokal primer;

f) jalan lokal sekunder;

g) jalan lingkungan primer; dan

h) jalan lingkungan sekunder;

2) jalan khusus;

3) jalan tol;

4) jalan masuk dan keluar terminal barang dan penumpang;

5) jalan menuju moda transportasi umum;

6) jalan masuk dan keluar parkir;

7) terminal penumpang, meliputi:

a) terminal penumpang tipe A;

b) terminal penumpang tipe B; dan

c) terminal penumpang tipe C;

8) terminal barang;

9) jembatan timbang;

10) jembatan;

11) halte;

12) jaringan jalur kereta api antarkota;

13) jaringan jalur kereta api perkotaan, meliputi:

a) jalur monorel;

b) jalur kereta rel listrik;

c) jalur MRT (mass rapid transit); dan

d) jalur LRT (light rapid transit).

14) jaringan jalur kereta api khusus;

15) stasiun kereta api, meliputi:

a) stasiun penumpang besar;

b) stasiun penumpang sedang;

c) stasiun penumpang kecil;

d) stasiun barang; dan

e) stasiun operasi.

16) Alur-pelayaran sungai dan alur-pelayaran danau, meliputi:

a) alur-pelayaran kelas I;

b) alur-pelayaran kelas II; dan

c) alur-pelayaran kelas III;

17) Lintas penyeberangan, meliputi:

a) lintas penyeberangan antarnegara;

b) lintas penyeberangan antarprovinsi;

c) lintas penyeberangan antarkabupaten/kota dalam provinsi;

d) lintas penyeberangan dalam kabupaten; dan

e) lintas penyeberangan dalam kota;

18) Pelabuhan sungai dan danau, meliputi:

a) pelabuhan sungai dan danau utama;

b) pelabuhan sungai dan danau pengumpul; dan

c) pelabuhan sungai dan danau pengumpan;

19) Pelabuhan penyeberangan, meliputi:

a) pelabuhan penyeberangan kelas I;

b) pelabuhan penyeberangan kelas II; dan

c) pelabuhan penyeberangan kelas III;

20) pelabuhan utama;

21) pelabuhan pengumpul;

22) pelabuhan pengumpan, meliputi:

a) pelabuhan pengumpan regional; dan

b) pelabuhan pengumpan lokal;

23) Terminal umum;

24) Terminal khusus;

25) Pelabuhan perikanan, meliputi:

a) pelabuhan perikanan samudra;

b) pelabuhan perikanan nusantara;

c) pelabuhan perikanan pantai; dan

d) pangkalan pendaratan ikan;

26) Bandar udara pengumpul, meliputi:

a) bandar udara pengumpul skala pelayanan primer;

b) bandar udara pengumpul skala pelayanan sekunder; dan

c) bandar udara pengumpul skala pelayanan tersier;

27) Bandar udara pengumpan; dan

28) Bandar udara khusus;

Jaringan transportasi dapat berada di permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, atau di atas permukaan tanah.

c. Rencana Jaringan Energi, meliputi:

1) infrastruktur minyak dan gas bumi, terdiri atas:

a) sarana penyimpanan bahan bakar; dan

b) sarana pengolahan hasil pembakaran.

2) jaringan yang menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi-kilang pengolahan, terdiri atas:

a) jaringan yang menyalurkan minyak bumi dari fasilitas produksi-kilang pengolahan; dan

b) jaringan yang menyalurkan gas bumi dari fasilitas produksikilang pengolahan;

3) jaringan yang menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi-tempat penyimpanan, terdiri atas:

a) jaringan yang menyalurkan minyak bumi dari fasilitas produksi-tempat penyimpanan; dan

b) jaringan yang menyalurkan gas bumi dari fasilitas produksi tempat penyimpanan;

4) jaringan yang menyalurkan gas bumi dari kilang pengolahan ke konsumen; 

5) Infrastruktur Pembangkitan Listrik dan Sarana Pendukung, meliputi:

a) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA);

b) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU);

c) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG);

d) Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD);

e) Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN);

f) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS);

g) Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB);

h) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP);

i) Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH); dan

j) Pembangkit Listrik Lainnya;

6) Jaringan Transmisi Tenaga Listrik Antarsistem, meliputi:

a) Saluran Udara Tegangan Ultra Tinggi (SUTUT);

b) Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET);

c) Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT);

d) Saluran Udara Tegangan Tinggi Arus Searah (SUTTAS);

e) Kabel bawah tanah; dan

f) Saluran transmisi lainnya;

7)     Jaringan Distribusi Tenaga Listrik, meliputi:

a)  Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM);

b)  Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR);

c)   Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM); dan d)  Saluran distribusi lainnya;

8)     Jaringan pipa/kabel bawah laut penyaluran tenaga listrik;

9)     Gardu Listrik, meliputi:

a) gardu induk;

b) gardu hubung; dan c)  gardu distribusi.

d. Rencana Jaringan Telekomunikasi, terdiri atas:

1) Jaringan Tetap, meliputi:

a) Jaringan Serat Optik

b) Telepon Fixed Line

c) Sentral Telepon Otomat (STO);

d) Rumah Kabel;

e) Kotak Pembagi; dan

f) Pusat Otomasi Sambungan Telepon;

2) Jaringan Bergerak Terestrial, meliputi:

a) Infrastruktur Jaringan Mikro Digital; dan

b) Stasiun Transmisi (Sistem Televisi).

3) Jaringan Bergerak Seluler berupa menara Base Transceiver Station (BTS); dan

4) Jaringan Bergerak Satelit, meliputi stasiun Bumi.

e. Rencana Jaringan Sumber Daya Air

1) Sistem Jaringan Irigasi

a) Jaringan Irigasi Primer;

b) Jaringan Irigasi Sekunder;

c) Jaringan Irigasi Tersier; dan

d) Jaringan Irigasi Air Tanah.

2) Sistem jaringan air bersih;

3) Sistem Pengendalian Banjir, meliputi:

a) jaringan pengendalian banjir; dan

b) bangunan pengendalian banjir.

4) Bangunan Sumber Daya Air

a) Pintu Air;

b) Bendungan; dan

c) Prasarana Irigasi.

f. Rencana Jaringan Air Minum, meliputi:

1) jaringan perpipaan:

a) unit air baku, meliputi:

(1) bangunan pengambil air baku; dan

(2) jaringan transmisi air baku

b) unit produksi, meliputi:

(1) instalasi produksi;

(2) bangunan penampung air; dan

(3) jaringan transmisi air minum.

c) unit distribusi, berupa jaringan distribusi pembagi; dan

d) unit pelayanan, meliputi:

(1) sambungan langsung;

(2) hidran umum; dan

(3) hidran kebakaran.

2) Bukan jaringan perpipaan, yang terdiri atas:

a) sumur dangkal;

b) sumur pompa;

c) bak penampungan air hujan;

d) terminal air; dan

e) bangunan penangkap mata air

g. Rencana Pengelolaan Air Limbah dan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), meliputi:

1) Sistem Pembuangan Air Limbah Non Domestik, meliputi:

a) Jaringan Sistem Pembuangan Air Limbah Non Domestik; dan

b) Infrastruktur Sistem Pembuangan Air Limbah Non Domestik.

2) Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat, meliputi:

a) Subsistem Pengolahan Setempat; dan

b) Subsistem Pengolahan Lumpur Tinja.

Sistem pengelolaan air limbah domestik setempat yang dimuat dalam RDTR merupakan sistem pengelolaan yang bersifat komunal.

3) Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat

a) Subsistem Pelayanan, meliputi:

(1) Pipa Tinja;

(2) Pipa Non Tinja;

(3) Pipa Persil;

(4) Bak Perangkap Lemak dan Minyak dari Dapur;

(5) Bak Kontrol; dan

(6) Lubang Inspeksi.

b) Subsistem Pengumpulan meliputi:

(1) Pipa Retikulasi;

(2) Pipa Induk; dan

(3) Prasarana dan Sarana Pelengkap;

c) Subsistem Pengolahan Terpusat, meliputi:

(1) IPAL Kota;

(2) IPAL Skala Kawasan Tertentu/Permukiman; dan

(3) IPAL Komunal Industri Rumah Tangga; 

4) Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Untuk industri rumah tangga harus menyediakan instalasi

pengolahan air limbah komunal tersendiri.

h. Rencana Jaringan Persampahan, meliputi:

1) Stasiun Peralihan Antara (SPA);

2) Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R);

3) Tempat Penampungan Sementara (TPS);

4) Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); dan

5) Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).

i. Rencana Jaringan Drainase, meliputi:

1) jaringan drainase primer;

2) jaringan drainase sekunder;

3) jaringan drainase tersier;

4) jaringan drainase lokal;

5) bangunan peresapan (kolam retensi);

6) bangunan tampungan (polder); dan

7) bangunan pelengkap drainase.

j. Rencana Jaringan Prasarana Lainnya

Penyediaan prasarana lainnya direncanakan sesuai kebutuhan pengembangan WP, yang dapat berupa:

1) jalur evakuasi bencana;

Jalur evakuasi bencana dapat memanfaatkan jaringan prasarana

dan sarana yang sudah ada;

2) tempat evakuasi, terdiri atas:

a) titik kumpul;

b) tempat evakuasi sementara; dan

c) tempat evakuasi akhir.

3) jalur sepeda;

4) jalur pejalan kaki;

5) pengaman pantai; dan

6) tanggul penahan longsor.

 

Dalam Raperkada, setiap rencana struktur ruang yang berupa jaringan disebutkan sebaran lokasinya berdasarkan SWP dan setiap rencana struktur ruang yang berupa titik disebutkan sebaran lokasinya berdasarkan blok.

Peta rencana struktur ruang digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Peta rencana struktur ruang terdiri dari:

1) peta rencana pusat pelayanan yang memuat pusat-pusat

pelayanan;

2) peta rencana jaringan transportasi;

3) peta rencana jaringan energi;

4) peta rencana jaringan telekomunikasi;

5) peta rencana jaringan sumber daya air;

6) peta rencana jaringan air minum;

7) peta rencana jaringan air limbah dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);

8) peta rencana jaringan drainase;

9) peta rencana jaringan persampahan; dan

10) peta rencana jaringan prasarana lainnya.

Peta rencana struktur ruang ini digambarkan secara tersendiri untuk masing-masing peta rencana.

b. Apabila terdapat rencana jaringan yang berada di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maupun di atas permukaan tanah maka digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan gambar potongan/penampang;

c. Rencana struktur ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian informasi 1:5.000 dan mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga yang berwenang;

d. Rencana struktur ruang disajikan dalam format digital sesuai dengan Pedoman Basis Data; dan

e. Rencana struktur ruang dapat digambarkan juga dalam model 3 (tiga) dimensi.

3. Rencana Pola Ruang

Rencana pola ruang merupakan rencana distribusi zona pada WP yang akan diatur sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

Rencana pola ruang berfungsi sebagai:

a. Alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial budaya, ekonomi, serta kegiatan pelestarian fungsi lingkungan dalam WP;

b. Dasar penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

c. Dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis lainnya; dan

d. Dasar penyusunan rencana jaringan prasarana.

Rencana pola ruang dirumuskan dengan kriteria:

a. Mengacu pada rencana pola ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;

b. Mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan infrastruktur dalam WP;

c. Memperkirakan kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan pelestarian fungsi lingkungan, khususnya untuk kawasan perkotaan yang memiliki kegiatan yang berpotensi menimbulkan bangkitan yang cukup besar;

d. Mempertimbangkan ketersediaan ruang yang ada;

e. Memperhatikan rencana pola ruang bagian wilayah yang berbatasan;

f. Memperhatikan   mitigasi   dan   adaptasi   bencana   pada   WP, termasuk   dampak perubahan iklim; dan

g. Menyediakan RTH dan RTNH untuk menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

 

Rencana pola ruang RDTR terdiri atas:

a. Zona lindung yang meliputi:

1) zona hutan lindung (HL);

2) zona lindung gambut (LG);

3) zona perlindungan setempat (PS);

4) zona ruang terbuka hijau (RTH) yang meliputi:

a) rimba kota (RTH-1);

b) taman kota (RTH-2);

c) taman kecamatan (RTH-3);

d) taman kelurahan (RTH-4);

e) taman RW (RTH-5);

f) taman RT (RTH-6);

g) pemakaman (RTH-7); dan

h) jalur hijau (RTH-8).

5) zona konservasi (KS) yang meliputi:

a) cagar alam (CA);

b) cagar alam laut (CAL);

c) suaka margasatwa (SM);

d) suaka margasatwa laut (SML);

e) taman nasional (TN);

f) taman hutan raya (THR);

g) taman wisata alam (TWA);

h) taman wisata alam laut (TWL);

i) taman buru (TB);

j) suaka pesisir (SPS);

k) suaka pulau kecil (SPK);

l) taman pesisir (TP);

m) taman pulau kecil (TPK);

n) daerah perlindungan adat maritim (PAM);

o) daerah perlindungan budaya maritim (PBM); dan

p) kawasan konservasi perairan (KPR).

6) zona hutan adat (ADT);

7) zona lindung geologi (LGE) yang meliputi:

a) keunikan batuan dan fosil (LGE-1);

b) keunikan bentang alam (LGE-2);

c) keunikan proses geologi (LGE-3); dan

d) imbuhan air tanah (LGE-4).

8) zona cagar budaya (CB);

Kriteria cagar budaya yang dimasukkan sebagai zona adalah warisan budaya berupa bangunan atau situs cagar budaya yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal cagar budaya tersebut berupa lansekap budaya atau kegiatan, maka dapat tidak digambarkan sebagai zona cagar budaya namun wajib diatur dalam ketentuan khusus.

9) zona ekosistem mangrove (EM); dan

10) zona badan air (BA) (jika diperlukan pengaturan).

b. Zona budi daya yang meliputi:

1) zona hutan produksi (KHP) yang meliputi:

a) hutan produksi terbatas (HPT);

b) hutan produksi tetap (HP); dan

c) hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

2) zona perkebunan rakyat (KR);

3) zona pertanian (P) yang meliputi:

a) tanaman pangan (P-1);

b) hortikultura (P-2);

c) perkebunan (P-3); dan

d) peternakan (P-4).

Khusus zona pertanian, di dalamnya dapat ditetapkan luasan dan sebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dengan mengacu pada kawasan pertanian pangan berkelajutan (KP2B) yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang RTRW kabupaten/kota. LP2B memiliki pengaturan tersendiri dalam ketentuan khusus.

4) zona perikanan (IK) yang meliputi:

a) perikanan tangkap (IK-1); dan

b) perikanan budi daya (IK-2).

5) zona pergaraman (KEG);

6) zona pertambangan (T) yang meliputi:

a) pertambangan mineral radioaktif (MRA);

b) pertambangan mineral logam (MLG);

c) pertambangan mineral bukan logam (MNL);

d) peruntukkan pertambangan batuan (MBT);

e) pertambangan batubara (BR);

f) pertambangan minyak dan gas bumi (MG); dan

g) panas bumi (PB).

7) zona pembangkitan tenaga listrik (PTL);

8) zona kawasan peruntukan industri (KPI).

9) zona pariwisata (W);

10) zona perumahan (R), yang meliputi:

a) perumahan kepadatan sangat tinggi (R-1);

b) perumahan kepadatan tinggi (R-2);

c) perumahan kepadatan sedang (R-3);

d) perumahan kepadatan rendah (R-4); dan

e) perumahan kepadatan sangat rendah (R-5);

11) zona sarana pelayanan umum (SPU), yang meliputi:

a) sarana pelayanan umum skala kota (SPU-1);

b) sarana pelayanan umum skala kecamatan (SPU-2);

c) sarana pelayanan umum skala kelurahan (SPU-3); dan

d) sarana pelayanan umum skala RW (SPU-4).

12) zona terbuka non hijau (RTNH);

13) zona campuran (C), yang meliputi:

a) campuran intensitas tinggi (C-1); dan

b) campuran intensitas menengah/sedang (C-2)

Penggunaan kategori zona campuran di dalam rencana zonasi dapat bertujuan untuk mendorong pertumbuhan suatu bagian kawasan perkotaan agar menjadi satu fungsi ruang tertentu. Kategori zona campuran juga dapat digunakan untuk mengakomodasi adanya suatu bagian kawasan perkotaan yang memiliki lebih dari satu fungsi ruang yang harmonis, namun tidak dapat secara utuh dikategorikan ke dalam salah satu zona. Zona campuran dapat berupa perumahan dan perdagangan/jasa, perumahan dan perkantoran, perdagangan/jasa dan perkantoran.

Penggunaan kategori zona campuran harus didukung oleh:

a. Adanya batas zona yang jelas yang dapat membatasi perluasan fungsi campuran lebih lanjut; dan

b. Dapat diupayakan untuk mendorong perkembangan fungsi campuran menuju ke satu zona peruntukan tertentu.

14) zona perdagangan dan jasa (K), yang meliputi:

a)  perdagangan dan jasa skala kota (K-1);

b)  perdagangan dan jasa skala WP (K-2); dan

c)  perdagangan dan jasa skala SWP (K-3).

15) zona perkantoran (KT);

16) zona pengelolaan persampahan (PP);

17) zona transportasi (TR);

18) zona pertahanan dan keamanan (HK);

19) zona peruntukkan lainnya (PL) yang meliputi:

a) tempat evakuasi sementara (PL-1);

b) tempat evakuasi akhir (PL-2);

c) instalasi pengolahan air minum (IPAM) (PL-3);

d) instalasi pengolahan air limbah (IPAL) (PL-4);

e) pengembangan nuklir (PL-5); dan

f) pergudangan (PL-6)

20) Badan jalan (BJ) (jika diperlukan pengaturan).

Dalam Raperkada, setiap zona dan sub zona disebutkan luasnya dan sebaran lokasinya berdasarkan blok. 

 

Dalam menentukan klasifikasi zona/subzona lindung dan budidaya dalam RDTR, perlu dibuat kriteria pengklasifikasian zona/subzona yang memuat sekurang-kurangnya:

a. Nama zona/subzona;

b. Kode zona/subzona;

c. Definisi zona/subzona memuat pengertian lebih lanjut tentang zona/subzona;

d. Tujuan penetapan zona memuat tujuan yang ingin dicapai untuk setiap zona/subzona lindung dan budidaya dalam RDTR;

e. Kriteria performazona/subzona merupakan kualitas atau kinerja yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan penetapan masing-masing zona/subzona; dan

f. Kriteria perencanaan zona merupakan kriteria dan standar untuk merencanakan ruang suatu zona agar tercapai tujuan penetapan zona/subzona. Khusus untuk zona perumahan harus mencantumkan

luas persil minimum dan/atau luas persil maksimum tiap zona/subzona.

Setiap SWP terdiri atas blok yang dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan sebagainya. Dalam hal luas WP relatif kecil, rencana pola ruang dapat digambarkan secara langsung ke dalam blok.  Zona dapat dibagi lagi menjadi subzona. Apabila dampaknya kecil dan tidak memiliki urgensi pengaturan, maka tidak perlu diklasifikasikan sebagai zona dan cukup dimasukkan ke dalam daftar kegiatan pada matriks ITBX.

Penjabaran zona menjadi sub zona harus memperhatikan dua hal yaitu:

a. perbedaan dasar pengertian antara zona peruntukan ruang dengan kegiatan; dan

b. hakekat zona adalah fungsi ruang, dan penjabarannya pun sebaiknya mengikuti perbedaan fungsi ruang.

Apabila WP terlalu luas untuk digambarkan ke dalam satu peta berskala 1:5.000, maka peta rencana pola tersebut dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta berdasarkan SWP. Adapun untuk zona rawan bencana, peta digambarkan secara terpisah dari peta rencana pola.

 Peta rencana pola ruang digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Rencana pola ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian informasi 1:5.000, serta mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga yang berwenang;

b. Apabila terdapat rencana pemanfaatan ruang yang berada di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maka digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan gambar potongan/penampang;

c. Rencana pola ruang dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan yang berlaku;

d. Kawasan lindung dan kawasan budidaya yang berukuran minimal 625 m2  harus tergambar dalam bentuk poligon di rencana pola ruang RDTR. Dalam hal kawasan lindung dan kawasan budidaya berukuran kurang dari 625 m2, dapat digambarkan dalam bentuk poligon jika memiliki nilai strategis dan/atau memiliki penetapan dalam bentuk peraturan perundangan;

e. Peta rencana pola ruang harus sudah menunjukkan batasan bidang tanah/persil untuk wilayah yang sudah terbangun;

f. Rencana pola ruang disajikan dalam format digital sesuai dengan Pedoman Basis Data; dan

g. Rencana pola ruang dapat digambarkan juga dalam model 3 (tiga) dimensi.

Pada rencana pola ruang, dapat berlaku ketentuan tambahan terkait holding zone, di antaranya:

a. zona hutan yang diusulkan menjadi peruntukan lain dan belum disepakati pada saat penetapan peraturan kepala daerah;

b. zona pertanian tanaman pangan yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dan diusulkan menjadi peruntukan ruang lain serta belum disepakati pada saat penetapan peraturan kepala daerah; 

c. peruntukan ruang perairan pesisir atau badan air berupa sungai yang diusulkan untuk direklamasi menjadi peruntukan ruang lain dan belum disepakati pada saat penetapan peraturan kepala daerah; dan

d. kawasan hutan yang telah memiliki IPPKH/PPKH.

Mekanisme penetapan holding zone mengacu pada ketentuan perundangundangan dan penggambarannya mengikuti ketentuan terkait basis data.

 

4.          Ketentuan Pemanfaatan Ruang

Ketentuan pemanfaatan ruang dalam RDTR merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program pengembangan WP dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan sebagaimana diatur dalam pedoman ini.

Ketentuan pemanfaatan ruang berfungsi sebagai:

a. dasar pemerintah dan masyarakat dalam pemrograman investasi pengembangan WP;

b. arahan untuk sektor dalam penyusunan program;

c. dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan dan penyusunan program tahunan untuk setiap jangka 5 (lima) tahun; dan

d. acuan bagi masyarakat dalam melakukan investasi.

Ketentuan pemanfaatan ruang disusun berdasarkan:

a. rencana pola ruang dan rencana struktur ruang;

b. ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan;

c. kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan;

d. masukan dan kesepakatan dengan para investor; dan

e. prioritas pengembangan WP dan pentahapan rencana pelaksanaan program yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah, serta rencana terpadu dan program investasi infrastruktur jangka menengah (RPI2JM).

Ketentuan pemanfaatan ruang disusun dengan kriteria:

a. mendukung perwujudan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang;

b. mendukung program penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. realistis, objektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu perencanaan;

d. konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun, baik dalam jangka waktu tahunan maupun lima tahunan; dan

e. terjaganya sinkronisasi antar program dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah kabupaten/kota.

Ketentuan pemanfaatan ruang dituangkan dalam bentuk narasi, namun khusus untuk program prioritas 5 (lima) tahun pertama disusun dalam bentuk tabel indikasi program pemanfaatan ruang prioritas yang memuat:

a. Program Pemanfaatan Ruang Prioritas

 Program pemanfaatan ruang prioritas merupakan program-program pengembangan WP yang diindikasikan memiliki bobot tinggi berdasarkan tingkat kepentingan atau diprioritaskan akan diwujudkan dalam 5 (lima) tahun pertama dan memiliki nilai strategis untuk mewujudkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang di WP sesuai tujuan penataan WP. Program pemanfaatan ruang

prioritas ini dapat memuat kelompok program sebagai berikut:

1) program perwujudan rencana struktur ruang di WP yang meliputi:

a) perwujudan pusat pelayanan;

b) perwujudan jaringan transportasi;

c) perwujudan jaringan energi;

d) perwujudan jaringan telekomunikasi;

e) perwujudan jaringan sumber daya air;

f) perwujudan jaringan air minum;

g) perwujudan pengelolaan air limbah dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);

h) perwujudan jaringan persampahan;

i) perwujudan jaringan drainase; dan/atau

j) perwujudan jaringan prasarana lainnya.

2) program perwujudan rencana pola ruang di WP, yang meliputi:

a) perwujudan zona lindung, termasuk pemenuhan kebutuhan RTH; dan

 b) perwujudan zona budi daya pada WP yang antara lain terdiri atas:

(1) perwujudan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum di WP;

(2) perwujudan ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap jenis pola ruang;

(3) perwujudan intensitas pemanfaatan ruang blok; dan/atau

(4) perwujudan tata bangunan.

3) kelompok program lainnya, disesuaikan berdasarkan kebutuhannya.

b. Lokasi

Lokasi merupakan tempat dimana usulan program akan dilaksanakan.

c. Sumber Pendanaan

Sumber pendanaan dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, APBD provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta, dan/atau masyarakat. Sumber pendanaan dapat dilengkapi dengan perkiraan kebutuhan biaya bagi masing-masing program.

d. Instansi Pelaksana

Instansi pelaksana merupakan pihak-pihak pelaksana program prioritas yang meliputi pemerintah seperti satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dinas teknis terkait, dan/atau kementerian/lembaga,

swasta, dan/atau masyarakat.

e. Waktu dan Tahapan Pelaksanaan

Program direncanakan dalam kurun waktu perencanaan 5 (lima) tahun yang dirinci setiap tahun dan masing-masing program mempunyai durasi pelaksanaan yang bervariasi sesuai kebutuhan. Penyusunan program prioritas disesuaikan dengan pentahapan jangka waktu 5 tahunan RPJP daerah kabupaten/kota.

Contoh tabel indikasi program pemanfaatan ruang prioritas dapat dilihat pada Lampiran IV.4.

 

5. PERATURAN ZONASI

 

PZ disusun untuk setiap zona peruntukan baik zona budidaya maupun zona lindung dengan memperhatikan esensi fungsinya yang ditetapkan dalam rencana rinci tata ruang dan bersifat mengikat/regulatory. Dalam sistem regulatory, seluruh kawasan perkotaan terbagi habis ke dalam zona peruntukan ruang yang tergambarkan dalam peta rencana pola ruang. Pada setiap zona peruntukan akan berlaku satu aturan dasar tertentu yang mengatur perpetakan, kegiatan, intensitas ruang dan tata bangunan. Peraturan zonasi merupakan ketentuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RDTR dan berfungsi sebagai:

a. perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang;

b. acuan dalam pemberian rekomendasi Keseuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, termasuk di dalamnya air right development dan pemanfaatan ruang di bawah tanah;

c. acuan dalam pemberian insentif dan disinsentif;

d. acuan dalam pengenaan sanksi; dan

e. rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi investasi.

 

Peraturan zonasi bermanfaat untuk:

a. menjamin dan menjaga kualitas ruang WP minimal yang ditetapkan;

b. menjaga kualitas dan karakteristik zona dengan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik zona; dan

c. meminimalkan gangguan atau dampak negatif terhadap zona.

 

Peraturan zonasi memuat aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar merupakan persyaratan pemanfaatan ruang meliputi, ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana minimal, ketentuan khusus, dan/atau ketentuan pelaksanaan.

Teknik pengaturan zonasi adalah ketentuan lain dari zonasi konvensional yang dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan aturan zonasi dan ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penerapan peraturan zonasi dasar, mempertimbangkan kondisi kontekstual kawasan dan arah penataan ruang. 

 

a. Aturan Dasar (Materi Wajib)

1) Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan

Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan adalah ketentuan yang berisi kegiatan dan penggunaan lahan yang diperbolehkan, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat secara terbatas, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat tertentu, dan kegiatan dan penggunaan lahan yang tidak diperbolehkan pada zona lindung maupun zona budi daya. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan dirumuskan berdasarkan ketentuan maupun standar yang terkait dengan pemanfaatan ruang, ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan.

 

Ketentuan teknis zonasi terdiri atas:

Klasifikasi I = pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan

Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang yang direncanakan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I.

Klasifikasi T = pemanfaatan bersyarat secara terbatas

Pemanfaatan bersyarat secara terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pembatasan pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam subzone maupun pembatasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan;

b) pembatasan luas, baik dalam bentuk pembatasan luas maksimum suatu kegiatan di dalam subzona maupun di dalam persil, dengan tujuan untuk tidak mengurangi dominansi pemanfaatan ruang di sekitarnya; dan

c) pembatasan jumlah pemanfaatan, jika pemanfaatan yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan pertimbanganpertimbangan khusus.

 

Contoh:

Dalam sebuah zona perumahan yang berdasarkan standar teknis telah cukup jumlah fasilitas peribadatannya, maka aktivitas rumah ibadah termasuk dalam klasifikasi T.

 

Klasifikasi B = pemanfaatan bersyarat tertentu

Pemanfaatan bersyarat tertentu bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum dan persyaratan khusus, dapat dipenuhi dalam bentuk inovasi atau rekayasa teknologi. Persyaratan dimaksud diperlukan mengingat pemanfaatan ruang tersebut memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitarnya.

Contoh persyaratan umum antara lain:

a) dokumen AMDAL;

b) dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); dan

c) pengenaan disinsentif misalnya biaya dampak pembangunan (development impact fee).

Contoh persyaratan khusus misalnya diwajibkan menyediakan tempat parkir, menambah luas RTH, dan memperlebar pedestrian.

 

Klasifikasi X = pemanfaatan yang tidak diperbolehkan

Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang bersangkutan.

 

Penentuan I, T, B dan X untuk kegiatan dan penggunaan lahan pada suatu zonasi didasarkan pada:

a) Pertimbangan Umum

 Pertimbangan umum berlaku untuk semua jenis penggunaan lahan, antara lain kesesuaian dengan arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW kabupaten/kota, keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya dalam suatu wilayah, kelestarian lingkungan (perlindungan dan pengawasan terhadap pemanfaatan air, udara, dan ruang bawah tanah), perbedaan sifat kegiatan bersangkutan terhadap fungsi zona terkait, definisi zona, kualitas local minimum, toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak terhadap peruntukan yang ditetapkan (misalnya penurunan estetika lingkungan, penurunan kapasitas jalan/lalu-lintas, kebisingan, polusi limbah, dan restriksi sosial), serta kesesuaian dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

b) Pertimbangan Khusus

 Pertimbangan khusus berlaku untuk masing-masing karakteristik guna lahan, kegiatan atau komponen yang akan dibangun. Pertimbangan khusus dapat disusun berdasarkan rujukan mengenai ketentuan atau standar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, rujukan mengenai ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan rujukan mengenai ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan. Selain itu perlu dipertimbangkan kondisi yang harus dipenuhi agar kegiatan dapat berlangsung pada zona terkait yang antara lain meliputi:

(1) prosedur administrasi yang harus diikuti;

(2) kajian kelayakan lingkungan yang harus dipenuhi;

(3) prasarana dan/atau sarana tambahan yang harus diadakan untuk menunjang jegiatan tersebut;

(4) pembatasan yang harus diberlakukan, terkait:

(a) luas fisik pemanfaatan ruang;

(b) kaian dengan kegiatan lain di sekitar

(c) jumlah tenaga kerja;

(d) waktu operasional;

(e) masa usaha;

(f) arahan lokasi spesifik;

(g) jumlah kegiatan serupa;

(h) pengembangan usaha kegiatan lebih lanjut; dan

(i) penggunaan utilitas untuk kegiatan tersebut harus terukur dan tidak menimbulkan gangguan pada zona tersebut.

(5) persyaratan terkait estetika lingkungan; dan

(6) persyaratan lain yag perlu ditambahkan.

2) Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang

Intensitas pemanfaatan ruang adalah ketentuan teknis tentang kepadatan zona terbangun yang dipersyaratkan pada zona tersebut dan diukur melalui Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.  Ketentuan   intensitas   pemanfaatan   ruang   adalah   ketentuan   mengenai   intensitas pemanfaatan ruang yang diperbolehkan pada suatu zona, yang meliputi:

a) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Maksimum

 KDB adalah koefisien perbandingan antara luas lantai dasar bangunan gedung dengan luas persil/kavling. KDB maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pengisian atau peresapan air, kapasitas drainase, dan jenis penggunaan lahan. KDB maksimum dinyatakan dalam satuan persentase, misalnya di sebuah zona dengan KDB 60%, maka properti yang dapat dibangun luasnya tak lebih dari 60% dari luas lahan.

b) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Minimum dan Maksimum

 KLB adalah koefisien perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas persil/kavling.  KLB minimum dan maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan harga lahan, ketersediaan dan tingkat pelayanan prasarana, dampak atau kebutuhan terhadap prasarana tambahan, serta ekonomi, sosial dan pembiayaan.

c) Koefisien Dasar Hijau (KDH) Minimal

 KDH adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas persil/kavling. KDH minimal digunakan untuk mewujudkan RTH dan diberlakukan secara umum pada suatu zona. KDH minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pengisian atau peresapan air dan kapasitas drainase. KDH minimal dinyatakan dinyatakan dalam satuan persentase, misalnya di sebuah zona dengan KDH 20%.

d) Luas Kavling Minimum

Untuk zona perumahan, diatur luasan kavling minimum yang disepakati oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dengan kantor pertanahan setempat. 

e) Koefisien Tapak Basement (KTB) Maksimum

 KTB maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan KDH minimal. KTB adalah angka prosentasi luas tapak bangunan yang dihitung dari proyeksi dinding terluar bangunan dibawah permukaan tanah terhadap luas perpetakan atau lahan perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW, RDTR dan PZ.

f) Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) Maksimum

 KWT adalah perbandingan antara luas wilayah terbangun dengan luas seluruh wilayah. KWT ditetapkan dengan mempertimbangkan:

(1) Tingkat pengisian peresapan air/water recharge;

(2) Jenis penggunaan lahan; dan

(3) Kebutuhan akan buffer zone.

Selain ketentuan di atas, dapat ditambahkan ketentuan Kepadatan Bangunan atau Unit Maksimum yang ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor kesehatan (ketersediaan air bersih, sanitasi, sampah, cahaya matahari, aliran udara, dan ruang antar bangunan), faktor sosial (ruang terbuka privat, privasi, serta perlindungan dan jarak tempuh terhadap fasilitas lingkungan), faktor teknis (resiko kebakaran dan keterbatasan lahan untuk bangunan atau rumah), dan faktor ekonomi (biaya lahan, ketersediaan, dan ongkos penyediaan pelayanan dasar).

Perumusan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dilakukan berdasarkan pada:

a) ketentuan kegiatan dalam zona; dan

b) peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang mendetailkan lebih lanjut intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota, atau juga bisa berisi sama dengan intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota. Intensitas pemanfaatan ruang yang terdapat dalam ketentuan intensitas pemanfaatan ruang dapat didetailkan kembali lebih lanjut dalam RTBL.

 

3) Ketentuan Tata Bangunan

Ketentuan tata bangunan adalah ketentuan yang mengatur bentuk, besaran, peletakan, dan tampilan bangunan pada suatu zona untuk menjaga keselamatan dan keamanan bangunan. Komponen ketentuan tata bangunan minimal terdiri atas:

a) Ketinggian bangunan (TB) maksimum

 Ketinggian bangunan adalah tinggi maksimum bangunan gedung yang diizinkan pada lokasi tertentu dan diukur dari jarak maksimum puncak atap bangunan terhadap (permukaan) tanah yang dinyatakan dalam satuan meter.

b) Garis sempadan bangunan (GSB) minimum

 GSB adalah jarak minimum antara garis pagar terhadap dinding bangunan terdepan. GSB ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan, resiko kebakaran, kesehatan, kenyamanan, dan estetika.

c) Jarak bebas antar bangunan minimal yang harus memenuhi ketentuan tentang jarak bebas yang ditentukan oleh jenis peruntukan dan ketinggian bangunan.

d) Jarak bebas samping (JBS) dan jarak bebas belakang (JBB)  JBB adalah jarak minimum antara garis batas petak belakang terhadap dinding bangunan terbelakang. Jarak Bebas Samping (JBS) merupakan jarak minimum antara batas petak samping terhadap dinding bangunan terdekat.

Selain itu, ketentuan tata bangunan dapat memuat tampilan bangunan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan warna bangunan, bahan bangunan, tekstur bangunan, muka bangunan, gaya bangunan, keindahan bangunan, serta keserasian bangunan dengan lingkungan sekitarnya.  Ketentuan tata bangunan mendetailkan lebih lanjut tata bangunan yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota, atau juga dapat berisi sama dengan tata bangunan yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota. Tata bangunan yang terdapat dalam ketentuan tata bangunan ruang dapat didetailkan kembali lebih lanjut dalam RTBL.

 

4) Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimal

Ketentuan prasarana dan sarana pendukung minimal mengatur jenis prasarana dan sarana pendukung minimal apa saja yang harus ada pada setiap zona peruntukan. Jenis prasarana dan sarana minimal ditentukan berdasarkan sifat dan tuntutan kegiatan utama pada zona peruntukannya. Sedangkan volume atau kapasitasnya ditentukan berdasarkan pada perkiraan jumlah orang yang menghuni zona peruntukan tersebut. Ketentuan prasarana dan sarana minimal berfungsi sebagai kelengkapan dasar fisik lingkungan dalam rangka menciptakan lingkungan yang nyaman melalui penyediaan prasarana dan sarana yang sesuai agar zona berfungsi secara optimal. Ketentuan prasarana dan sarana minimum sekurangnya harus mengatur jenis prasarana dan sarana pendukung untuk lima zona budidaya utama, perumahan, komersial, SPU, industri dan zona hijau budidaya. Prasarana dan sarana minimum pada Zona Lainnya diatur mengikuti aturan pada kelima zona di atas. Prasarana yang diatur dalam peraturan zonasi dapat berupa prasarana parkir, aksesibilitas untuk difabel, jalur pedestrian, jalur sepeda, bongkar muat, dimensi jaringan jalan, kelengkapan jalan, dan kelengkapan prasarana lainnya yang diperlukan. Ketentuan prasarana dan sarana minimal ditetapkan sesuai dengan ketentuan mengenai prasarana dan sarana yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

 

5) Ketentuan Khusus

Ketentuan khusus adalah ketentuan yang mengatur pemanfaatan zona yang memiliki fungsi khusus dan diberlakukan ketentuan khusus sesuai dengan karakteristik zona dan kegiatannya. Selain itu, ketentuan pada zona-zona yang digambarkan di peta khusus yang memiliki pertampalan (overlay) dengan zona lainnya dapat pula dijelaskan disini.

Ketentuan khusus merupakan aturan tambahan yang ditampalkan (overlay) di atas aturan dasar karena adanya hal-hal khusus yang memerlukan aturan tersendiri karena belum diatur di dalam aturan dasar.

Komponen ketentuan khusus antara lain meliputi:

a) kawasan keselamatan operasi penerbangannya (KKOP);

b) lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B);

c) kawasan rawan bencana;

d) kawasan berorientasi transit (TOD);

e) tempat evakuasi bencana (TES dan TEA);

f) pusat penelitian (observatorium, peluncuran roket, dan lainlain);

g) kawasan cagar budaya;

h) kawasan resapan air;

i) kawasan sempadan;

j) kawasan pertahanan dan keamanan (hankam);

k) kawasan karst;

l) kawasan pertambangan mineral dan batubara;

m) kawasan migrasi satwa; dan

n) ruang dalam bumi.

Ketentuan mengenai penerapan aturan khusus pada zona-zona khusus di atas ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang. Ketentuan khusus dapat menganulir aturan yang ada pada aturan dasar sesuai dengan tuntutan kekhususannya.

6) Ketentuan Pelaksanaan

Ketentuan pelaksanaan adalah aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan peraturan daerah RDTR dan PZ yang terdiri atas:

a) Ketentuan variansi pemanfaatan ruang yang merupakan ketentuan yang memberikan kelonggaran untuk menyesuaikan dengan kondisi tertentu dengan tetap mengikuti ketentuan massa ruang yang ditetapkan dalam peraturan zonasi. Hal ini dimaksudkan untuk menampung dinamika pemanfaatan ruang mikro dan sebagai dasar antara lain transfer of development rights (TDR) dan air right development yang dapat diatur lebih lanjut dalam RTBL.

b) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif yang merupakan ketentuan yang memberikan insentif bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak positif bagi masyarakat, serta yang memberikan disinsentif bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Insentif dapat berbentuk kemudahan perizinan, keringanan pajak, kompensasi, imbalan, subsidi prasarana, pengalihan hak membangun, dan ketentuan teknis lainnya. Sedangkan disinsentif dapat berbentuk antara lain pengetatan persyaratan, pengenaan pajak dan retribusi yang tinggi, pengenaan denda, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, atau kewajiban untuk penyediaan prasarana dan sarana kawasan.

c) Ketentuan untuk penggunaan lahan yang sudah ada dan tidak sesuai dengan peraturan zonasi. Ketentuan ini berlaku untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan RDTR/peraturan zonasi, dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yangbenar.

d) Aturan peralihan yang mengatur status pemanfaatan ruang yang berbeda dengan fungsi ruang zona peruntukannya. Untuk pemanfaatan ruang tertentu yang memenuhi persyaratan dapat mengajukan persetujuan “legal nonconforming use” atau persetujuan “conditional use.”

 

b. Teknik Pengaturan Zonasi (Materi Pilihan)

Teknik pengaturan zonasi berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi dasar serta memberikan pilihan penanganan pada lokasi tertentu sesuai dengan karakteristik, tujuan pengembangan, dan permasalahan yang dihadapi pada zona tertentu, sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat dicapai secara lebih efektif. Teknik pengaturan zonasi adalah aturan yang disediakan untuk mengatasi kekakuan aturan dasar di dalam pelaksanaan pembangunan. Penerapan teknik pengaturan zonasi tidak dapat dilakukan secara serta-merta, melainkan harus direncanakan sejak awal mengenai teknik apa saja yang akan diaplikasikan dan didukung oleh perangkat dan kelembagaan yang auditable. Teknik pengaturan zonasi yang dikenal antara lain:

1) Transfer development right (TDR)

 TDR adalah teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak lain, sehingga si pembeli dapat membangun propertinya dengan intensitas lebih tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi penggunaan lahan pertanian atau penggunaan lahan hijau lainnya dari konversi penggunaan lahan, dimana pemilik lahan pertanian/hijau dapat mempertahankan kegiatan pertaniannya dan memperoleh uang sebagai ganti rugi atas haknya untuk membangun.  Di Indonesia, TDR tidak dapat digunakan untuk melindungi lahan pertanian ataupun lahan hijau karena pada lahan pertanian dan lahan hijau budidaya sudah tidak diperkenankan ada kegiatan lain (bangunan) dan intensitas pemanfaatan ruang nol. TDR digunakan untuk menambah intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan terbangun dengan kriteria sebagai berikut:

a) hanya dapat diaplikasikan sebagai upaya terakhir setelah tidak ada lagi teknik pengaturan zonasi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang;

b) diaplikasikan pada satu blok peruntukan yang sama. Bila diaplikasikan pada zona yang sama namun antara blok peruntukan berbeda, harus didahului dengan analisis daya dukung daya tampung terkait dengan perubahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan yang menerima tambahan intensitas ruang; dan

c) hanya dapat diaplikasikan pada zona komersial dan zona perkantoran.

2) Bonus zoning

Bonus zoning adalah teknik pengaturan zonasi yang memberikan izin kepada pengembang untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang melebihi aturan dasar, dengan imbalan (kompensasi) pengembang tersebut harus menyediakan sarana publik tertentu, misalnya RTH, terowongan penyeberangan dsb.

Penerapan bonus zoning harus memenuhi kriteria berikut:

a) diberikan pada pengembang yang belum atau tidak pernah menambah intensitas pemanfaatan ruangnya;

b) hanya dapat diberlakukan pada zona komersial, zona perkantoran, dan zona perumahan, khususnya untuk rumah susun; dan

c) harus didahului dengan analisis daya dukung daya tamping lingkungan untuk mengetahui:

(1) penambahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan agar masih dalam daya dukung

lingkungannya;

(2) dampak negatif yang mungkin ditimbulkan beserta besar kerugiannya; dan

(3) kompensasi pembangunan sarana publik. Kompensasi pembangunan sarana publik diutamakan

untuk dilaksanakan pada sub kawasan dimana bonus zoning diterapkan, namun dapat juga dilaksanakan pada kawasan lainnya dengan persyaratan tertentu berdasarkan keputusan Pemerintah Daerah.

Contoh:

Pembangunan Jalan Simpang Susun Semanggi yang didanai oleh kompensasi dari perhitungan penambahan ketinggian bangunan beberapa gedung di sekitar Simpang Semanggi.

3) Conditional uses

Conditional uses adalah teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan suatu pemanfaatan ruang yang dianggap penting atau diperlukan keberadaannya, untuk dimasukkan ke dalam satu zona peruntukan tertentu sekalipun karakteristiknya tidak memenuhi kriteria zona peruntukan tersebut. Pemerintah daerah dapat menerbitkan izin pemanfaatan ruang bersyarat atau Conditional Use Permit (CUP) setelah melalui pembahasan danpertimbangan Forum Penataan Ruang. CUP diberikan dengan kriteria:

a) Pemanfaatan ruang yang akan diberi izin memiliki tingkat kepentingan yang nyata bagi kepentingan orang banyak atau kawasan perkotaan secara keseluruhan;

b) Pemanfaatan ruang yang akan diberi izin tidak mengganggu fungsi ruang di sekitarnya; dan

c) Pemberian izin harus melalui pertimbangan Forum Penataan Ruang.

Contoh:

Keberadaan mini market, bengkel dan salon di zona perumahan diperbolehkan apabila aktivitas tersebut tidak menimbulkan gangguan yang signifikan.

4) Zona Performa (Performance zoning)

Zona Performa adalah TPZ yang merupakan ketentuan pengaturan pada satu atau beberapa zona/subzona dalam satu blok atau beberapa blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan prespektif, namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan. Zona performa didesain untuk menyusun standarstandar

 

kondisi fisik yang terukur yang harus diikuti dengan standar kinerja yang mengikat, misalkan tingkat pelayanan (Level of Service) jalan minimum, tingkat pencemaran maksimum, dan lainnya.

5) Zona Fiskal (Fiscal zoning)

Zona Fiskal adalah TPZ yang ditetapkan pada satu zona atau beberapa zona yang berorientasi kepada peningkatan pendapatan daerah.

6) Zona Pemufakatan Pembangunan (Negotiated Development)

Pemufakatan pembangunan adalah TPZ yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang diberikan dalam bentuk peningkatan intensitas pemanfaatan ruang yang didasarkan pada pemufakatan pengadaan lahan untuk infrastruktur dan/atau fasilitas publik. Dapat diterapkan sebagai bentuk insentif imbalan.

7) Zona Pertampalan Aturan (Overlay Zone)

Pertampalan aturan (overlay zone) adalah TPZ yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang berupa pembatasan intensitas pembangunan melalui penerapan dua atau lebih aturan. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan tertentu dalam perizinan.

8) Zona Ambang (Floating Zone)

Zona Ambang adalah TPZ yang merupakan ketentuan pengaturan pada blok peruntukan yang diambangkan pemanfaatan ruangnya dan peruntukan ruangnya ditentukan kemudian berdasarkan perkembangan pemanfaatan ruang pada blok peruntukan tersebut.

9) Zona Banjir (Flood Plain Zone)

Zona Banjir adalah TPZ yang merupakan ketentuan pengaturan pada zona rawan banjir untuk mencegah atau mengurangi kerugian akibat banjir. Penerapan zona banjir sekurangkurangnya memenuhi kriteria lokasi yang ditetapkan teridentifikasi adanya rawan bencana banjir yang berdasarkan analisis banjir tahunan hingga jangka waktu tahunan tertentu dan berdasarkan analisis kerentanan maupun risiko bencana banjir.

10) TPZ Khusus

TPZ Khusus adalah TPZ yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan karakteristik dan/atau objek khusus yang dimiliki Zona, yang penetapan lokasinya dalam peraturan zonasi. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan tertentu dalam perizinan.

11) Zona Pengendalian Pertumbuhan (Growth Control)

Pengendalian pertumbuhan adalah TPZ yang diterapkan melalui pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif persyaratan tertentu dalam perizinan.

12) Zona Pelestarian Cagar Budaya

Pelestarian cagar budaya adalah TPZ yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu. Dapat berupa persyaratan khusus dalam perizinan untuk tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.

13) TPZ Lainnya

TPZ lainnya yang tidak termasuk pada jenis TPZ (kode penulisan a-l) dapat didefinisikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah daerah. Apabila terdapat lebih dari satu TPZ lainnya, dapat dituliskan dengan kode m1, m2, m3 dst.

 

Selain teknik-teknik pengaturan zonasi di atas, dapat juga diterapkan teknik pengaturan zonasi lain sesuai dengan kebutuhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Permen ATR Nomer 11 Tahun 2021 tentang TATA CARA PENYUSUNAN, PENINJAUAN KEMBALI, REVISI, DAN PENERBITAN PERSETUJUAN SUBSTANSI RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, KOTA, DAN RENCANA DETAIL TATA RUANG.