Minggu, 24 April 2022

PEDOMAN PENYUSUNAN PERKIRAAN BIAYA PEKERJAAN KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

1. Penyusunan Perkiraan Biaya Pekerjaan dilakukan untuk menghasilkan HPP (Harga Perkiraan Perancang), rencana anggaran biaya, atau HPS (Harga Perkiraan Sendiri).

2.      Penyusunan Perkiraan Biaya Pekerjaan dilakukan melalui:

a.       AHSP (Analisis Harga Satuan Pekerjaan) adalah perhitungan kebutuhan biaya Tenaga Kerja, bahan, dan peralatan untuk mendapatkan harga satuan untuk satu jenis pekerjaan tertentu.

b.      analisis Biaya Penerapan SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi)

3.  AHSP dilakukan untuk menghasilkan harga satuan pekerjaan, yang merupakan jumlah dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Dalam hal pekerjaan bersifat lumsum, besaran harga satuan pekerjaan tidak memperhitungkan biaya tidak langsung.

4.     Penyusunan biaya langsung dilakukan melalui analisis biaya langsung berdasarkan analisis HSD (Harga Satuan Dasar) dan penghitungan nilai koefisien. Dalam melakukan analisis biaya langsung mempertimbangkan faktor paling sedikit:

a.       lokasi pekerjaan;

b.      jarak dari tambang terbuka material (quarry) ke lokasi pekerjaan, basecamp, asphalt mixing plant, batching plant, dan/atau pabrik pemecahan batu (stone crushing plant);

c.       kondisi jalan ke lokasi pekerjaan;

d.      metode kerja yang mempertimbangkan Keselamatan Konstruksi;

e.      rencana detail desain; dan

f.        spesifikasi teknis.

5.   Penghitungan Analisis HSD dan nilai koefisien dirinci berdasarkan data desain, asumsi sesuai dengan kaidah keteknikan yang digunakan, dan metode kerja yang berkeselamatan.

6.      Biaya langsung merupakan jumlah dari biaya:

a.       tenaga kerja; terdiri atas Tenaga Kerja Konstruksi dan tenaga kerja nonterampil.

b.      bahan; terdiri atas bahan baku, bahan olahan, dan bahan jadi.

c.       Peralatan, terdiri atas peralatan mekanis dan semimekanis.

7.      Tenaga kerja yang diperhitungkan untuk setiap peralatan mekanis paling banyak 2 (dua) orang.

8.    Dalam hal peralatan mekanis yang digunakan berupa pabrik (plant) dan peralatan penghamparan, tenaga kerja diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan.

9.     Biaya tidak langsung merupakan jumlah dari biaya:

a.       Biaya Umum; termasuk biaya perbaikan dan penanganan dampak dari kecelakaan konstruksi.

b.      keuntungan

10.  Besaran biaya tidak langsung dihitung sebesar 10% (sepuluh persen) hingga 15% (lima belas persen) dari biaya langsung

11.  Analisis HSD terdiri atas:

a.       HSD tenaga kerja;

b.      HSD bahan; dan

c.       HSD peralatan.

12.  HSD tenaga kerja diperoleh dari:

a.       ketentuan pemerintah daerah setempat berupa upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten/kota di luar pajak;

b.      Badan Pusat Statistik; atau

c.       data hasil survei dan data lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

13.  HSD tenaga kerja terdiri atas upah pokok dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dihitung untuk setiap tenaga kerja.

14.  HSD bahan terdiri atas:

a.       HSD bahan baku;

b.      bahan olahan; dan/atau

c.       HSD bahan jadi.

15.  HSD bahan diperoleh dari ketentuan yang terdiri atas:

a.       penetapan oleh kementerian/Lembaga atau pemerintah daerah setempat;

b.      data hasil analisis;

c.       data hasil survei; atau

d.      data lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

16.  Penyusunan HSD bahan harus dihitung dengan mengutamakan penggunaan produk dalam negeri, tingkat komponen dalam negeri, dan produk ramah lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

17.  HSD peralatan meliputi biaya pasti dan biaya operasi.

18.  Biaya pasti diperoleh dengan memperhitungkan:

a.       harga pokok alat;

b.      nilai sisa alat;

c.       faktor angsuran atau pengembalian modal;

d.      biaya pengembalian modal;

e.      biaya asuransi alat dan pajak; dan

f.        jumlah jam kerja alat dalam 1 (satu) tahun.

19.  Biaya operasi diperoleh dengan memperhitungkan:

a.       biaya bahan bakar;

b.      biaya minyak pelumas dan/atau oli pemanas;

c.       biaya perawatan;

d.      biaya perbaikan;

e.      upah operator; dan

f.        upah pembantu operator.

20.  Perhitungan biaya operasi dipengaruhi oleh jumlah jam kerja selama 1 (satu) tahun.

21.  Dalam penyusunan HSD peralatan, faktor efisiensi alat yang tertinggi digunakan untuk memperoleh kapasitas maksimum peralatan.

22.  Analisis biaya langsung dihitung menggunakan nilai koefisien terdiri atas:

a.       Nilai Koefisien Tenaga Kerja Konstruksi;

b.      Nilai Koefisien Bahan; dan

c.       Nilai Koefisien Peralatan.

23.  Nilai Koefisien Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada huruf a dipengaruhi oleh pengalaman dan tingkat keahlian atau kemampuan menyelesaikan pekerjaan per satuan pengukuran.

24.  Nilai Koefisien Bahan sebagaimana dimaksud pada huruf b dipengaruhi oleh:

a.       spesifikasi teknik;

b.      faktor kehilangan bahan;

c.       faktor konversi volume bahan;

d.      kuantitas; dan

e.      berat volume atau berat isi bahan.

25.  Nilai Koefisien Peralatan dipengaruhi oleh:

a.       kapasitas alat;

b.      faktor alat;

c.       waktu siklus kerja alat; dan

d.      kondisi lapangan.

26.  Untuk Pekerjaan Manual, nilai koefisien Peralatan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Sedangkan Untuk Pekerjaan Mekanis dan Semimekanis, nilai koefisien diperoleh melalui perhitungan analisis produktivitas dan disesuaikan dengan tipe peralatan, karakteristik fisik bahan/material, metode kerja yang digunakan, dan kondisi lapangan pekerjaan.

27.  AHSP terdiri atas:

a.       AHSP bidang umum;

b.      AHSP bidang sumber daya air;

c.       AHSP bidang bina marga; dan

d.      AHSP bidang cipta karya dan perumahan.

28.  AHSP bidang umum mencakup AHSP yang berlaku di semua bidang sebagaimana dimaksud huruf b sampai dengan huruf d.

29.  AHSP bidang sumber daya air disusun berdasarkan jenis pekerjaan yang terdiri atas:

a.       pekerjaan pintu air dan peralatan hidromekanik;

b.      bendung;

c.       jaringan irigasi;

d.      pengaman sungai;

e.      bendungan dan embung;

f.        pengaman pantai;

g.       infrastruktur rawa; dan

h.      infrastruktur air tanah dan air baku.

30.  Untuk AHSP bidang sumber daya air, Biaya Penerapan SMKK menjadi pokok pekerjaan tersendiri pada setiap jenis pekerjaan.

31.  AHSP bidang bina marga sebagaimana dimaksud pada huruf c disusun untuk pekerjaan jalan, terowongan, dan jembatan sesuai dengan spesifikasi umum dan spesifikasi khusus jika diperlukan. Spesifikasi umum terdiri atas:

a.       umum;

b.      penerapan SMKK;

c.       drainase;

d.      pekerjaan tanah dan geosintetik;

e.      pekerjaan preventif;

f.        perkerasan berbutir dan perkerasan beton semen;

g.       perkerasan aspal;

h.      struktur;

i.         rehabilitasi jembatan;

j.        pekerjaan harian dan lain-lain; dan

k.       pekerjaan pemeliharaan.

32.  AHSP bidang cipta karya dan perumahan sebagaimana dimaksud pada huruf d disusun untuk pekerjaan:

a.       persiapan;

b.      penerapan SMKK;

c.       struktur;

d.      arsitektur;

e.      mekanikal;

f.        elektrikal;

g.       plambing;

h.      lansekap dan kawasan;

i.         eksterior bangunan; dan

j.        lain-lain.

33.  Dalam hal AHSP yang diperlukan belum terdapat pada bidangnya, penyusunan harga satuan pekerjaan menggunakan:

a.       AHSP pada kelompok bidang ;

b.      referensi lain berdasarkan pendekatan standar nasional Indonesia; atau

c.       perhitungan teknis dan analisis produktivitas berdasarkan kaidah teknis yang disetujui oleh pimpinan tinggi madya dan unit organisasi yang membidangi jasa konstruksi.

34.  Penggunaan AHSP untuk Pekerjaan Konstruksi harus disesuaikan dengan spesifikasi teknis dan jenis infrastruktur yang akan dibangun. Dalam hal Pekerjaan Konstruksi dilaksanakan oleh penyedia, penggunaaan AHSP dilakukan pada tahap:

a.       perancangan; AHSP digunakan untuk penyusunan HPP.

b.      perencanaan pengadaan; AHSP digunakan untuk penyusunan rencana anggaran biaya.

c.       persiapan pengadaan; AHSP digunakan untuk:

Ø  penyusunan dan penetapan HPS; dan/atau

Ø  penghitungan koefisien komponen untuk penyesuaian harga.

d.      pelaksanaan pemilihan penyedia jasa; AHSP dapat digunakan untuk melakukan evaluasi kewajaran harga dan/atau evaluasi harga satuan timpang.

e.      pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi, AHSP digunakan untuk negosiasi:

Ø  penambahan pokok pekerjaan baru;

Ø  penambahan kuantitas pekerjaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari kuantitas awal; dan/atau

Ø  penambahan kuantitas pekerjaan yang mempunyai harga satuan timpang.

35.  Penggunaan AHSP sebagaimana dimaksud diatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pengadaan barang/jasa.

36.  Penggunaan AHSP pada Pekerjaan Konstruksi terintegrasi mengacu pada HSP Pekerjaan Konstruksi sejenis dan/atau tipikal yang telah dilaksanakan sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi karakteristik pekerjaan.

37.  Penggunaan AHSP pada Pekerjaan Konstruksi secara swakelola maupun padat karya memperhatikan jenis pekerjaan, metode pelaksanaan, peralatan, kondisi lapangan, keterampilan, dan kebutuhan tenaga kerja.

38.  Analisis Biaya Penerapan SMKK dilakukan untuk menghasilkan Biaya Penerapan SMKK yang merupakan biaya tersendiri dan bukan bagian dari Biaya Umum. Analisis biaya penerapan SMKK dilakukan berdasarkan:

a.       uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, penetapan risiko, dan pengendalian bahaya dalam RKK;

b.      pengendalian terkait lalu lintas di dalam RMLLP, jika ada; dan

c.       pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup di dalam RKPPL, jika ada.

39.  Biaya Penerapan SMKK dimasukkan sebagai pokok pekerjaan tersendiri di dalam suatu Pekerjaan Konstruksi. Biaya Penerapan SMKK harus dimasukkan dengan besaran sesuai kebutuhan pada:

a.       daftar kuantitas dan harga; atau

b.      daftar keluaran dan harga.

40.  Analisis biaya Penerapan SMKK mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan bidang SMKK.

41.  Penyusunan HPS menggunakan aplikasi system informasi HPS yang merupakan bagian dari system informasi jasa konstruksi terintegrasi. Sistem informasi HPS merupakan sarana dalam bentuk aplikasi basis data untuk menghitung HPS oleh para pihak yang diberi akses. Pengelolaan aplikasi sistem informasi HPS dilakukan oleh unit organisasi yang membidangi jasa konstruksi. Dalam hal aplikasi sistem informasi HPS tidak dapat digunakan, penghitungan HPS dapat dilakukan dengan cara manual.

 

 

 

 

 

Sumber:Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2022 Tentang PEDOMAN PENYUSUNAN PERKIRAAN BIAYA PEKERJAAN KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT 

Rabu, 20 April 2022

Arahan Pengembangan Prasarana Perdagangan

A.      Perencanaan Kebutuhan Sarana Perdagangan

Sarana perdagangan dan niaga tidak selalu berdiri sendiri dan terpisah dengan sarana yang lain. Dasar penyediaan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayani juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit kelompok lingkungan yang ada. Tentunya hal ini dapat terkait dengan bentukan grup bangunan atau blok yang nantinya terbentuk sesuai dengan konteks lingkungannya. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu.

1.       Proyeksi Jumlah Penduduk

Penduduk adalah faktor yang sangat penting diperhatikan dalam perencanaan kebutuhan sarana perdagangan, jumlah penduduk dapat dilihat sebagai faktor produksi yang dapat dialokasikan untuk kegiatan berbelanja sehingga dapat dicapai kemakmuran yang maksimal bagi suatu wilayah. Dalam konteks wilayah maka perencanaan adalah 10 tahun yang akan datang. Dengan demikian, kita perlu memprediksi tentang besarnya jumlah penduduk pada wilayah perencanaan di masa yang akan datang.

Metode proyeksi penduduk yang digunakan adalah metode ekstrapolasi dengan melihat kecenderungan pertumbuhan penduduk di masa lalu dan melanjutkan kecenderungan tersebut untuk masa yang akan datang sebagai proyeksi (Tarigan R, 2010).

2.       Proyeksi Kebutuhan Jenis dan Jumlah Sarana Perdagangan

Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis sarana perdagangan (SNI 03-1733-2004) adalah:

a. Warung dan toko, skala pelayanan 250 jiwa/unit yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari.

b. Pertokoan, skala pelayanan 6.000 jiwa/unit yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel, foto copy, dan sebagainya.

c. Pusat perbelanjaan lokal seperti pusat pertokoan dan pasar lingkungan, skala pelayanan unit kelurahan 30.000 jiwa/unit yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah-buahan, beras, tepung, bahan-bahan pakaian, pakaian, barang barang kelontong, alat-alat pendidikan, alat-alat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel, dan sebagainya.

d. Pusat perbelanjaan distrik dan niaga, skala pelayanan unit kecamatan 120.000 jiwa/unit yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, unit-unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan, serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri kecil, dan lain sebagainya.

 

3.       Kebutuhan Ruang dan Lahan

Kebutuhan ruang dan lahan untuk sarana perdagangan ini akan berkaitan juga dengan daya dukung lingkungan dan jalan yang ada di sekitar bangunan sarana tersebut, besarnya kebutuhan ruang dan lahan menurut penggolongan jenis sarana perdagangan adalah sebagai berikut:

a. Warung dan toko luas lantai yang dibutuhkan ± 50 m² termasuk gudang kecil, apabila merupakan bangunan tersendiri atau tidak bersatu dengan rumah tinggal, luas tanah yang dibutuhkan adalah 100 m².

b. Pertokoan luas lantai yang dibutuhkan 1.200 m², sedangkan luas tanah yang dibutuhkan 3.000 m². Bangunan pertokoan ini harus dilengkapi dengan fasilitas seperti tempat parkir dan pos keamanan.

c. Pusat pertokoan dan pasar lingkungan luas tanah yang dibutuhkan 10.000 m², dan harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut: (1) tempat parkir; (2) terminal kecil atau tempat pemberhentian kendaraan; (3) pos keamanan; (4) sistem pemadam kebakaran dan (5) musholla/tempat ibadah.

d. Pusat perbelanjaan dan niaga, karena jumlah penduduk pendukungnya belum memenuhi syarat sehingga belum disediakan.

 

B.      Jangkauan Radius Area Layanan

Jangkauan radius area layanan sarana perdagangan merupakan salah satu dasar yang harus dipertimbangkan dalam penempatan penyediaan fasilitas sarana perdagangan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu, sehingga tidak berdiri sendiri dan terpisah dengan sarana yang lain.

Penempatan penyediaan sarana perdagangan seperti warung dan toko sebaiknya di tengah kelompok penduduk dan dapat merupakan bagian dari sarana yang lain dengan jangkauan radius area layanan 3.000 m. Sedangkan untuk pertokoan dan pusat perbelanjaan lokal seperti pasar sebaiknya di pusat kegiatan lingkungan dan dapat dijangkau dengan kendaraan umum radius area layanan 2.000 m, seperti terlihat pada Tabel Berikut.

 

No

Jenis Sarana

Kriteria

Jangkauan

Radius (km)

Lokasi dan

Penyelesaian

1

Warung/Toko

0,3

Di tengah kelompok tetangga dapat merupakan bagian dari sarana lain

2

Pertokoan

2

Di pusat kegiatan sub lingkungan KDB 40%

3

Pusat Pertokoan dan

Pasar Lingkungan

2

Dapat dijangkau dengan kendaraan Umum

Sumber: SNI No. 03-1733 (2004)

 

C.       Hasil Perencanaan Prasarana Perdagangan

Berdasarkan hasil temuan studi dan pembahasan mengenai tingkat pelayanan sarana perdagangan di wilayah permukiman sub urban Kota Luwuk ( contoh kasus ), maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.       Tingkat pelayanan sarana perdagangan menurut jenis, jumlah dan radius pencapaiannya menunjukkan bahwa tingkat pelayanan sarana perdagangan di wilayah permukiman sub urban Kota Luwuk jauh dari kondisi ideal dan termasuk kategori tidak memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal.

2.       Proyeksi kebutuhan sarana perdagangan tahun 2014, seperti warung dan toko perlu ada penambahan, pertokoan, dan pasar lingkungan perlu penyediaan. Untuk penempatan lokasi sarana perdagangan seperti pertokoan dan pasar lingkungan sebaiknya berada di Kelurahan Kilongan, selain dapat dijangkau dengan kendaraan umum juga berada di pusat kegiatan lingkungan zona I, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk dapat melayani area tetangga seperti Kelurahan Lumpoknyo, Kelurahan Kilongan Permai, dan Kelurahan Awu. Untuk penempatan penyediaan sarana perdagangan pertokoan pada zona II sebaiknya berada di Kelurahan Boyou, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar yang dapat melayani area tetangga seperti Kelurahan Biak, Kelurahan Bumi Beringin, dan Kelurahan Awu.

D.      Rekomendasi Pengembangan Prasarana Perdagangan

Dari beberapa kesimpulan yang didapatkan, untuk mencapai tingkat pelayanan yang efisien dan efektif dalam penyediaan sarana perdagangan di wilayah permukiman sub urban Kota Luwuk, maka beberapa rekomendasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Contoh Studi Kasus):

1.   Pemerintah mengupayakan penyediaan sarana perdagangan di wilayah permukiman sub urban Kota Luwuk secara adil dan merata sesuai dengan standar pelayanan minimal, sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya lebih dekat dan cepat.

2.   Pemerintah mengupayakan lokasi sarana perdagangan di wilayah permukiman sub urban Kota Luwuk berada di pusat kegiatan lingkungan dan dapat di jangkau dengan kendaraan umum.

3.  Arah pengembangan sarana perdagangan di wilayah permukiman sub urban Kota Luwuk untuk zona I hendaknya berada di Kelurahan Kilongan dan untuk zona II berada di Kelurahan Boyou.

 

 

 

 

 

 

Sumber: Buku “Perencanaan Prasarana Perkotaan” Oleh I Putu Jati Arsana, ST. MT , dkk