Senin, 11 Mei 2020

Konsep Wilayah Peri-Urban



A.      Pendahuluan
Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah “urban fringe” atau daerah “peri urban” atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang (Yunus, 2008:1). Untuk mencari pemaknaan yang tepat mengenai pemakaian istilah peri urban, dalam Webster’s Third New International Dictionary sebagaimana dikutip oleh Yunus (2008:11) dijelaskan bahwa istilah peri berarti “all about, about, around, enclosing, surrounding, having substituents in or relating.”
Dengan demikian istilah peri adalah kata sifat yang diberi makna pinggiran atau sekitar dari sesuatu objek tertentu. Sementara itu istilah urban juga merupakan kata sifat yang berarti sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan istilah peri dan urban membentuk kata sifat baru yang secara harfiah berarti sifat kekotaan dan sekitar sehingga apabila digabungkan dengan kata region, maka peri urban region (Wilayah Peri-Urban) mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada di sekitar kota.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehi dupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan dan hal tersebut berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar (Yunus, 2010b:124).
Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka secara alamiah terjadi pemilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Yunus (2010b:125) mengungkapkan bahwa:
“Gejala pengambilalihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut “invasion”. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut sebagai urban sprawl.”
Wilayah Peri-Urban merupakan wilayah yang terletak diantara dua wilayah yang sangat berbeda kondisi ling kungannya, yaitu antara wilayah yang mempunyai kenampakan kekotaan di satu sisi dan wilayah yang mempunyai kenampakan kedesaan di sisi yang lain (Yunus, 2008:1).
Wilayah Peri-Urban ini menentukan peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan fisikal baru akan terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak perkembangan yang terjadi di WPU tersebut.
B.      Permasalahan Wilayah Peri-Urban
Salah satu permasalahan Wilayah Peri-Urban adalah pola perkembangan kota tidak terstruktur (urban sprawl), pesatnya perkembangan perumahan dan permukiman pada Wilayah Peri-Urban (urban fringe) dengan peren canaan guna lahan tidak seimbang, kepadatan rendah, banyak lahan yang terbuang atau terabaikan fungsinya. Hal tersebut telah menyebabkan kota kehilangan orientasi/identitas ruang, monoton, tersebar, dan pem borosan lahan. Kondisi tersebut menurut Wunas (2011:22) menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam pengembangan sistem transportasi dan sistem perkotaan antara lain: (1) pemborosan energi: (2) waktu; (3) tenaga; dan (4) pemborosan biaya.
Maka dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat utamanya terkait peningkatan sumber daya manusia, maka dibutuhkan fasilitas pendidikan. Koestoer (2007:136) menyatakan bahwa hal ini dapat diseleng garakan sesuai dengan besarnya kelompok komunitas dalam masyarakat. Dengan dasar ini dapat ditentukan perencanaan awal mengenai jumlah siswa yang memerlukan pelayanan fasilitas pendidikan dan daya tampung yang mungkin tersedia.
1.       Urbanisasi dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan
Yudono dalam Surya (2011:vii) menyatakan bahwa fenomena urbanisasi adalah proses peningkatan rasio jumlah penduduk perkotaan dibanding jumlah seluruh penduduk suatu wilayah. Urbanisasi didukung oleh proses migrasi penduduk desa ke kota dengan berbagai motivasinya serta berubahnya daerah pedesaan atau pinggiran kota yang semula didominasi oleh kegiatan sektor pertanian menjadi daerah perkotaan yang didominasi oleh sektor industri manufaktur, perdagangan dan jasa.
Lebih lanjut, Sjafrizal (2012:185) menyatakan bahwa urbanisasi pada dasarnya adalah proporsi jumlah penduduk yang hidup di wilayah perkotaan yang ditentukan oleh tiga unsur utama, yaitu: (a) pertumbuhan penduduk (population growth); (b) perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural migration); dan (c) terjadinya pemekaran wilayah perkotaan.  
Yunus (2010a:10) mengemukakan bahwa identifikasi sifat kekotaan secara fisikal pada umumnya didasarkan pada konsep morfologi kekotaan (urban morphology). Menurut Smailes dalam Yunus (2010a:10) menyatakan bahwa tiga elemen utama morfologi kota yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengenali sifat kekotaan dari segi fisikal adalah land use characteristics, building characteristics dan circulation characteristics.
Pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi telah memacu perkembangan wilayah kota ke pinggiran. Kondisi ini didukung dengan meningkatnya wilayah yang memiliki ciri kekotaan. Perubahan penggunaan lahan non urban ke arah luar kota terutama oleh kegiatan manusia untuk bermukim berlangsung secara bertahap seiring dengan waktu dan berkembangnya kota. Proses perubahan sebagai peristiwa perembetan kenampakan fisik kota kearah luar tersebut pada umumnya terjadi karena adanya penetrasi dari suatu kelompok penduduk area terbangun kota ke arah luar.
Terkait fenomena urbanisasi, Sandy dalam Koestoer (2001:43) menyatakan bahwa kehidupan masyarakat kota yang serba kompleks memerlukan dukungan prasarana kota yang memadai baik secara kuantitatif maupun kualitatif, agar seluruh aktivitas penduduk dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan sehat. Namun demikian, ketersediaan prasarana kota yang lengkap bukan faktor utama berkembangnya suatu kota, karena eksistensi suatu kota ditentukan oleh keberadaan sumber daya yang mampu menghidupi masyarakat kota.
Selanjutnya Nurmandi (2014:26) menyatakan bahwa pertumbuhan kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik, penyediaan rumah, fasilitas pendidikan dan kesehatan serta transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk kota menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah di kota-kota negara yang sedang berkembang.
Di lain pihak, sumberdaya lahan perkotaan relatif terbatas untuk memenuhi perkembangan jumlah penduduk (urbanisasi) dan kegiatan pembangunan di perkotaan (industrialisasi). Oleh karena itu perlu dilakukan penata laksanaan lahan (land management) secara harmonis dan dinamis (Adisasmita, 2006:160).
Saat ini perkembangan atau perembetan kota-kota besar di Indonesia lebih mengutamakan pembangunan fungsional, cenderung dengan pola kota yang tidak terstruktur (urban sprawl) di wilayah sub urban. Perkembangan kelompok perumahan permukiman terpisah dengan fasilitas publik, seperti sarana perbelanjaan, sarana kesehatan, pendidikan serta sarana perdagangan dan jasa lainnya, sehingga penghuni harus memenuhi kebutuhan tersebut dengan kendaraan bermotor dengan jarak capai lebih dari 2.000 meter, yang seharusnya tersedia dalam radius pelayanan 500-1.000 meter (Wunas, 2011:4).
Menurut Yunus (2011:56) bahwa pertambahan penduduk kota yang terus-menerus dan masih tergolong tinggi membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan kota, yakni adanya tuntutan akan space yang terus-menerus pula untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian. Bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Konsekuensi keruangannya sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Yunus (2008:3) menegaskan bahwa tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa Wilayah Peri-Urban ini seolah olah merupakan ajang pertempuran (battle front) antara sektor kedesaan dan sektor kekotaan, dimana tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa sektor kedesaan memenangkan peperangan ini. Jelas kiranya dampak yang akan muncul di masa yang akan datang berkenaan dengan pemekaran fisikal kekotaan (urban sprawl) terhadap Wilayah Peri-Urban yang terkait dengan peri kehidupan dan penghidupan kedesaan.
Adanya gejala tersebut, maka akan memperlihatkan ciri-ciri kekotaan pada daerah yang terletak di perbatasan kota, baik yang termasuk dalam wilayah kota maupun diluar wilayah kota, wilayah inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Wilayah Peri-Urban atau daerah pinggiran kota.
2.       Ekspresi Spasial Kenampakan Fisik Kota
Menurut Ruswurm sebagaimana dikutip oleh Yunus (2010:131), mengatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) buah faktor utama yang berpengaruh terhadap ekspresi keruangan kenampakan kota, yaitu:
a. Pertumbuhan penduduk (population growth).
b. Persaingan memperoleh lahan (competition for land).
c. Hak-hak kepemilikan (property right).
d. Kegiatan pengembang (developers activities).
e. Perencanaan (planning controls).
f. Perkembangan teknologi (technological development).
g. Lingkungan fisik (physical environment).

Berdasarkan peristiwa perkembangan tersebut, maka yang dapat dilihat adalah banyaknya terjadi perubahan baik secara fisik maupun non fisik pada Wilayah Peri Urban dan dalam perkembangannya, wilayah ini ditandai oleh berbagai karakteristik, seperti peningkatan harga tanah yang drastis, perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, serta berbagai aspek sosial lainnya.
Tingkat urbanisasi yang tinggi, membawa dampak bagi perkembangan Wilayah Peri-Urban, dan telah mengubah drastis wilayah permukiman desa-kota hal itu dikarenakan adanya kebutuhan penampungan bagi penduduk pendatang maupun penduduk lama yang ingin mencari keleluasaan. Kebutuhan akan perumahan bagi penduduk dan belum lagi penyediaan ruang terbatas bagi kawasan industri menjadikan perubahan pola penggunaan tanah yang siginifikan, terutama wilayah permukiman.
Proses pertumbuhan kota yang melibatkan perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, lebih menunjukkan proses alamiah, daripada terencana, perkembangan ini merupakan suatu gejala sub urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali.
Terkait dengan proses perembetan kenampakan fisik kota, Domouchel dalam Yunus (2010b:125) mengatakan bahwa, “urban sprawl can be defined of the growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types of land use in the urban fringe areas”.
Menurut Yunus (1999) sebagaimana dikutip oleh Heryanto (2011:32) bahwa secara garis besar, jenis perembetan kenampakan fisik kota yang kemudian membentuk pola permukiman dibagi kedalam 3 (tiga) macam proses perluasan areal permukiman kota (urban sprawl), yaitu:
a.       Perembetan konsentris (concentric development atau low density continuous development) yaitu merupakan jenis perembetan areal kekotaan secara merata di semua bagian luar kenampakan kota yang sudah ada dan merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat dimana perembetan berjalan perlahan lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota.
b.       Perembetan memanjang (ribbon development atau linear development atau axial development) yaitu perembetan kota yang tidak merata di semua bagian sisi-sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur trasnsportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota.
c.       Perembetan yang meloncat (leap frog development atau chekerboard development) dimana perkem bangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.

C.      Kebijakan Pengembangan Wilayah Peri-Urban

Fenomena fungsi ruang yang berkembang saat ini adalah unit hunian atau perumahan yang terisolasi dengan sarana perbelanjaan, rekreasi, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, sehingga penghuni dominan mempergunakan sarana sosial dan ekonomi dengan jarak capai yang tidak sesuai dengan standar pelayanan minimal, sehingga penghuni harus menggunakan moda transportasi pribadi dengan akses tunggal yaitu jalan poros penghubung antara wilayah urban dengan Wilayah Peri-Urban.
Pembangunan hunian di Wilayah Peri-Urban seharusnya mempertimbangkan sarana kebutuhan untuk kegiatan sosial dan ekonomi penghuninya, mem pertimbangkan perencanaan dengan konsep fungsi lahan campuran (mixed land use), yaitu mendekatkan lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan jarak capai yang memungkinkan kendaraan non-motorisasi seperti berjalan kaki, bersepeda dengan tata hijau yang teduh romantis, serta dimudahkan dengan akses angkutan bus dan sistem transit, agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan, dan sekaligus mereduksi dana transportasi penghuni (Wunas, 2011:23).
Hasil penelitian Governance Assesment Survey sebagaimana dikutip Suryokusumo (2008:vii) menunjukkan bahwa akses masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan dan permodalan masih rendah. Tidak seimbangnya prasarana dan sarana perkotaan dibandingkan dengan kebutuhan perkotaan menurut Adisasmita (2005:110) menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam penggunaan fasilitas yang tersedia. Lebih lanjut Adisasmita (2010:140) menyatakan bahwa:
”Masalah utama dalam penyediaan sarana hunian khususnya di permukiman perkotaan antara lain masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman. Sehingga tantangan utamanya adalah meningkatkan peran kota untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti lapangan kerja, tempat hunian, pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya.”
Terkait dengan pemenuhan dan dampak dari ruang pendidikan, Fawaid dalam Erlangga (2011:146) menyatakan bahwa ruang pendidikan ibarat gula yang akan selalu didatangi dan dikelilingi oleh semut-semut yang memanfaatkan gula tersebut. Dari ruang pendidikan ini akan tercipta sebuah kondisi yang mana akan membentuk pusat ruang-ruang di sekitar sentral ruang pendidikan.
Apa yang dinyatakan oleh Fawaid tersebut pada dasarnya adalah dinamika yang berkembang didalam masyarakat tumbuh dan berkembang secara alamiah, karena masyarakat yang hidup selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengekspresikannya di dalam setiap perkembangannya. Oleh karena itu, perubahan dalam setiap aspek kehidupan kota baik itu perubahan sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan sebaiknya dipandang sebagai suatu dinamika kehidupan yang selalu akan berkesinambungan.
Namun demikian, perkembangan pesat yang terjadi di dalam sebuah kota pada kenyataannya tidak selalu diikuti pengembangan-pengembangan serta perubahan perubahan yang mendukung dalam kawasan tersebut sehingga terjadilah ketimpangan-ketimpangan baik secara sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan (Mirsa, 2012:3).
Oleh karena itu, menurut Yunus (2008:449) secara garis besar beberapa prioritas pengembangan Wilayah Peri-Urban adalah:
1.       Pengembangan kompleks perdagangan.
2.       Pengembangan kompleks pendidikan.
3.       Pengembangan industri.
4.       Pengembangan pertanian.
5.       Pengembangan permukiman.
6.       Pengembangan jalur hijau.
Lebih lanjut Yunus (2008:450) menyatakan bahwa pembangunan fisikal yang menunjang kesejahteraan sosial adalah pembangunan fasilitas pendidikan baik formal maupun non formal. Remaja usia sekolah sebaiknya tidak usah pergi ke tempat yang jauh untuk belajar dan hal ini hanya mungkin apabila di lingkungannya sudah tersedia fasilitas pendidikan yang dimaksudkan.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 494/PRT/M/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota) dinyatakan bahwa upaya dalam mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa melalui upaya pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan sosial ekonomi antara kota dan desa (wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan.
D.      Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Aspek kependudukan dan interaksi kependudukan (mobilitas penduduk) menurut Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju (2009:295) merupakan informasi yang mendasar terkait dengan perkembangan suatu wilayah. Perkembangan suatu wilayah berimplikasi terhadap pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Tarigan (2008:185) juga menyatakan bahwa penduduk merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan wilayah. Jumlah penduduk adalah faktor utama untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi dan banyaknya fasilitas umum yang perlu dibangun di suatu wilayah. Klasifikasi atas umur misalnya, dapat dipakai untuk menentukan jumlah fasilitas pendidikan yang dibutuhkan untuk tingkat TK, SD, SMP, SMA dan universitas.
Pertambahan penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan fasilitas pendidikan menghambat program perimbangan antara laki-laki dan wanita, pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan miskin.
1.       Penduduk Sebagai Modal Pembangunan
Djunaedi (2014:14) mengemukakan bahwa ada tiga isu utama yang dihadapi oleh negara berkembang yaitu: (a) jumlah penduduk terlalu banyak; (b) pendapatan penduduk rata-rata rendah; dan (c) tingkat pendidikan rata rata rendah. Tiga isu utama ini umumnya diatasi dengan tiga program besar yaitu: (a) keluarga berencana; (b) pengentasan kemiskinan; dan (c) wajib belajar dan alokasi anggaran besar untuk pendidikan.
Penduduk dengan jumlah yang banyak merupakan modal pembangunan suatu bangsa jika kualitas pengetahuannya memadai. Dengan kata lain, jumlah penduduk merupakan aset negara, ia merupakan stok suatu bangsa, apabila kualitasnya bagus, maka ia merupakan human capital yang dapat memuluskan pertumbuhan ekonomi dari pembangunan suatu negara. Sebaliknya jika kualitas penduduknya buruk ia akan menjadi beban pemerintah yang harus diberi konsumsi supaya tidak menjadi malapetaka (Suhardan, Riduwan dan Enas, 2012:50).
Oleh karena itu, kualitas populasi penduduk suatu bangsa dimulai dan disebabkan karena pengetahuan yang diperoleh dari pendidikannya. Menurut Commission on Teacher Education, Washington DC (1944) sebagaimana dikutip oleh Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:51) bahwa kualitas suatu bangsa tergantung pada kualitas penduduknya dan kualitas penduduk tergantung pada kualitas pendidikan yang diperolehnya.
Dewasa ini, tidak ada lagi keraguan dalam masyarakat tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam merubah kondisi kehidupan seseorang. Menurut Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:1) pendidikan telah menjadi kebutuhan masyarakat, setara dengan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, gizi dan lingkungan hidup. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai pengeluaran yang konsumtif yang tidak memiliki fungsi investatif bagi masa depan, apalagi produktif. Dengan kata lain, bahwa pendidikan dewasa ini telah ditempatkan sebagai suatu investasi.
Pendidikan merupakan sektor unggulan untuk merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat suatu kaum pada kehidupan bernegara. Investasi pendidikan adalah investasi manusia, investasi yang dapat menjadikan manusia lebih berdaya, lebih banyak memiliki kemampuan untuk berkarya, lebih mampu dalam memecahkan segala kesulitan hidup dan jalan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak.
Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:100) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk seperti yang kita alami sekarang menimbulkan banyak masalah kependudukan, tidak hanya kekurangan makanan pada sebagian besar penduduk, tetapi juga kekurangan kesempatan kerja, sekolah, kekurangan tempat tinggal, kekurangan air dan berbagai macam ekses lainnya.
Dalam rangka mempelajari penduduk, kita dapat mengadakan pendekatan secara demografi, yaitu mengenai jumlahnya, mengenai ciri-cirinya seperti umur dan jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan, serta distribusi tempat tinggalnya. Perubahan jumlah, ciri serta distribusinya menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) dapat disebabkan karena adanya perubahan kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi).
Selain pendekatan demografi, kita juga dapat mempelajari penduduk sehubungan dengan kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lain lain. Pada umumnya, untuk dapat memahami hal ikhwal kependudukan, diperlukan pengetahuan mengenai demografi yang dikumpulkan melalui sensus dan survei penduduk.
Perubahan jumlah, ciri serta distribusi penduduk harus diimbangi dengan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga halnya dengan gedung sekolah disediakan dengan cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan kepada anak-anak dan remaja yang jumlahnya setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) menyebut hal ini sebagai kebijaksanaan kependudukan yang meliputi penyediaan lapangan kerja, memberikan kesempatan pendidikan, meningkatkan kesehatan serta usaha-usaha menambah kesejahteraan penduduk.
2.       Pengukuran Perkembangan Penduduk
Jika suatu daerah mempunyai suatu sistem pencatatan penduduk berjalan dengan baik, menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:116) maka jumlah penduduk pada akhir suatu periode waktu dari daerah yang bersangkutan dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan penduduk berimbang (balancing equation) sebagai berikut:

P t = Po + B – D + I – E

dengan:
Pt  : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
B : Jumlah kelahiran yang terjadi dalam periode t
D : Jumlah kematian yang terjadi dalam periode t
I : Jumlah imigran atau migran yang masuk
E : Jumlah emigran atau migran yang keluar

Jika angka-angka jumlah kematian dan kelahiran tidak tersedia dan yang tersedia hanya angka jumlah penduduk pada waktu-waktu tertentu seperti pada waktu sensus, maka perkembangan penduduk dapat diperlakukan dengan menggunakan rumus geometrik sebagai berikut (Koestoer, 1996:86) dan (Tarigan, 2008:190):

Pt = Po (1+r)t

dengan:
Pt : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
r : Pertumbuhan penduduk
t : Interval waktu (tahun)

E.       Aksesibilitas dan Kapasitas Pelayanan
Tingkat kemudahan untuk memperoleh pelayanan umum merupakan tolok ukur pemerintahan yang baik. Tingkat kemudahan pencapaian tersebut disebut dengan tingkat aksesibilitas (Sadyohutomo, 2009:123). Aksesibilitas mencakup pengertian fisik, ekonomi, sosial, budaya, maupun politis. Salah satu kriteria yang menentukan tingkat kemudahan tersebut adalah seberapa besar pilihan-pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk memenuhi layanan yang dibutuhkan.
Penyediaan pilihan-pilihan layanan perlu memperhitungkan konsekuensi biaya modal dan tingkat efisiensi operasional layanan. Semakin banyak layanan yang disediakan tentunya memerlukan biaya modal dan biaya operasional yang semakin besar. Efisiensi biaya bisa dicapai apabila jumlah masyarakat yang menggunakan layanan semakin besar.
Rushton (1973) sebagaimana dikutip oleh Sadyohutomo, (2009:124) menyatakan bahwa peletakan rencana lokasi pelayanan utilitas pada suatu wilayah perlu dipilih yang paling aksesibel (most accessible) dengan kriteria aksesibilitas sebagai berikut:
1. Total jarak dari seluruh penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah terkecil (minimizing aggregate distance).
2. Jarak terjauh penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah minimum (minimax distance criterion).
3. Jumlah penduduk yang dilayani oleh setiap unit pelayanan harus lebih besar dari angka tertentu sebagai kriteria ambang batas kelayakan unit pelayanan tersebut.
4. Jumlah penduduk yang dilayani harus lebih kecil dari kapasitas pelayanan yang akan diletakkan (capacity constraint criterion).

Disadur dari buku “Perencanaan Prasarana Perkotaan” oleh I Putu Jati Arsana, dkk, selengkapnya dapat dilihat disini

Tidak ada komentar: