Jumat, 15 Mei 2020

Desa Wisata dan Wisata Alam Buatan


a. Desa Wisata

PEMBANGUNAN yang baik adalah pembangunan yang mengikutsertakan masyarakatnya dalam pembangunan itu, sehingga masyarakat paham yang sedang dan akan dilakukan pemerintahannya untuk mereka. Untuk itu pembangunan kesehatan di Indonesia yang digagas oleh Kementerian Kesehatan RI berupaya mengikutsertakan masyarakat dalam membangun kesehatannya. Salah satu cara yang ditempuh adalah menggagas perlunya menghadirkan sebuah komunitas yang disebut ‘desa siaga’.
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan secara mandiri. Sebuah Desa dikatakan menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) (Maing, dkk. 2013). Artinya desa ini diharapkan siaga untuk menghadapi masalah kesehatan, masalah bencana, dan masalah kegawatdaruratan.
Hal lain yang dilakukan pemerintah lagi yaitu pembentukan ‘kader sehat’ agar kesehatan masyarakat semakin terjangkau penanganannya. Kader sehat ini tentu akan mendapatkan pelatihan pelatihan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesehatan sehingga nantinya kader ini bisa menjembatani masalah-masalah kesehatan di daerahnya dan mampu memberikan solusinya. Ini usaha-usaha dari pemerintah agar pemeliharaan kesehatan masyarakat itu dapat tertangani dengan baik.
Bagaimana dengan penanganan pariwisata di suatu daerah? Membangun dan mengembangkan pariwisata di suatu daerah tentu didasarkan pada kecerdasan seorang ‘pemimpin’ untuk melihat kondisi daerahnya. Kalau sumber daya alam daerahnya terbatas bahkan banyak mendatangkan 9 bahan pokok kebutuhan masyarakatnya dari luar daerah, sebaiknya meliriklah sektor lain yang bisa dijadikan lokomotif pembangunan di daerahnya. Apa sektor pembangunan yang bisa ditangani itu? Jawabnya adalah ‘Sektor Pariwisata’.
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata (kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang) dan didukung berbagai fasilitas serta pelayanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Jadi pembangunan sektor ini bisa dijadikan sebuah inspirasi untuk menghidupkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah berjalan selama ini. Contoh adat istiadat yang dijalankan masyarakat setempat selama ini, tarian-tarian (budaya) yang selalu hidup ditengah-tengah masyarakat, kebiasaan masyarakat memenuhi kebutuhannya, alam yang memberikan pemandangan yang indah, laut yang memberikan pesona bagi setiap orang yang melihatnya atau warisan budaya (seperti Keraton di Jogja), dan sebagainya.
Menghidupkan budaya serta menyajikan alam dan laut yang indah bagi orang lain (wisatawan), merupakan kejelian dan kecerdasan seorang pemimpin daerah. Masyarakatnya bangga karena pemimpin menghargai budaya/kebiasaan masyarakat setempat sekaligus masyarakat mendapatkan tambahan pendapatan dari pelestarian budaya/kebiasaan itu. Pemerintah akan mendapatkan penghargaan dari masyarakatnya berkenaan dengan perhatian yang diberikan seorang pemimpin untuk melestarikan budaya/kebiasaan mereka melalui program pariwisata sekaligus pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan retribusi masuk wilayah objek dan daya tarik wisata. Ini namanya win-win solution.
Nah, bagaimana menghidupkan budaya/kebiasaan masyarakat untuk mendukung kepariwisataan daerah? Tentu dengan berbagai cara, salah satunya yaitu mengadakan lomba antar desa, antar kecamatan, dan antar kabupaten/kota sehingga masyarakat merasa bangga dan ikut terlibat dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata di daerahnya. Keikutsertaan masyarakat dalam membangun dan mengembangkan pariwisata daerah akan semakin terlibat, apabila pemerintah semakin meningkatkan perhatiannya pada masyarakat (desa) yang berada di sekitar objek dan daya Tarik wisata. Bagaimana cara menunjukkan perhatian pemerintah pada desa di sekitar lokasi objek dan daya tarik wisata?
Caranya adalah menggagas sebuah desa di daerah itu menjadi sebuah ‘desa wisata’. Masyarakat yang hidup di desa sekitar objek wisata diarahkan sebagai desa yang mau menerima pendatang (wisatawan) di daerahnya, mau menjaga keamanan dan kebersihan, mau berusaha memenuhi kebutuhan wisatawan seperti penyediaan warung makan yang menjual makanan khas daerahnya, penyediaan warung souvenir, tersedianya area parkir, tersedianya tempat rekreasi bagi seseorang dan keluarga, penyewaan tikar dan pemenuhan kebutuhan wisatawan lainnya.
Desa wisata merupakan kelompok masyarakat yang perlu dibina pemerintah agar mereka sadar wisata. Desa wisata yang dibina itu adalah masyarakat yang berada di sekitar lokasi wisata (objek wisata). Desa wisata ini hendaknya merupakan sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Karakteristik desa wisata itu seperti penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas masyarakat yang dibina itu didorong untuk turut aktif dalam kegiatan kepariwisataan, seperti terlibat dalam industri wisata dan penyediaan jasa wisata. Masyarakat didorong untuk berupaya mengetahui selera wisatawan yang terus menerus berubah dari waktu ke waktu, sehingga masyarakat (desa wisata) mampu menyuguhkan tawaran wisata yang menarik untuk dikunjungi. Tanpa didukung kelompok masyarakat sadar wisata sepertinya sulit untuk mengembangkan sektor pariwisata. Selain itu, pengembangan sumber daya manusia yang ada di desa wisata itu perlu dilakukan seperti pembentukan kader-kader wisata. Kader wisata dilatih untuk mampu mengelola dan meningkatkan sadar wisata di kawasan desa wisata.
Menurut Nuryanti (1993), desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Terdapat dua konsep yang utama dalam komponen desa wisata : 1. Akomodasi, sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk; dan 2. Atraksi, seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti kursus tari, kursus kerajinan khas daerah, bahasa dan lain-lain yang spesifik.
Fasilitas lain yang masih sangat diperlukan dalam kawasan desa wisata antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi (desa digital), kesehatan, dan juga akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata bisa juga menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata (home stay) yang nyaman dan bersih, sehingga para pengunjung pun turut merasakan suasana pedesaan yang masih asli. Artinya wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, atau mereka belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat.
Penetapan dan pengembangan desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Di dalam perencanaannya perlu dilakukan identifikasi secara menyeluruh di masing-masing Kabupaten, Kota, dan Kecamatan mengenai desa wisata yang memiliki objek dan daya tarik wisata unggulan dan yang memiliki daya beda yang disebut diferensiasi dengan objek dan daya tari wisata yang terdapat di wilayah lain, berpotensi untuk dikembangkan, dan rintisan untuk dijadikan objek dan daya tarik wisata. Lalu desa wisata itu dikelompokkan dalam kriteria tertentu seperti desa wisata yang sudah sadar wisata, desa wisata yang agak sadar wisata, dan desa wisata yang perlu dibangun sadar wisata.
Kriteria untuk menentukan klasifikasi desa wisata bisa mempertimbangkan beberapa hal seperti kondisi objek dan daya tarik wisata tersebut, komunitas masyarakat yang menunjukkan siap berpartisipasi mendukung pariwisata, kondisi jalan menuju objek, keamanan dan kenyamanan pengunjung, kebersihan lingkungan, pemetaan fasilitas yang mendukung objek dan daya tarik wisata, ketersediaan fasilitas pendukung dalam memenuhi kebutuhan para pengunjung. Hal yang menarik pada pengelompokkan desa wisata ini sebagai upaya untuk mempercepat terbentuknya sadar wisata pada setiap desa yang berada di sekitar objek dan daya tarik wisata, dan dalam upaya untuk membuat klasifikasi program kerja pemerintah dalam membangun dan mengembangkan desa wisata di suatu wilayah.
Pada desa wisata yang sudah sadar wisata, yang memiliki objek dan daya tarik wisata yang sudah layak dijual, mungkin program kerja yang bisa dibuat antara lain berkisar mendorong masyarakat untuk terus mengembangkan usahanya pada pemenuhan berbagai kebutuhan wisatawan serta pembangunan yang meningkatkan peran masyarakat untuk turut menjaga kelestarian dan pemeliharaan objek dan daya tarik wisata. Sedang bagi desa wisata yang agak sadar wisata yang memiliki objek dan daya tarik wisata yang potensial untuk dikembangkan, mungkin memerlukan program kerja pemerintah berkaitan dengan peningkatan prasarana dan sarana wisata di kawasan objek dan daya tarik wisata, melaksanakan program lomba antar desa yang memiliki objek dan daya tarik wisata menuju objek dan daya tarik wisata yang layak dijual. Untuk desa wisata yang perlu dibangun sadar wisata, yang memiliki objek dan daya tarik wisata rintisan, tentu membutuhkan banyak program kerja dari pemerintah agar masyarakat di desa itu mau turut serta mendukung pemerintah menyediakan objek dan daya tarik wisata yang layak untuk dikunjungi para wisatawan.
Pada pembentukan desa wisata, sangat dibutuhkan kriteria yang jelas untuk bisa diklasifikasikan ke dalam desa wisata yang sudah sadar wisata, desa wisata yang agak sadar wisata dan desa wisata yang perlu dibangun sadar wisata. Apabila sudah mampu mengklasifikasikan desa wisata, maka dalam penyusunan program kerja akan mudah dibedakan antara satu desa wisata dengan desa wisata lainnya, yang disesuaikan dengan klasifikasi desa wisatanya. Khusus bagi desa wisata yang perlu dibangun sadar wisata, dan mungkin kelompok ini yang terbesar jumlahnya, diperlukan kerja keras dari Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota untuk mensosialisasikan tentang pariwisata serta hal-hal apa yang dibutuhkan dari masyarakat untuk mewujudkan pariwisata yang terus berkembang di daerah kita.
Mari berpendapat sejauhmana pentingnya pembentukan desa wisata di daerah kita. Dan apa saja kriteria yang dibutuhkan untuk membuat klasifikasi desa wisata itu. Silahkan keluarkan pisau samurainya dari lubuk hati ya he he.

b. Wisata Alam Buatan

PRODUK wisata alam merupakan salah satu produk wisata terunggul. Terunggul karena kita menginjakkan kaki di bumi dan mencari nafkah dalamnya. Alam memang memberikan hasil yang terindah dalam hidup manusia . Memang, kadang manusia itu serakah, untuk mendapatkan nafkah yang melimpah, mereka dengan sukacita menggali tanah sedalam-dalamnya untuk mendapatkan emas, tembaga, timah putih, batubara, dan lain-lain. Penggalian ini tentu menimbulkan kerusakan pada alam dan lingkungannya bahkan banyak mendatangkan berbagai penyakit bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi penggalian itu.
Karena alam memberikan sumber makanan dan minuman bagi manusia, sebaiknya olahlah tanah itu dengan sebaik-baiknya. Seperti Pak Petani, selalu berupaya mengolah sawahnya dengan baik serta berupaya memeliharanya supaya bisa memberikan hasil panen yang berlimpah dan terus menerus.
Demikian juga bila tanah itu tidak datar tetapi berbukit-bukit, apa bisa juga diolah? Pada tanggal 25 Mei 2013 yang lalu sengaja melihat dari dekat bagaimana cara mengolah tanah yang berbukit bukit. Tadinya bukit itu hanya dihuni oleh pohon-pohon dan rumput seperti rumput gajah dan jenis rumput yang lain. Sekilas bukit itu tidak dapat diolah dan jauh dari hunian manusia. Boleh dikatakan bukit itu seperti berada beberapa kilometer dari gunung yang agak tinggi dan beberapa kilometer dari hunian masyarakat. Apabila tidak diolah sepertinya bukit itu ya hanya bertindak sebagai bukit saja, hanya dipandang sebagai perbukitan dan tidak dapat memberikan sumber rezeki baik bagi manusia (masyarakat) yang berada di sekitar bukit itu maupun pemerintah daerah yang mewilayahi perbukitan itu.
Nah, disinilah kelihatan tipe seorang pemimpin yang berjiwa wirausaha. Bukit yang tadinya hanya baik bila dilihat dari jarak jauh serta tidak memberikan hasil kepada masyarakat sekitar gunung, tetapi sekarang justru sangat bagus saat didatangi dan melihat lingkungan dari perbukitan itu. Bukit itu sekarang sudah ditata dan dikelola sebagai objek dan daya tarik wisata alam yang sangat menarik. Begitu kita masuk pada jalan yang menuju bukit nan indah itu, sepanjang perjalanan sekitar puluhan kilometer itu dengan jarak kira-kira setiap satu kilometer sudah ada warung-warung yang didirikan masyarakat sebagai tempat untuk menjual berbagai minuman terutama air kelapa muda, berbagai cemilan atau makanan ringan. Selain itu ada juga yang menjual bensin dan barang souvenir khas lokal, yang bisa dijadikan oleh-oleh para wisatawan yang mengunjungi bukit itu yang sudah berubah menjadi sebuah objek dan daya tarik wisata nan indah.
Pada saat kita mau memasuki kompleks objek dan daya tarik wisata itu, di sebelah kiri pengunjung sudah berjejer berbagai warung yang menjual makanan dan minuman. Ada juga yang menjual jasa payung yang bisa disewa para wisatawan bila cuaca terang atau panas, dan juga bila cuaca mendung atau hujan. Lalu sebelah kanan menuju bukit tersebut sudah disediakan area parkir mobil dan sepeda motor dengan berbayar.
Setelah berjalan sekitar 10 meter dan agak mendaki, para wisatawan yang mau masuk area objek dan daya tarik wisata dipersilahkan mampir dulu di loket yang sudah tersedia sebagai loket tempat penjualan karcis masuk objek dan daya tarik wisata. Di sana terlihat beberapa loket penjualan tiket sehingga wisatawan tidak membutuhkan waktu lama untuk antri beli tiket masuk.
Pada waktu wisatawan menginjakkan kaki masuk objek dan daya tarik wisata, di sebelah kiri yang merupakan puncak dari bukit yang sudah diratakan itu sudah ada bangunan. Bangunan gedung tersebut diperuntukkan untuk pemutaran filem yang ceritanya memuat cerita-cerita rakyat yang telah berkembang ditengah-tengah masyarakat yang berada di sekitar objek wisata. Cerita rakyatnya sangat menarik dan dapat menjadi informasi dan pengetahuan bagi wisatawan mengenai kebiasaan-kebiasaan yang dianut secara turun menurun oleh masyarakat setempat selama ini. Pengunjung gedung pertunjukkan pada waktu itu cukup ramai. Saking ramainya, petugas membagi pengunjung dalam beberapa gelombang disesuaikan dengan daya tampung gedung, sehingga para pengunjung dapat merasakan kenyamanan pada waktu menyaksikan pemutaran sebuah filem.
Para pengunjung gedung bioskop itu terasa sangat bahagia setelah keluar dari gedung bioskop. Mereka terlihat bercakap-cakap satu sama lain dengan mimik yang gembira. Lalu mereka melanjutkan perjalanan sekitar 50 langkah ke depan dengan berjalan menurun. Di situ tanah diratakan lagi, tetapi di bawahnya telah digali sebagai tempat toilet sebanyak 2 pintu. Karena banyak pengunjung pada waktu itu membuat pengunjung yang akan melepaskan beban ringan terpaksa antri untuk bisa menggunakan toilet tersebut. Jangan heran, bila keluar dari toilet, pengunjung pasti akan memperlihatkan dompetnya masing-masing untuk mengambil dan menyisihkan dana untuk membayar pemakaian toilet. Mungkin dana yang terkumpul itu, sebagian digunakan untuk membayar honor pembersih toilet.
Dua puluh langkah berikutnya dengan jalan menurun, tanah sudah diratakan lagi. Di situ sudah dibuat lagi sebuah tempat yang bisa digunakan untuk melihat pemandangan yang indah dengan menyewa alat keker (teropong). Di tempat itu telah siap juga beberapa juru potret yang siap untuk memotret para pengunjung yang ingin mengabadikan kenangan indah saat berwisata di bukit tersebut.
Kondisi bukit itu tidak hanya dibangun dan dipoles sampai disitu seperti yang diutarakan di atas, tetapi dibangun juga jalan menurun dengan membangun trap injakan kaki dari tanah menyerupai anak tangga yang menurun. Ada 3 trap bangunan anak tangga yang menurun menuju tempat warung kuliner. Trap anak tangga itu dibuat mengarah pada berbagai arah. Satu trap anak tangga mengarah ke arah selatan, satu trap anak tangga lagi mengarah ke timur, dan satunya lagi mengarah ke barat. Di setiap ujung trap anak tangga dibuat sebuah lokasi yang bisa digunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan pemotretan pemandangan yang serba hijau sesuai arah trap anak tangga. Luas lokasi yang terletak di ujung trap anak tangga itu sekitar 2x2 meter.
Bagi wisatawan yang sudah menuruni trap anak tangga terakhir, yang mengarah ke barat lalu menjumpai warung kuliner pertama. Dan apabila menelusuri tempat warung kuliner itu bisa mulai dari arah barat ke timur, jumlahnya kurang lebih sekitar 30 warung kuliner. Warung ini menempati sebuah lereng sehingga tampaknya seperti warung yang digantung. Di bagian depan warung merupakan tempat diletakkannya berbagai macam bahan makan dan minum, dan jalan masuk warung menuju tempat duduk wisatawan dalam posisi lesehan. Wisatawan yang sudah masuk warung kuliner tersebut bisa memesan jagung bakar dan aneka makanan dan minuman sesuai yang diinginkan.
Ternyata di warung kuliner inilah para wisatawan bisa berlama-lama di situ sambil melihat dan menikmati pemandangan nan jauh pada sisi lereng bukit tersebut. Wisatawan bisa juga memotret pemandangan di sekitar warung kuliner serta bisa juga berfoto ria di situ. Sungguh indah dan menyenangkan kondisi warung kuliner di bukit itu. Bila dihayati maka bisa memberikan kesukacitaan bagi siapa saja yang berkunjung di bukit yang sudah ditata dan dikelola itu.
Manusia yang sudah bekerja keras selama hari senin sampai jumat atau hari sabtu, tentu sangat membutuhkan suatu keseimbangan dalam olah mata dan olah pikiran. Manusia butuh sebuah tempat rekreasi yang bisa dikunjungi sekeluarga sekaligus mempererat hubungan antar suami isteri dan anak-anak. Barangkali selama seminggu sudah sibuk sendiri-sendiri, ayah sibuk bekerja di kantor, ibu sibuk menyiapkan aneka ragam makanan dan minuman sehari-hari bagi keluarga, sedang anak-anak sudah sibuk bersekolah dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah (PR) dari Guru di sekolahnya. Kalau demikian keadaan dalam keluarga sehari-hari, maka sudah sewajarnya keluarga tersebut perlu mencari dan mengunjungi tempat rekreasi khususnya objek dan daya tarik wisata alam seperti melakukan perjalanan di bukit yang telah ditata dan dikelola itu.
Mewujudkan tempat rekreasi bagi keluarga seperti bukit tadi membutuhkan tangan-tangan dingin serta jiwa wirausaha dari sumber daya manusia yang bekerja di pemerintahan daerah, terutama pemimpinnya. Membutuhkan jiwa seni dan desain yang menarik serta berwawasan luas. Sehingga dengan kondisi seperti itu akan mampu membuat sebuah bukit yang tadinya kurang bermanfaat menjadi sebuah tempat rekreasi yang banyak memberikan manfaat bagi setiap pengunjung pada objek dan daya tarik wisata alam buatan tersebut.
Semoga laporan reportase ini, para penikmat dapat menggambarkan dalam alam pikiran masing-masing mengenai bentuk gambaran dari objek dan daya tarik wisata alam ini. Kalaupun belum bisa menangkap gambaran objek dan daya tarik wisata alam ini, bisa saja mencoba menggoreskan pensil gambar di atas kertas putih yang sudah disiapkan. Hasil dari corat-coret Anda ini akan memberikan sebuah gambar objek dan daya tarik wisata yang menakjubkan bila diaplikasikan pada bukit yang berlokasi di sekitar tempat tinggal kita hehe. Selamat mencoba.

Disadur dari Buku “ Inspirasi Pengembangan Pariwisata Daerah “ Oleh Drs. Manahati Zebua, M.Kes, MM, selengkapnya dapat dilihat Disini

Rabu, 13 Mei 2020

TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI

Dalam sistem transportasi, tata guna lahan merupakan salah satu hal yang mempunyai pengaruh besar. Letak daerah pemukiman, pertanian, industri dll yang berbeda tiap daerah mnghasilkan pola dan karateristik pergerakan/transportasi yang berbeda pula masing-masing daerah. Perubahan dan perkembangan daerah baru akan menimbulkan arus pergerakan orang dan barang, artinya timbul transportasi baru untuk melayani daerah tersebut.Termasuk dalam hal ini adalah pemekaran kota sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk dan aktifitas manusia.
Tata guna lahan merupakan salah satu dari penentu utama pergerakan dan aktifitas dimana aktivitas ini dikenal dengan istilah bangkitan perjalanan (trip generation), yang menentukan fasilitas-fasilitas transportasi apa saja seperti jalan, bus dan sebagainya yang akan dibutuhkan untuk melakukan pergerakan (Khisty dan Lall; 2005; 10). Pola tata guna lahan kota yang sesuai dengan fungsi dan kegiatan penduduk dapat digunakan untuk mengetahui bentuk, karakter atau profil dari perjalanan penduduk kota. Profil atau karakter perjalanan penduduk dapat digunakan untuk mengetahui dan memperkirakan kebutuhan akan transportasi (demand transport).









Gambar 3.1. Hubungan transportasi antar tata guna lahan

Konsep
 Konsep yang digunakan dalam interaksi antara guna lahan dan transportasi adalah seperti berikut. 
A.        → guna lahan dan fasilitas transportasi merupakan sistem tertutup
→ kegiatan guna lahan memerlukan pengadaan prasarana transportasi
→ sedang pengadaan prasarana transportasi mendorong timbulnya kegiatan guna lahan.
B.        → besarnya lalu lintas yang terjadi tergantung tingkat kegiatan guna lahan dan karakteristik fisik fasilitas transportasi.
Dengan demikian seorang Land Use Planner dapat menghidupkan dan mematikan suatu daerah dengan mengubah tata guna lahannya. Pengadaan prasarana dan sarana transportasi memacu timbulnya kegiatan guna lahan tampak pada daerah yang baru dibuka, keramaian / perkembangan terjadi di sekitar jalan baru. Pembuatan jalan baru dapat memacu perkembangan daerah, demikian juga sebaliknya keramian suatu daerah atau pembangunan fasilitas umum baru (mall, pasar, kampus dll) akan menyebabkan dibukanya jalan baru. Oleh karena itu pembangunan fasilitas umum yang baru pada daerah yang sudah padat perlu hati-hati. Sebab akan membangkitkan arus lalulintas. Lebih jauh dapat dilihat lagi pada “land use transportation cycle‟.
Perencanaan sistem interaksi land use dan transportasi ini adalah untuk mencapai keseimbangan yang efisien antara kegiatan guna lahan dan kemampuan transportasi.Dengan kata lain, tidak bisa merencanakan suatu tata guna lahan tanpa sekaligus merencanakan system transportasinya.
Contoh Ploting tata guna lahan;

1.       Explisit
Pada sistem ini tiap jenis peruntukan/kegiatan dibedakan lokasinya;
·         Pemukiman
·         Industri
·         Pertokoan

2.       Mix Land Use
Pada sistem ini tiap kegiatan tidak dibedakan lokasinya, jadi lokasi perumahan, pertokoan dan bahkan industri bisa jadi ada di lokasi yang sama. Konsep dasar yang digunakan adalah orang bekerja sedekat mungkin dengan rumah. Sehingga banyak perumahan pegawai yang satu lokasi dengan kantor tempatnya bekerja. Bahkan secara ekstrem ada bangunan bertingkat dimana lantai teratas untuk perumahan, lantai bawahnya untuk kantor dan lantai dasar untuk super market sedang basement untuk parkir. Kondisi seperti ini banyak terjadi pada daerah daerah pusat perdagangan, perkantoran dimana sering terjadi kemacetan lalulintas dan harga tanah yang sangat mahal sehingga orang memanfaatkan tanah seefisien mungkin (sistim Blok / super blok). Pada skala kecil dikenal istilah rumah-toko (ruko) atau rumah kantor (rukan) yang banyak dijumpai di daerah urban.
Ditinjau dari segi transportasi sistem mix-land-use menguntungkan karena akan mengurangi jumlah pergerakan kendaraan di jalan raya yang pada akhirnya mengurangi kemacetan lalulintas. Mix land use menggambungkan sejumlah tata guna lahan (land use) yang berbeda dalam satu kawasan dengan mampu mengurangi jarak diantara masing-masing tata guna lahan.
Lynn Devereux dalam public transport and land use (2005) menyebutkan beberapa hierarki sebagai akibat dari pengaruh penggunaan lahan yang berbeda dalam konsep mix land use :
a)       Pencampuran tata guna lahan (mix land use) atau pengelompokan toko, rumah dan kantor menjadi satu kawasan komersial dapat membuat penduduknya menjadi lebih nyaman untuk berjalan dari rumah kantor-toko dengan berjalan kaki (pedestrian) atau menggunakan angkutan umum (public transport).
b)      Lokasi perumahan yang dekat ke pusat angkutan umum dengan fasilitas komersil ditambah dengan lingkungan pejalan kaki yang baik dapat mengurangi penggunaan mobil dalam beraktifitas dalam kota.
c)       Kombinasi tata guna lahan dalam skala besar yang mampu menjadi daya tarik pergerakan dalam sebuah kawasan komersial dapat membuat kenyamanan akses bagi pejalan kaki dan dapat menciptakan suasana yang kritis dalam rangka mendukung pelayanan transportasi publik yang efisien.
Mix land use memusatkan aktifitas pekerjaan, pemukiman dan pusat pelayanan dalam satu jaringan. Ciri ciri pembangunan kota baru (new urbanist development) tidak saja membangun jalan untuk kendaraan akan tetapi merencanakan jalan bagi pejalan kaki dengan mengikuti pola jaringan yang mengarah ke pusat perbelanjaan (shopping centre). (Devereux ; 2005). Jalur bagi pejalan kaki (devereux ; 2005) dapat meningkatkan keselamatan bagi pengendara kendaraan. Diamerika utara kesadaran untuk berjalan kaki menuju rumah dari tempat bekerja, atau dari tempat bekerja yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu kebudayaan tersendiri yang membentuk new urbanism yang baik. Selain itu penggunaan transportasi publik dalam beraktifitas semakin meningkat karena beberapa faktor pada tabel dibawah :

Tabel 3.1. Faktor efektif penggunaan transportasi publik  

  Faktor internal
Faktor pelengkap
Faktor eksternal
Biaya perjalanan
Frekuensi
Kualitas kendaraan
dll
Pedestrian
Kebijakan parkir
Pengaturan lalu lintas
dll
Sosio-ekonomi
Demografi
Kepadatan
lahan
dll
Sumber : Devereux (2005)
Keberhasilan penggunaan transportasi publik bergantung pada kombinasi ketiga faktor tersebut yang mana faktor internal merupakan pengontrol tingkat pelayanan transportasi publik. Ketiga kategori dapat mengidentifikasi keseimbangan penggunaan transportasi dari moda angkutan mobil berubah/beralih pada moda lainnya.

3.       Guna Lahan Dominasi
Merupakan gabungan dari sistem 1 dan 2. Misalnya suatu lokasi dengan dominasi perumahan, tetapi ada juga pertokoan, bengkel, kantor dll, atau sebaliknya suatu lokasi perkantoran tapi ada toko, bengkel dan pemukiman. Ditinjau dari sisi transportasi hal ini tidak baik, karena misalnya bengkel berkembang maka trotoar akan dipakai untuk kegiatan bengkel dan ini akan mengganggu fungsi dari trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki.
Konsep ini menjadi dasar berkembangnya kota mandiri, dengan harapan semua kegiatan yang ada ( bekerja, belanja, bertempat tinggal, belajar dll. ) difasilitasi di kota mandiri sehingga tidak menjadi beban kota yang sudah ada. Berkembangnya juga kota-kota satelit di daerah urban yang diharapkan nantinya berkembang sebagai kota sendiri.

Di Indonesia Kota-kota mandiri tumbuh sebagai akibat dari efek perkembangan kota induk bukan sebagai kota yang direncanakan. Ciri dari kota baru seperti ini adalah jarak lokasi dan kondisi geografisnya sangat dekat dengan Kota Induk Sebagai contoh kota baru yang marupakan efek perkembangan kota Induk adalah depok, bekasi, bogor (kota baru) dan Jakarta (kota induk). Sebaliknya efek perkembangan sangat minim bagi wilayah yang jauh dan dibatasi oleh bentang alam.
Pada pusat kota, nilai sewa lokasi untuk perkantoran sangat mahal, semakin jauh dari pusat kota nilai sewa lokasi semakin murah, hal ini akan berbeda jika di luar kota ada daerah/kota satelit atau kota mandiri. Sebaliknya biaya untuk transportasi semakin dekat dengan tempat bekerja, biaya makin murah. Dengan demikian perlu pertimbangan yang matang bagi pemerintah untuk memberikan izin peruntukan suatu lahan. Sebagai contoh adalah pembangunan fasilitas umum (pusat perbelanjaan) dan lain-lain.
a)       Pembangunan Pusat Perbelanjaan
b)      Penyebaran lokasi “kampus” di sekitar kota / di luar kota akan banyak mengurangi kepadatan kota.
c)       Munculnya lokasi-lokasi perumahan yang lagi marak akan membangkitkan perjalanan.
Penentuan zona-zona dalam tata guna tanah (zona industri, jasa perumahan dsb) sebetulnya merupakan “transport demand” yang perlu dilayani (lihat “land use transportation cycle”).

Disadur dari buku “ Pengantar Sistem dan Perencanaan Transportasi” oleh Rudi Aziz, ST, M.Si dan Asrul, ST, Selengkapnya dapat dilihat disini

Senin, 11 Mei 2020

Konsep Wilayah Peri-Urban



A.      Pendahuluan
Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah “urban fringe” atau daerah “peri urban” atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang (Yunus, 2008:1). Untuk mencari pemaknaan yang tepat mengenai pemakaian istilah peri urban, dalam Webster’s Third New International Dictionary sebagaimana dikutip oleh Yunus (2008:11) dijelaskan bahwa istilah peri berarti “all about, about, around, enclosing, surrounding, having substituents in or relating.”
Dengan demikian istilah peri adalah kata sifat yang diberi makna pinggiran atau sekitar dari sesuatu objek tertentu. Sementara itu istilah urban juga merupakan kata sifat yang berarti sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan istilah peri dan urban membentuk kata sifat baru yang secara harfiah berarti sifat kekotaan dan sekitar sehingga apabila digabungkan dengan kata region, maka peri urban region (Wilayah Peri-Urban) mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada di sekitar kota.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehi dupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan dan hal tersebut berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar (Yunus, 2010b:124).
Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka secara alamiah terjadi pemilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Yunus (2010b:125) mengungkapkan bahwa:
“Gejala pengambilalihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut “invasion”. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut sebagai urban sprawl.”
Wilayah Peri-Urban merupakan wilayah yang terletak diantara dua wilayah yang sangat berbeda kondisi ling kungannya, yaitu antara wilayah yang mempunyai kenampakan kekotaan di satu sisi dan wilayah yang mempunyai kenampakan kedesaan di sisi yang lain (Yunus, 2008:1).
Wilayah Peri-Urban ini menentukan peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan fisikal baru akan terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak perkembangan yang terjadi di WPU tersebut.
B.      Permasalahan Wilayah Peri-Urban
Salah satu permasalahan Wilayah Peri-Urban adalah pola perkembangan kota tidak terstruktur (urban sprawl), pesatnya perkembangan perumahan dan permukiman pada Wilayah Peri-Urban (urban fringe) dengan peren canaan guna lahan tidak seimbang, kepadatan rendah, banyak lahan yang terbuang atau terabaikan fungsinya. Hal tersebut telah menyebabkan kota kehilangan orientasi/identitas ruang, monoton, tersebar, dan pem borosan lahan. Kondisi tersebut menurut Wunas (2011:22) menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam pengembangan sistem transportasi dan sistem perkotaan antara lain: (1) pemborosan energi: (2) waktu; (3) tenaga; dan (4) pemborosan biaya.
Maka dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat utamanya terkait peningkatan sumber daya manusia, maka dibutuhkan fasilitas pendidikan. Koestoer (2007:136) menyatakan bahwa hal ini dapat diseleng garakan sesuai dengan besarnya kelompok komunitas dalam masyarakat. Dengan dasar ini dapat ditentukan perencanaan awal mengenai jumlah siswa yang memerlukan pelayanan fasilitas pendidikan dan daya tampung yang mungkin tersedia.
1.       Urbanisasi dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan
Yudono dalam Surya (2011:vii) menyatakan bahwa fenomena urbanisasi adalah proses peningkatan rasio jumlah penduduk perkotaan dibanding jumlah seluruh penduduk suatu wilayah. Urbanisasi didukung oleh proses migrasi penduduk desa ke kota dengan berbagai motivasinya serta berubahnya daerah pedesaan atau pinggiran kota yang semula didominasi oleh kegiatan sektor pertanian menjadi daerah perkotaan yang didominasi oleh sektor industri manufaktur, perdagangan dan jasa.
Lebih lanjut, Sjafrizal (2012:185) menyatakan bahwa urbanisasi pada dasarnya adalah proporsi jumlah penduduk yang hidup di wilayah perkotaan yang ditentukan oleh tiga unsur utama, yaitu: (a) pertumbuhan penduduk (population growth); (b) perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural migration); dan (c) terjadinya pemekaran wilayah perkotaan.  
Yunus (2010a:10) mengemukakan bahwa identifikasi sifat kekotaan secara fisikal pada umumnya didasarkan pada konsep morfologi kekotaan (urban morphology). Menurut Smailes dalam Yunus (2010a:10) menyatakan bahwa tiga elemen utama morfologi kota yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengenali sifat kekotaan dari segi fisikal adalah land use characteristics, building characteristics dan circulation characteristics.
Pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi telah memacu perkembangan wilayah kota ke pinggiran. Kondisi ini didukung dengan meningkatnya wilayah yang memiliki ciri kekotaan. Perubahan penggunaan lahan non urban ke arah luar kota terutama oleh kegiatan manusia untuk bermukim berlangsung secara bertahap seiring dengan waktu dan berkembangnya kota. Proses perubahan sebagai peristiwa perembetan kenampakan fisik kota kearah luar tersebut pada umumnya terjadi karena adanya penetrasi dari suatu kelompok penduduk area terbangun kota ke arah luar.
Terkait fenomena urbanisasi, Sandy dalam Koestoer (2001:43) menyatakan bahwa kehidupan masyarakat kota yang serba kompleks memerlukan dukungan prasarana kota yang memadai baik secara kuantitatif maupun kualitatif, agar seluruh aktivitas penduduk dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan sehat. Namun demikian, ketersediaan prasarana kota yang lengkap bukan faktor utama berkembangnya suatu kota, karena eksistensi suatu kota ditentukan oleh keberadaan sumber daya yang mampu menghidupi masyarakat kota.
Selanjutnya Nurmandi (2014:26) menyatakan bahwa pertumbuhan kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik, penyediaan rumah, fasilitas pendidikan dan kesehatan serta transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk kota menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah di kota-kota negara yang sedang berkembang.
Di lain pihak, sumberdaya lahan perkotaan relatif terbatas untuk memenuhi perkembangan jumlah penduduk (urbanisasi) dan kegiatan pembangunan di perkotaan (industrialisasi). Oleh karena itu perlu dilakukan penata laksanaan lahan (land management) secara harmonis dan dinamis (Adisasmita, 2006:160).
Saat ini perkembangan atau perembetan kota-kota besar di Indonesia lebih mengutamakan pembangunan fungsional, cenderung dengan pola kota yang tidak terstruktur (urban sprawl) di wilayah sub urban. Perkembangan kelompok perumahan permukiman terpisah dengan fasilitas publik, seperti sarana perbelanjaan, sarana kesehatan, pendidikan serta sarana perdagangan dan jasa lainnya, sehingga penghuni harus memenuhi kebutuhan tersebut dengan kendaraan bermotor dengan jarak capai lebih dari 2.000 meter, yang seharusnya tersedia dalam radius pelayanan 500-1.000 meter (Wunas, 2011:4).
Menurut Yunus (2011:56) bahwa pertambahan penduduk kota yang terus-menerus dan masih tergolong tinggi membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan kota, yakni adanya tuntutan akan space yang terus-menerus pula untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian. Bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Konsekuensi keruangannya sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Yunus (2008:3) menegaskan bahwa tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa Wilayah Peri-Urban ini seolah olah merupakan ajang pertempuran (battle front) antara sektor kedesaan dan sektor kekotaan, dimana tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa sektor kedesaan memenangkan peperangan ini. Jelas kiranya dampak yang akan muncul di masa yang akan datang berkenaan dengan pemekaran fisikal kekotaan (urban sprawl) terhadap Wilayah Peri-Urban yang terkait dengan peri kehidupan dan penghidupan kedesaan.
Adanya gejala tersebut, maka akan memperlihatkan ciri-ciri kekotaan pada daerah yang terletak di perbatasan kota, baik yang termasuk dalam wilayah kota maupun diluar wilayah kota, wilayah inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Wilayah Peri-Urban atau daerah pinggiran kota.
2.       Ekspresi Spasial Kenampakan Fisik Kota
Menurut Ruswurm sebagaimana dikutip oleh Yunus (2010:131), mengatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) buah faktor utama yang berpengaruh terhadap ekspresi keruangan kenampakan kota, yaitu:
a. Pertumbuhan penduduk (population growth).
b. Persaingan memperoleh lahan (competition for land).
c. Hak-hak kepemilikan (property right).
d. Kegiatan pengembang (developers activities).
e. Perencanaan (planning controls).
f. Perkembangan teknologi (technological development).
g. Lingkungan fisik (physical environment).

Berdasarkan peristiwa perkembangan tersebut, maka yang dapat dilihat adalah banyaknya terjadi perubahan baik secara fisik maupun non fisik pada Wilayah Peri Urban dan dalam perkembangannya, wilayah ini ditandai oleh berbagai karakteristik, seperti peningkatan harga tanah yang drastis, perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, serta berbagai aspek sosial lainnya.
Tingkat urbanisasi yang tinggi, membawa dampak bagi perkembangan Wilayah Peri-Urban, dan telah mengubah drastis wilayah permukiman desa-kota hal itu dikarenakan adanya kebutuhan penampungan bagi penduduk pendatang maupun penduduk lama yang ingin mencari keleluasaan. Kebutuhan akan perumahan bagi penduduk dan belum lagi penyediaan ruang terbatas bagi kawasan industri menjadikan perubahan pola penggunaan tanah yang siginifikan, terutama wilayah permukiman.
Proses pertumbuhan kota yang melibatkan perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, lebih menunjukkan proses alamiah, daripada terencana, perkembangan ini merupakan suatu gejala sub urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali.
Terkait dengan proses perembetan kenampakan fisik kota, Domouchel dalam Yunus (2010b:125) mengatakan bahwa, “urban sprawl can be defined of the growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types of land use in the urban fringe areas”.
Menurut Yunus (1999) sebagaimana dikutip oleh Heryanto (2011:32) bahwa secara garis besar, jenis perembetan kenampakan fisik kota yang kemudian membentuk pola permukiman dibagi kedalam 3 (tiga) macam proses perluasan areal permukiman kota (urban sprawl), yaitu:
a.       Perembetan konsentris (concentric development atau low density continuous development) yaitu merupakan jenis perembetan areal kekotaan secara merata di semua bagian luar kenampakan kota yang sudah ada dan merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat dimana perembetan berjalan perlahan lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota.
b.       Perembetan memanjang (ribbon development atau linear development atau axial development) yaitu perembetan kota yang tidak merata di semua bagian sisi-sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur trasnsportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota.
c.       Perembetan yang meloncat (leap frog development atau chekerboard development) dimana perkem bangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.

C.      Kebijakan Pengembangan Wilayah Peri-Urban

Fenomena fungsi ruang yang berkembang saat ini adalah unit hunian atau perumahan yang terisolasi dengan sarana perbelanjaan, rekreasi, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, sehingga penghuni dominan mempergunakan sarana sosial dan ekonomi dengan jarak capai yang tidak sesuai dengan standar pelayanan minimal, sehingga penghuni harus menggunakan moda transportasi pribadi dengan akses tunggal yaitu jalan poros penghubung antara wilayah urban dengan Wilayah Peri-Urban.
Pembangunan hunian di Wilayah Peri-Urban seharusnya mempertimbangkan sarana kebutuhan untuk kegiatan sosial dan ekonomi penghuninya, mem pertimbangkan perencanaan dengan konsep fungsi lahan campuran (mixed land use), yaitu mendekatkan lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan jarak capai yang memungkinkan kendaraan non-motorisasi seperti berjalan kaki, bersepeda dengan tata hijau yang teduh romantis, serta dimudahkan dengan akses angkutan bus dan sistem transit, agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan, dan sekaligus mereduksi dana transportasi penghuni (Wunas, 2011:23).
Hasil penelitian Governance Assesment Survey sebagaimana dikutip Suryokusumo (2008:vii) menunjukkan bahwa akses masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan dan permodalan masih rendah. Tidak seimbangnya prasarana dan sarana perkotaan dibandingkan dengan kebutuhan perkotaan menurut Adisasmita (2005:110) menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam penggunaan fasilitas yang tersedia. Lebih lanjut Adisasmita (2010:140) menyatakan bahwa:
”Masalah utama dalam penyediaan sarana hunian khususnya di permukiman perkotaan antara lain masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman. Sehingga tantangan utamanya adalah meningkatkan peran kota untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti lapangan kerja, tempat hunian, pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya.”
Terkait dengan pemenuhan dan dampak dari ruang pendidikan, Fawaid dalam Erlangga (2011:146) menyatakan bahwa ruang pendidikan ibarat gula yang akan selalu didatangi dan dikelilingi oleh semut-semut yang memanfaatkan gula tersebut. Dari ruang pendidikan ini akan tercipta sebuah kondisi yang mana akan membentuk pusat ruang-ruang di sekitar sentral ruang pendidikan.
Apa yang dinyatakan oleh Fawaid tersebut pada dasarnya adalah dinamika yang berkembang didalam masyarakat tumbuh dan berkembang secara alamiah, karena masyarakat yang hidup selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengekspresikannya di dalam setiap perkembangannya. Oleh karena itu, perubahan dalam setiap aspek kehidupan kota baik itu perubahan sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan sebaiknya dipandang sebagai suatu dinamika kehidupan yang selalu akan berkesinambungan.
Namun demikian, perkembangan pesat yang terjadi di dalam sebuah kota pada kenyataannya tidak selalu diikuti pengembangan-pengembangan serta perubahan perubahan yang mendukung dalam kawasan tersebut sehingga terjadilah ketimpangan-ketimpangan baik secara sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan (Mirsa, 2012:3).
Oleh karena itu, menurut Yunus (2008:449) secara garis besar beberapa prioritas pengembangan Wilayah Peri-Urban adalah:
1.       Pengembangan kompleks perdagangan.
2.       Pengembangan kompleks pendidikan.
3.       Pengembangan industri.
4.       Pengembangan pertanian.
5.       Pengembangan permukiman.
6.       Pengembangan jalur hijau.
Lebih lanjut Yunus (2008:450) menyatakan bahwa pembangunan fisikal yang menunjang kesejahteraan sosial adalah pembangunan fasilitas pendidikan baik formal maupun non formal. Remaja usia sekolah sebaiknya tidak usah pergi ke tempat yang jauh untuk belajar dan hal ini hanya mungkin apabila di lingkungannya sudah tersedia fasilitas pendidikan yang dimaksudkan.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 494/PRT/M/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota) dinyatakan bahwa upaya dalam mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa melalui upaya pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan sosial ekonomi antara kota dan desa (wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan.
D.      Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Aspek kependudukan dan interaksi kependudukan (mobilitas penduduk) menurut Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju (2009:295) merupakan informasi yang mendasar terkait dengan perkembangan suatu wilayah. Perkembangan suatu wilayah berimplikasi terhadap pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Tarigan (2008:185) juga menyatakan bahwa penduduk merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan wilayah. Jumlah penduduk adalah faktor utama untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi dan banyaknya fasilitas umum yang perlu dibangun di suatu wilayah. Klasifikasi atas umur misalnya, dapat dipakai untuk menentukan jumlah fasilitas pendidikan yang dibutuhkan untuk tingkat TK, SD, SMP, SMA dan universitas.
Pertambahan penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan fasilitas pendidikan menghambat program perimbangan antara laki-laki dan wanita, pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan miskin.
1.       Penduduk Sebagai Modal Pembangunan
Djunaedi (2014:14) mengemukakan bahwa ada tiga isu utama yang dihadapi oleh negara berkembang yaitu: (a) jumlah penduduk terlalu banyak; (b) pendapatan penduduk rata-rata rendah; dan (c) tingkat pendidikan rata rata rendah. Tiga isu utama ini umumnya diatasi dengan tiga program besar yaitu: (a) keluarga berencana; (b) pengentasan kemiskinan; dan (c) wajib belajar dan alokasi anggaran besar untuk pendidikan.
Penduduk dengan jumlah yang banyak merupakan modal pembangunan suatu bangsa jika kualitas pengetahuannya memadai. Dengan kata lain, jumlah penduduk merupakan aset negara, ia merupakan stok suatu bangsa, apabila kualitasnya bagus, maka ia merupakan human capital yang dapat memuluskan pertumbuhan ekonomi dari pembangunan suatu negara. Sebaliknya jika kualitas penduduknya buruk ia akan menjadi beban pemerintah yang harus diberi konsumsi supaya tidak menjadi malapetaka (Suhardan, Riduwan dan Enas, 2012:50).
Oleh karena itu, kualitas populasi penduduk suatu bangsa dimulai dan disebabkan karena pengetahuan yang diperoleh dari pendidikannya. Menurut Commission on Teacher Education, Washington DC (1944) sebagaimana dikutip oleh Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:51) bahwa kualitas suatu bangsa tergantung pada kualitas penduduknya dan kualitas penduduk tergantung pada kualitas pendidikan yang diperolehnya.
Dewasa ini, tidak ada lagi keraguan dalam masyarakat tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam merubah kondisi kehidupan seseorang. Menurut Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:1) pendidikan telah menjadi kebutuhan masyarakat, setara dengan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, gizi dan lingkungan hidup. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai pengeluaran yang konsumtif yang tidak memiliki fungsi investatif bagi masa depan, apalagi produktif. Dengan kata lain, bahwa pendidikan dewasa ini telah ditempatkan sebagai suatu investasi.
Pendidikan merupakan sektor unggulan untuk merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat suatu kaum pada kehidupan bernegara. Investasi pendidikan adalah investasi manusia, investasi yang dapat menjadikan manusia lebih berdaya, lebih banyak memiliki kemampuan untuk berkarya, lebih mampu dalam memecahkan segala kesulitan hidup dan jalan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak.
Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:100) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk seperti yang kita alami sekarang menimbulkan banyak masalah kependudukan, tidak hanya kekurangan makanan pada sebagian besar penduduk, tetapi juga kekurangan kesempatan kerja, sekolah, kekurangan tempat tinggal, kekurangan air dan berbagai macam ekses lainnya.
Dalam rangka mempelajari penduduk, kita dapat mengadakan pendekatan secara demografi, yaitu mengenai jumlahnya, mengenai ciri-cirinya seperti umur dan jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan, serta distribusi tempat tinggalnya. Perubahan jumlah, ciri serta distribusinya menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) dapat disebabkan karena adanya perubahan kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi).
Selain pendekatan demografi, kita juga dapat mempelajari penduduk sehubungan dengan kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lain lain. Pada umumnya, untuk dapat memahami hal ikhwal kependudukan, diperlukan pengetahuan mengenai demografi yang dikumpulkan melalui sensus dan survei penduduk.
Perubahan jumlah, ciri serta distribusi penduduk harus diimbangi dengan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga halnya dengan gedung sekolah disediakan dengan cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan kepada anak-anak dan remaja yang jumlahnya setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) menyebut hal ini sebagai kebijaksanaan kependudukan yang meliputi penyediaan lapangan kerja, memberikan kesempatan pendidikan, meningkatkan kesehatan serta usaha-usaha menambah kesejahteraan penduduk.
2.       Pengukuran Perkembangan Penduduk
Jika suatu daerah mempunyai suatu sistem pencatatan penduduk berjalan dengan baik, menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:116) maka jumlah penduduk pada akhir suatu periode waktu dari daerah yang bersangkutan dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan penduduk berimbang (balancing equation) sebagai berikut:

P t = Po + B – D + I – E

dengan:
Pt  : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
B : Jumlah kelahiran yang terjadi dalam periode t
D : Jumlah kematian yang terjadi dalam periode t
I : Jumlah imigran atau migran yang masuk
E : Jumlah emigran atau migran yang keluar

Jika angka-angka jumlah kematian dan kelahiran tidak tersedia dan yang tersedia hanya angka jumlah penduduk pada waktu-waktu tertentu seperti pada waktu sensus, maka perkembangan penduduk dapat diperlakukan dengan menggunakan rumus geometrik sebagai berikut (Koestoer, 1996:86) dan (Tarigan, 2008:190):

Pt = Po (1+r)t

dengan:
Pt : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
r : Pertumbuhan penduduk
t : Interval waktu (tahun)

E.       Aksesibilitas dan Kapasitas Pelayanan
Tingkat kemudahan untuk memperoleh pelayanan umum merupakan tolok ukur pemerintahan yang baik. Tingkat kemudahan pencapaian tersebut disebut dengan tingkat aksesibilitas (Sadyohutomo, 2009:123). Aksesibilitas mencakup pengertian fisik, ekonomi, sosial, budaya, maupun politis. Salah satu kriteria yang menentukan tingkat kemudahan tersebut adalah seberapa besar pilihan-pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk memenuhi layanan yang dibutuhkan.
Penyediaan pilihan-pilihan layanan perlu memperhitungkan konsekuensi biaya modal dan tingkat efisiensi operasional layanan. Semakin banyak layanan yang disediakan tentunya memerlukan biaya modal dan biaya operasional yang semakin besar. Efisiensi biaya bisa dicapai apabila jumlah masyarakat yang menggunakan layanan semakin besar.
Rushton (1973) sebagaimana dikutip oleh Sadyohutomo, (2009:124) menyatakan bahwa peletakan rencana lokasi pelayanan utilitas pada suatu wilayah perlu dipilih yang paling aksesibel (most accessible) dengan kriteria aksesibilitas sebagai berikut:
1. Total jarak dari seluruh penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah terkecil (minimizing aggregate distance).
2. Jarak terjauh penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah minimum (minimax distance criterion).
3. Jumlah penduduk yang dilayani oleh setiap unit pelayanan harus lebih besar dari angka tertentu sebagai kriteria ambang batas kelayakan unit pelayanan tersebut.
4. Jumlah penduduk yang dilayani harus lebih kecil dari kapasitas pelayanan yang akan diletakkan (capacity constraint criterion).

Disadur dari buku “Perencanaan Prasarana Perkotaan” oleh I Putu Jati Arsana, dkk, selengkapnya dapat dilihat disini

Rabu, 06 Mei 2020

Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)


PPSP merupakan program yang dicanangkan pemerintah  untuk  kurun  waktu  5  tahun dari tahun 2010. Program  ini  merupakan  program  pembangunan  sanitasi  yang  terintegrasi dari pusat hingga ke daerah yang melibatkan  pemangku  kepentingan  dari  kalangan  pemerintah  dan  non Pemerintah di  seluruh tingkatan. Program  ini  dilakukan  secara  bertahap dan  berkelanjutan  mulai tahun 2010 sampai tahun 2019 dengan target minimal  330 Kabupaten/Kota di Indonesia yang rawan masalah air limbah, persampahan, dan drainase perkotaan.
Program PPSP memiliki sasaran sebagai  berikut: 
·         Terbebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS). 
·         Pelaksanaan praktek 3R (Reduce, Reuse, Recycle) serta peningkatan tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi  sanitary landfill. 
·         Pengurangan  genangan  air  di  100  wilayah  perkotaan  seluas 22.500 ha.
·         Tercapainya sasaran program dan kegiatan PPSP. 
· Tersusunnya rencana strategi sanitasi berupa Buku Putih  Sanitasi (BPS), dan Strategi Sanitasi Kabupaten atau Kota  (SSK).
·    Tersusunnya Memorandum Program Sanitasi (MPS)  bagi Kabupaten/Kota yang telah menyusun BPS dan SSK.
·         Terlaksanannya  program  dan  kegiatan  pembangunan  sanitasi permukiman sesuai dengan SSK/ MPS
·         Terlaksananya keberlanjutan program dan kegiatan PPSP  paska implementasi.
·         Terlaksananya  kegiatan  pemantauan  dan  evaluasi  pelaksanaan  pembangunan  sanitasi  Permukiman program PPSP di daerah.  
Apa Manfaat Program PPSP: 
Kabupaten/Kota yang telah bergabung dalam  program  PPSP  dan  telah  memiliki  dokumen sanitasi (BPS, SSK, dan MPS) akan memperoleh  manfaat diantaranya:
·         Kabupaten/Kota  memiliki  dokumen  perencanaan pembangunan sanitasi yang  berkualitas  sebagai  acuan  pembangunan  sanitasi di daerah.
·         Terjadinya  sinkronisasi  pembangunan  sanitasi mulai tahap perencanaan sampai  tahap implementasi di  Kabupaten/Kota,  Provinsi, dan Pusat.
·         Terjadinya  peningkatan  anggaran  untuk  pembangunan sanitasi di Kabupaten/Kota.
·         Menyediakan peluang untuk keterlibatan  pihak  lain  (masyarakat,  swasta,  donor)  dalam pembangunan sanitasi  di  Kabupaten/Kota.
·         Memperoleh  optimalisasi  anggaran  kementerian.
·         Dokumen  perencanaan  pembangunan  sanitasi (BPS, SSK, dan MPS) dapat menjadi  bahan advokasi.

Di dalam Program PPSP, proses perencanaan strategis menghasilkan 3 (tiga) dokumen berikut: Buku Puth Sanitasi (BPS), Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK), dan Memorandum Program Sanitasi (MPS). BPS dan SSK merupakan dokumen yang dihasilkan dari pelaksanaan Tahap 3 di dalam PPSP, yaitu Perencanaan Strategis Sanitasi. Sedangkan MPS
merupakan hasil dari pelaksanaan Tahap 4, yaitu Memorandum Program. Ketiga dokumen tersebut perlu disiapkan Kabupaten/Kota sebelum implementasi fisik dapat dilakukan.

Dokumen sanitasi terdiri atas:
1.       Buku Putih Sanitasi (BPS), Panduan Penyusunan Buku Putih Sanitasi (BPS), bisa dilihat Disini
2.       Strategi Sanitasi Kabupaten/ Kota (SSK), Panduan Penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten/ Kota (SSK), bisa dilihat Disini
3.       Memorandum Program Sanitasi (MPS), Panduan Penyusunan Memorandum Program Sanitasi (MPS), bisa dilihat Disini

Bagaimana Tahapan Pelaksanaan PPSP:
Tahapan Pelaksanaan PPSP
No
Tahapan
Sasaran
Peran Utama & Tanggung Jawab
1
Kampanye, edukasi,  advokasi, 
dan  pendampingan. 
Meningkatnya kesadaran dan  kebutuhan masyarakat  terhadap layanan sanitasi.
Pusat, Provinsi
2
Pengembangan  kelembagaan 
dan  peraturan.
Meningkatnya koordinasi,  kerjasama, dan kolaborasi  antar pemangku kepentingan
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota
3
Penyusunan  rencana strategis 
(SSK). 
Tersusunnya dan  ditetapkannya strategi  pengembangan layanan  sanitasi permukiman (air  limbah domesk,  persampahan, drainase  perkotaan dan komponen  pendukungnya). 
kabupaten/ kota
4
Persiapan  Memorandum 
Program (MPS).
Meningkatnya akses  pendanaan untuk  pembangunan, rehabilitasi  operasional dan pemeliharaan  prasarana dan sarana sanitasi  (APBD Kabupaten/Kota,  APBN, bantuan luar negeri,  investasi swasta, kontribusi  masyarakat, dll).
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota
5
Implementasi.
Tersedianya prasarana dan  sarana sanitasi yang sesuai  dengan kebutuhan  masyarakat, berkualitas dan  berkelanjutan. 
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota
6
Pemantauan dan  evaluasi. 
Kesesuaian pelaksanaan  program/ kegiatan dengan  rencana. 
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota