Jumat, 03 Juli 2020

Konsolidasi Tanah Perkotaan


a.       Pengertian Konsolidasi Tanah Perkotaan

Pasal 1 butir 1 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang dimaksud dengan konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Bertitik tolak dari pengertian secara yuridis tersebut, menurut Idham, pengertian yuridis diatas dapat diidentifikasikan menjadi beberapa elemen substansial dari konsolidasi tanah, yaitu (Supriadi, 2007: 263):
1)      Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
2)      Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;
3)      Konsolidasi tanah bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam; dan
4)      Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Menurut A.P. Parlindungan, yang dimaksud dengan konsolidasi tanah perkotaan adalah menata tanah-tanah yang tidak teratur, dijadikan daerah yang teratur, dengan jalan, sanitasi, listrik, air bersih, perlengkapan suatu desa, dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan menjaga ekosistem atau lingkungan hidup yang lebih baik (A.P. Parlindungan, 1992 : 73). Sedangkan pengertian konsolidasi tanah perkotaan menurut Eddy Ruchiyat dalam bukunya Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, konsolidasi tanah perkotaan adalah merupakan upaya penataan pemilikan atau penguasaan, penggunaan tanah dalam rangka peremajaan kota (Eddy Ruchiyat, 1999: 119).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsolidasi tanah perkotaan adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah di daerah perkotaan/ permukiman bagi kepentingan pembangunan prasarana dan fasilitas umum serta peningkatan kualitas lingkungan dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
Dalam kenyataannya di negara Indonesia, konsolidasi tanah perkotaan merupakan suatu kegiatan penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah yang diperuntukkan bagi areal permukiman. Dalam arti, pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan lebih dititikberatkan pada pengaturan tanah untuk kepentingan permukiman saja.

b.      Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Salah Satu Kebijakan Tanah Perkotaan

Menurut J. Zwaenepoel, ciri-ciri khas urbanisasi yang spontan adalah membangun secara serampangan/ kacau. Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan pertumbuhan perkampungan yang tidak teratur dengan kualitas lingkungan yang rendah (permukiman kumuh), karena
kurangnya prasarana dan rendahnya fasilitas lingkungan yang dibutuhkan (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 20).
Hal tersebut menjadikan konsolidasi tanah perkotaan sebagai salah satu alternatif kebijakan tanah perkotaan untuk menanggulangi masalah perkotaan, didasarkan pada bagaimanakah bentuk masalah-masalah perkotaan itu dan hal-hal apa yang menjadi keunggulan konsolidasi tanah perkotaan dalam mengatasi permasalahan tanah perkotaan tersebut. Bentuk masalah tanah perkotaan, khususnya mengenai permukiman adalah sekitar ketidakjelasan dan ketidakteraturan penguasaan dan penggunaannya. Sedangkan keunggulan konsolidasi tanah perkotaan adalah:
1)      merupakan metode pembangunan tanah perkotaan yang sekaligus menata kembali penguasaan dan penggunaan tanah;
2)      mampu mengatasi kelemahan metode pengadaan tanah konvensional, seperti pembebasan tanah; dan
3)      merupakan kegiatan yang mewujudkan dan mengimplementasikan rencana umum tata ruang (RUTR) disuatu daerah (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 20).
Melalui konsolidasi tanah perkotaan status penguasaan akan menjadi berkepastian hukum, karena produk akhir dari konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia adalah sertipikat sebagai bukti penguasaan dan pemilikan hak atas tanah yang paling kuat. Melalui konsolidasi tanah perkotaan juga akan dilakukan penataan fisik tanah, sehingga setelah pelaksanaan konsolidasi tanah, penggunaan tanah perkotaan akan semakin efektif dan efisien, dan dengan demikian tanah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, seimbang, dan lestari. Jelaslah, bahwa konsolidasi tanah perkotaan dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah penguasaan dan penggunaan tanah, karena konsolidasi tanah adalah metode pembangunan pertanahan yang mengkombinasikan aspek hukum dari penguasaan dan pemilikan tanah serta aspek fisik dari penggunaan tanah.

c.       Ciri Karakteristik dan Manfaat Konsolidasi Tanah Perkotaan

Menurut Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, yang menjadi ciri karakteristik dari konsolidasi tanah perkotaan adalah (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 36-37):
1)      Konsolidasi tanah perkotaan bukan sekedar penataan dari segi fisik, melainkan juga dari segi hukum. Bahkan boleh dikatakan, bahwa konsolidasi tanah di Indonesia lebih merupakan persoalan hukum mengenai penguasaan tanah. Karena itulah mengapa hanya BPN yang secara fungsional sebagai pelaksana konsolidasi tanah di Indonesia;
2)      Konsolidasi tanah perkotaan menghemat dana pengadaan tanah. Selama ini pengadaan tanah untuk kepentingan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya selalu terbentur pada keterbatasan dana pengadaan tanah. Bahkan banyak pula rencana kota sulit dilaksanakan karena meskipun suatu wilayah sudah dialokasikan untuk prasarana dan fasilitas umum lingkungan perkotaan misalnya, namun perolehan tanah itu sangat sulit terealisasi karena keterbatasan dana untuk membebaskannya dari masyarakat; dan
3)      Kesesuaian pranata konsolidasi tanah perkotaan dengan faktor sosial budaya masyarakat Indonesia. Ini merupakan faktor pendorong, apalagi pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia didasarkan pada persetujuan para pemilik tanah. Pelaksanaan musyawarah untuk memperoleh kesepakatan antara pihak BPN sebagai pelaksana konsolidasi tanah perkotaan di satu pihak dengan pemilik tanah atau yang menguasai tanah di lain pihak.
Menurut Peter C.H. Hsieh, salah satu ciri karakteristik konsolidasi tanah perkotaan adalah dinikmatinya keuntungan dan ditanggungnya beban pelaksanaan secara seimbang (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 37). Hal ini dapat dikatakan sebagai ciri karakteristik, sebab konsolidasi tanah perkotaan sebagai suatu kebijaksanaan penyediaan tanah untuk pembangunan (prasarana jalan dan fasilitas umum) mengikutsertakan pemilik tanah dalam proses pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan tersebut. Apalagi hingga saat ini pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan masih tetap didasarkan pada persetujuan para pemilik tanah. Partisipasi pemilik tanah merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan.
Keterlibatan para pemilik tanah ini secara jelas terlihat dari adanya tanah peran serta (sharing) yang dulu disebut Sumbangan Wajib Tanah Untuk Pembangunan (SWTP) dan sekarang disebut Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP). Menurut Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 dan Surat Kepala BPN No. 410-4245 tanggal 7 Desember 1991, STUP digunakan untuk:
1)      Prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya; dan
2)      Pembiayaan pelaksanaan konsolidasi tanah yang diekuivalenkan dengan tanah (tanah untuk pelaksanaan konsolidasi tanah ini disebut Tanah Pengganti Biaya Pembangunan).
Konsolidasi tanah perkotaan dilaksanakan karena mempunyai manfaat bagi lingkungan, masyarakat, dan pemerintah. Manfaat yang dapat ditarik dari pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan adalah sebagai berikut (A.P. Parlindungan, 1992 : 74-75):
1)      Mempercepat penyelesaian pembangunan prasarana dan fasilitas perkotaan sesuai dengan tata kota yang dilakukan secara berkesinambungan;
2)      Meningkatkan daya guna tanah karena bentuk persil-persil tanah yang semula tidak beraturan menjadi teratur, berbentuk empat persegi, masing-masing menghadap jalan, dan siap dibangun;
3)      Menghemat pengeluaran pemerintah untuk ganti rugi tanah, dan biaya pembangunan prasarana dan fasilitas kota karena biaya-biaya tersebut ditanggung bersama secara adil oleh para pemilik tanah;
4)      Walaupun ada pengurangan luas pemilikan tanah, namun nilai pemilikan tanahnya setelah konsolidasi akan tetap sama bahkan meningkat;
5)      Menghindari pemindahan penduduk dari lokasi semula karena setelah konsolidasi para pemilik akan menerima kembali tanahnya dalam bentuk dan kondisi yang lebih menguntungkan;
6)      Dapat dijadikan dasar dalam pembinaan dan pembangunan masyarakat kota yang dinamis untuk berperan serta dalam pembangunan kota, serta dapat mencegah timbulnya kerawanan sosial akibat perbedaan lingkungan permukiman;
7)      Mempercepat kegiatan administrasi pertanahan dan menunjang sistem perpajakan tanah yang lebih akurat dan adil;
8)      Persil-persil tanah pengganti biaya pembangunan proyek/ TPBP (Cost Equivalent Land), pada prioritas pertama dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penyediaan rumah murah/ rumah susun;
9)      Tanah-tanah yang sudah dikonsolidasi dapat dibangun sendiri oleh pemilik tanah atau atas bantuan kredit pemilikan rumah (KPR);
10)   Mencegah spekulasi kenaikan harga tanah langsung dinikmati oleh pemilik tanah asal, dan secara keseluruhan dapat menciptakan stabilitas harga.
Berdasarkan manfaat konsolidasi tanah perkotaan diatas, konsolidasi tanah perkotaan dapat dijadikan alternatif didalam upaya penyediaan tanah untuk pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, termasuk pemilik tanah dan pemerintah. Melalui konsolidasi tanah perkotaan dapat disediakan tanah bagi pembangunan untuk memecahkan masalah permukiman, meningkatkan pembangunan permukiman untuk memenuhi kebutuhan pertambahan penduduk yang cepat, dan dengan konsolidasi tanah perkotaan dapat melengkapi fasilitas umum permukiman, meningkatkan sanitasi lingkungan permukiman serta dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman menjadi lebih baik.
d.      Maksud, Tujuan, dan Sasaran Konsolidasi Tanah Perkotaan
Dengan memperhatikan maksud, tujuan, dan sasaran konsolidasi tanah yang termaktub dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 dan Surat Kepala BPN No. 410-4245 tanggal 7 Desember 1991, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud konsolidasi tanah perkotaan adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan serta merupakan upaya pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Tujuan konsolidasi tanah perkotaan adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, seimbang, dan lestari dengan meningkatan efisiensi penggunaan tanah di wilayah perkotaan Adapun tujuan konsolidasi tanah perkotaan dapat diwujudkan dalam bentuk (Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah Badan Pertanahan Nasional, 1990 : 11):
1)      Konsolidasi tanah perkotaan bertujuan untuk menertibkan penguasaan dan penggunaan tanah serta menciptakan lingkungan permukiman yang teratur, tertib, dan sehat sesuai dengan prinsip ATLAS. Karena membantu dalam implementasi Rencana Teknis Tata Ruang Kota (RTTRK), keperluan tanah untuk jaringan-jaringan jalan dan rencana sarana lainnya dalam lingkungan tersebut dibebankan pada para peserta konsolidasi masyarakat pemilik tanah tanpa pembebasan tanah (pembayaran ganti rugi);
2)      Sebagai kompensasinya, maka segala sesuatu yang berkenaan dengan pemberian hak, pengukuran, sertipikat tanah, dan lain-lain biayanya dibebankan kepada proyek, kecuali pembayaran uang pemasukan kepada negara bagi tanah yang masih berstatus tanah negara;
3)      Dengan demikian konsolidasi tanah perkotaan mempunyai sasaran sejak sedini mungkin berusaha untuk menghindari terjadinya daerah/ lingkungan permukiman yang kumuh dan tidak teratur.
Sasaran konsolidasi tanah perkotaan adalah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur di wilayah perkotaan. Sasaran konsolidasi tanah perkotaan terutama ditujukan pada wilayah-wilayah sebagai berikut (Surat Kepala BPN N0. 41-4245 tanggal 7 Desember 1991):
1)      Wilayah permukiman kumuh;
2)      Wilayah permukiman yang tumbuh pesat;
3)      Wilayah permukiman yang mulai tumbuh;
4)      Wilayah yang direncanakan menjadi permukiman baru; dan
5)      Wilayah yang relatif kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan berkembang sebagai daerah permukiman.

e.       Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan

Ada 2 (dua) macam metode pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan, yaitu dengan metode wajib dan metode sukarela. Dalam metode sukarela pelaksanaannya berdasarkan persetujuan pemilik tanah, sedangkan dalam metode wajib dilaksanakan apabila inisiatif datang dari
pemerintah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Maria SW Soemardjono, metode pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan yang berlaku di Indonesia adalah campuran antara metode wajib dan sukarela. Sesuai dengan definisinya tampak bahwa konsolidasi tanah perkotaan bersifat wajib bila dilihat dari inisiatifnya. Namun bila dilihat secara substansial, persetujuan pemilik tanah sangat menentukan pelaksanaan program ini, walaupun inisiatif berasal dari pemerintah (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 71).
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 menyatakan bahwa konsolidasi tanah hanya dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi, menyatakan persetujuannya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sebenarnya metode pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia tetap metode sukarela. Oleh karena sesuai dengan nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan yang masih menjadi ciri karateristik bangsa Indonesia yang terbukti mampu menjadi modal dasar yang menguntungkan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan.
Berdasarkan uraian Pasal 4 ayat (2), dapat ditegaskan bahwa tanpa persetujuan para pemilik tanah, BPN sebagai pihak pelaksana tidak memiliki kewenangan untuk melakukan konsolidasi tanah perkotaan. Dengan demikian, dasar hukum materil pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan adalah hukum perdata, dalam hal ini hukum perikatan yang timbul dari perjanjian (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 71-72).
Sikap untuk melaksanakan konsolidasi tanah perkotaan dengan metode sukarela secara tidak langsung dapat merangsang lahirnya inisiatif masyarakat untuk melaksanakan konsolidasi tanah perkotaan secara swadaya, seperti ide dasar dari Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
Pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia selama ini, setelah dikeluarkannya Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 sudah banyak pelaksanaan konsolidasi tanah yang dilaksanakan secara swadaya, yaitu dengan cara pengajuan Daftar Usulan Rencana Kegiatan (DURK) Konsolidasi Tanah kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi. DURK ini akan ditetapkan menjadi Daftar Rencana Kegiatan Konsolidasi Tanah oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi.
Konsolidasi tanah perkotaan merupakan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu oleh instansi yang terkait dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat, dalam hal ini masyarakat pemilik tanah yang tanahnya terkena kegiatan konsolidasi tanah perkotaan. Adapun kegiatan operasional konsolidasi tanah perkotaan dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu (Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri):
1)      Tahap I (persiapan) meliputi:
a.       Pencarian dan pemilihan rencana lokasi.
b.       Penyuluhan atau penyebaran informasi tentang pelaksanaan konsolidasi tanah.
c.       Penjajagan kesepakatan masyarakat pemilik tanah di wilayah konsolidasi tanah.
d.       Penetapan lokasi konsolidasi tanah perkotaan berdasarkan kesepakatan para pemilik tanah.
e.       Pengajuan Daftar Usulan Rencana Kegiatan Konsolidasi Tanah Perkotaan (DURK).
2)      Tahap II (pendataan) meliputi:
a.       Identifikasi subyek dan obyek pemilikan tanah di calon rencana lokasi, yaitu identifikasi pemilikan penguasaan tanah dan Riwayat tanah
b.       Pengukuran dan pemetaan:
·         Pengukuran dan pemetaan keliling yang hasilnya berupa peta keliling tanah;
·         Pengukuran dan pemetaan rincian yang hasilnya berupa peta kapling yang menggambarkan semua ukuran bentuk serta posisi tiap bidang tanah dalam lokasi; dan
·         Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah
3)      Tahap III (penataan) meliputi:
a)       Pembuatan peta blok plan lokasi yang merupakan peta pra desain tata ruang.
b)      Pembuatan peta desain tata ruang/ desain konsolidasi tanah perkotaan.
Peta desain tata ruang disusun berdasarkan peta rincikan dan peta blok plan. Peta desain konsolidasi tanah perkotaan ini lengkap dengan bentuk, letak, dan ukuran kapling-kapling baru (setelah dipotong sumbangan tanah) serta rencana lokasi prasarana/ fasilitas umum yang dibutuhkan. Pengesahan peta desain konsolidasi tanah perkotaan ditandatangani oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/ Kota, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota, dan Kepala Bappeda Kabupaten/ Kota;
c)       Musyawarah desain konsolidasi tanah perkotaan.
Melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah mengenai desain konsolidasi tanah perkotaan dalam rangka realokasi (pengkaplingan baru di lapangan).
d)      Pelepasan hak atas tanah oleh peserta konsolidasi.
Untuk pelepasan hak atas tanah oleh peserta konsolidasi diperlukan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah oleh para peserta konsolidasi tanah yang kemudian diusulkan kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi untuk ditegaskan sebagai tanah negara
obyek konsolidasi tanah perkotaan.
e)      Penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah.
Lokasi konsolidasi tanah perkotaan harus ditegaskan sebagai tanah negara sebagai obyek konsolidasi tanah perkotaan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi. Dalam Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi tentang penegasan tanah negara sebagai obyek konsolidasi tanah perkotaan tersebut sekaligus ditetapkan peruntukan tanah yang bersangkutan untuk tanah pertanian atau nonpertanian, dan apabila tanah yang bersangkutan telah terlebih dahulu ditetapkan sebagai obyek landreform, maka dengan penegasannya sebagai obyek konsolidasi tanah, tanah tersebut bukan lagi merupakan obyek landreform.
f)        Staking out/ realokasi.
Kegiatan ini meliputi pengukuran dan pemasangan patok-patok batas kapling baru, pemasangan tanda untuk batas jalan/ parit, dan prasarana umum lainnya.
g)       Pekerjaan konstruksi.
Berdasarkan hasil realokasi, maka dilakukan pekerjaan pembuatan badan jalan dengan penggalian parit di sisi kiri dan kanan jalan serta pembuatan fasilitas umum lainnya.
h)      Penerbitan surat keputusan pemberian hak milik
Setelah terbit surat keputusan Kepala Kanwil BPN tentang penegasan tanah negara sebagai obyek konsolidasi tanah perkotaan, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat segera menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah negara obyek konsolidasi tanah perkotaan kepada peserta konsolidasi tanah perkotaan.
i)        Sertipikasi
Setelah diterbitkan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah negara obyek konsolidasi tanah perkotaan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat, maka dapat diterbitkan sertipikat hak milik atas nama masing-masing peserta konsolidasi yang berhak setelah peserta tersebut menyelesaikan kewajibannya.

Pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan menuntut atau menghendaki adanya kegiatan yang terpadu, baik antara komponen BPN maupun instansi-instansi terkait lainnya. Keadaan tersebut perlu dibentuk Tim Pembantu, yaitu Tim Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Konsolidasi Tanah Perkotaan di Kabupaten/ Kota dan Tim Pengendalian di Provinsi.


Sumber:
1.       Skripsi “PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH PERKOTAAN SECARA SWADAYA DALAM RANGKA PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN” oleh Aprilian Dwi Raharjanto, Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008
2.       PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 1991 TENTANG “KONSOLIDASI TANAH”
3.       SE Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1978 Tahun 1996 Tentang “Petunjuk Teknis Konsolidasi Tanah”

KLASIFIKASI, KODEFIKASI, DAN NOMENKLATUR PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN KEUANGAN DAERAH



1.       Pemerintah daerah Menyusun dokumen rencana pembangunan daerah, dokumen rencana perangkat daerah, dan dokumen pengelolaan keuangan daerah, dengan menggunakan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur yang digunakan pada tahapan:
a.       perencanaanpembangunandaerah;
b.       perencanaan anggaran daerah
c.       pelaksanaan dan penatausahaan keuangan daerah;
d.       akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
e.       pertanggungjawaban keuangan daerah;
f.        pengawasan keuangan daerah; dan
g.       analisis informasi pemerintahan daerah lainn--ra
2.       klasifikasi, kodefikasi dan nomenklatur, terdiri atas:
a.       urusan, bidang urusan, program, kegiatan, dan sub kegiatan, disusun berdasarkan urusan yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
b.       Fungsi, disusun berdasarkan perwujudan tugas pemerintahan dibidang tertentu yang selaras dengan belanja negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c.       Organisasi, berdasarkan susunan perangkat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d.       Sumber pendanaan, disusun berdasarkan sumber pendanaan yang meliputi dana umum dan dana khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e.       Wilayah administrasi pemerintahan, disusun berdasarkan kode dan data wilayah administrasi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f.        Rekening, disusun berdasarkan kode akun, kelompok, jenis, objek, rincian-rincian objek, dan sub rincian objek, meliputi asset, kewajiban, ekuitas, pendapatan/pendapatan-laporan realisasi anggaran, belanja, pembiayaan, pendapatan-laporan operasional, dan beban.
3.       Lampiran
Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah disusun secara sistematis meliputi:
a.       Urusan, Bidang Urusan, Program, Kegiatan, dan Sub Kegiatan
1.       Klasifikasi perencanaan pembangunan dan keuangan daerah serta Kodefikasi berdasarkan klasifikasi urusan pemerintahan yang digunakan Provinsi/Kabupaten/Kotaterdiri atas:
a)       Program penunjang urusan Pemerintah daerah dengan kode “XX”;
b)      urusan pemerintahan konkuren terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1)      Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dikodefikasi dengan angka 1 (satu);
2)      Urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar terkait pelayanan dasar dikodefikasi dengan angka 2 (dua); dan
3)      Urusan Pilihan dikodefikasi dengan angka 3 (tiga)
c)       Unsur Pendukung urusan pemerintahan dikodefikasi dengan angka 4 (empat);
d)      Unsur penunjang urusan pemerintahan dikodefikasi dengan angka 5 (lima);
e)      Unsur pengawasan dikodefikasi dengan angka 6 (enam);
f)        Unsur kewilayahan dikodefikasi dengan angka 7 (tujuh);
g)       Unsur pemerintahan umum dikodefikasi dengan angka 8 (delapan); dan
h)      Unsur kekhususan dikodefikasi dengan angka 9
2.       Klasifikasi dan kodefikasi urusan pemerintahan konkuren terbagi menjadi 32 (tiga puluh dua) bidang urusan yang terdiri atas:
a)       Urusan pemerintahan bidang pendidikan dengan kode 1.01;
b)      Urusan pemerintahan bidang kesehatan dengan kode 1.02;
c)       Urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang dengan kode 1.03;
d)      Urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan kode 1.04;
e)      Urusan pemerintahan bidang ketentraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat dengan kode 1.05;
f)        Urusan pemerintahan bidang sosial dengan kode 1.06;
g)       Urusan pemerintahan bidang tenaga kerja dengan kode 2.07;
h)      Urusan pemerintahan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dengan kode 2.08;
i)        Urusan pemerintahan bidang pangan dengan kode 2.09;
j)        Urusan pemerintahan bidang pertanahan dengan kode 2.10;
k)       Urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup dengan kode 2.11;
l)        Urusan pemerintahan bidang administrasi kependudukan dan pencatatan sipil dengan kode 2.12;
m)    Urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa dengan kode 2.13;
n)      Urusan pemerintahan bidang pengendalian penduduk dan keluarga berencana dengan kode 2.14;
o)      Urusan pemerintahan bidang perhubungan dengan kode 2.15;
p)      Urusan pemerintahan bidang komunikasi dan informatika dengan kode 2.16;
q)      Urusan pemerintahan bidang koperasi, usaha kecil dan menengah dengan kode 2.17;
r)       Urusan pemerintahan bidang penanaman modal dengan kode 2.18;
s)       Urusan pemerintahan bidang kepemudaan dan olahraga dengan kode 2.19;
t)        Urusan pemerintahan bidang statistik dengan kode 2.20;
u)      Urusan pemerintahan bidang persandian dengan kode 2.21;
v)       Urusan pemerintahan bidang kebudayaan dengan kode 2.22;
w)     Urusan pemerintahan bidang perpustakaan dengan kode 2.23;
x)       Urusan pemerintahan bidang kearsipan dengan kode 2.24;
y)       Urusan pemerintahan bidang kelautan dan perikanan dengan kode 3.25;
z)       Urusan pemerintahan bidang pariwisata dengan kode 3.26;
aa)   Urusan pemerintahan bidang pertanian dengan kode 3.27;
bb)  Urusan pemerintahan bidang kehutanan dengan kode 3.28;
cc)    Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral dengan kode 3.29;
dd)  Urusan pemerintahan bidang perdagangan dengan kode 3.30;
ee)   Urusan pemerintahan bidang perindustrian dengan kode 3.31; dan
ff)      Urusan pemerintahan bidang transmigrasi dengan kode 3.32.
3.       Klasifikasi dan kodefikasi unsur pendukung urusan pemerintahan terdiri atas:
a)       Unsur Sekretariat daerah dengan kode 4.01; dan
b)      Unsur Sekretariat DPRD dengan kode 4.02.
4.       Klasifikasi dan kodefikasi unsur penunjang urusan pemerintahan terdiri atas:
a)       Unsur perencanaan dikodefikasi dengan 5.01;
b)      Unsur keuangan dikodefikasi dengan 5.02;
c)       Unsur kepegawaian dikodefikasi dengan 5.03;
d)      Unsur pendidikan dan pelatihan dikodefikasi dengan 5.04;
e)      Unsur penelitian dan pengembangan dikodefikasi dengan 5.05;
f)        Unsur penghubung dikodefikasi dengan 5.06; dan
g)       Unsur pengelolaan perbatasan daerah dikodefikasi dengan 5.07.
5.       Klasifikasi dan kodefikasi Unsur pengawasan urusan pemerintahan yaitu inspektorat daerah dengan kode 6.01.
6.       Klasifikasi dan kodefikasi unsur kewilayahan yang terbagi menjadi:
a)       Provinsi yang terdiri atas:
1)      Kecamatan dengan kode 7.01;
2)      Kota Adminstrasi di Provinsi DKI Jakarta dengan kode 7.02; dan
3)      Kabupaten Adminstrasi di Provinsi DKI Jakarta dengan kode 7.03.
b)      kabupaten/kota yaitu kecamatan dengan kode 7.01
7.       Klasifikasi dan kodefikasi urusan pemerintahan umum yaitu kesatuan bangsa dan politik dengan kode 8.01.
8.       Klasifikasi dan kodefikasi unsur kekhususan terdiri atas:
a)       Dinas Syariat Islam Aceh dengan kode 9.02;
b)      Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dengan kode 9.03;
c)       Sekretariat Majelis Adat Aceh dengan kode 9.04;
d)      Sekretariat Baitul Mal Aceh dengan kode 9.05;
e)      Sekretariat Badan Reintegrasi Aceh dengan kode 9.06; dan
f)        Paniradya Kaistimewan dengan kode 9.01.
9.       Urusan pemerintahan, sub urusan pemerintahan, dan kewenangan antar susunan pemerintahan perlu diterjemahkan ke dalam bentuk konkrit aktivitas pembangunan berupa nomenklatur program dan kegiatan daerah. Transformasi urusan pemerintahan ke dalam nomenklatur program dan kegiatan di sisi lain memastikan bahwa daerah melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan kewenangannya.

Dengan demikian, program disusun dengan memperhatikan sub bidang urusan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lampiran I tentang matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Kegiatan mengacu pada program dengan memperhatikan kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kodefikasi kegiatan yang menjadi kewenangan provinsi diberi kode identitas 1.xx, dan kodefikasi kegiatan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota diberi kode identitas 2.xx. Sub Kegiatan merupakan bentuk aktivitas kegiatan dalam pelaksanaan kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan perundang undangan. Maka, perubahan komposisi klasifikasi program, kegiatan, dan sub kegiatan menjadi sebagai berikut:





10.   kodefikasi program, kegiatan dan sub kegiatan terdiri atas:
a)       Program penunjang urusan Pemerintah Daerah dengan kode x|xx|01; dan
b)      Program dalam rangka melaksanakan urusan sesuai dengan bidang urusannya dengan kode x|xx|02.
11.   Kodefikasi kegiatan dan sub kegiatan, meliputi:
a)       Kegiatan pada provinsi pada setiap program dikodefikasi dimulai dari angka x|xx|xx|1.01, x|xx|xx|1.02 dan seterusnya sampai dengan jumlah kegiatan di setiap program;
b)      Kegiatan pada kabupaten/kota pada setiap program dikodefikasi dimulai dari angka x|xx|xx|2.01, x|xx|xx|2.02 sampai dengan jumlah kegiatan di setiap program;
c)       Kegiatan pada setiap program di Provinsi DKI Jakarta dapat menggunakan kode kegiatan yang terdapat pada provinsi dan kabupaten/kota; dan
d)      Sub kegiatan pada setiap kegiatan dikodefikasi dimulai dari angka x|xx|xx|x.xx|01 sampai dengan jumlah sub kegiatan di setiap kegiatan.

b.       Fungsi
Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Fungsi disusun dalam rangka menyelaraskan dan memadukan urusan pemerintahan daerah beserta unsur lainnya dengan belanja negara yang diklasifikasikan menurut Fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan daerah beserta unsur lainnya tersebut diklasifikasikan menjadi sub Fungsi. Klasifikasi dan kodefikasi Fungsi sebagai berikut:
1)      Fungsi, meliputi:
a)       Pelayanan umum dengan kode 1;
b)      Ketertiban dan keamanan dengan kode 2;
c)       Ekonomi dengan kode 3;
d)      Perlindungan lingkungan hidup dengan kode 4;
e)      Perumahan dan fasilitasi umum dengan kode 5;
f)        Kesehatan dengan kode 6;
g)       Pariwisata dengan kode 7;
h)      Pendidikan dengan kode 8; dan
i)        Perlindungan sosial dengan kode 9.
2)      Sub Fungsi merupakan penggolongan berdasarkan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, urusan pilihan, unsur pendukung, unsur penunjang, unsur pengawas, unsur kewilayahan, unsur pemerintahan umum, dan unsur kekhususan. Pemberian kode sub Fungsi dimulai dari angka x.01 sampai dengan jumlah sub Fungsi pada setiap Fungsi.
c.       Organisasi
1)      Klasifikasi Organisasi dikelompokkan berdasarkan:
a)       Urusan Pemerintahan, meliputi:
Ø  Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar;
Ø  Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar; dan
Ø  Urusan pemerintahan pilihan.
b)      Unsur pendukung;
c)       Unsur penunjang;
d)      Unsur pengawas;
e)      Unsur kewilayahan;
f)        Unsur pemerintahan umum; dan
g)       Unsur kekhususan.
2)      Kodefikasi Organisasi meliputi:
a)       Urusan Pemerintahan Daerah
Kodefikasi Organisasi atas urusan pemerintahan disusun dengan 2 (dua) digit kode pada setiap kolom perumpunan dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø  Digit pertama dengan angka 1, menunjukkan kode urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar;
Ø  Digit pertama dengan angka 2, menunjukkan kode urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar;
Ø  Digit pertama dengan angka 3, menunjukkan kode urusan pemerintahan pilihan; dan
Ø  Digit kedua diurut dari angka 1 sampai dengan angka 32 menurut urutan urusan pemerintahan daerah.
Penyajian kodefikasi Organisasi atas urusan pemerintahan dimaksud disajikan sebagai berikut:
Ø  Kode urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
·         Pendidikan dengan kode 1-1;
·         Kesehatan dengan kode 1-2;
·         Pekerjaan umum dan penataan ruang dengan kode 1-3;
·         Perumahan rakyat dan Kawasan permukiman dengan kode 1-4;
·         Ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat dengan kode 1-5; dan
·         Sosial dengan kode 1-6
Ø  Kode urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
·         Tenaga kerja dengan kode 2-7;
·         Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dengan kode 2-8;
·         Pangan dengan kode 2-9;
·         Pertanahan dengan kode 2-10;
·         Lingkungan hidup dengan kode 2-11;
·         Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil dengan kode 2-12;
·         Pemberdayaan masyarakat dan desa dengan kode 2-13;
·         Pengendalian penduduk dan keluarga berencana dengan kode 2-14;
·         Perhubungan dengan kode 2-15;
·         Komunikasi dan informatika dengan kode 2- 16;
·         Koperasi, usaha kecil dan menengah dengan kode 2-17;
·         Penanaman modal dengan kode 2-18;
·         Kepemudaan dan olahraga dengan kode 2- 19;
·         Statistik dengan kode 2-20;
·         Persandian dengan kode 2-21;
·         Kebudayaan dengan kode 2-22;
·         Perpustakaan dengan kode 2-23; dan
·         Kearsipan 2-24.
Ø  Kode urusan pemerintahan pilihan, meliputi:
·         Kelautan dan perikanan dengan kode 3-25;
·         Pariwisata dengan kode 3-26;
·         Pertanian dengan kode 3-27;
·         Kehutanan dengan kode 3-28;
·         Energi dan sumber daya mineral dengan kode 3-29;
·         Perdagangan dengan kode 3-30;
·         Perindustrian dengan kode 3-21; dan
·         Transmigrasi dengan kode 3-32.
b)      Unsur Pendukung Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Kode Organisasi berdasarkan unsur pendukung merupakan unsur staf yang dilaksanakan oleh sekretariat daerah provinsi dan kabupaten/kota dan unsur pelayanan administrasi dan pemberian dukungan terhadap tugas dan fungsi dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kodefikasi Organisasi atas unsur pendukung urusan pemerintahan disusun dengan 2 (dua) digit kode pada setiap kolom perumpunan dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø  Digit pertama dengan angka 4, menunjukkan kode unsur pendukung urusan pemerintahan; dan
Ø  Digit kedua diurut dari angka 1 sampai dengan angka 2 yakni 1 untuk sekretariat daerah dan 2 untuk sekretariat dewan.
Penyajian kodefikasi Organisasi atas unsur pendukung urusan pemerintahan dimaksud disajikan sebagai berikut:
Ø  Sekretariat daerah dengan kode 4-1; dan
Ø  Sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah dengan kode 4-2.
c)       Unsur Penunjang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Kodefikasi Organisasi atas Unsur penunjang disusun dengan 2 (dua) digit kode pada setiap kolom perumpunan dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø  Digit pertama dengan angka 5, menunjukkan kode unsur penunjang urusan pemerintahan;
Ø  Digit kedua diurut dari angka 1 sampai dengan seterusnya merupakan urutan unsur penunjang urusan pemerintahan daerah
Penyajian kodefikasi Organisasi atas unsur penunjang urusan pemerintahan dimaksud disajikan sebagai berikut:
·         Perencanaan dengan kode 5-1;
·         Keuangan dengan kode 5-2;
·         Kepegawaian dengan kode 5-3
·         Pendidikan dan pelatihan dengan kode 5-4;
·         Penelitian dan pengembangan dengan kode 5-5;
·         Penghubung dengan kode 5-6; dan
·         Pengelolaan perbatasan daerah dengan kode 5-7
d)      Unsur Pengawas
Kode Organisasi berdasarkan unsur pengawas merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kodefikasi Organisasi atas unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun dengan 2 (dua) digit kode pada setiap kolom perumpunan dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø  Digit pertama dengan angka 6, menunjukkan kode unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan
Ø  Digit kedua dengan hanya angka 1 karena pelaksanaan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh inspektorat daerah.
Penyajian kodefikasi Organisasi atas unsur pengawas urusan pemerintahan dimaksud disajikan dengan kode 6-1.
e)      Unsur Kewilayahan
Kode Organisasi berdasarkan unsur kewilayahan disusun dengan 2 (dua) digit kode pada setiap kolom perumpunan dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø  Digit pertama dengan angka 7, menunjukkan kode unsur kewilayahan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan
Ø  Digit kedua diurut dari angka 1 sampai dengan seterusnya merupakan urutan unsur kewilayahan.
Penyajian kodefikasi Organisasi atas unsur kewilayahan dimaksud disajikan sebagai berikut:
·         Bagi provinsi, terdapat kota administrasi dan kabupaten administrasi dengan kode 7-1; dan
·         Bagi kabupaten/kota, terdapat kecamatan dengan kode 7-1.
f)        Unsur Pemerintahan Umum
Kode Organisasi berdasarkan unsur pemerintahan umum merupakan pelaksanaan urusan pemerintahan umum yang dilaksanakan oleh kesatuan bangsa dan politik disusun dengan 2 (dua) digit kode pada setiap kolom perumpunan dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø  Digit pertama dengan angka 8, menunjukkan kode unsur pemerintahan umum penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan
Ø  Digit kedua dengan hanya angka 1 karena pelaksanaan kesatuan bangsa dan politik merupakan pelaksanaan urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh Kesatuan Bangsa dan Politik.
Penyajian kodefikasi Organisasi atas kesatuan bangsa dan politik dimaksud disajikan dengan kode 8-1.
g)       Unsur Kekhususan
Unsur kekhususan disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus pengaturan kekhususan dan keistimewaan. Penyususan kode berdasarkan unsur kekhususan yang merupakan pelaksanaan urusan pemerintahan, unsur penunjang dan unsur pendukung diklasifikasikan berdasarkan pelaksanaan urusan pemerintahan, unsur penunjang dan unsur pendukung berkenaan. Sedangkan unsur kekhususan diluar pelaksanaan urusan pemerintahan, unsur penunjang dan unsur pendukung disediakan kode 9- 1.



d.       Sumber Pendanaan
Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Sumber Pendanaan ditujukan untuk mengelompokan sumber dana berdasarkan tujuan penggunaan dana dalam rangka pengendalian masing-masing kelompok dana. Tujuan dari pemisahan jenis dana adalah untuk pengawasan/control, akuntabilitas/accountability dan transparansi/transparency (CAT). Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Sumber Pendanaan terdiri atas:
1)      Dana Umum
Dana umum atau general fund adalah dana yang digunakan sesuai dengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, terdiri dari pendapatan asli daerah, dana transfer dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang bersifat blockgrant dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dana Umum diberikan kode 1, meliputi:
a)       Pendapatan asli daerah dengan kode 1.1;
b)      Pendapatan transfer dengan kode 1.2; dan
c)       Lain-lain pendapatan daerah yang sah dengan kode 1.3
2)      Dana Khusus
Dana khusus atau restricted fund adalah dana yang digunakan sesuai dengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah yang sudah jelas penggunaannya/peruntukkannya dalam rangka desentralisasi, terdiri atas pendapatan asli daerah yang peruntukannya telah ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dana transfer dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang bersifat earmarked, bantuan keuangan dengan tujuan tertentu, dan hibah dengan tujuan tertentu.
Dana Khusus diberikan kode 2, meliputi:
a)       Pendapatan Asli Daerah dengan kode 2.1;
b)      Pendapatan Transfer dengan kode 2.2; dan
c)       Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dengan kode 2.3.
e.       Wilayah Administrasi Pemerintahan
Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Wilayah Administrasi Pemerintahan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kode dan data wilayah administrasi pemerintahan yang digunakan dalam penentuan lokasi kegiatan dan barang milik daerah yang menjadi kewenangan provinsi/kabupaten/kota. Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Wilayah Administrasi Pemerintahan tidak disajikan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, dikarenakan secara langsung menggunakan kode dan data yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan melalui pemetaan (mapping) elektronik dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah.
f.        Rekening
Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Rekening meliputi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan/pendapatan-LRA, belanja, pembiayaan, pendapatan-LO, dan beban. Penyusunan Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Rekening digunakan dalam tahapan penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang dihasilkan dari laporan keuangan primer ditinjau berdasarkan sumber informasi/transaksi penyusun laporan keuangan yakni Neraca, LRA dan LO yang terdiri atas:
1)      Klasifikasi Neraca
a)       Aset
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
b)      Kewajiban
Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah.
c)       Ekuitas
Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah.
2)      Klasifikasi Penyusunan Anggaran dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA);
a)       Pendapatan
Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang berkenaan. Selanjutnya, pendapatan-LRA adalah penerimaan oleh bendahara umum daerah atau oleh entitas pemerintah lainnya yang menambah saldo anggaran lebih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah daerah, dan tidak perlu dibayar Kembali oleh pemerintah daerah.
b)      Belanja
Belanja Daerah adalah semua kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang berkenaan.
c)       Pembiayaan
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang berkenaan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
3)      Klasifikasi Laporan Operasional (LO).
a)       Pendapatan-LO
Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
b)      Beban
Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
4)      Kodefikasi dan nomenklatur Rekening meliputi:
a)       Kodefikasi dan Nomenklatur Neraca
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, utang dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Neraca, terdiri atas:
Ø  Aset dengan kode 1;
Ø  Kewajiban dengan kode 2; dan
Ø  Ekuitas dengan kode 3.
b)      Kodefikasi dan Nomenklatur Penyusunan Anggaran dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA);
Penyusunan anggaran sebagai proses alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah yang merupakan rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Laporan realisasi anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan-LRA, belanja, transfer, surplus/defisit-LRA, pembiayaan dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Penyusunan Anggaran dan LRA, terdiri atas:
Ø  Pendapatan dengan kode 4;
Ø  Belanja dengan kode 5; dan
Ø  Pembiayaan dengan kode 6.
c)       Kodefikasi dan Nomenklatur Laporan Operasional (LO).
Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional keuangan entitas pelaporan yang tercermin dalam pendapatan-LO, beban dan surplus/defisit operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan dengan periode sebelumnya. Kodefikasi dan Nomenklatur Penyusunan LO, terdiri atas:
Ø  Pendapatan-LO dengan kode 7; dan
Ø  Beban dengan kode 8.

b.  KLASIFIKASI, KODEFIKASI, DAN NOMENKLATUR
Contoh:









Sumber: PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2019 TENTANG KLASIFIKASI, KODEFIKASI, DAN NOMENKLATUR PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN KEUANGAN DAERAH