Kota baru tidak selalu mempunyai pengertian suatu kota yang sama sekali baru diatas lahan yang tidak
terbangun, tetapi juga mungkin merupakan pengembangan dari permukiman yang
sudah ada berupa desa atau kota
kecil. Penetapan wilayah untuk pembangunan suatu kota
baru didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bahwa wilayah tersebut
memungkinkan untuk dikembangkan sebagai suatu aktivitas kota berdasarkan potensi-potensi yang
dimiliki dari segi fisik, dan sosial-ekonomi. Sedangkan teknisnya penetapan
untuk pembangunan kota
baru didasarkan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai
dengan RUTRW atau yang diusulkan oleh pembangunan berdasarkan hasil pembebasan
lahannya. Penetapannya juga bisa berdasarkan lokasi-lokasi tertentu berupa kota kecil atau desa yang
ada diwilayah tersebut.
Dalam
memilih suatu lokasi wilayah untuk pembangunan kota
baru perlu mengacu pada berbagai kriteria dan persyaratan sehingga pembangunan kota baru tersebut dapat
meningkatkan nilai tambah produktifitas suatu wilayah bukan sebaliknya. Selain
itu juga harus memperhatikan motivasi atau tujuan dari pengembangan kota baru (Djoko Sudjarto),
yaitu:
- Pembentukan pusat-pusat pengembangan baru untuk menahan/ membelokkan arus migrasi ke kota induk (Counter Magnet)
- Pengagihan kepadatan penduduk dari kota induk (Overspill)
- Pengagihan kegiatan fungsional dari suatu kota induk untuk mengurangi kepadatan kegiatan di dalam kota (Urban Function Relocation),dan;
- Motivasi kenyaman dan investasi property (investment property and pleasure)
Pada
dasarnya penilaian kelayakan wilayah untuk pengembangan kota baru harus didasarkan kepada tiga
kategori (Djoko Sudjarto), yaitu:
ü
Suatu wilayah yang karena kondisinya baik secara
fisik maupun sosial ekonominya tidak layak untuk pengembangan suatu kota baru;
ü
Suatu wilayah yang mungkin dapat dikembangkan
sebagai kota
baru tetapi akan memerlukan biaya tambahan dan teknologi tertentu untuk
mengganti fungsinya minimal sesuai dengan nilai produktifitasnya saat ini;
ü
Wilayah yang dapat dikembangkan tanpa resiko
baik secara fisik, sosial maupun ekonomis.
Pemilihan
lokasi tersebut didasarkan pada analisa kondisi fisik berupa fisik dasar/ fisik
bukan keruangan (a spatial) dan fisik
Binaan/ fisik keruangan (spatial) dan
kondisi sosial ekonomi. Dasar kriteria penilaian dan persyaratan berdasarkan
analisa tersebut adalah:
1.
Fisik dasar/ Fisik Bukan Keruangan (a Spatial)
- Topografi: Kelerengan lahan untuk bukan pertanian sebaiknya diatas kelerengan 5% dan tidak melebihi 8%. Wilayah dengan ketinggian dibawah 5% umumnya memiliki sisitem pengairan yang baik sehingga lebih tepat penggunaannya untuk pertanian. Wilayah dengan kelerengan lebih dari 10 % sebaiknya untuk wilayah konservasi karena merupakan daerah cadangan air tanah.
- Geologi: Jenis dan sifat batuan, mineral, daya dukung tanah, sifat tanah akan sangat menentukan sifat produktifitas tanah. Tanah dengan struktur geologi alluvial sangat baik untuk pertanian sawah karena tanahnya yang subur. Sebaiknya tidak dipergunakan untuk kegiatan bukan pertanian.
- Hidrologi: wilayah resapan air tanah, wilayah pengairan alami dan teknis yang telah berfungsi untuk meningkatkan produktivitas tanah tidak untuk pembangunan non pertanian.
2.
Fisik binaan/ Fisik keruangan (spatial)
- Pola penggunaan lahan: untuk pembangunan kota sebaiknya lahan yang tidak digunakan secara produktif seperti lahan bekas perkebunan, dan lahan tidak ada penggunaannya
- Bangunan : bangunan tempat tinggal dan belum terbangun secara intensif, bangunan yang telah ada sebaiknya menjadi kendala untuk di integrasikan dalam pembangunan kota baru sebagai bagian dari kota baru tersebut secara serasi. Dan tidak ada bangun bangunan yang berfungsi teknis seperti irigasi teknis ataupun bangun bangunan instalasi.
- Jaringan jalan: Pembangunan kota baru harus mempertimbangkan jaringan jalan yang sudah ada dan berfungsi efektif sebagai kendala atau bahkan harus mengintegrasikannya dengan meningkatkan kemampuan jalan tersebut.
- Jaringan utilitas: jaringan utilitas umum (air bersih), listrik, telepon, drainase, sanitasi) yang efektif harus menjadi kendala atau mengintegrasikannya sehingga kapasitasnya dapat ditingkatkan dan tidak meningkatkan beban karena harus melayani kebutuhan kota baru.
- Ruang terbuka: wilayah-wilayah lindung harus disisihkan di dalam pembangunan kota baru sebagai suatu kendala maupun limitasi pengembangan wilayah dan diintegrasikan sebagai ruang terbuka dengan fungsi yang sesuai.
- Pertanahan: pembangunan kota baru harus memperhatikan status kepemilikan tanah. Pembebasan tanah pada waktu pembangunan dilaksanakan seharusnya sudah jelas status barunya.
3.
Sosial Budaya dan Sosial ekonomi
- Pola sosial budaya masyarakat yang telah ada pada wilayah lokasi kota baru perlu menjadi kendala yang diperhatikan didalam pengembangan kota baru. Apabila penduduk asal masih berada pada lokasi asal disekitar kota baru maka pola sosial budaya ini perlu diintegrasikan dalam pembangunan kota baru tersebut.
- Kegiatan perekonomian dari masyarakat juga perlu menjadi pertimbangan pokok karena kemungkinan penduduk ini masih tetap berkegiatan usaha lama misalnya petani atau akan berubah ke kegiatan usaha lainnya seperti berdagang atau pekerja pabrik. Tingkat pendapatan masyarakat seyogyanya menjadi lebih baik dibandingkan pendapatan sebelum adanya kota baru.
Untuk
lebih jelasnya mengenai proses penentuan lokasi pengembangan kota baru dapat dilihat pada diagram alir
dibawah ini:
Proses Penentuan Suatu
Lokasi Kota
Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar